Showing posts with label Organik. Show all posts
Showing posts with label Organik. Show all posts

Monday 22 December 2014

Penganan Khas Pulau Sumba Itu Mulai Tergeser


Manggulu, salah satu penganan khas Pulau Sumba
Manggulu. Demikian sebutan untuk salah satu jenis makanan khas daerah yang sudah dikenal secara turun temurun dari para leluhur orang Sumba Timur, di Pulau Sumba. Mungkin kedengarannya agak sedikit asing bagi Tuan dan Puan, namun ssejujurnya jenis makanan khas yang dibungkus daun pisang kering ini sangat lezat rasanya.

Tuan dan Puan, Manggulu adalah salah satu jenis penganan khas daerah di Pulau Sumba yang terbuat dari kacang tanah dan pisang. Ukurannya kecil dan bentuknya pun mirip dodol. Meskipun kedua jenis makanana ini mirip, namun  tetap tidak sama baik rasa maupun kemasan. Namanya juga makanan khas, kalau sama rasa dan kemasan maka tidak akan khas lagi.  

Sesungguhnya penganan khas daerah yang satu ini tidak kalah lezatnya. Sayangnya jenis penganan lokal Sumba Timur itu sudah jarang ditemukan. Hanya di beberapa wilayah yang masyarakatnya masih membuat produk tersebut. Itu pun hanya pada waktu – waktu tertentu dan jumlahnya pun terbatas di Pulau Sumba Tuan  dan Puan.

Dalam kemasan aslinya, Manggulu dibungkus dengan daun pisang kering. Bagi orang Sumba, daun pisang kering memiliki nilai pengawet. Sayangnya, belakangan daun pisang mulai ditinggalkan dan diganti dengan kemasan modern seperti plastik. Keasliannya sebagai penganan khas yang sehat serta ramah lingkungan karena tidak mengandung unsure kimia itu mulai terancam.

Jika Tuan dan Puan sempat mengunjungi Pulau Sumba, Manggulu saat ini memang masih ada di daerah itu terutama Sumba Timur. Namun keberadaannya mulai tergeser oleh penganan dari luar. Selain karena produksinya terbatas, perubahan gaya hidup masyarakat setempat pun turut mempengaruhi eksistensi produk tersebut. Keterbatasan produksi disebabkan oleh proses pembuatannya yang cukup memakan waktu.


Biasanya, pisang kapok masak harus dikeringkan terlebih dahulu. Sementara kacang tanah digoreng kemudian diangkat kulit arinya. Pisang yang sudah dikeringkan kemudian kemudian ditumbuk. Demikian juga kacang tanah yang sudah digoreng. Selanjutnya, kedua bahan yang sudah dihaluskan ini dicampur dan dibentuk. Jika cara tradisional pembentukan Manggulu menggunakan tangan, maka belakangan pencampuran dan pembentukannya kini beralih menggunakan mesin penggiling.

Saat ini Manggulu memang masih bisa ditemukan di Sumba Timur, namun hanya di wilayah – wilayah tertentu saja. Di Kota Waingapu juga ada sejumlah industry rumah tangga yang membuat Manggulu. Itupun produksinya tidak banyak dan sangat terbatas, selain karena kekurangan modal usaha, akibatnya Menggulu jarang ditemukan di toko kue. Jikalau ada, jumlahnya sangat terbatas. Itupun jarang laku terjual karena Manggulu sebagai cirri khas daerah seakan tenggelam di antara penganan dari luar.

Tuan dan Puan, selain kacang Sumba yang dikenal memiliki karena kekhasan rasanya,  Sumba Timur juga kaya akan penganan lokal. Namun harus diakui karena gaungnya kalah dengan penganan dari luar. Kemasan dan tampilan yang lebih menarik, pergeseran pola hidup masyarakat setempta juga turut mempengaruhi eksistensi Manggulu sebagai penganan lokal.


Beta melihat, masyarakat Sumba Timur akan merasa lebih berkelas jika menenteng donat atau roti dengan kemasan yang menarik daripada Manggulu dengan kemasan daun pisang kering. Mungkin ini juga disebabkan oleh pengaruh promosi dan pencitraan pangan lokal yang masih terbatas. Akibatnya, menyebabkan penganan ini tidak banyak dilirik oleh masyarakat Sumba Timur.

Tuan dan Puan, Manggulu memang belum terkenal seperti kacang Sumba. Jangankan untuk masyarakat luar, generasi muda Pulau Sumba saja bahkan sudah ada yang tidak mengenal Manggulu. Padahal kalau diperkenalkan terus – menerus, Manggulu bisa menjadi penganan yang diminati banyak orang karena rasanya khas. (*)

Friday 19 December 2014

Kami Tidur dengan Perut Kosong


POS KUPANG/JOHN TAENA
Beberapa warga Kampung Hiliwuku, Desa Katikuluku, Kecamatan Matawai Lapawu, Sumba Timur mendaki bukti untuk mengambil air di kubangan di padang, Sabtu (11/10/2014) sore
Laporan Wartawan Pos Kupang, John Taena
POS KUPANG.COM, WAINGAPU --  Akibat gagal tanam dan gagal panen tanaman padi dan jagung, sekitar 130 jiwa warga RT10/RW 04, Dusun Tandai Rotu, Desa Katikuluku, Kecamatan Matawai Lapawu, Kabupaten Sumba Timur, kelaparan.
Demikian disampaikan Ketua RT 10/RW 04, Dusun Tandai Rotu, Desa Katikuluku, Yakob Hiwal Maramba Djawa (42), kepada  Pos Kupang di Kampung Hiliwuku, Sabtu (11/10/2014) malam. "Tahun ini kami tidak panen. Sekarang sudah musim lapar, kadang - kadang kami tidur dengan perut kosong," ujar Yakob.
Bencana kelaparan yang dialami rutasan jiwa di kampung itu, kata Yakob, sudah disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumba Timur. Laporan disampaikan langsung kepada Bupati Sumba Timur, Gidion Mbilijora, saat berkunjung ke desa itu beberapa waktu lalu. Tetapi, lanjut Yakob, sampai saat ini bantuan yang diharapkan dari pihak pemerintah belum direalisasikan.
Ia menjerlaskan, meskipun iwi adalah jenis umbian yang beracun, tapi tetap dijadikan  makanan alternatif. Sebab, padi dan jagung yang ditanam oleh para petani setempat pada musim lalu tidak bisa dipanen. "Kalau setiap hari hanya makan iwi dari pagi sampai malam, anak - anak tidak mau, tapi mau bagaimana lagi hanya itu makanan yang ada," katanya.
Yakob menjelaskan, salah satu jenis umbian hutan yang memiliki kadar racun cukup tinggi membutuhkan waktu paling sedikit satu minggu proses pengolahan sebelum dikonsumsi. Akibatnya, tak jarang sejumlah anggota keluarga petani kehabisan stok pangan.
"Kadang anak - anak pergi sekolah tidak makan. Kami tidak bisa berbuat banyak, hanya mengharapkan bantuan pemerintah. Kalau  pemerintah mau bantu kami  syukur, tidak bantu juga kami tetap bersyukur," ujarnya.
                                                        Krisis Air 
Selain kekurangan pangan, warga juga mengalami krisis air bersih. Untuk memenhi kebutuhan air bersih, baik untuk minum maupun untuk memasak, warga Kampung Hiliwuku harus berjalan kaki lima kilometer untuk menimba air di tengah padang.
Air yang ada di padang itu juga menjadi sumber air bagi ternak yang berkeliaran bebas di padang di wiayah perkampung yang berjarak kurang lebih 50 kilometer dari Kota Waingaou, Ibu Kota Kabupaten Sumba Timur itu.
"Ini satu - satunya sumber air terdekat bagi kami di sini. Rebutan air minum dengan ternak itu sudah biasa bagi kami. Beberapa tahun lalu, pemerintah bangun embung di tengah kampung, tapi tidak bermanfaat dan mubazir karena tidak bisa tampung air," kata Yakob Hiwal Maramba Djawa.
Sekali jalan, lanjut Yakob, setiap orang  membawa 10 liter air minum yang ditampung dalam dua jeriken lima liter. Air ini untuk memenuhi kebutuhan air minum dalam rumah tangga masing - masing warga.
Hal senada dikatakan oleh Kepala Urusan  Pembangunan Desa Katikuluku, Hambumanda (55). Di lokasi sumber mata air, kata Hambumanda, warga bukan hanya rebutan air minum dengan ternak, tapi juga rebutan bahan pangan.
Singkong, talas dan jenis umbian lain  yang dibudidayakan oleh warga untuk mengantisipasi gagal panen dan bencana kelaparan, ungkap Hambumanda, juga habis dimakan ternak.
"Beruntung iwi itu ada racun, jadi tidak bisa dimakan ternak. Kami harus jalan dan keluar masuk hutan untuk gali iwi. Setelah digali, iwi itu dikupas kulitnya, diiris lalu dikeringkan selama tiga hari. Kalau sudah kering baru kami ambil dan bawa ke sungai untuk direndam selama 24 jam," tutur Hambumanda.
Salah satu aliran sungai yang dimanfaatkan untuk merendam iwi, lanjutnya, berjarak  30 kilometer dari  permukiman. Setelah direndam, warga  membawa  umbian itu ke rumah untuk diolah lagi menjadi bahan makanan. Proses pengolahan untuk dikonsumsi melalui beberapa tahapan.
Hambumanda menjelaskan, getah dari umbian itu dalam jumlah tertentu dapat menyebabkan luka hingga berdarah. Hal ini menjadi alasan mengapa warga mengambil dan memroses bahan makanan dari umbian cukup lama.
"Butuh waktu satu minggu supaya bisa dimakan. Setelah digali dan dikupas kulitnya, kami harus berhenti beberapa hari supaya tangan tidak luka. Kalau persediaan sudah habis, dan yang digali belum diproses dengan baik, maka setiap malam kami bisa tidur tanpa makan," kata Hambumanda.*


Tuesday 9 December 2014

Nona Umbu Sogara Awalnya Iseng

POS KUPANG/JOHN TAENA
Nona Umbu Sogara
POS KUPANG.COM -- Jika Anda ingin berbahagia selama satu jam, silakan tidur siang. Jika Anda ingin berbahagia selama satu hari, pergilah berpiknik. Bila Anda ingin berbahagia seminggu, pergilah berlibur.
Bila Anda ingin berbahagia selama sebulan, menikahlah. Bila Anda ingin berbahagia selama setahun, warisilah kekayaan. Jika Anda ingin berbahagia seumur hidup, cintailah pekerjaan.
Demikian sepenggal kalimat dari orang bijak yang selalu dipegang oleh sejumlah ibu rumah tangga (IRT) di RT 15/RW 03, Kelurahan Prailiu, Kecamatan Kambera, Sumba Timur. Kaum hawa di kelurahan ini  merasa terpanggil untuk menjadi penggerak tanaman (sayur) organik. Selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, juga untuk menopang ekonomi rumah tangga menyekolah anak.
Salah satu penggeraknya Nona Umbu Sogara (39). Hawa kelahiran Ngambadeta, Sumba Barat Daya, 6 Juli 1976, ini tidak ingin berpangku tangan seperti layaknya para ibu rumah tangga pada umumnya. Setiap waktu senggang, pagi dan sore, dimanfaatkan Nona Umbu Sogara untuk membudidayakan tanaman sayur organik.
"Awalnya kita hanya iseng untuk belajar pertanian organik. Saya dan beberapa orang teman, sesama ibu rumah tangga, memanfaatkan lapangan bola ini untuk tanam sayur. Waktu itu, pertama kali kita tanam, untuk makan sendiri," kisah salah satu anggota Kelompok Tani Organik Pahammu, Ndumaluri, Kalu, Kelurahan Prailiu, Kecamatan Kambera, ini.
Seiring perjalanan waktu, usaha sayuran organik yang digeluti oleh para anggota kelompok tani ini mendapat apresiasi dari masyarakat. Permintaan pasar dari waktu ke waktu terus meningkat dari berbagai kalangan.
"Karena permintaan pasar cukup banyak, kami termotivasi untuk terus membudidayakan tanaman sayur organik. Hasilnya cukup memuaskan," terang ibu rumah tangga yang akrab disapa Mama Resti ini.
Aneka sayuran organik yang dibudidayakan oleh para anggota kelompok tani tersebut, antara lain tomat, paria, kol dan bunga kol, terong, pak coy atau sawi putih, ketimun  dan sejumlah tanaman umur pendek lainnya. Rata-rata penghasilan dari setiap kali musim panen berkisar empat hingga lima juta rupiah perorang.
"Hasilnya, selain untuk makan, kami juga bisa pakai untuk biaya pendidikan anak-anak. Kalau kol dan bunga kol itu biasa setiap tiga bulan baru panen. Satu pohon sayur kol dan bunga kami jual Rp 15.000. Saya punya ada 2.500 pohon," tuturnya.
Dia menjelaskan, para anggota kelompok tani sayuran organik di Prailiu ingin memperluas usaha, namun terkendala kekurangan modal.
"Lahan yang kami tanam ini hampir satu hektar. Kami bagi-bagi, ada yang tanam sayur kol dan bunga. Ada yang tanam tomat, paria, kol dan bunga kol, terong, pak coy atau sawi putih dan ketimun. Jadi kalau pembeli datang mau belanja, kita tidak saling rebut,"  tandas Nona Sogara.

Dia menambahkan, selain belajar pola pertanian organik, para anggota kelompok tani juga belajar manajemen organisasi pemasaran. Tujuannya agar para ibu rumah tangga pembudidaya sayuran organik tidak dikorbankan. "Selama ini kami tidak pernah pergi jual di pasar, pembeli yang datang dan langsung ambil di kebun. Kami yang atur dan tentukan harga jualnya," pungkasnya. (john taena)

sumber : http://kupang.tribunnews.com/2014/10/06/nona-umbu-sogara-awalnya-iseng

Saturday 26 July 2014

Petani Sumba Jual Kue Pengantin dari Singkong

Petani Sumba Jual Kue Pengantin dari Singkong
ilustrasi





POS KUPANG.COM, WAINGAPU - Aneka jenis umbian dan pisang, labu serta kelapa merupakan stok pangan lokal yang selama menjadi tumpuan hidup warga desa di Pulau Sumba. Selain memiliki kadar gizi dan protein tinggi, juga dapat membantu peningkatan ekonomi rumah tangga.
Hal ini yang menjadi salah satu alasan mendasar bagi Program Nasional Pemberdayaan Generasi Sehat dan Cerdsa (PNPM GSC) Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur untuk menyelenggarakan peltikan pengolahan pangan lokal bagi warga sembilan desa.
Kepada Pos Kupang di Aula Kantor Kecamatan Kahaungu Eti, kabupaten setempat, Kamis (24/7/2014), Fasilitator PNPM GSC kecamatan itu, Yohanes Paulus Mau mengatakan, pelatihan sudah berlangsung pada Rabu hingga Kamis (23-24/7/2014).
Kegiatan tersebut diberikan kepada para kader posyandu, guru TK dan SD serta para kader pemberdayaan masyarakat desa (KPMD) dari sembilan desa.
"Mereka inilah  ujung tombak, biasa membantu kita dalam mengelola PMT (Penambah Makanan Tambahan)  para ibu hamil, anak balita yang sering ke posyandu dan juga anak sekolah," kata Mau.
Menurut Mau, sekitar 51  jenis menu masakan yang diberikan kepada para peserta dalam pelatihan itu. Semua jenis menu yang dibuat bahan bakunya dari pangan lokal seperti  umbian, kelapa, pisang, kacang-kacangan dan labu kuning.
 "Pangan lokal kita olah menjadi makanan siap saji misalnya sate jantung pisang, sate daun ubi, keripik pisang,  perkedel pisang, tar kue pengantin dari ubi kayu, donat ubi, es krim labu, es krim pisang dan es krim kelapa muda. Selain untuk konsumsi sendiri, mereka juga bisa menjual. Selama ini masyarakat jual pisang di pasar, pulang beli pisang goreng. Jual kelapa untuk beli es krim kelapa, makanya kita latih masyarakat untuk membuat sendiri," katanya.
Hal senada dikatakan Suster Albertine, SSpS, pemateri dalam kegiatan tersebut. Dia mengatakan kurang lebih terdapat 51 menu yang diberikan kepada para peserta selama dua hari kegiatan tersebut. "Mereka bisa membuat beraneka ragam kue dan makanan ringan dari pangan lokal," katanya.
Suster Albertine menjelaskan, dari bahan baku singkong para peserta dilatih membuat kue tar pengantin. Selain unik karena dibuat dari pangan lokal, jenis kue tar pengantin ubi kayu juga sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia karena tidak mengandung bahan kimia. "Petani tidak lagi menjual ubi kayu ke pasar, tapi mereka akan menjual kue tar pengantin dari singkong. Nilai ekonomisnya lebih tinggi ketimbang menjual bahan baku," tandasnya. (jet)

Sumber ; http://kupang.tribunnews.com/2014/07/26/petani-sumba-jual-kue-pengantin-dari-singkong

Friday 18 July 2014

Bukan Orang Sumba Kalau Tidak Ada Ternak

Di Uzbekistan, ada padang terbuka dan berdebu. Aneh, aku jadi ingat pada Umbu. Rinduku pada Sumba adalah rindu padang – padang terbuka. Di mana matahari membusur api di atas sana. Rinduku pada Sumba adalah rindu, peternak perjaka. Bila mana peluh dan tenaga tanpa dihitung harga.”

“Beri Daku Sumba” demikian sebuah Puisi karya Sang penyair negeri ini, Taufik Ismail, ditulis pada tahun 1970 yang terdiri dari enam bait. Konon kabarnya, puisi tersebut terinpirasi dari sebuah obrolan singkat bersama seorang putra dari Negeri 1001 padang savanna yang berprofesi sebagai seniman plus wartawan, Umbu Landu Paranggi di tahun 1960. Sebagai seorang putra desa, Umbu menceritakan keindahan dan keelokan yang dimiliki alam Sumba.

Sebuah negeri dengan padang rumputnya, pantai dan laut serta peternakan kudanya. Sekalipun Umbu menceriterakan bagaimana matahari terbit dan terbenam di negerinya Sumba, dan sanak saudaranya yang kerap menghabiskan malam berkumpul dengan sesama, makan dan bernyanyi diiringi petikan gitar namun ada yang lebih menarik bagi Taufik. Sang penyair yang juga berprofesi sebagai dokter hewan, ternyata lebih tertarik akan kuda Sumba dari cerita Umbu.

Tatkala menuliskan kekayaan alam di negeri 1001 padang savanna ini, Taufiq Ismail belum pernah menapakan kakinya di salah satu pulau dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), yang memiliki luas sekitar 10.710 kilometer persegi ini. Meskipun hanya mendengar ceritanya Umbu, namaun Ia mampu menggambarkan kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri padang savanna, Pulau Sumba. Bukan hanya pemandangan alamnya yang mampu memikat pandangan mata setiap orang. Para gembala ternak kuda sandelwood, kerbau dan sapi Sumba Ongole (SO) melengkapi indahnya alam setempat.

Sejak zaman penjajahan Belanda, potensi alam yang dimiliki oleh Pulau Sumba sudah dikenal sebagai gudang ternak. Sekitar tahun 1815, bangsa penjajah inipun tak segan – segannya mendatangkan kurang lebih 600 ekor sapi ongole dari India. Ternak – ternak itu kemudian dikembangkan di padang savanna yang seluas mata memandang itu. Seirima dalam perjalanan waktu hingga saat ini, didukung kekayaan alamnya membuat ratusan sapi ongole itu terus berkembang dan beranak pinak hingga memadati padang savanna sekarang.

***

1371135443187489296
Kotoran ternak padat maupun cair, saat dialirkan ke tempat saringan yang dibuat lingkaran dengan ukuran sekitar 70 hingga 80 cm, selanjutnya akan masuk ke degester dan menghasilkan gas metan.

Tidak memiliki ternak, berarti anda bukanlah orang Sumba. Ungkapan demikian memang sudah berlaku umum dan menjadi bagian bdalam kebudayaan warga seluruh warga Kabupaten Sumba Timur. Padang savanna dan berbukit yang mendominasi luas territorial wilayah tersebut, membentuk mental dan karakter orang – orangnya menjadi menjadi peternak.

Ternak kecil hingga besar seakan tidak dapat dipisahkan lagi dalam kehidupan warga setempat. Jenis – jenis ternak yang biasanya dipelihara dan dikembang orang Sumba antara lain, Babi, Kambing, Domba, Sapi Sumba Ongole (SO), Kerbau dan Kuda Sandlewood akan akrab dan selalu hadir dalam keseharian warga setempat. Selain memiliki nilai ekonomis untuk meningkatkan status social seseorang dalam lingkungan masyarakat, ternak juga memiliki nilai budaya yang tinggi dalam adat istiadat warga setempat terutama Babi.

Beternak babi dengan berbagai pola, akan selalu dimiliki orang setiap kepala keluarga (KK) di sekitar pekarangan rumah masing – masing. Babi juga boleh dikata sebagai salah satu potensi unggulan, dapat menopang dan mendukung ekonomi rumah tangga warga bila dikembangkan. Harga seekor babi dengan ukuran berat, usia dan warna bulu tertentu akan menembus angka Rp 25 hingga 30 juta perekor.

“Pesta perkawinan atau pesta adat, kedudukan social dan genggsi seseorang dapat dilihat dari ternak babi yang disembelih. Kalau berpapasan dengan ternak babi dan kerbau dijalan raya, sebaik yang ditabrak adalah kerbau ketimbang menabrak babi karena harga babi lebih dari harga kerbau,” ujar salah satu tokoh pemuda Sumba Timur, di Waingapu, Kamis (13/6/2013) Heinrich Dominggus Dengi,S.Si, Apt.

Rata – rata pola beternak di Sumba Timur, jelas Dengi, masih bersifat tradisional. Meskipun pola babi demikian kurang bagus, dan mempengaruhi kesehatan lingkungan hal itu cendrung dilakukan. Mereka lebih memilih melepaskan ternak mereka berkeliaran bebas tanpa dikandangkan. Dikatakannya, “Pola ternak secara tradiosional sama sekali tidak mendukung aspek kesehatan dan menimbulkan polusi juga tidak ekonomis.”

Seharusnya pola beternak babi yang diterapkan adalah menyediakan kandang. Beternak babi secara baik dan benar sebenarnya banyak sekali manfaat dan keuntungannya. Bukan hanya
ternaknya yang dapat dijual untuk mendulang rupiah. Kotoran dari hasil ternak tersebut menyimpan kekayaan dan potensi jika diolah dengan baik. Misalkan, sebagai pengganti bahan bakar fosil yang ramah lingkungan. “Kotoran ternak babi mengandung gas metan dan bisa digunakan untuk menggantikan minyak tanah di dalam dapur setiap KK,” jelasnya.
Kotoran hewan dalam bentuk cair maupun padat yang berhasil dimasukan ke dalam degester setiap kali mencuci kandang, akan memproduksi gas metan. Di dalam degester, gas yang bersumber dari kotoran ternak dan air akan ditangkap. Selanjutnya, melalui sebuah pipa yang telah disediakan, gas akan dialirkan menuju ke kompor biogas. Dengi mengatakan, “Gas metan bukan hanya terbentuk dari limbah ternak tapi juga dari air, itu sebabnya membersihkan kandang harus menggunakan air yang secukupnya.”

Gas metan dari kotoran ternak babi, dapat dijebak dengan membangun degester atau bak penampung kotoran ternak. Desain pembangunan degester penampung gas metan dari kotoran ternak perlu diperhatikan dan berbentuk kubangan. Tujuannya adalah memudahkan tekanan gas metan untuk dialirkan ke kompor biogas. Besar kecilnya ukuran senbuah degester menentukan kapasitas gas metan yang dapat ditangkap. Dalam kapasitas yang banyak, gas metan akan mampu menggerakan sebuah mesin generator listrik.

Para peternak dianjurkan untuk menyediakan kandang dan meninggalkan pola lama yang bersifat tradisional dalam beternak. Pola beternak seperti juga akan memudahkan peternak dalam mengontrol kesehatan dan menampung kotoran ternak. Ketika membangun sebuah kandang ternak, perlu memperhatikan tingkat kemiringan lantai yakni sekitar 15 hingga 20 derajat. Kandang ternak untuk biogas juga harus dilengkapi dengan saluran air atau got dengan ukuran sekitar 20 hingga 30 cm. “Kotoran ternak padat maupun cair, akan mengalir lancar ke tempat saringan yang dibuat lingkaran  dengan ukuran sekitar 70 hingga 80 cm, selanjutnya akan masuk ke degester,” kata pengguna biogas di Waingapu ini.


Setelah gas metan dari kotoran ternak dijebak, maka akan ada tekanan yang mendorong semua limbah ke luar degester. Bak penampung terakhir yang telah disiapkan akan menjadi tempat bagi limbah tersebut. Limbah yang sudah tidak memiliki gas dari degester, mengandung unsur makanan yang berfunsi untuk penggemukan ikan lele. Sejak dua tahun terkahir menggunakan biogas, kebutuhan minyak tanah di dapur sudah bisa diatasi.

Bukan sebatas itu saja manfaat dan keuntungan dari beternak babi. Kandungan gas metan yang telah dijebak dari degester akan menguluarkan limbah, selanjutnya tertampung dalam sebuah bak. Limbah dalam bentuk padat dan cair pada bak penampungan terakhir, bisa diolah lagi menjadi pupuk cair organic (NPK cair) dan kompos.

Dikatakan Dengi, “Saya adalah salah satu pemanfaat tehknology ramah lingkungan ramah lingkungan dari ternak babi sejak dua tahun terkahir jadi bukan sekedar ngomong. Keluarga saya pakai biogasnya untuk kebutuhan kompor di dapur, terus limbah yang diproduksi jadi pupuk juga bisa dijual dan menambah penghasilan.”

Kotoran atau limbah ternak, sebelumnya dikeluhakan tetangga yang merasa termengganggu aroma kurang sedap yang menyebabkan polusi udara tidak bermasalah lagi. Limbahnya juga bisa diproduksi jadi pupuk. “Limbahnya cukup ditambahan beberapa bahan seperti mikro organisme lokal (mol). Dicampur gula secukupnya dan buah – buahan yang sudah membusuk, kemudian difermentasi selama tiga minggu sudah bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organic cair. Fungsinya untuk merangsang buah tanaman dan sudah digunakan untuk tanaman. Sudah ada yang konsumen pupuk organic cair dan padat dari kotoran ternak saya,” tandasnya. (*)

Urine Manusia Penyubur Tanaman Ramah Lingkungan

1370970101104341296
Salah seorang peserta Sekolah Lapang Pertanian Organik (SLPO), Desa Makamenggit, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur, sedang membuat pupuk cair organic dari urine manusia yang ditampung oleh anggota keluarganya
Kurang sedap dan menjijikan. Demikian kesan dari aroma air seni atau urine bila dihirup oleh seseorang.  WC umum maupun pribadi yang jarang dibersihkan selama berhari – hari biasanya menjadi sumber polusi udara. Aromanya akan sangat menyengat hidung dan menyebabkan sesak napas yang bisa membuat manusia bisa pingsan. Hal ini yang menjadi salah satu alasan mendasar bagai manusia modern menjaga kebersihan lingkungan dan menghindar serta menjauhi lokasi pembuangan cairan tersebut.
Pada hakikatnya, cairan dari hasil sisa metabolisme yang disebut urine, tidak lagi dibutuhkan dan bermanfaat bagi tubuh. Lewat organ intim, tubuh akan mengeluarkan setiap sisa makanan dan minuman yang telah diolah. Bila terus ditampung, maka akan kehilangan kesimbangan dan tubuhpun diserang penyakit.
Bisa dibayangkan apa jadinya salah satu keluarga, menampung cairan urine atau air kemih sebanyak puluhan bahkan ratusan liter selama berhari - hari? Siapakah yang akan rela dan mau melakukannya? Jarang dan nyaris tidak ditemukan, baik dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat hal demikian. Orang tentunya tidak mau dan rela menampung urinenya, kecuali kurang waras.
Sekolah Lapang Pertanian Organik (SLPO), di Desa Makamenggit, Kecamatan Nggaha Ori Angu, Kabupaten Sumba Timur, adalah sekelompok orang yang rela dan mau menampung air seni atau urine seluruh anggota keluarganya setiap hari. Jenis cairan dari hasil sisa metabolisme tubuh ini selalu ditampung dalam botol aqua setiap kali mereka kecing. Selanjutnya akan ditampung dalam jerigen bahkan beberapa drum.
Hasil tertampungan urine manusia selama berhari – hari tersebut, kemudian diolah dan diproses menjadi pupuk cair organic. Jenis pupuk cair organic yang satu itu dapat menyuburkan tanaman dan ramah lingkungan. “Urine manusia memiliki kandungan untuk menyuburkan tanaman organic dan ramah terhadap lingkungan, ” demikian pendamping SLPO Makamenggit, dari Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI), Rachmat Adinata, di lokasi tersebut, Rabu (11/6/2013).
Sewaktu membuang air seni atau urine, terdapat sejumlah kandungan kimia yang diproses secara alamiah oleh tubuh manusia. Sejumlah unsur yang terdapat dalam air kemih atau urine manusia seperti Netrogen (N) , Phosfor (P), Kalium (K), Zat Besi (Fe), Magnesium dan Protein dapat menyuburkan dan merangsang pertumbuhan tanaman. “Unsur – unsur yang dibutuhkan oleh tanbanaman ini sebenarnya sudah ada dilingkungan bahkan tubuh kita. Tergangtung bagaimana kita mau mengolah dan memanfaatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup kita,” jelas Rachmat Adinata.
Proses pembuatan pupuk cair organic yang ramah lingkungan, bahan bakunya adalah urine manusia. Selain itu terdapat juga sejumlah mudah diperoleh dari alam sekitar tanpa harus mengeluarkan biaya untuk dibeli. Jenis – jenis bahan tersebut antara lain, “ Urine hewan atau ternak dan hijauan yang mengandung unsure N seperti daun gamal, lamtorogung dan batang pisang dalam jumlah tertentu sesuai kebutuhan. Bahan – bahan ini kemudian akan dicampurkan dan difermentasi dalam kurun waktu tertentu sebelum digunakan,” ujar, pendamping SLPO Makamenggit dari  IPPHTI, Rachmat.
Pengalaman selama ini, katanya, akibat terlambatnya penyaluran pupuk bersubsidi pemerintah, menyebabkan petani mengalami gagal tanam dan gagal panen. Akibatnya keluarga para petani sering dilanda bencana kelaparan. Alasan inilah yang membuat IPPHTI, melakukan pendampingan dan pembinaan guna meningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) petani di seantero negeri ini. Tujuannya menciptakan petani mandiri dalam upaya peningkatkan hasil produksi panen, kesejahteraan ekonomi keluarga tanpa harus tergantung lagi.
Akibat dari SDM yang masih rendah dan belum memadai, rata – rata petani tidak memiliki kemampuan untuk bertani dengan baik dan benar selama ini. Para petani selalu beranggapan, hasil panen ditentukan oleh luasnya lahan yang diolah. Padahal kenyataanya adalah kemampuan untuk memberikan perlakuan maksimal bagi tanaman sangat menentukan banyak sedikitnya hasil panen seorang petani. Dikatanya, “Pengelaman selama ini yang terjadi adalah rata – rata para petani di setiap daerah itu hampir sama, yakni SDM yang belum memadai.”
Selain proses pembuatan pupuk organic cair, para petani juga belajar agro ekosistem. Agro ekosistem merupakan salah satu cara bagi petani untuk belajar meningkat SDM. Penelitian terhadap proses perkembangan dan tumbuhan tanaman. Selain itu melakukan pengamatan hama dan penyakit yang biasanya terjadi pada tanaman. Selanjutnya membuat rencana tindak lajut (RTH) terhadap hasil yang ditemukan di lapangan.
Dikatakanya, “Misalkan agro ekosistem yang selama ini dilakukan oleh kelompok tani ini terhadap tanaman padi sejak usia tujuh hari dari masa tanam hingga masa panen. Terdapat empat lahan percontohan dengan jenis bibit yang berbeda, dan pola atau metode peralakuan yang sama. Jadi selama proses ini berlangsung, petani dilatih biasanya lebih banyak belajar di lapangan. Kemudian berdiskusi untuk mencari solusi terhadap setiap masalah yang ditemukan di lapangan.”(*)

Thursday 17 July 2014

Kembalikan Mbay Jadi Lumbung Padi (3)



Rp 4 Juta Jadi Rp 160 Juta

Bagaimana sehingga petani itu bisa sukses? Kuncinya adalah pemilihan benih unggul. Kemudian diikuti dengan pemupukan serta perawatan yang intensif. Dia mengatakan, kurang lebih tiga bulan, petani ini bisa memanen padi yang berkualitas dan meraup pemasukan mencapai Rp 160 juta.

"Seorang petani yang bisa mengolah satu hektar sawah dengan baik, maka dalam waktu tiga bulan sudah bisa untung besar," katanya.

Menurut dia, kelemahan para petani penggarap maupun petani pemilik sawah, ada pada masalah SDM (sumber daya manusia). SDM petani masih rendah. Sebagian besar petani kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengolah sawah. Hal ini terbukti dimana panenan hanya berkisar antara tiga hingga empat ton per hektar.

Karena itu, selain perlu biaya, juga butuh SDM yang baik. Biaya yang dikeluarkan besar namun tidak diikuti pola pengolahan yang baik dan benih yang unggul, maka petani tidak bisa mendapat hasil yang maskimal. Justeru yang dialami adalah kerugian.

"Tanah ini hanya satu jenis tanaman yang selalu ditanam petani. Jadi pasti kurus. Butuh pupuk yang baik dan pengolahan yang benar agar hasil panen maksimal," katanya.

Pengalaman yang terjadi selama ini, menurut dia, pola pengolahan sawah dan pemupukan kurang diperhatikan oleh para petani. Selain itu perhatian dari pemerintah pun kurang dalam pendampingan. Kondisi ini diperparah dengan kekurangan subsidi pupuk serta benih dari pemerintah serta sarana pengolahan yang kurang memadai.

Pola bertani lahan basah yang diterapkan oleh para petani selama ini diperoleh dari pengalaman masing-masing. Banyaknya petani yang belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan menjadi penghambat bagi terwujudnya Mbay sebagai lumbung padi. Kenyataan yang ada adalah lumbung padi Mbay tinggal kenangan.

Peningkatakan sumber daya manusia (SDM) para petani kurang diperhatikan. Ketersediaan benih unggul, juga masih menjadi masalah. Setiap kali musim tanam, petani kesulitan mendapatkan benih unggul. Kalaupun ada, tidak semua petani mampu membelinya. Baik itu pupuk maupun benih. Sebab, harganya tidak terjangkau petani. Akibatnya petani memilih menggunakan apa yang ada dan hasil panen pun hanya cukup untuk kebutuhan hidup satu musim.

Menurut Ady Lai, dalam satu kali musim tanam, biaya operasional yang harus dikeluarkan rata-rata mencapai Rp 4 juta. Biaya itu untuk membajak rata-rata Rp 1 juta/hektar. Biaya untuk beli bibit unggul sekitar Rp 250.000 untuk satu hektar, pupuk sekitar Rp 750.000, penyiangan gulma atau rumput Rp 1,5 juta, penyemprotan gulma atau rumput Rp 100.000 dan biaya panen gabah kering hingga penggilingan sekitar Rp 1 juta.

Untuk meminimalisir biaya operasional, kata dia, perlu dipikirkan jalan keluarnya. Salah satunya adalah penggunaan pupuk organik. Penggunaan pupuk organik seperti yang sedang dikampanyekan oleh Asosiasi Petani Organik Mbay (Atom) dan Yayasan Mitra Tani Mandiri merupakan salah satu alternatif yang tepat. Pupuk organik dapat menekan biaya operasional dan ramah lingkungan. Selain itu, harga padi/beras yang menggunakan pupuk organik, jauh lebih mahal. Dengan demikian, ada penekanan biaya namun keuntungan yang diperoleh justeru meningkat.

"Sekarang sudah saatnya kembali ke organik. Kalau organik jauh lebih menguntungkan petani," tandas Ady lai. (
habis)

diterbitkan pos kupang
Rabu, 13 Januari 2010 

Kembalikan Mbay Lumbung Padi (2)




Ikan dan Belut Mati, Alam Mulai Rusak

Bahan
- bahan yang biasanya digunakan sebagai pupuk seluruhnya dari alam atau organik. Bahkan pola pemupukan hampir tidak dikenal sama sekali.

Yang dikenal petani saat itu adalah bajak, tanam, rawat, membersihkan lahan dan mengumpulkan hasil panen.  "Waktu belum ada obat-obat kimia, semua hanya pakai alam. Lingkungan tidak rusak, padi subur dan hasil panen melimpah ruah," kata Alo Bisara.

Setiap sore para petani biasanya kembali ke rumah dengan membawa ikan mujair hasil tangkapan di parit sekunder dan sawah. Ikan-ikan tersebut dibawa pulang untuk makan malam di rumah.

Cara menangkap ikan tersebut menggunakan keranjang anyaman dari daun lontar yang disebut sokal. Keranjang tersebut biasanya diisi dedak padi dan disimpan di dekat pintu air atau parit. Ikan terperangkap kalau masuk ke dalam sokal tersebut. Setiap petani bisa membawa ikan ke rumah sebanyak 30-40 ekor setiap hari. Hal itu di luar hasil tangkapan yang dimakan pada siang hari.

"Waktu itu, areal persawahan dibanjiri oleh ikan mujairsebesar telapak tangan orang dewasa," kata Philipus Alo
Bisara.

Sementara yang masih kecil tidak ditangkap, melainkan dibiarkan hidup. Hal ini karena sokal tidak mampu menjerat ikan yang masih kecil.

"Ikan besar itu yang ditangkap, sementara yang kecil dibiarkan hidup dan menjadi besar. Jadi para petani sama sekali tidak kesulitan ikan," kata Bisara.

Dia mengisahkan, kondisi alam dan lingkungan mulai rusak sekitar tahun 1980-an, saat orang  mulai menggunakan bahan kimia untuk memupuk dan menyuburkan tanaman padi.

Akibat dari masuknya bahan kimia tersebut di areal persawahan, ikan dan belut mulai mati. Tanah mulai tandus.

"Ketika saya pensiun pada tahun 1986 dan kembali ke Mbay, ikan-ikan dan belut sudah tidak ada lagi," ujar Bisara.

Saat itulah tingkat produksi padi perlahan merosot dari delapan ton menjadi menjadi empat dan bahkan tiga ton per hektar.

Sementara biaya operasional untuk mengolah satu hektar lahan sawah meningkat. Hingga saat ini, mulai dari musim bajak hingga musim panen, biaya operasional yang dikeluarkan rata-rata Rp 4 juta.

"Bahkan bisa mencapai empat juta, kalau dalam pengolahan itu betul-betul mengikuti prosedur pemupukan. Banyak jenis pupuk yang harus digunakan berdasarkan umur padi tertentu," katanya.

Dia mengatakan, kadang-kadang para petani tidak menggunakan pupuk yang seimbang sehingga produksi padi pun jauh lebih merosot.

Dibandingkan dengan masa-masa yang lalu, tanpa pupuk hasil panen melimpah ruah. Sekarang, tidak lagi. Tanaman harus diberi pupuk untuk mendapatkan hasil panen maksimal.

"Kalau hanya diberi pupuk urea, yang subur itu daun padi, tapi tidak ada buahnya," katanya.

Adi Lay menguraikan, pengolahan sawah dengan metode modern memerlukan pemupukan dan perlakuan yang spesifik terhadap tanaman padi. Hal ini bertujuan untuk memperoleh hasil panen yang maksimal. Satu hektar sawah dalam satu musim tanam memerlukan biaya operasional sebanyak Rp 4 juta.

"Selama kurang lebih 20 tahun menjadi petani, saya menerapkan pola tersebut. Untuk saat ini biaya yang dibutuhkan
senilai Rp 4 juta," tandas Adi Lay.

Kurang lebih terdapat empat tahap dalam memberi pupuk selama masa tanam hingga masa panen. Selain pupuk, perlakuan dan bibit unggul sangat menentukan hasil panen. Kalau tahap- tahap itu dilalui dengan benar, maka hasil panen bisa mencapai tujuh hingga delapan ton per hektar.

Jenis-jenis pupuk yang sering digunakan adalah pupuk dasar atau TSP. Pemupukan dilakukan sebelum masa tanam. Langkah selanjutnya, penyiangan gulma atau rumput lalu padi diberi pupuk urea.

Selanjutnya, pemberian pupuk KCL dan urea. "Kemudian perawatan dan penyemprotan hama atau pestisida dan penyiangan," kata Ady Lay.

Apabila para petani tidak mengikuti cara pemupukan tanaman padi yang benar sesuai petunjuk, maka mereka akan sia-sia dalam mengolah sawahnya. Hal ini disebabkan oleh hasil panen dan produksi padi tidak sesuai yang diharapkan petani.  Saat memasuki umur tertentu, padi harus diberi jenis pupuk tertentu pula. Pupuk yang sesuai akan merangsang pertumbuhan dan pembuahan tanaman padi. (john taena/bersambung)

diterbitkan pos kupang
Selasa, 12 Januari 2010