Saturday 26 July 2014

Petani Sumba Jual Kue Pengantin dari Singkong

Petani Sumba Jual Kue Pengantin dari Singkong
ilustrasi





POS KUPANG.COM, WAINGAPU - Aneka jenis umbian dan pisang, labu serta kelapa merupakan stok pangan lokal yang selama menjadi tumpuan hidup warga desa di Pulau Sumba. Selain memiliki kadar gizi dan protein tinggi, juga dapat membantu peningkatan ekonomi rumah tangga.
Hal ini yang menjadi salah satu alasan mendasar bagi Program Nasional Pemberdayaan Generasi Sehat dan Cerdsa (PNPM GSC) Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur untuk menyelenggarakan peltikan pengolahan pangan lokal bagi warga sembilan desa.
Kepada Pos Kupang di Aula Kantor Kecamatan Kahaungu Eti, kabupaten setempat, Kamis (24/7/2014), Fasilitator PNPM GSC kecamatan itu, Yohanes Paulus Mau mengatakan, pelatihan sudah berlangsung pada Rabu hingga Kamis (23-24/7/2014).
Kegiatan tersebut diberikan kepada para kader posyandu, guru TK dan SD serta para kader pemberdayaan masyarakat desa (KPMD) dari sembilan desa.
"Mereka inilah  ujung tombak, biasa membantu kita dalam mengelola PMT (Penambah Makanan Tambahan)  para ibu hamil, anak balita yang sering ke posyandu dan juga anak sekolah," kata Mau.
Menurut Mau, sekitar 51  jenis menu masakan yang diberikan kepada para peserta dalam pelatihan itu. Semua jenis menu yang dibuat bahan bakunya dari pangan lokal seperti  umbian, kelapa, pisang, kacang-kacangan dan labu kuning.
 "Pangan lokal kita olah menjadi makanan siap saji misalnya sate jantung pisang, sate daun ubi, keripik pisang,  perkedel pisang, tar kue pengantin dari ubi kayu, donat ubi, es krim labu, es krim pisang dan es krim kelapa muda. Selain untuk konsumsi sendiri, mereka juga bisa menjual. Selama ini masyarakat jual pisang di pasar, pulang beli pisang goreng. Jual kelapa untuk beli es krim kelapa, makanya kita latih masyarakat untuk membuat sendiri," katanya.
Hal senada dikatakan Suster Albertine, SSpS, pemateri dalam kegiatan tersebut. Dia mengatakan kurang lebih terdapat 51 menu yang diberikan kepada para peserta selama dua hari kegiatan tersebut. "Mereka bisa membuat beraneka ragam kue dan makanan ringan dari pangan lokal," katanya.
Suster Albertine menjelaskan, dari bahan baku singkong para peserta dilatih membuat kue tar pengantin. Selain unik karena dibuat dari pangan lokal, jenis kue tar pengantin ubi kayu juga sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia karena tidak mengandung bahan kimia. "Petani tidak lagi menjual ubi kayu ke pasar, tapi mereka akan menjual kue tar pengantin dari singkong. Nilai ekonomisnya lebih tinggi ketimbang menjual bahan baku," tandasnya. (jet)

Sumber ; http://kupang.tribunnews.com/2014/07/26/petani-sumba-jual-kue-pengantin-dari-singkong

Kampanye Pemanasan Global dari Dapur


Heinrich Dominggus Dengi, S.Si, Apt.
Tokoh muda ini boleh dicatat sebagai penakluk alam Sumba Timur yang bersavana. Kering dan gersang. Karena keuletannya, ia tidak menyerah. Dia menghadirkan sumber mata air yang jauh dari balik tebing ke permukiman warga. Bagaimana caranya?

Heinrich Dominggus Dengi, S.Si, Apt, memulainya dengan dasar cinta. Membina para petani untuk bertani secara organik. Setelah itu ia menghadirkan air yang jauh untuk mewujudkan impiannya itu agar masyarakat Sumba Timur kembali ke alam. Bertani secara organik. Berikut petikan wawancara wartawan Pos Kupang, John Taena dengan pecinta alam yang satu ini di Desa Wunga, Kecamatan Haharu, Sumba Timur, ini Senin (9/6/2014).

SEBAGAI seorang penyiar radio, apa yang membuat Anda berpikir untuk menggali sumur bagi warga yang kesulitan air bersih secara sukarela? Padahal daerah seperti ini sejak zaman dahulu sudah terkenal tandus dan kering!

Saya seorang penyiar radio yang memiliki hobi bertani organik. Ada satu program radio yang namanya "ayo bertani organik". Acara itu banyak peminatnya, mendapat apresiasi dari pemirsa karena saya membagikan ilmu tentang pertanian organik. Sekitar pertengahan tahun 2012, saya diundang datang ke Wunga oleh seorang petani. Saya tidak pernah membayangkan kalau untuk dapat setetes air minum, masyarakat di sini harus berjalan kaki sekitar 13 kilometer. Medan yang ditempuh menuju sumber mata air harus melintasi hutan, membelah bukit di tengah padang savana bahkan warga harus memanjat tebing.

Saya sendiri sempat ikut memanjat tebing bersama anak-anak sekolah yang mengambil air. Bermula dari situ, mulailah saya berpikir bagaimana caranya menghadirkan sebuah sumur yang bisa dijangkau oleh warga dengan mudah. Perjuangan berat dari anakanak untuk mendapat air minum itu saya abadikan dalam bentuk video dan foto. Sebenarnya hanya untuk konsumsi pribadi. Setelah pulang, sampai di rumah, saya upload ke akun facebook dengan sedikit catatan yang mengisahkan perjuangan anakanak desa demi setetes air minum.

Postingan di akun facebook itu akhiranya menarik perhatian teman-teman kuliah dulu. Mereka sekarang sudah berkarya di mana -mana, bahkan ada yang di luar negeri. Kepada mereka, saya ceritakan semua tentang kondisi dan tingkat kesulitan air bersih yang dialami oleh masyarakat di desa ini, dan akhirnya muncul ide untuk mengumpulkan dana secara sukarela. 

Sumbangan dari temanteman kemudian saya coba membuat sumur di sekitar permukiman warga. Waktu itu sempat putus asa. Karena setelah cari informasi, biaya untuk satu buah sumur bor bisa ratusan juta, sementara dana yang terkumpul hanya sedikit. Tapi demi masyarakat di desa ini, saya tetap meyakinkan diri. 

Kebetulan ada orang yang bisa cari sumber mata air dengan teknologi sederhana. Kami bukan orang pertama yang berupaya membuat sumur di situ. Sebelumnya sudah ada beberapa pihak yang berusaha hasilnya nihil. Kami hanya menggunakan metode manual, gali dengan pahat dan hamar itu sangat tidak mungkin. Walaupun sempat putus asa, saya tetap meyakinkan diri untuk melakukan itu. Dana yang ada waktu itu tidak sampai Rp 20-an juta. Saya bayar tiga orang tenaga penggali sumur. Peralatan mereka itu hanya pahat, linggis dan hamar. 

Akhirnya pada kedalaman 24 meter, bisa temukan sumber air. Pengalaman pada tahun 2012 itu, terus kami lakukan di daerah yang kesulitan air bersih. Sekarang sudah 18 buah sumur bor dan tersebar di lima desa di Kecamatan Haharu.

Sekarang sudah ada beberapa titik sumur. Ratarata untuk mendapat air, sumur yang digali itu berapa meter?

Sebelumnya warga harus menempuh medan yang terjal dan sulit untuk mendapat air, sekarang tinggal berjalan berapa meter sudah sampai di sumur. Khusus untuk Desa Wunga kita buat dua buah sumur. Satunya di Wunga Barat, dalamnya 37 meter, di Wunga Timur, 24 meter. Debit air yang keluar dari kedua sumur ini cukup banyak sehingga bisa memenuhi kebutuhan air bersih bagi sekitar 1.700 jiwa warga desa ini.

Biasanya setiap dua minggu, saya berkunjung ke masyarakat di desa ini. Tujuan ke sini untuk melakukan pendampingan kelompok tani organik. Saya ajarkan cara bertani organik yang baik dan benar kepada mereka. Anggota kelompok tani yang dibina itu kebanyakan ibu rumah tangga yang rumahnya tidak terlalu jauh dari sumur. 

Jenis-jenis tanaman yang biasanya dikembangkan oleh kelompok tani pada musim panas seperti ini adalah pakcoy, kol, bunga kol, pitsai, tomat, timun, lettuce, terong, kangkung, bayam dan beberapa jenis sayuran hijau. Jenis penyakit atau hama yang biasa menyerang tanaman, khusus untuk sayur itu ada ulat, lalat buah, pemakan daun jamur. 

Cara mengatasinya dengan pestisida nabati. Untuk membuat pestisida nabati bahan-bahannya kita ambil dari alam sekitar seperti, menggunakan daun gamal, mahoni, daun sirsak daun tembakau dan bawang putih. Prosesnya, selain tembakau ditumbuk lalu dicampurkan dengan air sesuai kebutuhan dan didiamkan selama satu malam. Kemudian diperas dan disaring lalu airnya diambil. 

Sedangkan untuk tembakau dimasak sampai mendidih dengan air sesuai kebutuhan kemudian didinginkan selama satu malam kemudian disaring dan diambil hasil saringan airnya. Setelah disaring, lalu dicampur dengan air secukupnya baru disemprotkan ke tanaman yang diserang penyakit. Kita menerapkan pola pertanian organik di mana semua bahan yang dimanfaatkan diambil dari lingkungan sekitar tanpa harus merusak alam.

Bagaimana bisa seseorang dengan disiplin ilmu sebagai apoteker bisa mengkampanyekan pertanian organik. Apa motivasinya?

Memang benar, ketika di bangku kuliah tidak pernah belajar tentang ilmu pertanian organik. Sama seperti profesi saya yang sekarang sebagai penyiar radio, juga tidak pernah diperoleh di bangku kuliah. Semua itu bisa kita lakukan dalam hidup, kalau ada tekad dan kemauan dari dalam diri. Saya adalah seorang apoteker, saya tahu betul akan bahaya dari bahan kimia bagi tubuh makluk hidup. Itu alasan paling mendasar kenapa saya menggerakkan pertanian organik. 

Motivasinya sederhana, hanya menginginkan agar masyarakat di sekitar lingkungan saya sehat dan umur panjang. Tidak tergantung pada bahan kimia dan tidak merusak lingkungan alam. Dulu setelah tamat kuliah, saya bekerja sebagai seorang apoteker di beberapa tempat dan terakhir di Rumah Sakit Kristen Lindimara. 

Sebagai seorang apoteker tentunya berurusan dengan bahan kimia. Bahan kimia sangat berpengaruh dan berbahaya terhadap tubuh kita. Alasan itulah yang membuat saya beralih menjadi penyiar radio sejak pada tahun 2005 sampai sekarang. Sementara motivasi untuk menggerakkan pertanian organik, hanya mau mengajak masyarakat untuk membudayakan pola hidup sehat dan menjaga lingkungan hidup. 

Wilayah Sumba Timur lebih banyak terdiri padang savana. Alam sekitar terlihat tandus dan kering, belum lagi ada aksi bakarbakar oleh oknum tidak bertanggung jawab. Sangat memrihatinkan. Sampai sekarang sudah lebih dari 1.000 petani yang saya ajak untuk bertani secara organik. Selain sehat, petani juga bisa meningkatkan hasil produksi mereka. 

Bersama para petani selama ini, kami coba untuk mewarnai padang savana Sumba Timur lewat tanaman agar sedikit terlihat hijau di kebun. Saya selalu katakan kepada mereka, bumi kita hanya satu. Kalau kita kasih rusak dengan bahan kimia, nanti ke mana anak cucu kita?

Kapan Anda mulai menggalakkan pertanian organik di Sumba Timur?

Ide untuk mengkampanyekan pertanian organik itu dimulai tahun 2011. Waktu itu saya menjadi salah satu peserta sekolah lapang pertanian organik yang diselenggakan oleh Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Instrukturnya itu salah satu petani yang didatangkan dari Bandung. Sebagai petani, kita diajarkan untuk memelihara dan melestarikan lingkungan. Pupuk yang digunakan diambil dari bahan yang sudah ada di sekitar alam seperti tumbuhan, kotoran ternak, juga manusia. 

Semua itu dicampur dengan takaran tertentu untuk menghasilkan pupuk dengan kualitas dan kuantitas tertentu pula. Saat itu kita belajar menjadi seorang petani peneliti, pengamat dan pemimpin di lahan kita sendiri. Misalnya, tanaman padi di sawah, sejak hari pertama disemaikan, kita sudah melakukan penelitian dan pengamatan hingga masa panen. 

Setiap hari kita mengikuti perkembangan tanaman. Tanaman biasanya diserang wereng, penggerek batang dan walang sangit. Cara mengatasinya sama, kita menggunakan pestida nabati sama seperti pada tanaman sayur. 

Kita tidak perlu membeli obat dan pupuk kimia dari toko, tapi tinggal mengambil dari alam dan meramu sendiri, kemudian dipakai. Hasil panen biasanya rata - rata tiga ton per hektar bisa meningkat hingga tujuh, bahkan sampai 10 ton. Pola bertani organik ini yang belum diketahui oleh para petani di Sumba Timur, makanya saya terus mengkampanyekannya.

Selama beberapa tahun terakhir ini, sudah berapa banyak petani yang berhasil diajak untuk menerapkan pola pertanian organik?

Belum terlalu banyak. Baru sekitar 15 kelompok. Setiap kelompok rata-rata 15-20 anggota. Kebanyakan adalah kelompok ibuibu. Ada yang tanam padi, ada juga yang tanam sayur. Bisa diceritakan bagaimana pembuatan pupuk cair organik (NPK cair) dan pupuk padat atau kompos, dari mana bahan bakunya? Bahan bakunya saya ambil dari kandang babi. Kebetulan pola beternak babi yang diterapkan masyarakat saya ini masih tradisional. 

