Showing posts with label Lingkungan. Show all posts
Showing posts with label Lingkungan. Show all posts

Saturday 6 December 2014

Lestarikan Lingkungan dengan Menanam Pohon

AKSI pembakaran hutan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab membuat Yohanis Elo Kaka prihatin. Pria berusia 42 tahun yang juga seorang pencinta lingkungan hidup ini terpanggil untuk mengatasi masalah ini. 

Yohanis Elo Kaka
Sehari – hari Yohanis Elo Kaka menekuni bidang penangkaran atau pembibitan berbagai anakan pohon untuk perkebunan dan kehutanan. 

Beranjak dari keprihatinan dan sebuah cita-cita sederhana yakni ingin melihat Pulau Sumba, khususnya Sumba Timur, salah satu daerah terselatan di Indonesia ini menjadi hijau. Pasalnya, alam dan hutan Kabupaten Sumba Timur kian hari kian rusak. Atas alasan inilah, dirinya bergerak untuk melakukan pembibitan berbagai anakan pohon atau tanaman umur panjang. 

Dalam wawancara eksklusif dengan wartawan Pos Kupang, John Taena, lelaki yang telah berhasil menangkar ribuan bahkan jutaan anakan pohon ini menjelaskan, dirinya ingin mengisi sisa hidupnya dengan gerakan menabung pohon demi masa depan anak cucu. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana Anda melihat kondisi lingkungan Sumba Timur?

Saya tidak memiliki basik tentang ilmu pertanian atau kehutanan. Saya hanya tamatan sekolah menengah atas (SMA) jurusan IPS dari SMA Negeri 1 Waingapu pada tahun 1990. Saya juga tidak punya referensi yang cukup untuk berbicara lebih luas tentang lingkungan hidup secara regional. Tapi kalau untuk Sumba Timur, sudah hampir tidak ada lagi hutan yang bisa melindungi alam dari erosi sewaktu-waktu.

Saya hanya merasa prihatin dengan kondisi lingkungan yang setiap hari terus bertambah rusak. Ketakutan saya, jangan sampai suatu saat nanti, alam dan ekosistem yang semula diciptakan Tuhan sangat indah akan menjadi rusak total. Kalau sudah demikian, kita sebagai manusia juga bukan tidak mungkin akan ikut punah.

Menurut Anda, di mana letak persoalan yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan di daerah ini?

Penyebab terjadinya kerusakan hutan di Kabupaten Sumba Timur selama ini adalah perilaku oknum. Pertama, pembakaran liar yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Mengapa orang mau melakukan pembakaran hutan pada musim kemarau, itu karena tidak memiliki kesadaran untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.

Ada juga yang melakukan karena terpaksa untuk mempertahankan  hidup dan itu biasanya dilakukan ketika para petani mengalami gagal panen. Biasanya hutan dibakar untuk memudahkan proses pencarian iwi (ubi) hutan sebagai cadangan makanan. Kedua, pola pertanian yang bersifat tradisional dan selalu berpindah – pindah lokasi. Setiap kali membuka lahan baru, biasanya para petani melakukan penebangan hutan dan kemudian dibakar untuk digarap menjadi lahan pertanian. Pola pertanian seperti ini yang perlu diubah dengan meningkatkan wawasan dan sumber daya manusia para petani setempat.

Ketiga, pola peternakan yang dilakukan selama ini juga masih bersifat tradisional. Para pemilik dan penggembala ternak biasa melakukan aksi pembakaran padang serta hutan. Mengapa mereka melakukan pembakaran? Sangat sederhana, yakni untuk merangsang pertumbuhunan tunas-tunas rumput yang hijau untuk dijadikan pakan ternak. Dampak negatif dari perilaku yang salah seperti ini adalah rusaknya lingkungan. Akibatnya anak cucu kita yang akan menanggung risiko dari kerusakan lingkungan yang terjadi selama ini.

Maksudnya?

Ya, kalau kebiasaan-kebiasaan buruk seperti ini terus dipelihara dan tidak diminimalisir, maka manusia sebagai makhluk yang paling sempurna di dunia ini juga akan punah. Bagaimana manusia mau bertahan hidup di bumi kalau suhu panas terus meningkat dari waktu ke waktu karena tidak ada lagi pohon atau ruang terbuka hijau?

Meskipun manusia sebagai makhluk paling sempurna, kita juga butuh  pohon dan hutan. Kita tidak mungkin bisa hidup lebih lama kalau alam terus bertambah rusak dari waktu ke waktu. Di Kabupaten Sumba Timur, luas hutan terus berkurang dari waktu ke waktu. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti daerah ini sudah tidak memiliki hutan lagi.

Apa barometer untuk mengukur tingkat kerusakan lingkungan di Sumba Timur dan mengapa Anda harus prihatin dengan kondisi ini?

Sebagai seorang pencinta lingkungan dan tanaman, saya melihatnya dengan cara yang sangat sederhana. Dulu antara tahun 1970-an hingga akhir 1980-an, kita masih sering melihat pohon-pohon besar. Banyak pohon yang tumbuh dan hidup di hutan – hutan.

Pohon cendana bukan hanya tumbuh di Pulau Timor, tapi di Sumba juga ada dan itu adalah salah satu jenis tanaman hutan yang menjadi kebanggaan orang Sumba. Curah hujan juga stabil dan tidak terlalu banyak  daerah yang mengeluh kekeringan atau kekurangan air bersih. Kalau kita bandingkan dengan realitas yang terjadi sekarang, semuanya itu sudah tidak ada lagi. 

Bagaimana dengan daerah ini?

Lingkungan dan alam Pulau Sumba sudah tidak bersahabat lagi karena semuanya telah rusak. Udara yang dahulunya tidak terlalu panas dan sejuk sekarang berubah drastis dan sangat ekstrem. Kekeringan panjang dan bencana kelaparan terjadi di mana-mana.

Setiap tahun para petani selalu gagal panen karena curah hujan yang tidak menentu dan cuaca ekstrem. Isu pemanasan global sudah menjadi rahasia umum. Seharusnya luas hutan yang dimiliki oleh sebuah kabupaten itu minimal 30 persen dari total luas wilayah yang dimiliki. 

Sumba Timur adalah salah satu daerah yang paling luas di Propinsi NTT dengan wilayah teritorial seluas kurang lebih 7000,5 km². Dari total wilayah teritorial tersebut, luas hutan yang dimiliki enam persen. Sementara kawasan hutan yang dimiliki 261.466,34 hektar dari total wilayah teritorial seluas 7000,5 km².

Alasan- alasan inilah yang membuat saya prihatin. Saya merasa terpanggil untuk bergerak di bidang lingkungan hidup, dengan memanfaatkan tenaga yang ada selama sisa hidup ini sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Beranjak dari situlah, kemudian saya memutuskan untuk terjun ke bidang ini sejak tahun 2005 lalu.

Bukan hanya melihat peluang bisnis, dari usaha pembibitan anakan dari berbagai jenis tanaman umur panjang, baik itu untuk pertanian maupun kehutanan. Melalui usaha seperti ini, sebagai orang Sumba, saya juga ingin menabung pohon untuk anak cucu dan generasi muda di daerah ini.

Siapa saja yang bertanggung jawab atas upaya pelestarian lingkungan hidup?

Semua pihak mempunyai tanggung jawab yang sama sesuai dengan potensinya masing-masing. Masalah kerusakan lingkungan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah ataupun lembaga donor dari luar. Pemerintah dan lembaga donor dari luar bekerja dengan cara dan kemampuan yang dimilikinya.

Sementara kita sebagai warga daerah ini harus memiliki kesadaran. Merawat dan memelihara lingkungan alam sekitar adalah tanggung jawab kita semua sebagai manusia. Setiap warga di daerah ini, baik petani, pengusaha, pemerintah dan legislatif mempunyai tanggung jawab yang sama dalam upaya melestarikan lingkungan dan segala isinya.

Sekarang sudah saatnya, kebiasaan-kebiasaan buruk selama ini ditinggalkan untuk tidak merusak lingkungan lagi. Kita dapat melakukan segala sesuatu sesuai kemampuan dan potensi yang kita miliki. Sejak tahun 2005 hingga saat ini saya menjalin kemitraan dengan pemerintah. Pemerintah yang memiliki program penghijauan seperti Gerhan dan reboisasi.

Sebagai seorang pencinta lingkungan hidup yang bergerak di bidang pembibitan, tanaman perkebunan dan kehutanan apa saja yang telah Anda lakukan sejak tahun 2005 hingga saat ini?

Terus terang saya bukan orang yang memiliki disiplin ilmu di bidang pertanian, perkebunan ataupun kehutanan dari bangku pendidikan tinggi. Saya adalah anak petani, jadi mungkin karena itu saya tertarik dan mencintai tanaman sehingga memotivasi saya untuk bergerak di bidang pembibitan.
Setiap tahun rata-rata saya bisa menangkar 500 hingga 600 ribu anakan pohon dan kemudian dilempar ke pasar. Pihak pemerintah dan swasta lewat berbagai program penghijauan yang dilaksanakan baik di bidang pertanian maupun kehutanan yang biasanya memanfaatkan anakan pohon dari lokasi penangkaran saya selama ini.

Usaha pembibitan anakan ini tidak semata-mata untuk dikomersilkan. Selama ini kalau ada kegiatan yang sifatnya untuk penghijauan, kadang-kadang tidak dipungut biaya dari anakan diambil. Syaratnya adalah setiap anakan yang diambil dari penangkaran harus ditanam dan dirawat hingga tumbuh dan tidak boleh dijual lagi.

Jikalau sudah demikian, kita pantau sejauh mana tingkat keberhasilanya. Karena tujuan dari semua ini adalah untuk penghijuan lingkungan dan pelestarian hutan di Sumba Timur ini.

Berdasarkan pengalaman Anda selama ini, pohon atau tanaman unggulan lokal apa saja yang biasanya dikembangkan untuk penghijauan di Pulau Sumba?

Tanaman adalah makhluk hidup yang memiliki nyawa. Sebagai makhluk hidup, setiap tanaman butuh perlakuan khusus. Kita harus melakukannya dengan sepenuh hati. Perlakuan terhadap setiap tanaman itu berbeda-beda sesuai sifatnya.

Katakanlah, perlakuan bagi tanaman keras akan berbeda dengan tanaman yang lain. Biasanya untuk tanaman keras disemaikan terlebih dahulu hingga berkecambah baru dipindahkan ke polibag. Sementara jenis tanaman yang lain langsung dimasukkan ke dalam polibag yang sudah dicampur tanah dan pupuk kandang.

Sebagai makhluk hidup, tanaman akan berbicara kepada manusia kapan tanaman itu membutuhkan pasokan pakan dan air. Jadi kita perlu memiliki kepekaan untuk memahami bahasa dari tanaman agar bisa diperlakukan sesuai kebutuhannya sehingga dapat bertumbuh dan memberikan hasil sesuai yang diinginkan.

Berdasarkan pengalaman yang terjadi di lapangan, sekalipun orang tersebut adalah jebolan dari universitas atau tepatnya sarjana pertanian maupun kehutanan. Jadi tidak semua orang bisa menyemaikan tanaman atau pembibitan anakan dari berbagai jenis pohon untuk keperluan penghijaun.

Butuh orang- orang khusus yang memahami dan menjiwai tanaman. Selama ini yang saya semaikan, antara lain, Kaduru, Lubung, Inji Watu. Jati, Mahoni, Gamalina, Kadimbil, Kiru, Kelapa, Mete, Kakao, Pinang, Kopi dan Kemiri.*


Tabungan untuk Anak Cucu

SEJAK tahun 2005 hingga sekarang, Yohanis Elo Kaka (42) melirik usaha pembibitan baik tanaman perkebunan maupun kehutanan. Usaha penangkaran berbagai jenis anakan pohon seperti Kaduru, Lubung, Inji Watu. Jati, Mahoni, Gamelina, Kadimbil, Kiru, Kelapa, Mente, Kakao, Pinang, Kopi dan Kemiri bertujuan untuk penghijauan. 

Hal ini sebagai bentuk partisipasi keikutsertaannya dalam mengampanyekan isu pemanasan global. Sebagai seorang pencinta lingkungan hidup, kegiatan yang dilakoninya tidak semata-mata untuk mengejar keuntungan. Rata-rata 500 hingga 600 ribu anakan berhasil dikembangkan dan dilempar ke pasaran.


Ribuan bahkan jutaan anakan pohon yang disemaikan selama ini belum juga mampu memenuhi permintaan pasar. "Permintaan anakan cukup tinggi selama ini. Setiap tahun permintaan pasar terus meningkat seiring dengan berbagai program penghijauan yang dicanangkan oleh pemerintah," kata ayah enam orang anak ini.

Setiap tahun, permintaan akan anakan pohon baik itu tanaman perkebunan maupun kehutanan terus meningkat. Namun hingga saat ini belum terlalu banyak orang yang berminat ke bidang tersebut. Lewat usaha yang ditekuni selama ini, John Elo, demikian sapaan akrabnya, ingin mengajak warga setempat untuk mulai mencintai lingkungan dengan menanam pohon.

Selain itu, lewat menanam pohon, setiap orang bisa menabung untuk masa depan anak cucu mereka. "Kita menanam pohon itu juga bagian dari tabungan bagi anak cucu kita. Bagi segenap orang Sumba, khususnya Kabupaten Sumba Timur, mari kita menjaga dan melestarikan lingkungan dengan menanam pohon untuk penghijauan," imbaunya. 


Pasalnya, setiap pohon yang berhasil ditanam dan terus hidup akan memiliki manfaat yang cukup besar bagi banyak orang. Selain itu, sebagai orang yang menanam atau menyemaikan anakan pohon, dirinya akan mendapatkan banyak manfaat. Manfaat-manfaat tersebut anatara lain meningkatkan ekonomi keluarga. Selain itu memiliki nilai dan kesan tersendiri yang tidak bisa digambarkan yakni kepuasan batin. "Manfaat yang tidak ternilai itu adalah kepuasan batin yang tidak bisa dinilai dengan uang," tandasnya. (jet)

http://kupang.tribunnews.com/2012/04/23/lestarikan-lingkungan-dengan-menanam-pohon

