Thursday 17 July 2014

Wabah Penyakit Ngorok di Wolowae (1)

Andai Sudah Terjual Sapi itu...

Ditemui di pondok kecil di tengah sawah di Desa Tendakinde, Kamis (20/8/2009), Tuka mengisahkan usahanya memelihara ternak untuk menopang ekonomi keluarganya.

Awalnya dia memelihara seekor babi yang kemudian dijual dan dibelinya lagi lima ekor untuk dipelihara lagi. Setelah besar, kelima ekor babi itu dijual dan uangnya dipakai untuk membeli seekor sapi jantan seharga Rp 2,5 juta.

"Sapi itu saya beli masih kecil dan sudah saya pelihara kurang lebih tiga tahun ini," katanya.

Namun wabah penyakit ngorok atau septichaemia epizooticae (SE), sejak Juni lalu membunuh ratusan ekor sapi, kerbau, kuda dan babi milik warga, termasuk satu- satunya sapi jantan milik Tuka itu.

Ayah 12 anak itu terlihat begitu menyesal, karena sudah ada pembeli yang datang meminta membeli sapinya itu dengan harga Rp 4,5 juta, namun Tuka masih bertahan dengan harga Rp 5,5 juta.

Saat itu, Tuka sudah membayangkan bahwa dengan uang Rp 5,5 juta hasil penjualan sapinya itu, dia bisa membeli dua ekor sapi lagi untuk dikembangkan guna menopang ekonomi keluarga.

"Waktu itu sudah ada orang yang tawar dengan harga Rp 4,5 juta, tapi saya mau jual dengan harga Rp 5,5 juta," katanya.

Andai saja, Tuka menurunkan harga sapinya itu menjadi Rp 5 juta, bisa jadi pembeli mau dan kini Tuka tidak sekusut saat ini. Sebab, saat wabah SE menyerang, sapinya sudah terjual.

Namun hanya terpaut tiga hari dari kedatangan pembeli itu, sapi kesayangannya tewas meregang nyawa diserang SE. Tekad Tuka guna mengembangkan usaha peternakannya pun kandas.

"Kalau tidak salah, tiga setelah pembeli itu datang, saya punya sapi mati. Begitu kena pagi hari, tidak sampai sore langsung mati," katanya.

Banyak peternak lainnya di Tendakinde yang senasib dengan Tuka. Seperti Jamaludin (45), warga RT 07, Dusun Kaburea, Desa Tendakinde. Dalam hitungan hari, ayah tiga anak ini kehilangan empat ekor sapi akibat tewas diserang SE. Padahal, ternak peliharaan itu merupakan sandaran utama Jamaludin dalam membiayai tiga anaknya yang sedang sekolah. Anaknya yang sulung sedang kuliah, nomor dua di kelas III SMA dan bungsu di kelas I SMA.

Kematian empat ekor sapi senilai Rp 15 jutaan itu membuat Jamaludin kebingungan memenuhi kebutuhan biaya sekolah anak-anaknya. Akhir bulan Juli lalu ketiga anaknya harus melunasi biaya pendidikan masing-masing. Dia merencanakan menjual seekor sapi jantan dengan harga Rp 6,5 juta. "Saya punya anak yang SLTA harus pergi praktek di Surabaya," katanya.

Jamaludin menambahkan, pembeli yang datang menawar sapi tersebut dengan harga Rp 6.250.000. Karena tidak diperoleh kesepakatan harga, sapi miliknya tidak terjual.

"Saya tidak pernah bayangkan akan mengalami musibah ini," katanya.

Dia menuturkan, awalnya dua ekor anak sapi miliknya, mati. Satu minggu kemudian, induk sapi pun mati, disusul seekor sapi jantan dewasa.

"Kerugian yang saya alami sekitar Rp 15   juta. Sekarang saya hanya bisa mengandalkan penhasilan dari garam yang tidak seberapa. Terpaksa utang kiri kanan untuk bayar anak-anak punya uang sekolah," keluh  Jamaludin. (john/bersambung)


diterbitkan pos kupang
Senin 24 Agustus 2009

No comments: