Thursday 16 July 2015

Menyelami Perut Bumi Kota Karang

                                                                                                                                                             POS KUPANG/JOHN TAENA

BERENDAM — Para pengunjung obyek wisata Gua Batu Kristal, di Jalan Kampung Baru Pelabuhan Ferry Bolok, Kupang Barat, Kabupaten Kupang  berendam sambil berenang di dalam kolam. Minggu (17/5/2015)
Hari itu, Minggu (17/5/2015) sekitar pukul 16.00 Wita, usai melakukan liputan di kawasan industry Kecamatan Alak, Pos Kupang hendak kembali ke Kantor Redaksi. Di luar dugaan dalam perjalanan pulang, puluhan orang menggunakan sekitar belasan sepeda motor berkonvoi. Mereka berboncengan. Ada yang berpasang – pasangan dan adapula yang sesama jenis kelamin. 

Konvoi sepeda motor yang menarik perhatian Pos Kupang itu menuju ke arah Markas Kepolisian Air (Polair). Namun sekitar 200 meter di belakang Sekolah Usaha Perikanan  Menengah  Negeri (SUPMN) Kupang yang berhadapan dengan Polair, konvoi sepeda motor itu berhenti.

Di sana sudah ada belasan anak yang menunggu. Mereka mengatur parkiran kendaraan pengunjung. Anak – anak itu juga berprofesi ganda, yakni tukang parkir sekaligus menjadi pamandu yang dibayar Rp 2000/sepeda motor. Tugas mereka adalah menjaga keamanan sepeda motor sekaligus memandu para pengunjung menusuri hutan belukar dan semak - semak.

Dari arah Kota Kupang, para pengunjung akan dipandu mamasuki semak – semak yang berada di sebelah kiri Jalan Kampung Baru Pelabuhan Ferry Bolok dari arah Kupang. Jaraknya lebih 100 hingga 200 meter dari lokasi parkiran, para pengunjung berjalan kaki hingga ke pintu masuk sebuah gua.

Saat berada di lokasi sekitar gua terlihat sepi dan tidak ada orang. Para pengguna belasan kendaraan roda dua yang mencapai puluhan orang karena berboncengan, baik  berpasang – pasangan maupun sesame jenis kelaminnya tidak satu pun terlihat di sana. Anak – anak muda itu seakan hilang begitu saja ketika tiba di depan pintu gua.

Waoow ! Sungguh sangat elok karya Tuhan yang satu ini. Rasanya tiada lagi kata yang tepat untuk menggambarkan senja temaram nan romantic, tatkala Pos Kupang diajak untuk terus menyelami perut bumi tanah karang. Menusuri Gua Batu Kristal yang berbentuk horizontal dengan pemandangan  berbagai ornament seperti stalaktit, stalakmit dan pilar serta ornament gording terus memanjakan mata.

Petulangan di dalam perut bumi tanah karang, akan terasa belum lengkap jikalau tidak terjun ke dalam sebuah kolam nan jernih di dasar Gua Batu Kristal. Selain sejuk juga kejernihan air akan memantulkan cahaya bebatuan Kristal dari dasar juga dinding gua. Seketika letih dan lelah terasa pergi meninggalkan tubuh setiap pengunjung saat terjun bebas, berenang sambil berendam di dalam kolam seluas kurang lebih 30 x 15 meter itu.

Warna kebiruan dan Kristal yang terpantul dari bebatuan dalam gua seakan tidak mau kalah memarkan keelokannya kepada para pengunjung dan pasangan masing – masing yang hendak memadu kasih.  Sambil berendam di dalam kolam, para pengunjung akan disapa oleh suara kawanan walet yang bersarang di sisi – sisi gua bersama anaknya. Begitupun  mahkluk hidup lainnya seperti serta kelelawar, tikus dan ikan bermata kecil, juga kelabang yang agak pendek dengan  kaki panjangnya, menjadi sahabat setiap pengunjung Gua Batu Kristal.

Bukan hanya para caver namun pecinta fotographi akan tertantang untuk mengabadikan setiap obyek seperti ornamen dari bebatuan yang sudah berusia ribuan bahkan jutaan tahun dalam Gua Batu Kristal. Begitupun dengan para pasangan insane manusia yang ingin memadu kasih dan memupuk rasa cinta mereka. Cahaya keemasan matahari senja yang langsung masuk dari mulut langsung menyentuh langit – langit dinding. Ornamen bebatuan dalam gua pun semakin terlihat jelas keelokannya. (john  taena)


Pesona Danau Batu Kristal Belum Dikenal

                                                                                                                                                             POS KUPANG/JOHN TAENA
  
KOLAM— Kolam renang yang terdapat di dasar gua Batu Kristal, Kecamatan Kupang Barat, kabupaten kupang. Sesaat sebelum berendam, para pengunjung obyek wisata tersebut masih menikmati berbagai ornament dalam gua gua sambil foto. Minggu (17/5/2015)
Danau Gua Batu Kristal adalah sebuah obyek wisata alam yang bisa dijadikan tempat rekreasi pada hari libur bagi warga Kota Kupang. Selain tidak terlalu jauh untuk dijangkau dengan berbagai jenis kendaraan lokasi yang satu ini juga masih tergolong natural. Pasalnya lingkungan sekitar yang jauh dari pemukiman dan gedung – gedung mewah juga belum tercemar.

Para pengunjung lokasi itu akan disuguhi oleh kicaun berbagai jenis burung yang menghuni hutan rimba setempat. Udara segar yang masih jauh dari polusi mesin dan asap pabrik akan terasa sejuk tatkala menapaki dan melintasi bayangan setiap pohon yang tumbuh sepanjang jalan setapak menuju pintu gua.

Gua Batu Kristal di Jalan Kampung Baru Pelabuhan Ferry Bolok, Kupang Barat, Kabupaten Kupang merupakan salah satu asset pariwisata dan mampu menarik perhatian para wisatawan domestic maupun asing. Namun hingga saat ini, salah satu lokasi obyek wisata itu belum mendapat perhatian pemerintah.

Sebagai obyek wisata alam,  Gua Batu Kristal seharusnya dilindungi dan dikelola dengan baik, oleh pihak pemerintah melalui instansi terkait. Hal ini bertujuan untuk menambah pendapat asli daerah (PAD) dari sector pariwisata. Selain itu meningkatkan ekonomi rumah tangga warga sekitar lokasi wisata tersebut.

“Pemandangan di dalam gua itu sangat indah. Di sana juga ada kolam jadi pengunjung bisa mandi. Biasanya kalau ada waktu luang atau hari libur saya sering referesing ke sini. Menurut saya, lokasi obyek wisata ini memiliki potensi yang cukup besar,” demikian Mario Gonsales Oki, mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang.

Berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini, katanya, lokasi obyek wisata Gua Batu Kristal akan ramai dikunjungi oleh para wisatawan asing maupun domestic setiap hari libur. Hal kini disebabkan lokasi itu masih tergolong natural dan jauh dari kebisingan. Namun sejauh ini warga sekitar belum mampu menarik uang yang dibawa oleh para pengunjung ke lokasi itu. “Kalau ada masyarakat yang berjualan snack atau aksesoris kan bisa menambah penghasilan. Biasanya pengunjung yang datang ke sini bisa sampai sore,” jelasnya.

Hal senada dikatakan oleh Matheos warga Oebobo. Dia menjelaskan, setiap kali berkunjung lokasi obyek wisata tersebut mereka harus membawa perlengkapan dan berbagai kebutuhan dari luar. Hal ini disebabkan, sejauh ini belum ada warung dan tempat yang disediakan bagi para pengunjung untuk bersantai setelah menikmati obyek wisata Gua batu Krisal.  “Kalau habis berenang di dalan kolam atau foto – foto pasti capek, paling kita tidak butuh snack dan minuman,” tandasnya. (john  taena)


Sumber Pos Kupang cetak, edisi Minggu, 12 july 2015, halaman 3

Kiprah Orlandia dan Dominggas Seusai Belajar LTS di India III

                                                                                                                                                                           POS KUPANG/JUMAL HAUTEAS
TANDA TANGAN -- Bupati TTS, Paul Mella menandatangani prasasti Bengkel LTS di Desa Koa, Kecamatan Mollo Barat, Rabu (8/7/2015). 
Anak – anak pun Menggapai Mimpinya

PERJUANGAN untuk mengubah nasib atau taraf hidup harus terbangun dari dalam diri setiap orang. Hal itu juga berlaku bagi suatu kelompok masyarakat. Karena dengan cara apapun perjuangan dan dorongan yang dilakukan oleh orang atau kelompok lain tidak akan mengubah nasib seseorang atau sekelompok orang, jika orang atau kelompok masyarakat tersebut tidak memiliki niat untuk mengubah nasib mereka sendiri.

Masyarakat Desa Koa, Kecamatan Mollo Barat-TTS pun menyadari spirit tersebut. Ketika Mario Viera, Ibu Anie Hashim Djojohadikusumo, dan sejumlah pengurus Yayasan Wadah Titian Harapan--perpanjangan tangan dari Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD)-- menyambangi mereka pada tahun 2013, masyarakat setempat belajar untuk menerima apa yang disampaikan dan mengubah pola pikir mereka untuk melakukan sesuatu dari dalam diri mereka untuk bergerak maju.

Hal ini dibuktikan dengan kesediaan masyarakat Desa Koa untuk menerima tawaran dari YayasanWadah Titian Harapan, dan siap mengikuti tes yang dilakukan tim dari India untuk menjadi peserta pelatihan surya elektrifikasi dan menadah air hujan di Garefoot College, Tilonia, Jaipur-India. Pelatihan selama enam bulan, 16 September 2013-14 Maret 2014.

Syaratnya 'membingungkan', peserta harus perempuan, berusia dewasa (tua) dan berpendidikan rendah. Bahkan yang tidak pernah bersekolah menjadi prioritas. Warga Koa pun justru berbahagia mengikuti program ini. Sebab, kalau diminta kaum berpendidikan dari Desa Koa, pasti akan menjadi syarat yang memberatkan bagi warga desa itu untuk mengikuti pelatihan.

"Kegiatan ini kami tawarkan kepada masyarakat akar rumput agar mereka tidak hanya sekadar mempertahankan kelangsungan hidup keluarga mereka, tetapi juga bisa membebaskan masyarakat dari lingkaran kemiskinan," kata Anie Hashim Djojohadikusumo, Rabu (8/7/2015), seusai peresmian Bengkel Listrik Tenaga Surya (LTS) di Desa Koa.

Ia berharap dengan adanya LTS di Desa Koa, rumah-rumah masyarakat tidak lagi hanya menjadi tempat untuk berteduh di saat hujan dan malam hari. Namun juga bisa menjadi tempat untuk menenun bagi ibu-ibu di malam hari, sekaligus menjadi sumber penerangan bagi anak-anak untuk lebih lama belajar di rumah pada malam hari.

Semoga penduduk desa ini memperoleh harapan dan masa depan lebih baik. Anak-anak pun dapat terpacu motivasinya mencapai mimpi mereka. "Kita sengaja memasang tiga titik lampu di setiap rumah, tanpa memberikan daya lebih untuk penggunaan televisi dan alat elektronik lainnya. Kami ingin masyarakat benar-benar menikmati penerangan dari LTS ini untuk aktivitas hidup yang lebih positif," kata Anie Hashim Djojohadikusumo.

Duta Besar India untuk Indonesia, Gurjit Singh, Rabu (8/7/2015) menyebut alasan memilih perempuan berumur dan minim pendidikan formal, karena jika kaum terpelajar yang diambil, tidak ada kepastian yang bersangkutan akan mau terus menetap di desanya untuk membagi ilmu yang sudah diperolehnya dari Garefoot College. "Kami pilih perempuan yang usianya cukup tua, karena setelah mendapatkan pendidikan, mereka tidak akan keluar dari lingkungannya. Sebaliknya, wanita muda dan laki-laki, setelah mendapat pendidikan langsung keluar dari lingkungannya," katanya.

Gurjit memberikan apresiasi yang tinggi kepada Olandina Ranggel dan Dominggas de Jesus, yang berhasil saat mengikuti pelatihan surya elektrifikasi dan menadah air hujan di Garefoot College, Tilonia, Jaipur, India, walau hanya dalam waktu enam bulan. "Ibu Olandina dan Ibu Dominggas adalah bagian kecil dari India yang ada di Desa Koa saat ini. Saya berharap setiap kali masyarakat Desa Koa nyalakan LTS, ada ingatan bahwa LTS adalah hasil dari persahabatan Indonesia dan India," harap Gurjit.

Kesungguhan hati masyarakat Desa Koa yang menerima program pelatihan elektrifikasi dan menadah air hujan di Garefoot College India akhirnya tidak hanya menghadirkan LTS di Desa Kota, tapi juga mampu menggerakkan hati sejumlah pihak untuk ikut memberikan sentuhan hati mereka membantu masyarakat Desa Koa.

Di antaranya, Ekspedisi NKRI untuk mendatangkan air melalui pompa hidrolik. Selain itu, ada pemberdayaan dengan kebun kelor untuk gisi keluarga dan peningkatan ekonomi keluarga. Selain itu, Ketua Komisi V DPR RI, Ir. Farry Francis, juga ikut berkarya dengan menghadirkan embung-embung dan jalan lingkungan dari bibir sungai ke Kampung Fafioban.

Farry juga menghadirkan pompa air tanah dan rehab 50 unit rumah warga. "Kami membantu masyarakat untuk membangun akses jalan, embung-embung, dan rehab rumah masyarakat. Mudah-mudahan kita bisa membuka akses pembangunan jembatan ke Desa Koa," kata Farry, Rabu (8/7/2015).

Bupati TTS Ir. Paul VR Mella, M. Si, juga memberikan perhatian kepada masyarakat Desa Koa. Bupati bersedia belajar dari apa yang sudah dilakukan Yayasan Wadah Titian Harapan dengan memberikan sentuhan pembangunan dengan hati, sehingga tumbuh rasa memiliki di hati masyarakat Desa Koa untuk menjaga fasilitas yang sudah mereka peroleh.

Sebagai bukti rasa cinta masyarakat Desa Koa terhadap fasilitas LTS yang ada saat ini, masyarakat membuat kesepakatan bersama untuk menjaga fasilitas LTS dengan bersedia membayar iuran bulanan sesuai kesepakatan bersama agar tersedia dana perbaikan perangkat LTS, terutama baterai yang harganya cukup mahal.

Semoga listik, air, kelor, yang sudah ada dan embung yang sebentar lagi akan hadir di Desa Koa, mengangkat taraf hidup masyarakat setempat menjadi lebih baik. Semoga harapan besar masyarakat Desa Koa untuk bepergian dari dan ke desa mereka dengan adanya jembatan yang menghubungkan desa mereka bisa terwujud.(jumal hauteas/habis)


Sumber Pos Kupang cetak, edisi Senin, 13 July 2015, halaman 1 

Sunday 12 July 2015

Kiprah Orlandia dan Dominggas Seusai Belajar LTS di India II

Meneteskan Air Mata Bahagia

Mendapat perhatian dari pemerintah atau pihak lain dalam bentuk pembangunan fisik secara langsung akan memberikan rasa bahagia yang sangat luar biasa bagi suatu kelompok masyarakat, apalagi sentuhan pembangunan tersebut sudah lama dirindukan oleh masyarakat.

Namun pembangunan yang lebih luar biasa adalah membangun sumber daya manusia untuk mengangkat harkat dan martabat kelompok masyarakat dari keterkebelakangan. Itulah yang dirasakan Dominggas de Jesus, dan Olandina Ranggel, seusai mengikuti pelatihan Listrik Tenaga Surya (LTS) di Garefoot Collage India, September 2014 hingga Maret 2015.