Thursday 4 December 2014

Orang Sumba dan Tradisi Makan Umbi Gadung

KEBAKARAN — Api dari aksi pembakaran liar yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab sedang melahap hutan dan padang savanna yang terbentang luas di wilayah Desa Desa Katikuluku, Kecamatan Matawai Lapawu, Sumba Timur. Gambar diabadikan Kamis (16/10/2014) petang. 
Bersavanna, kering dan gersang. Itulah kesan pertama ketika seseorang mengunjungi Pulau Sumba. Ibarat hamparan mutiara hitam yang terbentang luas sejauh mata memandang, akan melengkapi pemnadangan alam daerah ini disetiap musim kemarau. Hal ini bertolak belakang dengan  pemandangan musim hujan, dimana sejauh mata memandang akan terlihat hijau bak sebuah permadani.
Membakar hamparan rumput dan ilalang yang sudah mongering membuat kondisi alam sekitar sangat memprihatinkan. Namun inilah realitanya. Fakta yang boleh dikata sebagai tradisi orang Sumba di setiap kalau musim kemarau. Tangan – tangan jahil dari oknum tidak bertanggung jawab selalu membakar dan bakar lagi tanpa rasa bersalah.
Meskipun bersavana, tandus dan kering, namun tanah Sumba memiliki sejuta potensi dan mampu menarik perhatian. Taufiq Ismail, merupakan salah satu contoh dari sekian banyak yang terpikat oleh tanah yang satu ini. Lewat puisinya berjudul, "Beri Daku Sumba" sang penyair era 1970-an, menggambarkan kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri padang savanna, Pulau Sumba. Bukan hanya pemandangan alamnya yang mampu memikat pandangan mata setiap orang. Para gembala ternak kuda sandelwood, kerbau dan sapi Sumba Ongole (SO) melengkapi indahnya alam setempat.
Bukan hanya seorang penyair kondang yang terpikat oleh kekayaan alam yang satu ini, jauh sebelumnya pemerintah Belanda pun sudah tertarik. Ketertarikan penjajah ini dibuktikan dengan sekitar 600 ekor sapi ongole dari  India, dan dikembangkan di padang savanna yang terbentang laus sejauh mata memandang itu. Seiring perjalanan waktu dan didukung oleh kekayaan alam setempat menyebabkan sapi ongole terus berkembang biak dan memadati padang savanna itu hingga sekarang.
Pulau Sumba kini dikenal sebagai gudang ternaknya Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).  Seorang elite dan penguasa daerah inipun akan bangga hingga menepuk dadanya ditingkat pusat ketika berbicara mengenai ternak. Ratusan ribu ekor ternak yang berkeliaran di hamparan padanga savanna Sumba kini, bukan milik orang perorang melainkan kaum borjuis.
Aksi pembakaran hutan yang dilakukan setiap tahun tidak dapat dipisahkan dari seorang pemilik ternak di daerah ini. Sebuah pemahaman yang mungkin sedikit keliru telah merasuki pikiran setiap penguasa ternak. Musim panas, rumput dan ilalang mongering. Ratusan ribu ternak milik mereka kesulitan stok pangan. Untuk mendapatkan tunas baru, maka perlu dilakukan aksi pembakaran liar.
Aksi pembakaran liar yang merusak lingkungan membawa petaka. Setiap tahun, musim hujan yang ada hanya berkisar dua hingga tiga bulan. Selebihnya adalah kemarau panjang. Masalah kekeringan panjang dan kekurangan air bersih menjadi persoalan klasik bagi setiap rakyat jelata di pedalaman Sumba. Para petani selalu dilanda bencana gagal tanam dan gagal panen. Akibatnya rawan pangan hingga bencana kelaparan seakan enggan meninggalkan kehidupan setiap anggota petani Sumba sudah menjadi agenda tahunan.

                                                                        ***


Cari Iwi (Dioscoreaceae) — Seorang petani di Kampung Hiliwuku, Desa Katikuluku, Kecamatan Matawai Lapawu, Sumba Timur ditemani dua orang anaknya saat mencari iwi (Dioscoreaceae) di hutan. Gambar diambil Senin (13/10/2014). 
Kala musim hujan, pemandangan nan elok terlihat di seantero Bumi Marapu. Layaknya sebuah permadani hijau sedang terbentang menghiasi jagad raya. Terbentang luas sejauh mata memandang terus memanjakan mata setiap insane manusia. Namun kondisi ini akan terbalik 180 derajat kala musim kemarau.  Selain aksi pembakaran hutan secara liar, musim kemarau panjang juga menyebabkan berbagai tanaman milik seperti pisang dan kelapa akan mati.
Bencana kelaparan akibat gagal tanam dan gagal panen tanaman padi dan jagung, menyebabkan setiap anggota keluarga petani dipaksa survive. Akibatnya, Gadung (Dioscorea hispida  Dennst., suku  gadung – gadungan atau Dioscoreaceae) merupakan tempat pelarian paling tepat untuk bertahan hidup.
Gadung merupakan salah satu tumbuhan yang cukup akrab dengan petani di sejumlah daerah dan dikenal dengan nama masing–massing. Misalnya, bitule (Gorontalo),  gadu (Bima), gadung (Bali, Jawa, Madura, Sunda) iwi (Sumba), kapak (Sasak), salapa (Bugis) dan sikapa (Makassar). Jenis tanaman ini juga menghasilkan umbi yang dapat dimakan. Namun kandungan racunnya dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar pengolahannya.
Di tempat lain, umbi gadung akan diolah dan diproduksi menjadi keripik meskipun rebusan gadung juga dapat dimakan. Selain itu ada juga yang menjadikan sebagai (difermentasi) sehingga di Malaysiadikenal pula sebagai ubi arak, selain taring pelandok.
Selain diproduksi jadi kripik atau difermentasi menjadi arak, umbi dari jenis tumbuhan yang satu ini juga dapat dimanfaatkan sebagai racun tikus. Tanaman gadung ini termasuk kelompok tumbuhan redentisida atau kelompok tumbuhan yang mengahasilkan pestisida pengendali hama rodentia.
Tradisi orang Sumba saat dilanda bencana kelaparan adalah mencari dan mengolah umbi gadung untuk dikonsumsi. Meskipun beracun, umbi gadung harus dimakan tiga kali sehari tanpa memperhatikan kandungan gizi. Tak jarang, kekurangan stok pangan menyebabkan banyak kasus kurang gizi, gizi buruk hingga busung lapar menimpa anak – anak petani akibat mengkonsumsi ubi gadung setiap hari.

Tak jarang, para petani di Kabupaten Sumba Timur  mendapat cacian dan hujatan dari oknum pejabat pemerintah dan penguasa setempat. Para pejabat pemerintah yang tidak ingin dinilai gagal, dalam menjaga popularitasnya akan berkilah iwi adalah pangan lokal. Makan umbi gadung adalah sebuah tradisi yang juga dikonsumsi oleh mereka. Meskipun menjadi pejabat, mereka juga sering makan iwi walaupun lima tahun sekali. Berbeda dengan anggota keluarga petani, tiga sehari makan iwi selama berminggu –  minggu.

Para elite Sumba Timur tak sungkan untuk menilai petani di daerahnya malas. Sebuah kata yang dilontarkan begitu saja dari mulut seorang pemimpin tanpa melihat fakta di lapangan. Meskipun mereka dibilang malas, namun upaya untuk keluar dari masa sulit seperti ini terus dilakukan.  Sebagala hal dilakukan diupayakan untuk bisa makan: mencari ubi beracun di hutan untuk diolah menjadi makanan. Mencari dan menjual kayu bakar, menjual alang – alang yang mulai menipis karena kebakaran padang. Menjual kunyit yang digali di hutan dan ternak kecil maupun besar seperti ayam dan sapi juga dijual. Pertanyaanya, adakah orang malas yang melakukan hal demikian?

Di sisi lain, untuk mendapatkan umbi gadung mereka juga harus menempuh perjalanan dengan  mendaki serta menuruni bukit demi mendapatkan iwi. Bukan sebatas itu saja, mereka juga harus harus berjalan jauh lagi untuk merendam irisan iwi di lokasi sumber air mengalir selama 24 jam sebelum layak dikonsumsi. Para anggota keluarga petani juga terpaksa harus menginap di lokasi yang terdapat sungai mengalir yang jauh dari pemukiman mereka. Masih pantas kah seorang pejabat pemerintah menilai mereka ini sebagai orang – orang malas? 

Ternak besar seperti sapi, kuda dan kerbau biasanya akan dijual oleh mereka jika kondisi sudah sangat parah. Itupun jika para anggota keluarga petani Sumba Timur memiliki ternak besar. Pada situasi seperti ini, hukum ekonomi pun berlaku: untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan ternak mereka terpakas dijual dengan harga murah. Di sini peran rentenir merajalela. Tak ketinggalan para mafia ternak pun ikut bermain.

Kesempatan emas yang ditunggu – tunggu oleh para renternir untuk mendapatkan ternak dengan harga murah. Selanjutnya dijual ke luar pulau tanpa seleksi yang ketat, terlepas dari jantan atau betina. Masih produktif atau tidak lagi meskipun sudah ada larangan namun tidak berlaku bagi para elite dan penguasa Sumba Timur.

AIR BERSIH — Warga Kampung Hiliwuku, Desa Katikuluku, Kecamatan Matawai Lapawu, Sumba Timur, yang dilanda bencana kekeringan sedang mengambil air dari sebuah kubangan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Gambar diambil Senin (13/10/2014).
Masih pantaskah para petani di Sumba Timur yang selalu dilanda bencana kelaparan akibat bencana alam ini disebut malas? Sipakah yang harus bertanggung jawab untuk mensejahterakan kehdipuan setiap anggota keluarga petani di daerah ini? Sudahkah Negara menjamin kesejahteraan rakyatnya, terutama masyarakat kecil di pedalaman Kabupaten Sumba Timur?

Sepertinya nasib para anggota keluarga petani Sumba Timur untuk terus mencari umbi gadung sebagai makanan alternative masih akan panjang. Musim laparan dan umbi gadung yang mulai diolah sejak bulan Oktober akan dikonsumsi hingga penghujang Februari 2015. Saat ini para anggota keluarga petani yang dilanda benacana kelaparan ini juga harus mulai menghemata dan menyimpan sebagian sebagai stok pangan mereka sampai musim panen.

Hujan yang diharapkan mulai November agar panen di bulan Februari agar rawan pangan hanya bisa dinikmati selama Oktober hingga Februari. Namun ternyata para petani harus pasra untuk menanti musim panen hingga bulan Maret 2015 mendatang karena musim hujan baru tiba di awal Desember saat. (*)

Saturday 26 July 2014

Kampanye Pemanasan Global dari Dapur


Heinrich Dominggus Dengi, S.Si, Apt.
Tokoh muda ini boleh dicatat sebagai penakluk alam Sumba Timur yang bersavana. Kering dan gersang. Karena keuletannya, ia tidak menyerah. Dia menghadirkan sumber mata air yang jauh dari balik tebing ke permukiman warga. Bagaimana caranya?

Heinrich Dominggus Dengi, S.Si, Apt, memulainya dengan dasar cinta. Membina para petani untuk bertani secara organik. Setelah itu ia menghadirkan air yang jauh untuk mewujudkan impiannya itu agar masyarakat Sumba Timur kembali ke alam. Bertani secara organik. Berikut petikan wawancara wartawan Pos Kupang, John Taena dengan pecinta alam yang satu ini di Desa Wunga, Kecamatan Haharu, Sumba Timur, ini Senin (9/6/2014).

SEBAGAI seorang penyiar radio, apa yang membuat Anda berpikir untuk menggali sumur bagi warga yang kesulitan air bersih secara sukarela? Padahal daerah seperti ini sejak zaman dahulu sudah terkenal tandus dan kering!

Saya seorang penyiar radio yang memiliki hobi bertani organik. Ada satu program radio yang namanya "ayo bertani organik". Acara itu banyak peminatnya, mendapat apresiasi dari pemirsa karena saya membagikan ilmu tentang pertanian organik. Sekitar pertengahan tahun 2012, saya diundang datang ke Wunga oleh seorang petani. Saya tidak pernah membayangkan kalau untuk dapat setetes air minum, masyarakat di sini harus berjalan kaki sekitar 13 kilometer. Medan yang ditempuh menuju sumber mata air harus melintasi hutan, membelah bukit di tengah padang savana bahkan warga harus memanjat tebing.

Saya sendiri sempat ikut memanjat tebing bersama anak-anak sekolah yang mengambil air. Bermula dari situ, mulailah saya berpikir bagaimana caranya menghadirkan sebuah sumur yang bisa dijangkau oleh warga dengan mudah. Perjuangan berat dari anakanak untuk mendapat air minum itu saya abadikan dalam bentuk video dan foto. Sebenarnya hanya untuk konsumsi pribadi. Setelah pulang, sampai di rumah, saya upload ke akun facebook dengan sedikit catatan yang mengisahkan perjuangan anakanak desa demi setetes air minum.

Postingan di akun facebook itu akhiranya menarik perhatian teman-teman kuliah dulu. Mereka sekarang sudah berkarya di mana -mana, bahkan ada yang di luar negeri. Kepada mereka, saya ceritakan semua tentang kondisi dan tingkat kesulitan air bersih yang dialami oleh masyarakat di desa ini, dan akhirnya muncul ide untuk mengumpulkan dana secara sukarela. 

Sumbangan dari temanteman kemudian saya coba membuat sumur di sekitar permukiman warga. Waktu itu sempat putus asa. Karena setelah cari informasi, biaya untuk satu buah sumur bor bisa ratusan juta, sementara dana yang terkumpul hanya sedikit. Tapi demi masyarakat di desa ini, saya tetap meyakinkan diri. 

Kebetulan ada orang yang bisa cari sumber mata air dengan teknologi sederhana. Kami bukan orang pertama yang berupaya membuat sumur di situ. Sebelumnya sudah ada beberapa pihak yang berusaha hasilnya nihil. Kami hanya menggunakan metode manual, gali dengan pahat dan hamar itu sangat tidak mungkin. Walaupun sempat putus asa, saya tetap meyakinkan diri untuk melakukan itu. Dana yang ada waktu itu tidak sampai Rp 20-an juta. Saya bayar tiga orang tenaga penggali sumur. Peralatan mereka itu hanya pahat, linggis dan hamar. 

Akhirnya pada kedalaman 24 meter, bisa temukan sumber air. Pengalaman pada tahun 2012 itu, terus kami lakukan di daerah yang kesulitan air bersih. Sekarang sudah 18 buah sumur bor dan tersebar di lima desa di Kecamatan Haharu.

Sekarang sudah ada beberapa titik sumur. Ratarata untuk mendapat air, sumur yang digali itu berapa meter?

Sebelumnya warga harus menempuh medan yang terjal dan sulit untuk mendapat air, sekarang tinggal berjalan berapa meter sudah sampai di sumur. Khusus untuk Desa Wunga kita buat dua buah sumur. Satunya di Wunga Barat, dalamnya 37 meter, di Wunga Timur, 24 meter. Debit air yang keluar dari kedua sumur ini cukup banyak sehingga bisa memenuhi kebutuhan air bersih bagi sekitar 1.700 jiwa warga desa ini.

Biasanya setiap dua minggu, saya berkunjung ke masyarakat di desa ini. Tujuan ke sini untuk melakukan pendampingan kelompok tani organik. Saya ajarkan cara bertani organik yang baik dan benar kepada mereka. Anggota kelompok tani yang dibina itu kebanyakan ibu rumah tangga yang rumahnya tidak terlalu jauh dari sumur. 

Jenis-jenis tanaman yang biasanya dikembangkan oleh kelompok tani pada musim panas seperti ini adalah pakcoy, kol, bunga kol, pitsai, tomat, timun, lettuce, terong, kangkung, bayam dan beberapa jenis sayuran hijau. Jenis penyakit atau hama yang biasa menyerang tanaman, khusus untuk sayur itu ada ulat, lalat buah, pemakan daun jamur. 

Cara mengatasinya dengan pestisida nabati. Untuk membuat pestisida nabati bahan-bahannya kita ambil dari alam sekitar seperti, menggunakan daun gamal, mahoni, daun sirsak daun tembakau dan bawang putih. Prosesnya, selain tembakau ditumbuk lalu dicampurkan dengan air sesuai kebutuhan dan didiamkan selama satu malam. Kemudian diperas dan disaring lalu airnya diambil. 

Sedangkan untuk tembakau dimasak sampai mendidih dengan air sesuai kebutuhan kemudian didinginkan selama satu malam kemudian disaring dan diambil hasil saringan airnya. Setelah disaring, lalu dicampur dengan air secukupnya baru disemprotkan ke tanaman yang diserang penyakit. Kita menerapkan pola pertanian organik di mana semua bahan yang dimanfaatkan diambil dari lingkungan sekitar tanpa harus merusak alam.

Bagaimana bisa seseorang dengan disiplin ilmu sebagai apoteker bisa mengkampanyekan pertanian organik. Apa motivasinya?

Memang benar, ketika di bangku kuliah tidak pernah belajar tentang ilmu pertanian organik. Sama seperti profesi saya yang sekarang sebagai penyiar radio, juga tidak pernah diperoleh di bangku kuliah. Semua itu bisa kita lakukan dalam hidup, kalau ada tekad dan kemauan dari dalam diri. Saya adalah seorang apoteker, saya tahu betul akan bahaya dari bahan kimia bagi tubuh makluk hidup. Itu alasan paling mendasar kenapa saya menggerakkan pertanian organik. 

Motivasinya sederhana, hanya menginginkan agar masyarakat di sekitar lingkungan saya sehat dan umur panjang. Tidak tergantung pada bahan kimia dan tidak merusak lingkungan alam. Dulu setelah tamat kuliah, saya bekerja sebagai seorang apoteker di beberapa tempat dan terakhir di Rumah Sakit Kristen Lindimara. 

Sebagai seorang apoteker tentunya berurusan dengan bahan kimia. Bahan kimia sangat berpengaruh dan berbahaya terhadap tubuh kita. Alasan itulah yang membuat saya beralih menjadi penyiar radio sejak pada tahun 2005 sampai sekarang. Sementara motivasi untuk menggerakkan pertanian organik, hanya mau mengajak masyarakat untuk membudayakan pola hidup sehat dan menjaga lingkungan hidup. 

Wilayah Sumba Timur lebih banyak terdiri padang savana. Alam sekitar terlihat tandus dan kering, belum lagi ada aksi bakarbakar oleh oknum tidak bertanggung jawab. Sangat memrihatinkan. Sampai sekarang sudah lebih dari 1.000 petani yang saya ajak untuk bertani secara organik. Selain sehat, petani juga bisa meningkatkan hasil produksi mereka. 

Bersama para petani selama ini, kami coba untuk mewarnai padang savana Sumba Timur lewat tanaman agar sedikit terlihat hijau di kebun. Saya selalu katakan kepada mereka, bumi kita hanya satu. Kalau kita kasih rusak dengan bahan kimia, nanti ke mana anak cucu kita?

Kapan Anda mulai menggalakkan pertanian organik di Sumba Timur?

Ide untuk mengkampanyekan pertanian organik itu dimulai tahun 2011. Waktu itu saya menjadi salah satu peserta sekolah lapang pertanian organik yang diselenggakan oleh Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Instrukturnya itu salah satu petani yang didatangkan dari Bandung. Sebagai petani, kita diajarkan untuk memelihara dan melestarikan lingkungan. Pupuk yang digunakan diambil dari bahan yang sudah ada di sekitar alam seperti tumbuhan, kotoran ternak, juga manusia. 

Semua itu dicampur dengan takaran tertentu untuk menghasilkan pupuk dengan kualitas dan kuantitas tertentu pula. Saat itu kita belajar menjadi seorang petani peneliti, pengamat dan pemimpin di lahan kita sendiri. Misalnya, tanaman padi di sawah, sejak hari pertama disemaikan, kita sudah melakukan penelitian dan pengamatan hingga masa panen. 

Setiap hari kita mengikuti perkembangan tanaman. Tanaman biasanya diserang wereng, penggerek batang dan walang sangit. Cara mengatasinya sama, kita menggunakan pestida nabati sama seperti pada tanaman sayur. 

Kita tidak perlu membeli obat dan pupuk kimia dari toko, tapi tinggal mengambil dari alam dan meramu sendiri, kemudian dipakai. Hasil panen biasanya rata - rata tiga ton per hektar bisa meningkat hingga tujuh, bahkan sampai 10 ton. Pola bertani organik ini yang belum diketahui oleh para petani di Sumba Timur, makanya saya terus mengkampanyekannya.

Selama beberapa tahun terakhir ini, sudah berapa banyak petani yang berhasil diajak untuk menerapkan pola pertanian organik?

Belum terlalu banyak. Baru sekitar 15 kelompok. Setiap kelompok rata-rata 15-20 anggota. Kebanyakan adalah kelompok ibuibu. Ada yang tanam padi, ada juga yang tanam sayur. Bisa diceritakan bagaimana pembuatan pupuk cair organik (NPK cair) dan pupuk padat atau kompos, dari mana bahan bakunya? Bahan bakunya saya ambil dari kandang babi. Kebetulan pola beternak babi yang diterapkan masyarakat saya ini masih tradisional. 

Mereka tidak menyediakan kandang. Padahal kalau beternak babi secara baik dan benar, manfaat dan keuntungannya sangat banyak. Bukan hanya ternaknya saja yang bisa dijual supaya dapat uang. Kotoran ternak babi yang dikandang itu sebenaranya menyimpan kekayaan dan potensi yang besar jika diolah dengan baik. 

Keuntungan yang pertama itu, sebagai pengganti bahan bakar jenis fosil yang ramah lingkungan. Kotoran ternak babi itu mengandung gas metan, jadi bisa digunakan untuk menggantikan minyak tanah di dalam dapur. Prosesnya itu, gas metan yang dihasilkan oleh kotoran ternak babi kita jebak dengan teknologi sederhana. Kemudian ditampung dalam bak atau degester dan didesain berbentuk kubangan. Tujuannya agar lebih memudahkan tekanan gas metan sehhingga bisa dialirkan ke kompor biogas.

Besar kecilnya ukuran sebuah degester, akan menentukan kapasitas gas metan yang dapat ditangkap. Semakin besar degester, kapasitas gas metan semakin banyak, mampu menggerakkan sebuah mesin generator listrik. 

Pola seperti ini juga sudah diajarkan. Pola beternak seperti ini juga memudahkan peternak dalam mengontrol kesehatan dan menampung kotoran ternak. Sejauh ini sudah ada sekitar 100 kepala rumah tangga di sekitar Waingapu yang menerapkannya.

