Thursday 17 July 2014

Kembalikan Mbay Jadi Lumbung Padi (3)



Rp 4 Juta Jadi Rp 160 Juta

Bagaimana sehingga petani itu bisa sukses? Kuncinya adalah pemilihan benih unggul. Kemudian diikuti dengan pemupukan serta perawatan yang intensif. Dia mengatakan, kurang lebih tiga bulan, petani ini bisa memanen padi yang berkualitas dan meraup pemasukan mencapai Rp 160 juta.

"Seorang petani yang bisa mengolah satu hektar sawah dengan baik, maka dalam waktu tiga bulan sudah bisa untung besar," katanya.

Menurut dia, kelemahan para petani penggarap maupun petani pemilik sawah, ada pada masalah SDM (sumber daya manusia). SDM petani masih rendah. Sebagian besar petani kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengolah sawah. Hal ini terbukti dimana panenan hanya berkisar antara tiga hingga empat ton per hektar.

Karena itu, selain perlu biaya, juga butuh SDM yang baik. Biaya yang dikeluarkan besar namun tidak diikuti pola pengolahan yang baik dan benih yang unggul, maka petani tidak bisa mendapat hasil yang maskimal. Justeru yang dialami adalah kerugian.

"Tanah ini hanya satu jenis tanaman yang selalu ditanam petani. Jadi pasti kurus. Butuh pupuk yang baik dan pengolahan yang benar agar hasil panen maksimal," katanya.

Pengalaman yang terjadi selama ini, menurut dia, pola pengolahan sawah dan pemupukan kurang diperhatikan oleh para petani. Selain itu perhatian dari pemerintah pun kurang dalam pendampingan. Kondisi ini diperparah dengan kekurangan subsidi pupuk serta benih dari pemerintah serta sarana pengolahan yang kurang memadai.

Pola bertani lahan basah yang diterapkan oleh para petani selama ini diperoleh dari pengalaman masing-masing. Banyaknya petani yang belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan menjadi penghambat bagi terwujudnya Mbay sebagai lumbung padi. Kenyataan yang ada adalah lumbung padi Mbay tinggal kenangan.

Peningkatakan sumber daya manusia (SDM) para petani kurang diperhatikan. Ketersediaan benih unggul, juga masih menjadi masalah. Setiap kali musim tanam, petani kesulitan mendapatkan benih unggul. Kalaupun ada, tidak semua petani mampu membelinya. Baik itu pupuk maupun benih. Sebab, harganya tidak terjangkau petani. Akibatnya petani memilih menggunakan apa yang ada dan hasil panen pun hanya cukup untuk kebutuhan hidup satu musim.

Menurut Ady Lai, dalam satu kali musim tanam, biaya operasional yang harus dikeluarkan rata-rata mencapai Rp 4 juta. Biaya itu untuk membajak rata-rata Rp 1 juta/hektar. Biaya untuk beli bibit unggul sekitar Rp 250.000 untuk satu hektar, pupuk sekitar Rp 750.000, penyiangan gulma atau rumput Rp 1,5 juta, penyemprotan gulma atau rumput Rp 100.000 dan biaya panen gabah kering hingga penggilingan sekitar Rp 1 juta.

Untuk meminimalisir biaya operasional, kata dia, perlu dipikirkan jalan keluarnya. Salah satunya adalah penggunaan pupuk organik. Penggunaan pupuk organik seperti yang sedang dikampanyekan oleh Asosiasi Petani Organik Mbay (Atom) dan Yayasan Mitra Tani Mandiri merupakan salah satu alternatif yang tepat. Pupuk organik dapat menekan biaya operasional dan ramah lingkungan. Selain itu, harga padi/beras yang menggunakan pupuk organik, jauh lebih mahal. Dengan demikian, ada penekanan biaya namun keuntungan yang diperoleh justeru meningkat.

"Sekarang sudah saatnya kembali ke organik. Kalau organik jauh lebih menguntungkan petani," tandas Ady lai. (
habis)

diterbitkan pos kupang
Rabu, 13 Januari 2010 

No comments: