Thursday 17 July 2014

Program Perak di Ngada (1)


MicrosoftInternetExplorer4 <![endif]-->
Memanjat Desa Heawea
JALAN raya menuju Maronggela masih memprihatinkan. Kecamatan Riung Barat mencakup enam desa dengan jumlah penduduk  8.425 jiwa, atau 1.718 kepala keluarga (KK). 

Jarak antara Bajawa, ibukota Kabupaten Ngada, dengan Maronggela, ibu kota Kecamatan Riung Barat, sekitar  75 kilometer. Dengan kendaraan umum butuh waktu enam jam untuk menempuh jarak itu. Dengan kendaraan pribadi, butuh waktu sekitar empat jam.

Selain sempit, di banyak titik jalan terdapat lubang besar. Bahkan sering dijadikan kerbau untuk berkubang. Itu sebabnya, laju kendaraan menjadi lambat dan jarak tempuh menjadi demikian lama.

Riung Barat mekar dari Kecamatan Riung. Wilayah ini relatif masih sangat tertinggal. Indikasi ketertinggalan itu seperti listrik yang belum ada dan kondisi jalan yang masih sangat memprihatinkan. Ketiadaan listrik menjadi kendala serius bagi pelayanan kesehatan di Puskesmas. Pelayanan kesehatan tidak bisa dilakukan pada malam hari. Semua peralatan kesehatan yang dioperasikan dengan tenaga listrik, tidak bisa dipergunakan dan hanya sebagai pajangan. Alat kesehatan ini pada  akhirnya masuk "museum" alias disimpan saja di gudang puskesmas.

Kepala Desa (Kades) Ria, Kecamatan Riung Barat, Alexander Songkares mengatakan,  Riung Barat yang mencakup enam desa itu sering dilanda kekeringan. Salah satu dampaknya adalah kekurangan air bersih yang menimpa masyarakat. Kekurangan air bersih berdampak pada memburuknya kesehatan dan sanitasi lingkungan. Masyarakat rentan terjangkit penyakit menular seperti diare, demam berdarah dan penyakit kulit.

"Listrik dan kebutuhan air bersih menjadi faktor yang sangat mempengaruhi kesehatan warga di wilayah ini. Namun kebutuhan listrik dan air bersih belum mendapat perhatian pemerintah selama ini," katanya.

Pola hidup kebanyakan warga di wilayah itu, kata dia, masih jauh dari sehat. Sebagian bersar rumah tangga belum memiliki WC/kakus. Warga buang air besar dan kecil di semak belukar. Kondisi seperti ini sangat rentan terhadap munculnya wabah diare.

"Warga di sini masih suka  BABS (buang air besar sembarang, Red) karena itu tadi, air tidak ada mau buat kakus pakai air apa? Jangankan untuk BAB, untuk kebutuhan air minum saja sudah susah," ujar Songkares.
                                
                                                                        ***
Ngada pun masih "menyimpan" beberapa desa tertinggal. Desa Heawea di Kecamatan Aimere, adalah salah satu desa tertinggal. Desa berpenduduk sekitar 700 jiwa itu adalah salah satu daerah yang masih terisolasi dan tertinggal. Wilayah desa ini masih sangat terpencil.

Untuk sampai ke desa itu dari Aimere (Ibukota Kecamatan Aimere) harus menempuh jarak sekitar 25 kilometer. Butuh waktu enam jam! Satu setengah jam berkendaraan dan sisa lima jam, jalan kaki! Naik turun bukit melintasi jalan setapak serta menyeberangi beberapa sungai dan kali kering. Jalan raya hanya sejauh 12 kilometer dari jarak sekitar 25 km itu.

"Kami  sangat membutuhkan jalan raya," ujar Sekretaris Desa Heawea, Rafael Maje (45).

Semakin dekat ke desa, perjalanan semakin menanjak. Bahkan lebih tepat disebut memanjat. Sebab harus berpegangan pada akar-akar pohon.

"Jalan ke desa kami sejak kita merdeka sampai dengan saat ini belum dibuka. Yang ada hanya jalan setapak yang tidak bisa dilalui kendaraan. Jadi kami kesulitan untuk mengakses dunia luar. Warga sangat kesulitan menjual hasil panen seperti kakao dan kemiri. Biasanya warga di desa kami harus memikul hasil pertanian untuk dijual ke pasar setiap hari Jumat. Hal ini disebabkan pasar mingguan ada di Aimere dan pasar ini hanya beroperasi  setiap hari Jum'at," jelasnya.

Pulang dari pasar, warga harus siap fisik untuk berjalan kaki sekitar lima jam sambil memikul belanjaan untuk kebutuhan sehari-hari di kampung.

Mau bangun rumah tembok? Biaya pikul bahan bangunan seperti seman dan seng, lebih mahal dari harga bahan bangunan itu sendiri. "Satu sak semen biaya pikulnya Rp 100 ribu," tutur Maje.

Kondisi ini sangat beresiko bagi pasien-pasien gawat darurat. Ibu-ibu hamil yang hendak melahirkan pun harus digotong. Selama lima jam perjalanan menggotong ibu hamil, hanya ada harapan agar sang ibu hamil baik-baik saja sebelum sampai di Puskesmas Aimere. Maje tidak menceritrakan apakah pernah ada ibu yang melahirkan di jalan sebelum tiba di jalan raya.

"Baru pada tahun 2008  ada salah satu anak kami yang mantri dan lulus PNS dan ditempatkan di desa ini. Terus beberapa bulan yang lalu ada bidan yang ditempatkan di desa ini untuk membantu setiap ibu melahirkan. Jadi kami sudah agak terbantu sedikit. Kalau tidak kami sport jantung setiap kali ada ibu hamil yang tiba-tiba sakit petut atau ada pasien gawat yang harus cepat dilarikan ke puskesmas," tuturnya.

Berdasarkan, hasil survai dan data Bappenas, Desa Heawea merupakan salah satu desa yang terkategori sebagai desa tertinggal, terisolasi dan terpencil. (john taena/bersambung)

diterbitkan pos kupang  
Jumat, 25 Februari 2011 

No comments: