Teladan Dari Desa Kuta
TRADISI penyembelihan
hewan dalam jumlah puluhan, bahkan ratusan ekor, pada saat upacara adat seperti
kematian atau perkawinan bagi warga Kabupaten Sumba Timur merupakan hal yang
lumrah. Ada nilai positif dari tradisi ini, antara lain tali kekerabatan terus
dipererat dan nilai kebersamaan terus dipupuk. Seluruh rumpun keluarga tergerak
dengan sendirinya membawa hewan dan sumbangan lainnya untuk meringankan beban
tuan pesta, baik dalam pesta adat kematian maupun perkawinan.
Tetapi ada juga sisi
negatifnya, yakni pemborosan. Ternak yang disembelih mencapai puluhan dan
ratusan ekor bernilai ekonomi tidak kecil. Jika saja sebagian (besar) dari itu
dimanfaatkan untuk keperluan non- konsumtif, misalnya untuk biaya pendidikan,
maka manfaat jangka panjang yang diperoleh sungguh luar biasa.
Katakanlah dalam
sekali pesta adat dihabiskan 50 ekor ternak (babi, sapi dan kerbau) dengan
nilai rata-rata Rp 3 juta per ekor, maka sekali pesta menghabiskan Rp 150 juta.
Kalau saja Rp 100 juta dialihkan pemanfaatannya untuk kebutuhan produktif,
bukankah itu nilai yang tidak kecil? Untuk pesta adat bagi warga yang
berkelas ningrat (umbu), hewan yang dihabiskan mungkin mencapai 100-an ekor.
jika dinilai dengan uang, maka ini jumlah sangat fantastis.
Pesta adat, biasanya
memakan waktu lama. Ini juga mempengaruhi, tepatnya mengurangi waktu prpduktif
warga. Bahkan tidak sedikit warga yang tidak bisa mengurus kebun dan
ternaknya sepanjang pesta adat berlangsung.
Sisi negatif lainnya
adalah pesta adat selalu dijadikan moment untuk berjudi. Siapapun tak bisa
membantah bahwa judi adalah penyakit masyarakat. Judi tak pernah membuat
seseorang menjadi kaya dan maju. Judi selalu memiskinkan orang dan memantik
orang untuk melakukan beragam tindak kejahatan, mulai dari dalam rumah tangga. Selain itu, kedatanga
kerabat dengan seluruh bawaannya saat pesta adat, menjadi “hutang”
bagi tuan pesta
"Jadi kalau ada keematian begitu,
nanti kelaurga- keluarga yang datang dan bawa ternak sekian ekor, akan dibalas
suatu waktu saat mereka alami kedukaan. Nah suatu saat kalau ada anggota
keluarga meninggal maka kita harus bawa kembali ternak yang pernah mereka bawa
untuk kita. Ini sangat memberatkan," kata Hans Hamba Pulu, Kepala Desa
(Kades) Kuta di Kecamatan Kanatang, Kabupaten Sumba Timur, Sabtu (12/3/2011).
Menurut Kades Kuta,
tradisi seperti itu bisa dikurangi tanpa mengurangi nilai-nilai kearifan lokal
yang telah diwariskan leluhur. Misalnya, kebiasaan untuk menjaga mayat selama
ini berminggu-minggu, bahkan berbulan- bulan perlu dibatasi. Jumlah ternak atau
hewan yang disembelih pun harus dibatasi.
"Untuk jaga
orang mati sekarang kita batasi maksimalnya 12 hari dan tidak boleh lebih dari
itu. Pokoknya harus dikubur," katanya.
Budaya pesta pora dan
pemborosan perlu dikurangi bahkan dihentikan. Warga Desa Kuta telah menyepakati
dan menetapkan peraturan desa yang mengatur tentang pembatasan-pembatasan itu.
***
"Arisan
Pendidikan"
Desa Kuta juga sudah
menetapkan Perdes tentang peningkatan sumber daya manusia (SDM) generasi muda.
Setiap keluarga wajib membiayai pendidikan anak-anak mereka sesuai standar
pendidikan nasional yakni wajib belajar sembilan tahun. Hal ini bertujuan untuk
mewujudkan cita-cita warga setempat untuk menjadikan Desa Kuta sebagai teladan
bagi desa lain.
Sebagai motivasi dan
juga tanggung jawab moril seluruh warga desa bagi anak-anak mereka, maka akan
dibuat arisan pendidikan bagi setiap anak Desa Kuta yang ingin mengenyam
pendidikan tinggi.
Arisan pendidikan
tersebut disebut dengan acara "terima tangan". Setiap anak yang akan
melanjutkan studi ke bangku kuliah akan membawa serta tanggung jawab yang
dititipkan warga desanya. Semua kepala keluarga menyumbang uang untuk biaya di
pendidikan tinggi.
"Jadi melalui
arisan pendidikan ini juga secara tidak langsung ada ikatan moril. Setiap anak
yang pergi kuliah akan belajar sungguh-sungguh untuk bisa meraih gelar sarjana,
karena saat dia berangkat ada tanggung jawab yang dititipkan seluruh warga
melalui arisan pendidikan," katanya.
Berdasarkan
pengalaman yang terjadi selama ini, banyak orang tua yang memikul hutang seumur
hidup hanya untuk pesta pora. Karena pada hajatan baik itu acara adat kematian
atau perkawinan, lebih cendrung orang berupaya untuk meningkatkan gengsinya.
Dengan beban hutang seperti itu, pendidikan anak-anak tidak akan memperoleh
alokasi biaya yang jelas. Kesehatan anak-anak tidak terurus dengan baik.
"Kalau kita mau
hitung, orang-orang yang berpendidikan di desa ini tidak seberapa. Karena
memang tidak ada niat untuk membiayai pendidikan anak-anak dan ini yang akan
kita ubah ke depan. Semua wajib sekolah, orangtua wajib sediakan biaya,"
katanya.
Kesadaran akan
kemajuan harus dimulai dari meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dan
kesadaran itu sudah dimulai warga Desa Kuta. Desa di pelosok Sumba Timur itu
sudah memberi teladan bagaimana menghembuskan angin perubahan itu dari desa,
bukan dari kota. (john taena/habis)
Diterbitkan pos kupang edisi Minggu, 20
Maret 2011
No comments:
Post a Comment