Thursday 17 July 2014

Melirik Warga di Pulau Terluar



Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
 
REVOLUSI Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah salah satu gebrakan pemerintah untuk menekan tingkat kematian ibu dan anak di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah melalui dinas kesehatan gencar mensosialisasikan program ini sampai di kampung-kampung. Ibu-ibu hamil yang mau melahirkan harus dibawa ke puskesmas atau rumah sakit untuk mendapat pelayanan dari para tenaga kesehatan terlatih.
Program lainnya di bidang kesehatan adalah  memberikan kartu jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Setiap kepala keluarga (KK) yang masuk kategori miskin mendapat-kan kartu ini untuk menda-patkan pelayanan kesehat-an gratis di puskesmas atau rumah sakit pemerintah.
Bagi warga di daerah lain, program ini sangat mem-bantu. Akan tetapi bagi 125 kepala keluarga (KK) atau 618 jiwa yang tinggal di Pu-lau Salura, Kecamatan Karera, Kabupaten Sumba Timur, tidak demikian. Untuk menuju puskesmas terdekat, warga harus naik perahu motor menyeberangi laut. Dan biaya transpor luar biasa mahalnya, yakni Rp 500 ribu/orang pergi pu-lang. Kalau yang hendak berobat itu adalah ibu hamil atau pasien gawat darurat lain, tentu tidak bisa pergi sendirian. Maka biaya yang dikeluarkan minimal Rp 1 juta. Itu hanya untuk ongkos perahu motor. Meski biaya sewa perahu motor demiki-an mahal, hanya untuk 1,5 jam pelayaran dari Salura ke Puskesmas di Kecamatan Karera di daratan Sumba, tidak pernah ada intervensi pemerintah untuk memban-tu warga, misalnya menge-luarkan aturan tentang tarif angkutan.
 Akses warga terhadap sarana kesehatan begitu sulit. Harapan mereka tentang hadirnya sarana kesehatan di pulau terluar itu sudah menjadi mimpi selama puluhan tahun yang tak pernah terealisasi.
“Kami minta pemerintah bangun Poskedes (pos pela-yanan kesehatan desa) dan menempatkan perawat di desa kami. Kalau tidak, ka-mi tidak bisa ke puskesmas. Terlalu mahal biaya trans-portasi,” keluh Zahlan Abu-bakar (31), salah seorang kader posyandu di desa itu.
Tahun lalu (2010), warga setempat yang diserang malaria, diare, demam dan mencret. Umumnya yang terserang adalah anak-anak dan ibu hamil. Karena tidak ada petugas kesehatan di pulau itu yang bisa segera memberikan pertolongan medis, salah seorang anak akhirnya meninggal dunia.
Tokoh masayarakat Pulau Salura, Haji Muhamad Saleh (75), dengan suara bergetar melukiskan derita warga di pulau itu, saat berdialog dengan Dewan Pertimbangan Kesehatan Daerah, Kabupaten Sumba Timur, 10 Juni 2011, lalu.
“Awal tahun ini sudah ada dua orang mati. Bulan Februari lalu satu bayi dan satu orang ibu melahirkan yang meninggal dunia. Waktu itu kami mau bawa ke puskesmas tapi karena gelombang tinggi akhirnya tidak bisa,” katanya.
Orangtua itu tak kuasa membendung air matanya saat menceritrakan proses meninggalnya seorang ibu yang gagal melahirkan. Ka-rena tak ada petugas kese-hatan, tuturnya, ibu itu di-bantu seorang dukun. Se-lama dua hari, ibu itu ber-juang melawan maut. Akhir-nya sang ibu itu meninggal dunia bersama anak dalam kandungannya, karena lemas.
“Mati itu sudah diatur (oleh Tuhan, Red). Tapi tidak ada salahnya untuk kita berjuang. Seandainya waktu itu ada petugas kesehatan di desa kami, mungkin ibu itu bisa melahirkan dengan selamat,” katanya.
Persoalan lainnya yang menimpa masyarakat di pulau itu adalah mahalnya biaya pelayanan kesehatan. Petugas medis yang sese-kali datang memberikan pelayanan di pulau itu, menjual obat pada setiap pasien yang dilayani.
“Kami mau tanya, sebe-narnya biaya berobat itu berapa? Selama ini kami bayar Rp 50 ribu mereka (petugas medis dari puskes-mas, Red) terima, Rp 20 ribu terima dan Rp 15 ribu juga mereka terima. Jadi yang sebenarnya itu bera-pa?” tanyanya.
Menanggapi itu, Kepala Puskesmas Nggongi, dr. Rizal Edwin Kurniawan mengaku kewalahan mengontrol stafnya yang bertugas di pulau itu. Tarif pelayanan resmi, katanya, Rp 4.000/pasien. Sedangkan pasien yang mempunyai kartu jamkes-mas tidak bayar. Dia menduga, tarif yang ditetapkan petugas medis yang mencapai Rp 50 ribu itu karena petugas medis membawa obat pribadi.
Ketua DPKD Sumba Ti-mur, dr. Lapoe Moekoe me-ngatakan, ke depan harus dibangun poskesdes dan ditempatkan petugas ke-sehatan di pulau tersebut.
Dijarah Asing
Kepala Desa Praisalura, Muhamad Saleh (60) me-ngatakan bahwa kekayaan laut di sekitar pulau itu se-ring dijarah oleh para nela-yan dan kapal asing. Selain itu, wilayah perairan di pulau itu itu sering menjadi jalur penyelundupan imigran ge-lap dari Indonesia ke Australia.
“Bagaimana aparat ke-amanan bisa tangkap nela-yan asing yang punya kapal dan peralatan yang canggih, sementara petugas kita tidak memiliki peralatan yang memadai?” katanya.
Dia melukiskan bahwa selama 60 tahun lebih war-ga cinta NKRI. Tapi cinta warga itu bertepuk sebelah tangan karena warga tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Setiap pejabat pemerintah yang datang ber-kunjung ke pulau itu selalu dan selalu membawa janji.
“Kalau ada tawaran dari negara tetangga kepada kami untuk bergabung, maka jangan salahkan kami kalau kami pindah. Tapi kalau pemerintah mau perhatikan kami di sini, tidak hanya janji-janji, maka NKRI adalah harga mati,” katanya (john taena)

diterbitkan pos kupang
Selasa, 21 Juni 2011

No comments: