Tuesday 15 November 2016

‘Agama Bola’ di Sumba Menolak Paham Radikal





Pembukaan Turnamen Sepak Bola Antar Umat Beragama Sedaratan Sumba ke XV, di Lapangan Matawai, Waingapu dibuka Assisten I, Sumba Timur, Domu Warondoy. Partai pertama dalam even tahuna ini adalah Remas An-Nur, Waingapu, Sumba Timur vs Pemuda GKS Waibakul, Sumba Tengah. Selasa (15/11/2016)
Turnamen sepak bola antar umat beragama, telah menjadi agenda tahunan bagi seluruh masyarakat Sumba. Menyongsong hari raya Natal dan tahun baru yang demikian semula digagas oleh sekelompok pemuda jemaat Payeti, Waingpau,  Geraja Kristen Sumba (GKS).

Niat untuk membina kerukunan lewat dunia olah raga itu, semula diprotes dari sejumlah oknum tokoh dan pemuka agama setempat. Sepak bolah dinilai sebagai salah satu jenis olahraga bisa memicu konflik antar pemuda.

Menuai protes namun para pemuda itu tidak menyerah. Mereka terus berupaya dan meyakinkan semua pihak. Turnamen sepak bola antar umat beragama pun akhirnya terlakasana. Seiring perjalan waktu, jenis olahraga itu dijadikan sarana pemersatu sesama pemeluk agama.

Perebutan piala bergilir setiap tim sepak bola terus bergulir dari tahun ke tahun. Lapangan hijau telah mejadi sebuah rumah ibadah setiap tahun bagi setiap pemeluk agama yang ada.

Ribuan umat Kristen Protentan, Katolik Islam, Hindu dan Budha berkumpul bersama. Selain datang untuk mendukung tim kesayangan masing-masing, mereka juga dapat membangun komunikasi, membina kerukunan dan toleransi antar sesama.

“Usia turnamen ini sudah memasuki tahun yang ke-XV. Hanya ada satu pesan yang ingin kita sampaikan yaitu, harmonisasi dan kerukunan antar umat beragama,” jelas ketua panitia turnamen sepak bola antara umat beragama sedaratan Sumba ke-XV, Debertus Nd. Ndima, di lapangan Matawai, Waingapu, Selasa (15/11/2016).

Turnamen itu biasanya dibuka dengan sebuah ritual dalam upacara pembukaan. Ritual ‘agama bola’ itu wajib dilakukan sebelum turnamen dinyatakan resmi dibuka. Entah pemain ataupun penonton, wajib hukumnya untuk ritual itu.


Kesebelasan pemuda lintas agama saat upacara pembukaan Turnamen Sepak Bola Antar Umat Beragama Sedaratan Sumba ke-XV, di lapangan Matawai, Waingapu, Sumba Timur. Selasa (15/11/2016)
Tujuan ritual itu adalah untuk menjaga kerukunan dan toleransi antar sesama pemeluk agama sedaratan Sumba. Ritual ‘agama bola’ ala orang Sumba itu dikenal dengan sebutan deklarasi damai dan kehidupan yang harmonis.

Salah satu alasan yang paling mendasar adalah, semua orang adalah satu di rumah ibadah bersama itu. Selain itu ajaran ‘agama bola’ menolak paham radikalisme. Pasalnya radikalisme mengancam dan bisa merusak kerukunan antar umat beragama sedaratan Sumba.

Ada empat point di dalam ajaran “agama bola” yang selalu diucapkan bersama-sama setiap kali upacara pembukaan turnamen Sepak Bola Antar Umat beragama sedaratan Sumba.

Isi keempat hukum ajaran ‘agama bola’ itu antara lain; (1). kami pemuda lintas agama sumba menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan, dan sanggup menjaga kerukunan dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat di Pulau Sumba berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 45.

(2). Kami pemuda lintas agama Sumba sanggup untuk menciptakan suasana damai, dan menghargai perbedaan keyakinan serta ajaran agama masing-masing, dalam rangka menjaga persatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

(3). Kami pemuda lintas agama Sumba, menolak semua bentuk paham radikalisme yang mengatasnamakan agama, dan dapat mengancam serta menimbulkan perpecahan.

(4). Kami pemuda lintas agama sumba selalu menjaga nilai-nilai keberagaman sesuai dengan nilai-nilai bidaya lokal kami yang ada di Bumi Matawai Amahu Pada Njara Hamu, Bumi Padda Ewata Manda Elu, Bumi Tana Waikanena Loku Waikalala dan Bumi Loda Wee Maringi Pada Wee Malala.

Usai melaksakan ritual itu, perwakilan Pemuda Kristen Protestan, Pemuda Katolik dan Pemuda Islam. Perwakilan Pemuda Hindu dan dan Pemuda Denominasi Gereja Protestan, akan menandatangi deklarasi damai seperti yang terjadi pada Selasa (15/11/2016).  

“15 tahun lalu, kami dari pemuda GKS Payeti mencetuskan ide untuk turnamen sepak bola antara umat beragama itu memang ditantangan tapi kami berusaha meyakinkan para tokoh. Syukurlah sampai sekarang terus dilaksakan setiap tahun,” tutur Sekretaris Pemuda Sinode Geraja Kristen Sumba, Nikson D. R. Tana.

Di dalam lapangan hijau, bola akan digiring ke semua arah oleh para pemain. Namun hanya merujuk pada satu tempat yakni, ke kotak 16, 12 dan akhirnya ke dalam gawang. Saat berhasil menjebol gawang lawan, para pemain di dalam lapangan maupun penonton di luar lapangan akan melakukan selebrasi. Sementara pihak yang kebobolan akan menunjukan ekspresi kesedihan.  

Hal serupa juga akan terjadi ketika puncak even yang menghasilkan sebuah tim pemengan. Juara turnamen tentunya hanya satu tim kesebelasan, namun pesta kemengan akan dirayakan bersama-sama. Pasalnya hakekat dari even itu bukan mencari sang juara, melainkan nilai kebersamaan.

“Kami dari Remas At-Taqwa Kamala Putih, sudah pernah memegang piala bergilir Turnamen Sepak Bola Antar Umat beragamna di Sumba ini selama tiga tahun berturut. Keyakinan tidak bisa memisahkan hubungan kekeluargaan dan kerukunan kita,” sambung Abdul Haris, ST, anggota DPRD Sumba Timur dari Partai Hanura.
  

Perwakilan dari setiap pemeluk agama menanda tangani deklarasi damai dalam Turnamen Sepak Bola Antar Umat Beragama Sedaratan Sumba ke-XV, di lapangan Matawai, Waingapu, Sumba Timur. Selasa (15/11/2016)
Bagi orang Sumba, toleransi dan kerukunan antar umat akan tetap terpelihara dengan baik. Perberbedaan keyakinan memang tidak bisa dipungkiri di mana-mana. Semua orang bebas beribadah sesuai keyakinannya di rumah ibadahnya masing-masing.

Namun ketika “agama bola” memanggil, semua pemuda dari berbagai keyakinan akan berkumpul darimenjadi satu dalam sebuah rumah ibadah. Rumah ibadah yang disebut lapangan hijau itu akan dipadati setiap hari sore.

“Kehidupan orang Sumba itu harmonis. Hubungan baik yang ada itu dikarenakan adanya kawin mawin. Boleh berbeda keyakinan tapi hanya satu yaitu ‘agama bola’ yang ada kalau  kita sudah masuk di lapangan. Silakan datang studi banding tentang toleransi antar umat beragama,” tandasnya. (*)

Sunday 31 July 2016

Sorgum dan Pertobatan Ekologi Umat (2)

                                                                                                              POS KUPANG/JOHN TAENA
Kebun sorgum milik warga Dusun A, Desa Waikerong, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata. Selasa (10/5/2016).
KEPUTUSAN menjadikan sorgum sebagai tanaman kebanggaan yang digagas Keuskupan Larantuka sejak tahun 2009 butuh waktu panjang untuk sukses. Berbagai pihak yang menemui Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr untuk menawarkan bantuan kepada umat di desa-desa selalu tidak bertahan lama.

Pihak yang akhirnya berhasil membudidayakan sorgum di wilayah Keuskupan Larantuka adalah Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati).

"Saya bilang sudah terlalu banyak kelompok LSM yang datang menawarkan bantuan ke desa-desa. Apakah boleh kamu datang dan tinggal di desa, hidup dengan masyarakat di desa dan bekerja dengan mereka supaya seperti apa kehidupan dan pembangunan di desa itu dirasakan? Kalau kamu bersedia silakan," kata Uskup Frans mengulang pernyataanya saat pertama kali didatangi Maria Loreta yang ingin mengembangkan tanaman sorgum di Flores Timur.