Keduanya ditempa dengan pengetahuan yang biasanya hanya bagi para teknisi dan ahli kelistrikan. Namun kedua ibu yang sudah masuk usia lanjut dan tidak menamatkan pendidikan dasar, kini bisa merakit jaringan listrik. Kebahagiaan Olandina dan Dominggas memuncak saat keduanya berhasil menerapkan ilmu yang mereka dapat di Garefoot Collage India, dengan merakit jaringan listrik bersumber dari LTS di Dusun Fafioban, Desa Koa, Kecamatan Mollo Barat, TTS yang dilakukan sejak April 2015 dan diresmikan Rabu (8/7/2015).

Tanda kebahagiaan tersebut seakan meluap dan saat rombongan Ibu Ani Hasyim Djojohadikusumo masuk halaman Bengkel LTS, Rabu (8/7/2015) sore. Diiringi nyanyian selamat datang dari anak-anak sekolah dan tarian penyambutan oleh warga masyarakat setempat, Olandina dan Dominggas, yang menunggu tepat di pintu masuk ke halaman Bengkel LTS, seakan tak percaya bahwa keduanya akan mendapat penghargaan luar biasa untuk karya mereka yang sulit dipercaya banyak orang.

Karenanya, Dominggas dan Olandina berjabatan tangan dengan Ibu Ani Hasyim Djojohadikusumo, dilanjutkan pelukan hangat hingga kedua ibu ini meneteskan air mata kebahagiaan di pelukan Ibu Ani Hasyim Djojohadikusumo, dan ibu-ibu dari Yayasan Wadah Titian Harapan.

Kepada Pos Kupang, Rabu (8/7/2015), Olandina mengatakan, apa yang mereka lakukan saat ini memasang jaringan LTS bagi 185 rumah tangga di Dusun Fafioban, Desa Koa merupakan berkat tak terhingga yang diberikan Tuhan melalui Yayasan Wadah Titian Harapan.

"Kami sangat berterima kasih kepada Tuhan karena melalui Wadah (Yayasan Wadah Titian Harapan), kami bisa belajar penerangan (LTS) di India. Dan, sekarang bisa memasang listrik untuk 185 rumah di dusun kami ini," ujar Olandina.

Olandina juga mengaku masih mengingat pelajaran merakit perangkat LTS yang diperoleh di Garefoot Collage India. Jika harus bagi dengan ibu-ibu yang ada di Desa Koa, keduanya akan dengan senang hati melakukannya untuk kebaikan bersama.

"Saya pasti bagi pengetahuan dengan siapa saja di sini (Desa Koa). Karena ilmu ini saya dapatkan dari pemberian orang lain. Jadi, saya juga harus siap membaginya," ujarnya.

Kebutuhan Air Bersih

Mengenai harapan untuk pembangunan di Desa Koa, Dominggas dan Olandina mengatakan, sejak puluhan tahun silam, baru kali ini ada sentuhan pembangunan secara nyata oleh pemerintah, TNI, dan Yayasan Wadah Titian Harapan.

"Kami berharap pemerintah tidak hanya melihat kami hari ini dan kembali melupakan kami. Tetapi terus memberikan sentuhan pembangunan, agar desa kami merasakan apa yang sudah dirasakan desa-desa lain saat ini," harap Dominggas.

Ketua Komisi V DPR RI, Ir. Farry Francis, kepada Pos Kupang, Rabu (8/7/2015) menjelaskan, pembangunan di Desa Koa masih kurang, namun pihaknya saat ini sudah memberikan perhatian melalui peningkatan infrastruktur dan peningkatan sarana kebutuhan dasar masyarakat setempat berupa pembangunan embung-embung, dan saluran irigasi. Embung dan saluran irigasi untuk memenuhi kebutuhan air bersih sekaligus untuk bercocok tanam bagi masyarakat.

Jalan masuk ke desa itu sebelumnya dari pinggir sungai ke pemukiman warga ditempuh hampir satu jam, karena harus berbelok-belok mencari ruang kosong diantara pepohonan. Tetapi sekarang sudah bisa ditempuh kurang dari 10 menit.

Pejabat Sementara (Pjs) Kepala Desa Koa, Jesaya Liufeto, Jumat (10/7/2015) mengatakan, Desa Desa Koa merupakan salah satu desa tua di Kabupaten TTS. Namun sentuhan pembangunan di desa ini cukup minim dan harus terus ditingkatkan agar kehidupan masyarakatnya bisa berkembang.

Ia menjelaskan, waktu tempuh ke Desa Koa dari SoE, ibukota Kabupaten TTS saat musim kemarau hanya satu jam. Namun saat musim penghujan, untuk mencapai desa tersebut harus melintasi jalan panjang, mengambil jalur dari Kecamatan Mollo Selatan, kemudian menyeberang melalui Desa Fatukoko dan Desa Salbait, baru tiba di Desa Koa. Itu juga jika tidak terjadi banjir. Karena ada satu anak sungai di Desa Salbait yang belum ada jembatan, sehingga jika banjir masyarakat harus bersabar menunggu hingga banjir surut untuk menyeberang.

Kalau putar lewat Fatukoko dari SoE untuk sampai di Desa Koa butuh waktu hampir tiga jam. Karena jalan yang sudah disertu, terbawa aliran air sehingga boleh dibilang masih jalan alam.

Bupati TTS, Ir. Paul VR Mella, M.Si, kepada Pos Kupang, Rabu (8/7/2015) mengatakan, Desa Koa masih tergolong desa terpencil dan belum banyak tersentuh pembangunan fisik.

Apa yang dilakukan Yayasan Wadah Titian Harapan sudah cukup memberikan spirit bagi pemerintah daerah agar tidak hanya membangun dengan pola umum yang selama ini dilakukan dengan mengutamakan pembangunan fisik. Tetapi, peningkatan sumber daya manusia juga penting, karena dengan sentuhan hati melalui masyarakat yang ada di desa, akan melahirkan rasa memiliki bagi masyarakat untuk hasil pembangunan.

"Saya pikir ini sesuatu yang bagus dan luar biasa. Kita selama ini berpikir bahwa listrik itu harus ahli kelistrikan. Tetapi ternyata ibu-ibu yang tidak bersekolah bisa. Pemerintah akan mencoba menggunakan pola pendekatan ini, untuk pembangunan yang lebih baik," katanya.


Desa Koa merupakan salah satu desa di Kecamatan Mollo Barat, Kabupaten TTS. Jumolah penduduk 242 kepala keluarga, terbagi 10 RW dan 23 RT. Desa ini diapit Sungai Noebesi yang cukup lebar, sehingga jika musim penghujan, masyarakat desa tersebut tidak bisa keluar, kecuali menunggu banjir redah atau memilih jalan panjang melintasi Desa Salbait.(jumal hauteas/bersambung)

Sumber Pos Kupang cetak, edisi Sabtu, 11 Juli 2015, halaman 1

Friday 10 July 2015

Kiprah Orlandia dan Dominggas Seusai Belajar LTS di India I

“Pada September 2013, Olandina Ranggel dan Dominggas de Jesus dari Desa Koa, Kecamatan Mollo Utara-TTS, dipilih oleh Yayasan Wadah Titian Harapan untuk ikut bersama enam orang ibu dari Kabupaten Sikka berangkat ke India.Di sana mereka dilatih cara merakit alat listrik, khususnya Listrik Tenaga Surya (LTS).Kini, Olandina dan Dominggas sudah kembali ke Desa Koa. Apa yang mereka lalukan? Inilah catatan wartawan Pos Kupang, Jumal Hauteas, yang mengunjungi desa itu, Rabu (8/7/2015).”
                                                                                                                                                                       POS KUPANG/JUMAL HAUTEAS
NATONI—Pendiri Yayasan Wadah Titian Harapan, Ny. Angie Hasyim Djojohadikusumo, Dubes India untuk Indonesia, Gurjith Singh, Bupati TTS, Paul Mella, dan Ketua Komisi V DPR RI, Farry Francis, diterima masyarakat Desa Koa dengan sapaan adat Natoni, Rabu (8/7/2015).
Dari Tangan Keriput Itulah….

Ketika Olandina (50) dan Dominggas (50) terpilih ke India, masyarakat Desa Koa, khususnya di Dusun Fatuoof, tercengang, bingung dan bimbang. Pasalnya, Olandina dan Dominggas, hanyalah ibu rumah tangga yang tidak mengerti apa-apa tentang listrik. Keduanya tidak memiliki ijazah sekolah formal. Olandina putus sekolah dasar di kelas tiga. Dominggas tidak pernah mengenyam pendidikan formal.

Walau demikian, di tengah kebimbangan masyarakat Fatuoof, ratusan kepala keluarga di dusun itu harus merestui kepergian dua ibu ini untuk belajar merakit listrik tenaga surya (LTS) di India. Pasalnya, desa ini tergolong desa terpencil, sangat minim sentuhan pembangunan.

Sarana kebutuhan dasar seperti jalan, air dan listrik yang dinikmati banyak masyarakat di NTT, seolah masih menjadi cerita dongeng bagi masyarakat di Desa Koa.  Karena itu, selepas kepergian Olandina dan Dominggas, masyarakat berdoa dan melakukan persiapan yang diminta oleh pendiri Yayasan Wadah Titian Harapan, Anie Hasyim Djojohadikusumo, dan semua tim wadah yang ada di Dusun Fatuoof, Desa Koa-TTS.

Persiapan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Koa adalah harus mendapatkan lahan kosong untuk dibersihkan dan dilakukan proses pembangunan satu unit rumah berukuran 7 x 9 meter persegi untuk menjadi bengkel LTS bagi masyarakat setempat. Karena itu, walau bimbang, dengan sedikit harapan yang ada, warga bahu membahu melakukannya dengan senang hati sehingga bengkel selesai dibangun sebelum Olandina dan Dominggas kembali dari pendidikan selama enam bulan di Garefoot Collage, India.

Di balik semangat gotong royong mereka membangun bengkel LTS, masyarakat Dusun Fatuoof, Desa Koa, juga percaya bahwa walau ilmu kelistrikan selama ini identik dengan para insinyur, Garefoot Collage India akan mampu memberikan pendidikan dan pelatihan maksimal bagi kedua ibu ini untuk membawa ilmunya kembali ke Desa Koa. Hal itu terbukti terpilihnya delapan ibu dari Indonesia sebagai tim dengan kualitas dan nilai terbaik untuk semua peserta dari negara yang ikut dalam pendidikan di India itu.

Dari tangan keriput Dominggas dan Olandina, terciptalah penerangan listrik LTS di Desa Koa. Dan, 185 rumah tangga di desa itu kini sudah terang benderang. Pada Rabu (8/7/2015) malam listrik LTS itu diresmikan oleh pendiri Yayasan Wadah Titian Harapan, Ny. Anie Hasyim Djojohadikusumo, dan Duta Besar (Dubes) India untuk Indonesia, HE Gurjith Singh.

