Cinta
Bertepuk Sebelah Tangan
REVOLUSI Kesehatan
Ibu dan Anak (KIA) adalah salah satu gebrakan pemerintah untuk menekan tingkat
kematian ibu dan anak di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah melalui dinas
kesehatan gencar mensosialisasikan program ini sampai di kampung-kampung.
Ibu-ibu hamil yang mau melahirkan harus dibawa ke puskesmas atau rumah sakit
untuk mendapat pelayanan dari para tenaga kesehatan terlatih.
Program lainnya di bidang kesehatan adalah
memberikan kartu jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Setiap kepala
keluarga (KK) yang masuk kategori miskin mendapat-kan kartu ini untuk
menda-patkan pelayanan kesehat-an gratis di puskesmas atau rumah sakit
pemerintah.
Bagi warga di daerah lain, program ini sangat
mem-bantu. Akan tetapi bagi 125 kepala keluarga (KK) atau 618 jiwa yang tinggal
di Pu-lau Salura, Kecamatan Karera, Kabupaten Sumba Timur, tidak demikian.
Untuk menuju puskesmas terdekat, warga harus naik perahu motor menyeberangi
laut. Dan biaya transpor luar biasa mahalnya, yakni Rp 500 ribu/orang pergi
pu-lang. Kalau yang hendak berobat itu adalah ibu hamil atau pasien gawat
darurat lain, tentu tidak bisa pergi sendirian. Maka biaya yang dikeluarkan
minimal Rp 1 juta. Itu hanya untuk ongkos perahu motor. Meski biaya sewa perahu
motor demiki-an mahal, hanya untuk 1,5 jam pelayaran dari Salura ke Puskesmas
di Kecamatan Karera di daratan Sumba, tidak pernah ada intervensi pemerintah
untuk memban-tu warga, misalnya menge-luarkan aturan tentang tarif angkutan.
Akses warga terhadap sarana kesehatan begitu
sulit. Harapan mereka tentang hadirnya sarana kesehatan di pulau terluar itu
sudah menjadi mimpi selama puluhan tahun yang tak pernah terealisasi.
“Kami minta pemerintah bangun Poskedes (pos pela-yanan
kesehatan desa) dan menempatkan perawat di desa kami. Kalau tidak, ka-mi tidak
bisa ke puskesmas. Terlalu mahal biaya trans-portasi,” keluh Zahlan Abu-bakar
(31), salah seorang kader posyandu di desa itu.
Tahun lalu (2010), warga setempat yang diserang
malaria, diare, demam dan mencret. Umumnya yang terserang adalah anak-anak dan
ibu hamil. Karena tidak ada petugas kesehatan di pulau itu yang bisa segera
memberikan pertolongan medis, salah seorang anak akhirnya meninggal dunia.
Tokoh masayarakat Pulau Salura, Haji Muhamad Saleh
(75), dengan suara bergetar melukiskan derita warga di pulau itu, saat
berdialog dengan Dewan Pertimbangan Kesehatan Daerah, Kabupaten Sumba Timur, 10
Juni 2011, lalu.
“Awal tahun ini sudah ada dua orang mati. Bulan
Februari lalu satu bayi dan satu orang ibu melahirkan yang meninggal dunia.
Waktu itu kami mau bawa ke puskesmas tapi karena gelombang tinggi akhirnya
tidak bisa,” katanya.
Orangtua itu tak kuasa membendung air matanya saat
menceritrakan proses meninggalnya seorang ibu yang gagal melahirkan. Ka-rena
tak ada petugas kese-hatan, tuturnya, ibu itu di-bantu seorang dukun. Se-lama
dua hari, ibu itu ber-juang melawan maut. Akhir-nya sang ibu itu meninggal
dunia bersama anak dalam kandungannya, karena lemas.
“Mati itu sudah diatur (oleh Tuhan, Red). Tapi tidak
ada salahnya untuk kita berjuang. Seandainya waktu itu ada petugas kesehatan di
desa kami, mungkin ibu itu bisa melahirkan dengan selamat,” katanya.
Persoalan lainnya yang menimpa masyarakat di pulau itu
adalah mahalnya biaya pelayanan kesehatan. Petugas medis yang sese-kali datang
memberikan pelayanan di pulau itu, menjual obat pada setiap pasien yang
dilayani.
“Kami mau tanya, sebe-narnya biaya berobat itu berapa?
Selama ini kami bayar Rp 50 ribu mereka (petugas medis dari puskes-mas, Red)
terima, Rp 20 ribu terima dan Rp 15 ribu juga mereka terima. Jadi yang
sebenarnya itu bera-pa?” tanyanya.
Menanggapi itu, Kepala Puskesmas Nggongi, dr. Rizal
Edwin Kurniawan mengaku kewalahan mengontrol stafnya yang bertugas di pulau
itu. Tarif pelayanan resmi, katanya, Rp 4.000/pasien. Sedangkan pasien yang
mempunyai kartu jamkes-mas tidak bayar. Dia menduga, tarif yang ditetapkan
petugas medis yang mencapai Rp 50 ribu itu karena petugas medis membawa obat
pribadi.
Ketua DPKD Sumba Ti-mur, dr. Lapoe Moekoe me-ngatakan,
ke depan harus dibangun poskesdes dan ditempatkan petugas ke-sehatan di pulau
tersebut.
Dijarah Asing
Kepala Desa Praisalura, Muhamad Saleh (60) me-ngatakan bahwa kekayaan laut di sekitar pulau itu se-ring dijarah oleh para nela-yan dan kapal asing. Selain itu, wilayah perairan di pulau itu itu sering menjadi jalur penyelundupan imigran ge-lap dari Indonesia ke Australia.
Kepala Desa Praisalura, Muhamad Saleh (60) me-ngatakan bahwa kekayaan laut di sekitar pulau itu se-ring dijarah oleh para nela-yan dan kapal asing. Selain itu, wilayah perairan di pulau itu itu sering menjadi jalur penyelundupan imigran ge-lap dari Indonesia ke Australia.
“Bagaimana aparat ke-amanan bisa tangkap nela-yan
asing yang punya kapal dan peralatan yang canggih, sementara petugas kita tidak
memiliki peralatan yang memadai?” katanya.
Dia melukiskan bahwa selama 60 tahun lebih war-ga
cinta NKRI. Tapi cinta warga itu bertepuk sebelah tangan karena warga tidak
mendapatkan perhatian dari pemerintah. Setiap pejabat pemerintah yang datang
ber-kunjung ke pulau itu selalu dan selalu membawa janji.
“Kalau ada tawaran dari negara tetangga kepada kami
untuk bergabung, maka jangan salahkan kami kalau kami pindah. Tapi kalau
pemerintah mau perhatikan kami di sini, tidak hanya janji-janji, maka NKRI
adalah harga mati,” katanya (john taena)
diterbitkan pos kupang
Selasa, 21 Juni 2011
No comments:
Post a Comment