Maria Loreta mengikuti anjuran Uskup Frans. Pengembangan sorgum yang hanya sekali tanam namun bisa panen berulang itu berhasil. Sorgum pun terbukti lebih tangguh menghadapi hama serta iklim yang tidak menentu.Di saat padi dan jagung gagal panen karena kekurangan air, sorgum malah bertumbuh subur di lahan kritis.

Menurut Direktur Yaspensel Keuskupan Larantuka, Romo Benyamin Daud, Pr saat panen raya sorgum di Dusun Likotuden, Desa Kawelelo, Kecamatan Demon Pagon, Flores Timur, Senin (9/5/2016), saat curah hujan terbatas akibat perubahan iklim, sangat cocok menanam sorgum yang tidak butuh banyak air.

Hal senada dikatakan Direktur Program Yayasan Kehati Teguh Triyono, saat acara panen raya sorgum di Dusun A, Desa Waukerong, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Selasa (10/5/2016).

Teguh menjelaskan, sorgum merupakan pangan lokal bergizi tinggi dan memiliki banyak keistimewaan. "Sederhananya begini, kalau ada yang sakit gula, lalu diteruskan makan beras, maka akan bertambah parah sakitnya. Tapi kalau pakai sorgum, bisa menghindari diabetes, karena kadar gulanya rendah," ujarnya.

Para petani yang selama ini didorong oleh Yayasan Kehati dan Yaspensel Keuskupan Larantuka menanam sorgum dibanding padi dan jagung karena jenis tanaman ini lebih tahan panas.
Menurut Teguh, kondisi alam daerah ini sangat menjanjikan untuk budidaya sorgum. Petani cukup menanam sekali, tapi dapat memanen berulang kali. Berbeda dengan nasib petani sorgum di luar negeri seperti Taiwan dan Cina yang hanya sekali panen.

"Di Taiwan dan China petani hanya panen satu kali setahun. Beda dengan kita, sekali tanam sorgum bisa panen berulang kali. Sekali potong dan masih ada sedikit air, sorgum bisa tumbuh dan bisa dipanen lagi. Itu adalah anugerah kita," ujar Teguh.

Dirut Yayasan KEHATI, M. Senang Sambiring, mengungkapkan rasa terima kasih kepada para petani di NTT. Menurut dia, setiap daerah memiliki ciri khas dan keunggulan sendiri. Hal ini perlu disuarakan terus oleh seluruh petani. Tujuannya agar ke depan bisa diperhatikan oleh pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan.

Sorgum dari Pulau Flores lebih berkualitas dibanding daerah lain. Hal ini terlihat dari hasil uji laboratorium yang dilakukan di Laboratorium Uji Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr, mengatakan, kehadiran Yayasan Kehati telah mendorong umat di keuskupannya untuk mengembangkan sorgum sebagai keunggulan yang dimiliki.
"Saya bermimpi ke depan generasi muda harus mencintai tempatnya. Mencintai lautnya, juga harus mencintai wilayahnya. Ketika berhenti dari sekolah karena orangtua tidak mampu melanjutkan, jangan pikiran yang ada itu adalah Malaysia. Semua hanya Malaysia padahal di sini juga bisa," ujar Uskup Frans.


Uskup Frans mengajak bupati dan wakil bupati, anggota DPRD dan seluruh instansi pemerintah untuk terus mendorong pengembangan tanaman sorgum di wilayah itu. (john taena/habis)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber Pos Kupang cetak, edisi cetak (Minggu, 16/5/2016 )

Sorgum dan Pertobatan Ekologi Umat (1)

POS KUPANG/JOHN TAENA
Maria Loreta bersama kaum perempuan di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagon, Flores Timur menjunjung sorgum hasil panen, Senin (9/5/2016).
SEJARAH tentang padi, tentang jagung, tentang sorgum. Ada sejarah yang hidup di dalam masyarakat, sehingga sebut sorgum itu adalah jati diri.

Devosi  Semana Santa di Keuskupan Larantuka, Flores Timur telah berlangsung selama kurang lebih 500 tahun. Namun apa sebenarnya tujuan di balik perayaan itu? Apakah sebatas berdoa dan bersyukur?

Apakah jawaban dari kehidupan beragama yang sudah berusia 500 tahun ketika mutu sekolah makin menurun? Tingkat kesejahteraan ekonomi umat pun tidak lekas membaik?
Demikian pertanyaan reflektif Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr ketika berbicara tentang tanaman sorgum yang kini dikembangkan secara luas dengan panenan berlimpah di Kabupaten Flores Timur (Flotim).

"Devosi Semana Santa cukup kuat di sini. Kami memperingati dan merayakan sudah 500 tahun. Ketika pencanangan 500 tahun perayaan ini, saya berpikir bahwa perayaan itu untuk apa? Apakah cuma bersyukur, berdoa?" ujar Uskup Frans di Larantuka, Senin (9/5/2016) lalu.

Pertanyaan reflektif Uskup Frans itu mencerminkan tekadnya untuk menghasilkan sesuatu yang lebih konkret sesuai kebutuhan masyarakat Flotim. "Perayaan 500 tahun Semana Santa dirayakan 2010, maka sejak 2009 saya ke Jakarta. Saya menjumpai tokoh-tokoh di sana, saya bangun dialog. Apakah ada pikiran untuk membantu Keuskupan Larantuka dan membantu Flores?" kenangnya.

Selama bertemu dengan para tokoh dan pengusaha di Jakarta, Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr, menggambarkan situasi ekonomi umatnya yang memrihatinkan dan mutu pendidikan yang semakin merosot. Uskup Frans mengharapkan sebuah bantuan untuk mengubah kehidupan umatnya di Flores dari aspek pendidikan dan kesejahteraan sosial ekonomi.

"Saya bertemu Ibu Mari Pangestu, Pak Goris Mere dan juga Menteri Purnomo Yusgiantoro. Juga banyak tokoh lain yang saya ajak diskusi. Akhirnya pelan -pelan muncul sejumlah gerakan. Awalnya gerakan peduli Larantuka, setelah itu ada peduli Flores, lalu makin meluas menjadi gerakan peduli Indonesia Timur," jelasnya.
Meluasnya gerakan itu sempat mencemaskan uskup. "Saya punya kekhawatiran jika terlalu luas maka gerakan awal akan terhenti. Maka saya sendiri berusaha fokus di Larantuka. Saya mau buat apa, tanpa mengabaikan Flores, dan gerakan peduli Indonesia Timur," katanya. 

Uskup Frans menjelaskan, gerakan peduli Larantuka, Flores dan Indonesia Timur menjadi topik diskusi para pemuka dan tokoh kala itu. Mereka bertemu di Kupang dan Surabaya beberapa kali guna membahas topik ini.

"Saya kembali fokus pada pendidikan, kesejahteraan ekonomi umat lewat pertanian. Itulah kenapa pilihannya pada tanaman sorgum di tempat itu (Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Flores Timur, Red)," jelas Uskup Frans.

Lokasi tersebut dipilih sebagai titik awal pengembangan tanaman sorgum oleh Mgr. Frans bukan tanpa alasan. Pertama, masyarakatnya masih tradisional dan terpencil, namun memiliki prospek ke depan. Masyarakat sederhana dan masih kuat dengan tradisi.

"Daerah ini merupakan titik pembangunan penting karena bisa ditarik garis ke mana- mana. Ke Flores daratan barat, bisa ditarik garis ke Pulau Solor, ditarik garis ke Adonara dan Pulau Lembata. Biasanya masyarakat sederhana dan kuat tradisi itu memiliki ikatan kekeluargaan yang juga kuat," ujar Uskup Frans.

Sebelumnya Uskup Larantuka sempat berpikir untuk mengembangkan peternakan di daerah itu karena warga memiliki tradisi beternak. Namun, ada masalah lain yaitu tidak mudah mengubah tradisi beternak lepas ke ternak peliharaan.

Sebagai daerah yang memiliki prospek, maka pihak Keuskupan Larantuka meminta dukungan pemerintah membangun dermaga. Tujuannya memperlancar transportasi laut.
"Dengan kegiatan panen sorgum ini, saya berterima kasih kepada Yayasan KEHATI (Keanekaragaman Hayati Indonesia)," ujarnya.

Sorgum merupakan tanaman yang menarik bagi warga Pulau Flores dan Lembata. Jenis tanaman itu bukan sekadar untuk memenuhi tuntutan perut, melainkan jati diri.

"Ini menarik bagi saya, ketika tadi ada orang yang menyebut jenis tanaman ini punya kaitan dengan jati diri. Jadi, ini tanaman masyarakat lokal yang punya sejarah. Sejarah tentang padi, tentang jagung, tentang sorgum. Ada sejarah yang hidup di dalam masyarakat, sehingga sebut sorgum itu adalah jati diri," demikian Uskup Frans. (john taena/bersambung)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber Pos Kupang cetak, edisi Sabtu (14/5/2016)