Mereka tidak menyediakan kandang. Padahal kalau beternak babi secara baik dan benar, manfaat dan keuntungannya sangat banyak. Bukan hanya ternaknya saja yang bisa dijual supaya dapat uang. Kotoran ternak babi yang dikandang itu sebenaranya menyimpan kekayaan dan potensi yang besar jika diolah dengan baik. 

Keuntungan yang pertama itu, sebagai pengganti bahan bakar jenis fosil yang ramah lingkungan. Kotoran ternak babi itu mengandung gas metan, jadi bisa digunakan untuk menggantikan minyak tanah di dalam dapur. Prosesnya itu, gas metan yang dihasilkan oleh kotoran ternak babi kita jebak dengan teknologi sederhana. Kemudian ditampung dalam bak atau degester dan didesain berbentuk kubangan. Tujuannya agar lebih memudahkan tekanan gas metan sehhingga bisa dialirkan ke kompor biogas.

Besar kecilnya ukuran sebuah degester, akan menentukan kapasitas gas metan yang dapat ditangkap. Semakin besar degester, kapasitas gas metan semakin banyak, mampu menggerakkan sebuah mesin generator listrik. 

Pola seperti ini juga sudah diajarkan. Pola beternak seperti ini juga memudahkan peternak dalam mengontrol kesehatan dan menampung kotoran ternak. Sejauh ini sudah ada sekitar 100 kepala rumah tangga di sekitar Waingapu yang menerapkannya.

Ketika kandang ternak dibangun, ada beberapa point penting yang perlu diperhatikan. Misalnya, tingkat kemiringan lantainya sekitar 15-20 derajat. Kandang ternak untuk biogas perlu dilengkapi dengan saluran air atau got dengan ukuran sekitar 20-30 cm. Dengan demikian kotoran ternak babi yang padat maupun cair, mengalir lancar ke tempat saringan sebelum masuk ke dalam degester. 

Nah saringan yang dibuat juga lingkaran dengan ukuran sekitar 70-80 cm. Setiap kali mencuci kandang, kotoran ternak dalam bentuk cair maupun padat akan diarahkan dan dimasukkan ke dalam degester lewat saringan itu akan memroduksi gas metan.

Ketika sudah berada di dalam degester, gas yang bersumber dari kotoran ternak dan air itu ditangkap. Setelah gas metan dari kotoran ternak dan air dijebak, maka akan ada tekanan yang mendorong semua limbah ke luar dari degester.

Untuk menampung limbah yang bisa diolah lagi menjadi pupuk cair organik (NPK cair organik) dan kompos disediakanlah sebuah bak penampung terakhir. Limbah yang sudah tidak memiliki gas dari degester, juga mengandung unsur makanan yang berfungsi untuk penggemukan ikan lele. Sementara untuk memanfaatkan gas metan, dipakai lagi sebatang pipa yang alirkan menuju kompor biogas di dalam dapur. 

Proses pembuatan pupuk cair organik (NPK cair organik) dan kompos, dari limbahnya cukup ditambahkan beberapa bahan seperti mikro organisme lokal (mol). Kemudian dicampur dengan gula secukupnya dan buah-buahan yang sudah membusuk. 

Langkah terakhir adalah difermentasi selama tiga minggu dan akan menghasilkan pupuk organik cair. Fungsi dari pupuk NPK cair organik ini merangsang buah tanaman. Sementara pupuk kompos berfungsi menggemburkan tanah, juga sebagai sumber pakan bagi tanaman.

Berapa ekor ternak babi yang Anda pelihara saat ini, dan berapa liter pupuk cair organik serta berapa ton pupuk kompos yang bisa diproduksi dari limbah kotorannya setiap tahun?

Sejauh ini saya pelihara sekitar 15 ekor ternak babi. Kalau produksi pupuk organik dari limbahnya itu rata - rata per tahun bisa mencapai 10 ton pupuk biosluri padat. Sementara untuk biosluri cair bisa mencapai 25 sampai 30 ribu liter per tahun. 

Pupuk padat (kompos) biosluri selama ini saya belum jual dan biasanya dibagi gratis kepada anggota kelompok tani binaan kami. Kalau pupuk cair organik (NPK cair organik ) itu yang saya jual per liter Rp 25 ribu. Anggota kelompok tani yang kami bina selama ini juga diajarkan bagaimana membuat pupuk kompos maupun cair. 

Kita harapkan ke depan mereka sudah bisa mandiri dan tidak terus bergantung untuk membeli pupuk dari pabrik. Hanya satu kendala yang sampai sekarang masih kami alami itu bagaimana membangun kandang bagi keluarga para petani. Kendalanya itu adalah dana, karena untuk membangun kandang ternak yang bisa dimanfaat sebagai biogas, biayanya sangat mahal.

Selain membeli bahan juga tenaga ahli untuk membangun kandangnya itu butuh biaya besar. Kami belum mampu untuk bisa menyediakan kandang biogas bagi mereka. Apa manfaat kandang biogas? Manfaat dari sebuah kandang biogas sangat besar. Selain kita bisa menjaga dan meningkatkan produksi ternak, kita juga bisa memproduksi pupuk organik dan juga memakai kompor  biogas. 

Jadi, kalau sudah memakai kompor biogas, kita bisa menekan polusi udara dan pencemaran lingkungan. Kalau mau dibilang, sejak tahun 2011 sejak menggunakan kompor biogas bisa menekan biaya untuk beli bahan bakar. Saya juga bisa ikut mengkampanyekan pemanasan global  dari dalam dapur. (jet)

DATA DIRI   
Nama  Heinrich Dominggus Dengi, S.Si, Apt. (44)  
Lahir  Waingapu, Sumba Timur, 22 Juni 1970
Sekolah Dasar Masehi (SDM) Payeti 1 (1982)
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kristen Payeti (1985) 
Sekolah Mengah Atas (SMA) Negeri 1 Waingapu (1988)   
Universitas Airlangga Surabaya (1999)
Karier:  
Apoteker Pembantu di Apotek Zecntrum 2 Surabaya (2000)
Apoteker Pengelola Apotek Zecntrum 3, Sidoarjo (2000)
Pengelola Kamar Obat RSK Lindimara (2001)
Apoteker Pengelola Apotik Kalu Waingapu (2003)
Dosen Tidak Tetap di Akademi Perawat Kupang Prodi Waingapu    (2003-2005)
Penyiar/Jurnalis Radio Max FM Waingapu (2005-2014)
Pembina Kelompok Tani Organik Sumba Timur (2012-2014) 
 Istri: Monika, S.Si, Apt, MPH (42)

Diterbitkan Pos Kupang edisi Minggu 22 Juni 2014 halaman 2


Sunday 20 July 2014

Perdes Peselingkuhan Praipaha ; Dua Kali Selingkuh, Dua Kali Didenda Adat

Dua Kali Selingkuh, Dua Kali Didenda Adat
POS KUPANG/JOHN TAENA
Pulu Ndjurumana                                                                                                                                   
Laporan Wartawan Pos Kupang, John Taena