Peresmian dihadiri Ketua Komisi V DPR RI, Ir. Farry Francis; Wakil Ketua DPRD NTT, Gabriel Beri Bina; Bupati TTS, Ir. Paul VR Mella, M.Si; unsur Muspida TTS, sejumlah anggota DPRD dari Kabupaten Kupang, Kota Kupang, TTS dan ratusan warga Desa Koa, Kecamatan Mollo Barat.

Kepada Pos Kupang, Rabu (8/7/2015), Dominggas dan Olandina mengaku tidak memiliki pengetahuan apa-apa terkait penerangan LTS. Namun karena dorongan dan dukungan dari Ny. Anie Hasyim Djojohadikusumo, dan semua tim Yayasan Wadah Titian Harapan, keduanya bersedia ikut dalam program tersebut dan bersedia belajar untuk memberikan nilai baru bagi masyarakat di Desa Koa.

Bahasa Isyarat

Olandina menuturkan, awal pelajaran di Garefoot Collage India, sulit karena faktor bahasa yang terbatas antara mereka dan tim instruktur. Karenanya lebih banyak komunikasi dengan bahasa isyarat. "Kami akhirnya berdiskusi dengan sesama teman dari Indonesia, dan berusaha mengerti dari warna kabel dan elemen," ujarnya.

Pengalaman luar biasa bagi Olandina dan Dominggas adalah sistem pembelajaran yang diperoleh di Garefoot Collage India lebih menitikberatkan pada praktek. Teori hanya sedikit sebagai pengantar. "Awalnya piringan elemen ini dibongkar di hadapan kami. Kemudian dicuci baru diajarkan kepada kami fungsi dari setiap elemen dan bagaimana merakitnya agar berfungsi maksimal," tuturnya.

Keduanya mengaku, berkat ketekunan dan kerja sama dengan enam ibu dari Sikka, mereka akhirnya bisa mengenal semua elemen beserta cara merakitnya dalam kurun waktu latihan tiga bulan. Selanjutnya tiga bulan terakhir digunakan ntuk memperkaya pengetahuan mereka di bidang pelajaran lainnya.

"Memang dari sini (Desa Koa) kami hanya diinformasikan bahwa kami akan mendapat pelajaran tentang penerangan (LTS). Sampai di sana kami diberikan pelajaran tata cara membuat kelambu, lilin, kapur tulis, dan (maaf) softex," jelas Olandina.

Tokoh masyarakat Desa Koa, Finsensius Tefa, Rabu (8/7/2015), mengatakan, apa yang dilakukan Yayasan Wadah Titian Harapan merupakan sesuatu yang luar biasa. Namun, ia meminta perhatian dari pemerintah daerah untuk terus membangun infrastruktur dasar lainnya, terutama akses jalan dan jembatan, agar akses transportasi dari dan ke Desa Koa tidak terputus saat musim penghujan.

"Sekarang listrik sudah menyala, air juga sudah ada karena bantuan dari TNI. Jalan sudah diperbaiki oleh pemerintah, tapi kami juga butuh jembatan agar tidak terisolasi saat musim hujan. Karena kalau hujan dan banjir berarti kami tidak bisa ke mana-mana lagi," ujarnya.

Pejabat Sementara (Pjs) Kepala Desa Koa, Jesaya Liufeto, membenarkan sulitnya akses transportasi dari dan ke Desa Koa, terutama saat musim hujan. Namun dengan adanya penerangan LTS di desanya, akan membantu masyarakat, khususnya anak-anak sekolah untuk mendapat waktu belajar yang lebih panjang, dan orang tua juga bisa beraktivitas lain pada malam hari. "Kami bersyukur karena bengkel LTS ini juga digunakan untuk anak-anak PAUD belajar, ibu-ibu menenun, dan bapak-bapak berdiskusi mengenai pembangunan desa ini," kata Jesaya. (Jumal Hauteas/bersambung)

Sumber Pos Kupang cetak edisi Jumat, 10 Juli 2015, halaman 1

Monday 6 July 2015

Semua Jenis Ikan Bakar Itu Enak

·        
                                                                                               POS KUPANG/JOHN TAENA
IKAN BAKAR--Salomi Wara-Amabi (45), warga RT 11/RW05, Kelurahan Kelapa Lima,
Kecamatan Kelapa Lima, sedang menyiapkan ikan bakar milik pelanggannya.
Gambar diabadikan, Sabtu (4/7/2015)
Melirik Usaha Ikan Bakar di Pantai Kelapa Lima

“Semua ikan yang dibakar itu enak. Tapi kebanyakan  pelanggan itu lebih suka ikan Kakap merah dan putih, kombong serta ikan kerapu. Biasanya kalau pas hari raya besar keagamaan atau musim pesta pasti banyak yang telpon dan minta pesan ikan bakar.”

Berbicara masalah ikan bakar, Salomi Wara – Ambi (45), warga RT 11, RW 05, Kelurahan Kelapa Lima, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang adalah ahlinya. Wanita tiga orang anak ini sudah menggeluti dunia usaha ikan bakar selama kurang lebih 10 tahun. Lokasi usaha ikan bakarnya berada di Jalan Timor Raya, tepatnya di bibir Pantai Kelapa Lima.

Berawal dari saran para pelanggan yang sering datang untuk membeli ikan di lapak sang suami, Salomi Wara – Ambi (45), mulai mendulang rupiah. Tanpa disadari sudah hampir 10 tahun, ibu ini mampu mengais setiap ceceran rupiah yang berhamburan di sepanjang Jalan Timor Raya dengan usaha ikan bakar.

“Ikan Bakar Om Ari” adalah sebuah nama yang tentu sudah tidak asing lagi setiap pengunjung Pantai Kelapa Lima. Bermodalkan racikan bumbu rahasia, sang pemilik usaha ikan yang satu ini dapat meraup keuntungan hingga jutaan rupiah. “Kurang lebih sudah 10 tahun saya bakar ikan di sini. Saya hanya siap bumbu dan bakar, kalau ikan itu mereka beli di tempat lain,” katanya saat ditemui Sabtu (4/7/2015).

Awalnya, kisah Ma Omi, usaha ikan bakar dipinggir Jalan Timor Raya tersebut lahir dari saran pelanggan yang biasa datang ke lokasi itu untuk membeli ikan segar. “Kebetulan suami saya jual ikan di sini, waktu itu banyak pelanggannya yang kasih saran bilang kenapa tidak sekalian bakar?” ujarnya.

Bermodalkan tenaga, arang tempurung dan racikan bumbu rahasia ikan bakar, dirinya mulai merintis usaha itu. Setiap hari dari pagi hingga malam, Ia selalu siap untuk melayani setiap pelanggan yang datang membawa ikannya untuk dibakar. Biaya yang dikenakan kepada setiap pelanggan pun bervariasi. Ha ini tergantung dari besar atau kecilnya ukuran ikan yang hendak dibakar. “Paling rendah itu Rp 10 ribu dan paling tinggi itu Rp 75 ribu, tergantung dari ukuran ikan yang mau dibakar,” jelas istri dari Samuel Wara (52) itu.

Biasanya pada hari libur atau musim pesta seperti wisuda, permandian, sunatan masal dan pernikahan masal, usaha ikan bakar ‘Om Aris’ pasti akan diserbu oleh para pelanggan. “Kadang kalau sonde bakar, pelanggan dong kecewa. Jadi kalau sudah rame, nanti ada suami dan anak – anak yang bantu. Paling ramai  itu biasanya musim pesta atau hari libur seperti sekarang, itu ikan  di sini bisa habis. Tidak selamanya mereka beli di sini, ada yang beli di tempat lain tapi datang antar baru bakar di sini,” ujarnya.

Setiap hari, paling kurang sekitar 15 kilo gram racikan bumbu rahasia ikan bakar dihabiskan. Hasil dari usaha ikan bakar tersebut dipakai untuk membiayai dan menghidupi keluarga. Selain itu dimanfaatkan untuk biaya pendidikan anak dan juga menabung. “Bilang saja tidak tau, pokoknya cukup untuk bisa makan, minum dan kasih sekolah anak,” kilahnya saat ditanya tentang penghasilan rata – rata setiap bulan yang diperoleh dari usaha bakar ikan.

Di tempat bakar ikan ‘Om Ari’ Sabtu (4/7/2015) terdapat ratusan pelanggan yang datang membawa ikan dari berbagai ukaran untuk dibakar. Harga untuk sekali bakar perekor bervariasi, mulai dari Rp 10 hingga Rp 75 ribu.  Selama kurang lebih satu jam, mulai dari sekitar pukul 12 – 13.00 Wita, penghasilan yang diraup oleh berkisar  Rp 2 juta sampai Rp 2,5 juta.(jet)

Sumber Pos Kupang cetak, edisi Minggu, 5 JULI 2015. Halaman 5 

Kuliner Jagung Titi dari Flotim

Suara Dentang Batu Beradu di Dapur-dapur

                                                                                                                   POS KUPANG/SYARIFAH SIFAT
JUAL JAGUNG --Bahria Lamado (45), warga Dusun I, Desa Lamawai, Kecamatan Solor Timur, menjual jagung titi di Pasar Inpres Larantuka, Kamis (2/7/2015). 
POS-KUPANG.COM, LARANTUKA --- Pulau Adonara bukan hanya terkenal karena perang tanding antar-saudara memperebutkan lahan, tapi juga sangat terkenal karena jagung titi. Inilah kekhasan Pulau Adonara, bahkan Kabupaten Flores Timur (Flotim).

Belum lengkap jika seseorang berkunjung ke Flotim saat pulang tidak membawa oleh- oleh jagung titi. Jagung titi merupakan pangan lokal yang dibuat dengan cara tradisional. Bukan seperti kebanyakan sekarang emping jagung -- mirip jagung titi -- hasil olahan industri rumah tangga.

Ketika berkunjung ke Flotim, Anda bisa saksikan di Pulau Adonara, Pulau Solor dan sebagian di Kota Larantuka, Ibukota Kabupaten Flotim, hampir semua rumah pasti punya alat pembuat jagung titi. Sebab, hampir semua perempuan dan sedikit laki-laki dewasa hingga anak-anak mahir membuat jagung titi.

Jagung titi adalah jagung yang dititi pakai batu lempeng hingga jagung menjadi lempeng. Cara membuat jagung titi sangat sederhana, jagung dipipil dari tongkolnya lalu disangrai atau digoreng tanpa menggunakan minyak selama 5-7 menit menggunakan periuk tanah hingga setengah matang.