Ketika kandang ternak dibangun, ada beberapa point penting yang perlu diperhatikan. Misalnya, tingkat kemiringan lantainya sekitar 15-20 derajat. Kandang ternak untuk biogas perlu dilengkapi dengan saluran air atau got dengan ukuran sekitar 20-30 cm. Dengan demikian kotoran ternak babi yang padat maupun cair, mengalir lancar ke tempat saringan sebelum masuk ke dalam degester. 

Nah saringan yang dibuat juga lingkaran dengan ukuran sekitar 70-80 cm. Setiap kali mencuci kandang, kotoran ternak dalam bentuk cair maupun padat akan diarahkan dan dimasukkan ke dalam degester lewat saringan itu akan memroduksi gas metan.

Ketika sudah berada di dalam degester, gas yang bersumber dari kotoran ternak dan air itu ditangkap. Setelah gas metan dari kotoran ternak dan air dijebak, maka akan ada tekanan yang mendorong semua limbah ke luar dari degester.

Untuk menampung limbah yang bisa diolah lagi menjadi pupuk cair organik (NPK cair organik) dan kompos disediakanlah sebuah bak penampung terakhir. Limbah yang sudah tidak memiliki gas dari degester, juga mengandung unsur makanan yang berfungsi untuk penggemukan ikan lele. Sementara untuk memanfaatkan gas metan, dipakai lagi sebatang pipa yang alirkan menuju kompor biogas di dalam dapur. 

Proses pembuatan pupuk cair organik (NPK cair organik) dan kompos, dari limbahnya cukup ditambahkan beberapa bahan seperti mikro organisme lokal (mol). Kemudian dicampur dengan gula secukupnya dan buah-buahan yang sudah membusuk. 

Langkah terakhir adalah difermentasi selama tiga minggu dan akan menghasilkan pupuk organik cair. Fungsi dari pupuk NPK cair organik ini merangsang buah tanaman. Sementara pupuk kompos berfungsi menggemburkan tanah, juga sebagai sumber pakan bagi tanaman.

Berapa ekor ternak babi yang Anda pelihara saat ini, dan berapa liter pupuk cair organik serta berapa ton pupuk kompos yang bisa diproduksi dari limbah kotorannya setiap tahun?

Sejauh ini saya pelihara sekitar 15 ekor ternak babi. Kalau produksi pupuk organik dari limbahnya itu rata - rata per tahun bisa mencapai 10 ton pupuk biosluri padat. Sementara untuk biosluri cair bisa mencapai 25 sampai 30 ribu liter per tahun. 

Pupuk padat (kompos) biosluri selama ini saya belum jual dan biasanya dibagi gratis kepada anggota kelompok tani binaan kami. Kalau pupuk cair organik (NPK cair organik ) itu yang saya jual per liter Rp 25 ribu. Anggota kelompok tani yang kami bina selama ini juga diajarkan bagaimana membuat pupuk kompos maupun cair. 

Kita harapkan ke depan mereka sudah bisa mandiri dan tidak terus bergantung untuk membeli pupuk dari pabrik. Hanya satu kendala yang sampai sekarang masih kami alami itu bagaimana membangun kandang bagi keluarga para petani. Kendalanya itu adalah dana, karena untuk membangun kandang ternak yang bisa dimanfaat sebagai biogas, biayanya sangat mahal.

Selain membeli bahan juga tenaga ahli untuk membangun kandangnya itu butuh biaya besar. Kami belum mampu untuk bisa menyediakan kandang biogas bagi mereka. Apa manfaat kandang biogas? Manfaat dari sebuah kandang biogas sangat besar. Selain kita bisa menjaga dan meningkatkan produksi ternak, kita juga bisa memproduksi pupuk organik dan juga memakai kompor  biogas. 

Jadi, kalau sudah memakai kompor biogas, kita bisa menekan polusi udara dan pencemaran lingkungan. Kalau mau dibilang, sejak tahun 2011 sejak menggunakan kompor biogas bisa menekan biaya untuk beli bahan bakar. Saya juga bisa ikut mengkampanyekan pemanasan global  dari dalam dapur. (jet)

DATA DIRI   
Nama  Heinrich Dominggus Dengi, S.Si, Apt. (44)  
Lahir  Waingapu, Sumba Timur, 22 Juni 1970
Sekolah Dasar Masehi (SDM) Payeti 1 (1982)
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kristen Payeti (1985) 
Sekolah Mengah Atas (SMA) Negeri 1 Waingapu (1988)   
Universitas Airlangga Surabaya (1999)
Karier:  
Apoteker Pembantu di Apotek Zecntrum 2 Surabaya (2000)
Apoteker Pengelola Apotek Zecntrum 3, Sidoarjo (2000)
Pengelola Kamar Obat RSK Lindimara (2001)
Apoteker Pengelola Apotik Kalu Waingapu (2003)
Dosen Tidak Tetap di Akademi Perawat Kupang Prodi Waingapu    (2003-2005)
Penyiar/Jurnalis Radio Max FM Waingapu (2005-2014)
Pembina Kelompok Tani Organik Sumba Timur (2012-2014) 
 Istri: Monika, S.Si, Apt, MPH (42)

Diterbitkan Pos Kupang edisi Minggu 22 Juni 2014 halaman 2