POS KUPANG.COM, WAINGAPU --  Pulu Ndjurumana (51), tokoh masyarakat Desa Praipaha, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur merupakan salah satu dari sekian banyak orang pernah melakukan perselingkuhan.
Ditemui Pos Kupang di rumah Kepala Desa Praipaha, Andreas Behar Tongu Angu (40), Jumat  (13/3/2014) siang, Pulu Ndjurumana mengaku pernah melakukan perselingkuhan. Alasannya sederhana, ia tidak bisa mengendalikan diri sebagai manusia biasa ketika didekati oleh kaum perempuan.
Pulu Ndjurumana yang dikenal sebagai Wunang atau juru bicara di desa itu mengatakan, "Wunang itu adalah orang yang kaya bahasa. Jadi mungkin perempuan merasa tertarik saat ada acara adat dan saya sebagai Wunang saling berbalas pantun," ujar lelaki paruh baya itu
Pulu menceritakan, kurang lebih  dua kali ia  didenda adat karena tertangkap basah melakukan perselingkuhan. Kasus pertama terjadi sebelum  Peraturan Desa (Perdes) Perselingkuhan diterbitkan. Kasus kedua terjadi setelah Perdes Perselingkuhan diterbitkan tahun 2008. "Sebelum ada Perdes, saya pernah didenda satu ekor kuda dan satu ekor babi karena kasus perselingkuhan," ujarnya.
Sebagai seorang manusia biasa, demikian Pulu, ia menyadari perbuatan itu merupakan sesuatu yang tidak terpuji, apalagi dilakukan oleh seorang tokoh adat. Namun keanggunan dirinya saat memakai pakaian adat kebesaran, kelihaiannya memaikan pantun-pantun dalam setiap ritual adat sebagai Wunang, tidak bisa disangkal lagi memikat hati wanita sekampung. Akibatnya, tak jarang juga kaum perempuan yang menaruh hati dan menggoda dirinya  untuk berselingkuh.
Hal ini dibenarkan oleh Kepala Urusan (Kaur) Pembangunan, Anton Hunga Way (39) dan Kepala Desa (Kades) Praipaha, Andreas Behar Tongu Angu (40).  Keduanya mengatakan, kasus perselingkuhan kedua yang dilakukan oleh salah satu tokoh adat d desa itu terjadi setelah Perdes Perselingkuhan diterbitkan.
Anton dan Andreas menjelaskan, salah satu tokoh masyarakat yang dikenal pandai memainkan kata-kata bisa jadi penyebab terlibat perselingkuhan. "Biar sudah tua tapi bisa jadi karena sebagai Wunang, beliau inikan pandai memainkan kata puitis dan pantun.  Jadi banyak perempuan yang tertarik," kata Anton.
Kepala Desa Praipaha, Andreas Behar Tongu Angu (40) mengatakan, ketika terlibat kasus perselingkuhan untuk kedua kalinya itu, pelaku ditindak sesuai peraturan desa yang telah ditetapkan  bersama.
Saat itu, lanjut Andreas, pelaku dikenakan denda uang Rp 250 ribu, satu ekor kuda dan satu ekor kerbau. "Itu kejadian saat saya masih menjadi Sekretaris Desa Praipaha. Sekarang beliau sudah bertobat karena diangkat menjadi anggota badan pertimbangan desa. Tugas mereka membantu memberikan pertimbangan untuk menyelesaikan setiap kasus yang terjadi di desa kami ini," kata Andreas.*

sumber ; http://kupang.tribunnews.com/2014/04/17/dua-kali-selingkuh-dua-kali-didensa-adat

Perdes Peselingkuhan Praipaha ; Dua Kali Selingkuh, Hukumannya Jadi Saudara

Dua Kali Selingkuh, Hukumannya Jadi Saudara
POS KUPANG/JOHN TAENA
Inilah akses jalan masuk menuju Desa Praipaha
Laporan Wartawan Pos Kupang, John Taena


POS KUPANG.COM -- Perdes Perselingkuhan di Desa Praipaha, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Sumba Timur merupakan produk hukum yang telah diterbitkan sejak tahun 2008. Hal ini disebabkan, tahun - tahun sebelumnnya terjadi banyak kasus perselingkuhan antar warga yang sering ditangani oleh aparatur pemerintahan desa bersama warga dan para tokoh masyarakat.
"Sebelum ada Perdes Perselingkuhan, cukup banyak orang yang berselingkuh. Setelah ada Perdes, sejak tahun 2008 hingga sekarang baru dua kali. Mereka juga tidak berani melakukan selingkuh untuk ke dua kalinya, karena kalau dua kali berselingkuh berarti mereka harus bersaudara," jelas Kepala Desa Praipaha, Andreas Behar Tongu Angu belum lama ini.
Sebelum diterbitkan Perdes Perselingkuhan, demikian Andreas, biasanya warga yang tertangkap berselingkuh akan dikenakan denda berupa satu ekor kuda dan satu ekor babi bahkan lebih. Namun, sanksi yang diberikan tersebut tidak menyurutkan keinginan sejumlah oknum untuk melakukan perselingkuhan meskipun dirasa sudah cukup berat.
"Sebetulnya kalau mau dilihat, hanya karena keinginan saja dari para pelaku untuk selingkuh. Kalau mau dibilang pengaruh tehnologi juga tidak karena desa jauh dari kota dan sentuhan informasi juga tehnologi," ujarnya.

Salah satu kelemahan sebelum ada perdes, kata Andreas, sanksi bagi para pelaku ringan. Hal ini menyebabkan para pelaku perselingkuhan tetap nekat melakukan perbuatan mereka. Namun setelah disepakati bersama dalam musyawarah, warga sadar dan enggan berselingkuh. Pasalnya, para tokoh pemerintah bersama seluruh elemen masyarakat terus melakukan sosialisasi Perdes tersebut untuk membangkitkan kesadaran warga.
"Kalau mau dilihat dari denda yang diberikan tetap sama seperti yang sebelumnya, tapi letak perbedaan itu adalah ritualnya. Kalau undang-undang, masyarakat tidak mengerti, tapi  ritual adat dalam penanganan kasus perselingkuhan orang cepat sadar. Apalagi kalau selingkuh untuk ke dua kali oleh orang yang sama, ritual adatnya  lebih berat dan itu lebih efektif, " jelas Andreas.
Biasanya, kata Andreas, denda berupa ternak kuda diberikan kepada keluarga besar pihak perempuan. Ternak kuda itu sebagai simbol untuk membuktikan bahwa pelaku telah dikenakan sanksi atas perbuatannya. Sementara ternak babi akan dikorbankan dan disantap bersama oleh warga. Namun sebelum disembelih, ternak babi terlebih dahulu didoakan kepada para leluhur sebagai penguasa alam semesta.
Ternak babi yang sembelih, demikian Andreas, sebagai simbol yang menandakan perbuatan kedua belah pihak ditanggung oleh ternak itu. "Misalkan ada uang senilai Rp 10 ribu akan menjadi bukti dari para pelaku untuk berjanji. Mereka mengatakan bahwa saya bertobat dan tidak akan melakukan perbuatan ini lagi dalam bahasa dan ritual adat," katanya.
Jika dalam perjalanan, para pelaku yang sudah pernah bersumpah di hadapan tetua adat kembali melakukan perselingkuhan, kata Andreas,  sanksinya dilipatgandakan. Sanksi itu dikenakan kepada  perempuan dan laki-laki.
Selain itu, lanjutnya, pihak perempuan juga diwajibkan untuk menyediakan sehelai kain. "Kain itu simbol untuk mengikat kedua belah pihak sebagai saudara. Mereka akan dianggap menjadi saudara kandung lewat ritual adat. Jadi, kalau sudah seperti itu tidak mungkin ulang lagi karena akan berurusan dengan alam," kata Andreas.*

sumber ; http://kupang.tribunnews.com/2014/04/17/dua-kali-selingkuh-hukumannya-jadi-saudara

Perdes Peselingkuhan Praipaha ; Urusan Perselingkuhan Rumit

Urusan Perselingkuhan Rumit
POS KUPANG/JOHN TAENA
Inilah Kantor Desa Praipaha, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur.
Laporan Wartawan Pos Kupang, John Taena

POS KUPANG.COM -- Untuk membuktikan dan memutuskan satu  perkara di negara ini selalu mengacu pada aturan hukum yang berlaku. Hal ini tentunya tidak terlepas dari barang bukti dan keterangan saksi-saksi sebelum pihak yang berwewenang menindak seorang pelaku pelanggar hukum. Hal ini biasanya diberikan kepada para pelaku kriminal, pidana umum dan pidana khusus.
"Pengalaman kami, pernah ada satu kasus perselingkuhan yang terjadi di sini. Semua cara sudah ditempuh, tapi tidak menemui jalan keluar. Akhirnya kami di tingkat desa menyerah dan melimpahkan kepada pihak kepolisian, tapi hasilnya sama juga, tidak bisa diselesaikan karena bukti tidak kuat dan kembalikan lagi ke desa. Jadi, masalah perselingkuhan ini urusannya rumit. Bahkan tidak bisa diselesaikan secara hukum," kata Kepala Desa Praipaha, Andreas Behar Tongu Angu, ditemui Pos Kupang di kediamannya, beberapa waktu lalu.
Ketika kasus perselingkuhan tersebut dikembalikan oleh pihak berwajib untuk diselesaikan secara kekeluargaan, para tokoh masyarakat, adat, agama dan pemerintahan di  desa kewalahan. Hal ini disebabkan, kedua pelaku perselingkuhan yang telah memiliki pasangan masing - masing bersikukuh untuk hidup bersama.
"Sementara tingkat kekerabatan dan kekeluargaan di desa kami sangat erat. Pihak keluarga besar ke dua pelaku itu setiap saat kita ketemu. Akibatnya roda pemerintahan desa tidak bisa berjalan kasus perselingkuhan ini masih gantung itu," kata Andreas.
Beranjak dari pengalaman tersebut, lanjut Andreas, seluruh warga bersama pemerintah desa setempat menggelar rapat. Tujuan rapat untuk mencapai mufakat menangani kasus perselingkuhan. Rapat melahirkan Peraturan Desa (Perdes) Perselingkuhan.
"Undang - undang tidak bisa mengatasi kasus perselingkuhan, makanya kami menerbitkan Perdes Perselingkuhan sejak tahun 2008," ujarnya.
Perdes
Perselingkuhan, lanjutnya, bertujuan untuk mencegah dan meminimalisir kasus perselingkuhan. Pasalnya, dampak dari adanya kasus perselingkuhan sering menimbulkan persoalan dalam lingkungan masyarakat. Tak jarang kasus - kasus demikian mengancam keharmonisan warga setempat yang memiliki rasa kekeluargaan cukup tinggi.
"Kalau mau dikatakan marak, saya kira tidak juga. Tetapi memang sering terjadi kasus perselingkuhan. Sekarang sudah nyaris tidak ada lagi kasus - kasus sepereti itu. Dibandingkan sebelum ada Perdes, kami aparat pemerintah desa dan para tokoh kewahalan. Cukup banyak kasus perselingkuhan yang terjadi waktu itu, bahkan ada orang yang mengulangi perselingkuhannya dengan perempuan yang sama sampai tiga kali," kata Andreas.*

sumber ; http://kupang.tribunnews.com/2014/04/17/urusan-perselingkuhan-rumit

Friday 18 July 2014

Manusia dan Ternak Rebutan Air Minum


"HARI ini mau makan siapa?" Bagi para pemegang kekuasaan, berpikir demikian sudah tentu untuk tetap menempati kursi empuknya.

Namun warga kampung Geo Olo, Desa Gerodhere, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, setiap hari masih berpikir, "Hari ini mau minum apa?" Apa lagi pada musim kemarau panjang. Untuk mendapatkan setetes air minum, warga terpaksa berebutan dengan ternak di lokasi sumber air.


Kampung Geo Olo terletak di atas sebuah bukit yang berjarak sekitar 30 km dari Kota Mbay, Ibu Kota Kabupaten Nagekeo. Untuk mencapai lokasi tersebut, membutuhkan waktu kurang lebih empat jam. Dari pusat Desa Gerodhere harus berjalan kaki sekitar tiga jam untuk menempuh jarak 5 kilometer agar sampai di kampung ini. Waktu perjalanan cukup lama karena harus melalui jalan menanjak dan berlumpur. Selain itu, terdapat beberapa kali yang harus diseberangi.

Dari ketinggian bukit kampung Geo Olo, dapat disaksikan pemandangan indah dari berbagai penjuru. Meski demikian, tanah Geo Olo, yang tandus dan kurang subur, menjadi lokasi pilihan untuk bermukim bagi 13 kepala keluarga (KK). Mereka merupakan sekelompok masyarakat yang enggan untuk meninggalkan tanah leluhur. Meskipun pergulatan hidup kian hari kian keras dan menantang.

Kurang lebih terdapat 80 jiwa yang bermukim di kampung Geo Olo. Sebuah kampung yang hingga saat ini masih terisolir dan jauh dari sentuhan pembangunan. Akses transportasi dan pembangunan lainnya belum mereka nikmati. Tak jarang pada musim kemarau panjang, mereka membawa bekal dan mengantre sepanjang hari untuk mendapatkan
setetes air minum.

Berdasarkan hasil analisis kesejahteraan partisipatif (AKP), warga setempat masih hidup di bawah garis kemiskinan atau sangat miskin.

Hal ini dikatakan oleh tiga orang warga setempat, masing-masing Kosmas Djawa (tokoh masyarakat setempat), Rafael Bhia (Ketua RT 13) dan Hermanus Laki (Kepala Desa Gerodhere).

Mereka mengatakan, kesulitan terbesar yang dihadapi
warga setempat adalah air minum. "Kadang-kadang terjadi konflik di antara warga yang mengantre di lokasi sumber air untuk mendapatkan air minum," kata Laki.

Musim kemarau biasanya terjadi mulai bulan Juni hingga akhir Desember. Warga setempat biasanya antre sejak pukul 04.00 Wita di lokasi sumber air yang berjarak sekitar 5 km dari pusat permukiman.

Selain itu, debit air yang ada tidak besar. "Kalau kami antre dari dini hari biasanya sampai jam 12 siang baru dapat jatah air minum. Itu pun hanya mendapat sekitar 20 liter," sambung Laki.
Tak jarang sejumlah warga yang tidak mendapat air minum memilih untuk bermalam di sekitar lokasi sumber air. Hal ini terpaksa dilakukan demi dapat menampung air minum untuk dibawa kembali ke rumah.

Dikisahkan Rafel Bhia, Ketua RT setempat, terkadang air yang sudah ditampung oleh warga menunggu sejak malam hari dicuri sesama warga lainnya. "Kalau sudah seperti itu, konflik dan perkelahian di antara mereka tidak terelakkan," sambung Kosmas Djawa.

Mereka mengatakan, untuk mendapatkan air bersih yang bisa dikonsumsi saja sudah sulit sekali, apalagi kebutuhan rumah tangga yang lain tentunya tidak terpenuhi. Dari debit air yang tersedia pada musim kemarau tersebut, warga hanya bisa menggunakannya untuk konsumsi.

"Hanya untuk minum saja, sudah kesulitan sekali. Bagaimana mau mandi. Apalagi untuk kebutuhan lainnya, tentu kami tidak bisa penuhi. Kasarnya kami di sini rebutan air minum dengan ternak," kata mereka. (John Taena)


Pos Kupang edisi Sabtu, 27 Maret 2010 halaman 5

Maronggela yang Jauh


SATU-PERSATU lubang yang menghiasi jalanan terus dilewati. Demikian pula kilometer demi kilometer dilalui sejak pagi. Kampung demi kampung penduduk terus dijumpai sepanjang perjalanan. Kurang lebih sudah 60 kilometer perjalanan.

"Kuda besi" yang saya tumpangi juga sudah dua kali diisi bahan bakar, namun tujuan perjalanan ini pun belum tercapai. Tiba-tiba kuda besi tadi terasa oleng dan hampir keluar dari bahu jalan. Ternyata bannya gembos lagi.

Kendaraan ini sepertinya sudah menyerah karena medan yang cukup berat dan kurang bersahabat ini. Terpaksa saya harus turun dan mendorong kendaraan untuk mencari bengkel yang paling dekat.



Usai membetulkan ban "kuda besi" perjalanan menuju Maronggela, Kecamatan Riung Barat, Kabupaten Ngada, dilanjutkan. Kurang lebih 75 kilometer perjalanan yang ditempuh dengan waktu tiga jam. 

Apabila menggunakan kendaraan umum membutuhkan waktu 
lima hingga enam jam. Jarak 75 kilometer, bila dibandingkan dengan jalan di jalur negara, hanya membutuhkan waktu satu setengah sampai dua jam.

Mengapa jalan menuju pusat kecamatan harus seperti ini? Jawabannya tidak lain karena kondisi jalan yang kurang mendapat perhatian. Banyak lubang dan batuan lepas serta jalur yang sempit membuat setiap pengendara harus ekstra hati-hati. Dari kejauhan tampak sebuah tower. Di tempat itulah letak ibu kota kecamatan dengan enam desa ini. Maronggela. Kota tersebut dikenal sebagai salah satu ibu kota kecamatan tanpa listrik.

Listrik sebagai motor penggerak pelayanan kesehatan di lokasi itu belum ada. Bagaimana peralatan kesehatan yang membutuhkan daya listrik untuk dioperasikan? Jawabannya tentu tidak dapat difungsikan dan hanya sebagai pajangan yang akhirnya masuk museum gudang puskesmas itu.

Dijelaskan Alexander Songkares, Kepala Desa Ria, Kecamatan Riung Barat, bukan sebatas itu saja fasilitas umum yang belum tersedia di daerah itu. Wilayah Kecamatan Ruing Barat dengan enam desa dan jumlah penduduk 8.425 jiwa atau 1.718 kepala keluarga (KK) ini selalu dilanda kekeringan. Akibatnya warga di wilayah itu sering kekurangan air bersih.

Hal ini mengakibatkan kebersihan lingkungan tidak diperhatikan dan rawan terhadap berbagai jenis penyakit menular.


Daerah tersebut masih jauh dari sentuhan pembangunan. Untuk menjangkau ibukota kabupaten dan kembali ke daerah itu, warga membutuhkan satu hari perjalanan. Hal ini disebabkan pembangunan jalan raya dan akses transportasi belum diperhatikan. 

Selain itu, listrik dan kebutuhan air bersih yang berpengaruh terhadap kesehatan warga juga belum mendapat perhatian serius.

Dia menambahkan, pola hidup sehat warga setempat belum teratur. Menurutnya, selama ini kebanyakan warga tidak menggunakan jamban untuk buang air besar (BAB) dan lebih sering ke semak belukar. 

"Warga di sini sering BABS (buang air besar sembarang, Red) karena tidak ada stok air bersih yang cukup. Jangankan untuk BAB, untuk minum saja susah sekali," kata Songkares.
Hal senada dikatakan salah seorang petugas kesehatan, 

Agustinus Ceme, SKM. Dia mengisahkan rata-rata setiap KK di dearah tersebut belum memanfaatkan jamban. Hal ini bukan karena warga tidak memiliki kesadaran, namun kekurangan air bersih. 

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, terkadang warga harus mengonsumsi air kali yang tidak bersih. (John Taena)

Pos Kupang Sabtu 20 November 2010 halaman 5

Bukan Orang Sumba Kalau Tidak Ada Ternak

Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu. Aneh, aku jadi ingat pada Umbu. Rinduku pada Sumba adalah rindu padang – padang terbuka. Di mana matahari membusur api di atas sana. Rinduku pada Sumba adalah rindu, peternak perjaka. Bila mana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga.”

“Beri Daku Sumba” demikian sebuah Puisi karya Sang penyair negeri ini, Taufik Ismail, ditulis pada tahun 1970 yang terdiri dari enam bait. Konon kabarnya, puisi tersebut terinpirasi dari sebuah obrolan singkat bersama seorang putra dari Negeri 1001 padang savanna yang berprofesi sebagai seniman plus wartawan, Umbu Landu Paranggi di tahun 1960. Sebagai seorang putra desa, Umbu menceritakan keindahan dan keelokan yang dimiliki alam Sumba.

Sebuah negeri dengan padang rumputnya, pantai dan laut serta peternakan kudanya. Sekalipun Umbu menceriterakan bagaimana matahari terbit dan terbenam di negerinya Sumba, dan sanak saudaranya yang kerap menghabiskan malam berkumpul dengan sesama, makan dan bernyanyi diiringi petikan gitar namun ada yang lebih menarik bagi Taufik. Sang penyair yang juga berprofesi sebagai dokter hewan, ternyata lebih tertarik akan kuda Sumba dari cerita Umbu.

Tatkala menuliskan kekayaan alam di negeri 1001 padang savanna ini, Taufiq Ismail belum pernah menapakan kakinya di salah satu pulau dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang memiliki luas sekitar 10.710 kilometer persegi ini. Meskipun hanya mendengar ceritanya Umbu, namaun Ia mampu menggambarkan kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri padang savanna, Pulau Sumba. Bukan hanya pemandangan alamnya yang mampu memikat pandangan mata setiap orang. Para gembala ternak kuda sandelwood, kerbau dan sapi Sumba Ongole (SO) melengkapi indahnya alam setempat.

Sejak zaman penjajahan Belanda, potensi alam yang dimiliki oleh Pulau Sumba sudah dikenal sebagai gudang ternak. Sekitar tahun 1815, bangsa penjajah inipun tak segan – segannya mendatangkan kurang lebih 600 ekor sapi ongole dari India. Ternak – ternak itu kemudian dikembangkan di padang savanna yang seluas mata memandang itu. Seirima dalam perjalanan waktu hingga saat ini, didukung kekayaan alamnya membuat ratusan sapi ongole itu terus berkembang dan beranak pinak hingga memadati padang savanna sekarang.

***

1371135443187489296
Kotoran ternak padat maupun cair, saat dialirkan ke tempat saringan yang dibuat lingkaran dengan ukuran sekitar 70 hingga 80 cm, selanjutnya akan masuk ke degester dan menghasilkan gas metan.

Tidak memiliki ternak, berarti anda bukanlah orang Sumba. Ungkapan demikian memang sudah berlaku umum dan menjadi bagian bdalam kebudayaan warga seluruh warga Kabupaten Sumba Timur. Padang savanna dan berbukit yang mendominasi luas territorial wilayah tersebut, membentuk mental dan karakter orang – orangnya menjadi menjadi peternak.

Ternak kecil hingga besar seakan tidak dapat dipisahkan lagi dalam kehidupan warga setempat. Jenis – jenis ternak yang biasanya dipelihara dan dikembang orang Sumba antara lain, Babi, Kambing, Domba, Sapi Sumba Ongole (SO), Kerbau dan Kuda Sandlewood akan akrab dan selalu hadir dalam keseharian warga setempat. Selain memiliki nilai ekonomis untuk meningkatkan status social seseorang dalam lingkungan masyarakat, ternak juga memiliki nilai budaya yang tinggi dalam adat istiadat warga setempat terutama Babi.

Beternak babi dengan berbagai pola, akan selalu dimiliki orang setiap kepala keluarga (KK) di sekitar pekarangan rumah masing – masing. Babi juga boleh dikata sebagai salah satu potensi unggulan, dapat menopang dan mendukung ekonomi rumah tangga warga bila dikembangkan. Harga seekor babi dengan ukuran berat, usia dan warna bulu tertentu akan menembus angka Rp 25 hingga 30 juta perekor.

“Pesta perkawinan atau pesta adat, kedudukan social dan genggsi seseorang dapat dilihat dari ternak babi yang disembelih. Kalau berpapasan dengan ternak babi dan kerbau dijalan raya, sebaik yang ditabrak adalah kerbau ketimbang menabrak babi karena harga babi lebih dari harga kerbau,” ujar salah satu tokoh pemuda Sumba Timur, di Waingapu, Kamis (13/6/2013) Heinrich Dominggus Dengi,S.Si, Apt.

Rata – rata pola beternak di Sumba Timur, jelas Dengi, masih bersifat tradisional. Meskipun pola babi demikian kurang bagus, dan mempengaruhi kesehatan lingkungan hal itu cendrung dilakukan. Mereka lebih memilih melepaskan ternak mereka berkeliaran bebas tanpa dikandangkan. Dikatakannya, “Pola ternak secara tradiosional sama sekali tidak mendukung aspek kesehatan dan menimbulkan polusi juga tidak ekonomis.”

Seharusnya pola beternak babi yang diterapkan adalah menyediakan kandang. Beternak babi secara baik dan benar sebenarnya banyak sekali manfaat dan keuntungannya. Bukan hanya
ternaknya yang dapat dijual untuk mendulang rupiah. Kotoran dari hasil ternak tersebut menyimpan kekayaan dan potensi jika diolah dengan baik. Misalkan, sebagai pengganti bahan bakar fosil yang ramah lingkungan. “Kotoran ternak babi mengandung gas metan dan bisa digunakan untuk menggantikan minyak tanah di dalam dapur setiap KK,” jelasnya.
Kotoran hewan dalam bentuk cair maupun padat yang berhasil dimasukan ke dalam degester setiap kali mencuci kandang, akan memproduksi gas metan. Di dalam degester, gas yang bersumber dari kotoran ternak dan air akan ditangkap. Selanjutnya, melalui sebuah pipa yang telah disediakan, gas akan dialirkan menuju ke kompor biogas. Dengi mengatakan, “Gas metan bukan hanya terbentuk dari limbah ternak tapi juga dari air, itu sebabnya membersihkan kandang harus menggunakan air yang secukupnya.”

Gas metan dari kotoran ternak babi, dapat dijebak dengan membangun degester atau bak penampung kotoran ternak. Desain pembangunan degester penampung gas metan dari kotoran ternak perlu diperhatikan dan berbentuk kubangan. Tujuannya adalah memudahkan tekanan gas metan untuk dialirkan ke kompor biogas. Besar kecilnya ukuran senbuah degester menentukan kapasitas gas metan yang dapat ditangkap. Dalam kapasitas yang banyak, gas metan akan mampu menggerakan sebuah mesin generator listrik.

Para peternak dianjurkan untuk menyediakan kandang dan meninggalkan pola lama yang bersifat tradisional dalam beternak. Pola beternak seperti juga akan memudahkan peternak dalam mengontrol kesehatan dan menampung kotoran ternak. Ketika membangun sebuah kandang ternak, perlu memperhatikan tingkat kemiringan lantai yakni sekitar 15 hingga 20 derajat. Kandang ternak untuk biogas juga harus dilengkapi dengan saluran air atau got dengan ukuran sekitar 20 hingga 30 cm. “Kotoran ternak padat maupun cair, akan mengalir lancar ke tempat saringan yang dibuat lingkaran  dengan ukuran sekitar 70 hingga 80 cm, selanjutnya akan masuk ke degester,” kata pengguna biogas di Waingapu ini.


Setelah gas metan dari kotoran ternak dijebak, maka akan ada tekanan yang mendorong semua limbah ke luar degester. Bak penampung terakhir yang telah disiapkan akan menjadi tempat bagi limbah tersebut. Limbah yang sudah tidak memiliki gas dari degester, mengandung unsur makanan yang berfunsi untuk penggemukan ikan lele. Sejak dua tahun terkahir menggunakan biogas, kebutuhan minyak tanah di dapur sudah bisa diatasi.

Bukan sebatas itu saja manfaat dan keuntungan dari beternak babi. Kandungan gas metan yang telah dijebak dari degester akan menguluarkan limbah, selanjutnya tertampung dalam sebuah bak. Limbah dalam bentuk padat dan cair pada bak penampungan terakhir, bisa diolah lagi menjadi pupuk cair organic (NPK cair) dan kompos.

Dikatakan Dengi, “Saya adalah salah satu pemanfaat tehknology ramah lingkungan ramah lingkungan dari ternak babi sejak dua tahun terkahir jadi bukan sekedar ngomong. Keluarga saya pakai biogasnya untuk kebutuhan kompor di dapur, terus limbah yang diproduksi jadi pupuk juga bisa dijual dan menambah penghasilan.”

Kotoran atau limbah ternak, sebelumnya dikeluhakan tetangga yang merasa termengganggu aroma kurang sedap yang menyebabkan polusi udara tidak bermasalah lagi. Limbahnya juga bisa diproduksi jadi pupuk. “Limbahnya cukup ditambahan beberapa bahan seperti mikro organisme lokal (mol). Dicampur gula secukupnya dan buah – buahan yang sudah membusuk, kemudian difermentasi selama tiga minggu sudah bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organic cair. Fungsinya untuk merangsang buah tanaman dan sudah digunakan untuk tanaman. Sudah ada yang konsumen pupuk organic cair dan padat dari kotoran ternak saya,” tandasnya. (*)

Urine Manusia Penyubur Tanaman Ramah Lingkungan

1370970101104341296
Salah seorang peserta Sekolah Lapang Pertanian Organik (SLPO), Desa Makamenggit, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur, sedang membuat pupuk cair organic dari urine manusia yang ditampung oleh anggota keluarganya
Kurang sedap dan menjijikan. Demikian kesan dari aroma air seni atau urine bila dihirup oleh seseorang.  WC umum maupun pribadi yang jarang dibersihkan selama berhari – hari biasanya menjadi sumber polusi udara. Aromanya akan sangat menyengat hidung dan menyebabkan sesak napas yang bisa membuat manusia bisa pingsan. Hal ini yang menjadi salah satu alasan mendasar bagai manusia modern menjaga kebersihan lingkungan dan menghindar serta menjauhi lokasi pembuangan cairan tersebut.
Pada hakikatnya, cairan dari hasil sisa metabolisme yang disebut urine, tidak lagi dibutuhkan dan bermanfaat bagi tubuh. Lewat organ intim, tubuh akan mengeluarkan setiap sisa makanan dan minuman yang telah diolah. Bila terus ditampung, maka akan kehilangan kesimbangan dan tubuhpun diserang penyakit.
Bisa dibayangkan apa jadinya salah satu keluarga, menampung cairan urine atau air kemih sebanyak puluhan bahkan ratusan liter selama berhari - hari? Siapakah yang akan rela dan mau melakukannya? Jarang dan nyaris tidak ditemukan, baik dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat hal demikian. Orang tentunya tidak mau dan rela menampung urinenya, kecuali kurang waras.
Sekolah Lapang Pertanian Organik (SLPO), di Desa Makamenggit, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur, adalah sekelompok orang yang rela dan mau menampung air seni atau urine seluruh anggota keluarganya setiap hari. Jenis cairan dari hasil sisa metabolisme tubuh ini selalu ditampung dalam botol aqua setiap kali mereka kecing. Selanjutnya akan ditampung dalam jerigen bahkan beberapa drum.
Hasil tertampungan urine manusia selama berhari – hari tersebut, kemudian diolah dan diproses menjadi pupuk cair organic. Jenis pupuk cair organic yang satu itu dapat menyuburkan tanaman dan ramah lingkungan. “Urine manusia memiliki kandungan untuk menyuburkan tanaman organic dan ramah terhadap lingkungan, ” demikian pendamping SLPO Makamenggit, dari Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), Rachmat Adinata, di lokasi tersebut, Rabu (11/6/2013).
Sewaktu membuang air seni atau urine, terdapat sejumlah kandungan kimia yang diproses secara alamiah oleh tubuh manusia. Sejumlah unsur yang terdapat dalam air kemih atau urine manusia seperti Netrogen (N) , Phosfor (P), Kalium (K), Zat Besi (Fe), Magnesium dan Protein dapat menyuburkan dan merangsang pertumbuhan tanaman. “Unsur – unsur yang dibutuhkan oleh tanbanaman ini sebenarnya sudah ada dilingkungan bahkan tubuh kita. Tergangtung bagaimana kita mau mengolah dan memanfaatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup kita,” jelas Rachmat Adinata.
Proses pembuatan pupuk cair organic yang ramah lingkungan, bahan bakunya adalah urine manusia. Selain itu terdapat juga sejumlah mudah diperoleh dari alam sekitar tanpa harus mengeluarkan biaya untuk dibeli. Jenis – jenis bahan tersebut antara lain, “ Urine hewan atau ternak dan hijauan yang mengandung unsure N seperti daun gamal, lamtorogung dan batang pisang dalam jumlah tertentu sesuai kebutuhan. Bahan – bahan ini kemudian akan dicampurkan dan difermentasi dalam kurun waktu tertentu sebelum digunakan,” ujar, pendamping SLPO Makamenggit dari  IPPHTI, Rachmat.
Pengalaman selama ini, katanya, akibat terlambatnya penyaluran pupuk bersubsidi pemerintah, menyebabkan petani mengalami gagal tanam dan gagal panen. Akibatnya keluarga para petani sering dilanda bencana kelaparan. Alasan inilah yang membuat IPPHTI, melakukan pendampingan dan pembinaan guna meningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) petani di seantero negeri ini. Tujuannya menciptakan petani mandiri dalam upaya peningkatkan hasil produksi panen, kesejahteraan ekonomi keluarga tanpa harus tergantung lagi.
Akibat dari SDM yang masih rendah dan belum memadai, rata – rata petani tidak memiliki kemampuan untuk bertani dengan baik dan benar selama ini. Para petani selalu beranggapan, hasil panen ditentukan oleh luasnya lahan yang diolah. Padahal kenyataanya adalah kemampuan untuk memberikan perlakuan maksimal bagi tanaman sangat menentukan banyak sedikitnya hasil panen seorang petani. Dikatanya, “Pengelaman selama ini yang terjadi adalah rata – rata para petani di setiap daerah itu hampir sama, yakni SDM yang belum memadai.”
Selain proses pembuatan pupuk organic cair, para petani juga belajar agro ekosistem. Agro ekosistem merupakan salah satu cara bagi petani untuk belajar meningkat SDM. Penelitian terhadap proses perkembangan dan tumbuhan tanaman. Selain itu melakukan pengamatan hama dan penyakit yang biasanya terjadi pada tanaman. Selanjutnya membuat rencana tindak lajut (RTH) terhadap hasil yang ditemukan di lapangan.
Dikatakanya, “Misalkan agro ekosistem yang selama ini dilakukan oleh kelompok tani ini terhadap tanaman padi sejak usia tujuh hari dari masa tanam hingga masa panen. Terdapat empat lahan percontohan dengan jenis bibit yang berbeda, dan pola atau metode peralakuan yang sama. Jadi selama proses ini berlangsung, petani dilatih biasanya lebih banyak belajar di lapangan. Kemudian berdiskusi untuk mencari solusi terhadap setiap masalah yang ditemukan di lapangan.”(*)