Lalu jagung diangkat menggunakan tangan kosong dan dititi di atas batu kali yang dikepalkan dengan tangan. Prosesnya dilakukan satu per satu hingga butiran jagung itu memipih. Dan jadilah jagung titi.

Batu yang digunakan untuk meniti jagung, yaitu batu kali (pantai) yang kokoh dan lempeng, sebagai landasan, kemudian sebuah batu sebesar genggaman tangan orang dewasa untuk meniti.

Jagung titi yang berkualitas tinggi adalah jagung titi yang saat dikunya rasanya gurih. Karena itu, ibu-ibu dan anak putri yang biasanya titi jagung selalu memilih jagung pulut. Jagung pulut warnanya putih dan memiliki kekhasan sendiri. Rasanya benar- benar enak dan gurih.

Sedangkan jagung yang warnanya kuning membutuhkan tenaga yang kuat. Tukang titi jagung juga harus paham saat meniti jagung, terutama saat menggoreng jagung. Jagung tidak hanya setengah matang baru dititi, tapi dibutuhkan insting untuk merasakan apakah itu sudah pas untuk dititi atau belum.

Jika insting peniti jagung bagus, maka jagung yang dititi hasilnya gurih dan enak rasanya, walaupun tanpa digoreng atau dioven. Selain itu, jagung titi yang rasanya enak adalah jagung titi yang terbuat dari jagung muda. Jika hendak makan jagung titi muda, bahannya diambil dari jagung yang baru saja dipanen.

Kulitnya dikupas lalu jagung dijemur sampai kering (kadar air harus rendah) baru kemudian dititi. Dan, jika sudah diolah sedemikian rupa, rasanya enak sekali dan harganya lebih mahal dari jagung titi biasa. Namun jagung titi muda hanya dapat ditemukan pada saat musim panen jagung.

Biasanya proses pembuatan jagung titi dilakukan di dalam pondok atau rumah kecil yang dibuat khusus untuk pengolahan jagung titi. Namun, ada juga yang jagung titi dalam rumah di atas tungku tiga batu, yang juga dipakai untuk keperluan memasak makanan sehari-hari di rumah, di pondok di kebun, atau di mana saja ada orang tinggal.

Dan, tahukah Anda, bahwa segenggam jagung titi yang Anda pegang, tidak dibuat secepat kita menghabiskannya? Jagung dititi dalam butiran-butiran, dan sekali titi hanya terdiri dari satu, dua, atau tiga butir jagung. Satu tempayan jagung seukuran satu toples bisa diselesaikan dalam waktu lebih dari satu jam.

Jagung sejak nenek moyang menjadi makanan pokok. Sebab dulu, masyarakat Adonara dan sekitarnya tidak mengenal beras. Baru setelah masyarakat mengenal beras, maka dilakukan konversi jagung ke beras. Karena itu, bisa dibayangkan tiga kali sehari atau dua kali sehari warga Adonara atau warga Flotim pada umumnya akan memakan jagung.

Untuk balita, selain makan pisang, ada orangtua yang memberi balita jagung. Prosesnya, jagung dipipil kemudian direbus hingga menjadi bubur atau yang sekarang dikenal dengan sebutan jagung sereal.

Cara membuat bubur jagung zaman dulu sederhana, jagung titi diletakan di wajan dan tambah air lalu direbus hingga hancur seperti bubur baru kemudian ditambah garam secukupnya.

Selain sebagai pengganti makanan pokok, kini jenis jagung titi sudah banyak, seperti kerupuk. Bahkan sekarang jagung sudah diolah dalam berbagai rasa antara lain, rasa original, rasa coklat, dan rasa asin. Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, sebagaimana dikutip dari simpetadonara.blogspot.com, pernah mengisahkan begini.

"Di desa saya, jagung titi cukup mewarnai kehidupan warga. Tidak sekadar kata. Kalau beberapa tahun lalu Anda berada di kampung saya, maka pagi-pagi akan kedengaran suara dentang batu beradu di dapur-dapur rumah tempat ibu-ibu membuat jagung titi. Seperti musik. Pernah dalam waktu tertentu, dentang batu bahkan dijadikan pertanda waktu. Saya bangun tepat dentang batu pertama berbunyi, demikian orang menunjukkan kapan waktunya bangun. Atau saya terjaga waktu terdengar dentang batu itu."

Sebagian besar ibu-ibu dan anak gadis hampir pasti diberi kewajiban untuk melakukan pekerjaan ini, meniti jagung. Sedangkan bagi laki-laki, ini dipandang sebagai pekerjaan dapur dan urusan para wanita. Tidak cuma menyiapkan hidangan itu. Di ladang jagung, kaum wanita juga berperan.

Mereka menugal, menanam, hingga memanen. Sedangkan laki-lakinya dominan di membuka kebun, membersihkan ladang, dan urusan pergudangan di lumbung. Pada acara-acara kebersamaan, jagung titi adalah hidangan yang utama. Setiap keluarga bisa mengumpulkan masing-masing jagung titi kepada petugas untuk kemudian dibagikan lagi pada saat acara minum bersama. Bagi sahabat maupun anggota keluarga yang lagi perantauan, jagung titi akan menjadi tanda cinta mereka yang di kampung untuk kalian.


STORY HIGHLIGHTS

* Alat Titi Jagung Batu Lempeng

* Digoreng Tanpa Minyak Tujuh Menit

* Menggunakan Periuk Tanah