Thursday 10 September 2015

Tempat Belajar yang Menyenangkan

POS KUPANG/ENOLD AMARAYA

CERIA-Kepala SMPK St. Yoseph Kupang, Romo Amanche Frank OE Ninu, Pr (tengah) bersama siswa dan guru tampak ceria seusai peluncuran berbagai kegiatan, Jumat (4/9/2015).



Setelah  Gerakan 30 September 1965, situasi politik dalam negeri belum stabil. Ratusan anak usia sekolah di Kota Kupang saat itu kesulitan untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Selain karena masalah ekonomi, juga karena keterbatasan sarana prasarana pendidikan. Akibatnya banyak anak tidak dapat melanjutkan pendidikan ke SMP setelah tamat sekolah dasar (SD).

Kondisi ini disebabkan minimnya lembaga pendidikan menengah pertama. Selain itu, daya tampung rombongan belajar sangat terbatas dan jarak tempuh yang cukup jauh. Realitas sosial yang terjadi kala itu menjadi keprihatinan berbagai pihak.

Di kondisi memrihatinkan, Yos Djogo, B. Sc, salah seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Dinas Pertanian Provinsi NTT, berinisiatif menghadirkan satu lembaga pendidikan menengah pertama, yaitu SMP. Kala itu wilayah Naikoten, Kota Kupang, belum terlalu padat dan Yos memutuskan membangun sebuah lembaga pendidikan menengah pertama.

Motivasinya saat itu untuk menampung anak - anak yang sudah tamat sekolah dasar dan hendak melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Niat itu akhirnya terwujud pada 6 Januari 1966, sebuah sekolah menengah pertama resmi didirikan dengan nama SMP Katolik Sapientia (Kebijaksaan) II.

Lokasi sekolah itu berada di Jalan ER Herewila No. 27, RT 05/RW 03, Kelurahan Naikoten II, Kecamatan Kota Raja, Kota Kupang. Setelah sukses mendirikan lembaga pendidikan, Yos mengajak sekitar lima orang mahasiswa asal Flores yang sedang menimba ilmu untuk menjadi guru. Kelima orang tenaga honorer yang bertugas untuk mengasuh sekitar 23 orang siswa angkatan pertama saat itu dipimpin Barlon Parera. Ke-23 orang siswa angkatan pertama kala itu berasal dari berbagai latar belakang etnis dan agama.

Rata-rata para siswa yang biasanya mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) pada siang hari tinggal bersama wali murid dan orangtuanya. Selain itu, dua orang staf guru itu adalah di antaranya Drs. Piter Boli Keraf (mantan Penjabat Bupati Lembata) dan Bernard Belo Ola (mantan Kadis Sosial Kabupaten Sumba Timur dan Sikka).

"Kegiatan KBM dilakukan pada siang hari dan dipimpin oleh Bapak Barlon Parera, sebagai kepala sekolah. Beliau sebenarnya sudah memiliki tugas pokok, karena pagi hari menjadi kepala sekolah SDK Santo Belarnus, yang kemudian berubah nama menjadi SDK Santo Yoseph I ini," jelas Kepala Sekolah SMP Katolik St. Yoseph Naikoten, Romo Amanche Frank OE Ninu, Pr, di ruang kerjanya, Jumat (4/9/2015).

Seiring perjalanan waktu, lembaga ini bergabung dengan Yayasan Swastisari Keuskupan Kupang (Keuskupan Agung Kupang saat ini) pada tahun 1969. Namun setelah berdirinya Paroki Santo Yoseph yang memekarkan diri dari Paroki Katedral Kristus Raja, pengelola lembaga itu diserahkan kepada Dewan Pastoral Paroki Santo Yoseph Naikoten.

"Oleh Pater C Nellisen SVD, misionaris asal Belanda yang menjadi pastor paroki saat itu, nama SMPK Sapientia II berubah menjadi SMPK Santo Yoseph. Nama Santo Yoseph pun diabadikan menjadi santo pelindung sekolah ini," jelas Romo Amanche.

Sebagai lembaga pendidikan, SMP Katolik Santo Yoseph Naikoten - Kupang, sejak awal hadir dengan visi membentuk manusia berkarakter yang unggul dalam ilmu, iman dan moral.

Selain itu, misinya antara lain, menciptakan sekolah sebagai komunitas pendidikan yang menyenangkan dan bersaudara, berdasarkan norma dan nilai budaya bangsa dan nilai-nilai Kristiani. Mengembangkan profesionalitas pendidikan dan tenaga pendidik dalam layanan pendidikan berkualitas.

Mengembangkan kurikulum secara optimal dan proses pembelajaran secara efektif, efisien dan inovatif. Mendorong dan membantu peserta didik untuk mengenali potensi diri, sehingga dapat dikembangkan secara optimal. Membekali peserta didik agar lebih mencintai alam serta lingkungan sekitar.

Menumbuhkan penghayatan dan pengalaman iman dan kepercayaan yang dianut melalui Tri-tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja. Kini di usianya sudah hampir genap setengah abad (50 tahun), lembaga ini telah mampu dan terus memberikan kontribusi sesuai visi dan misinya dan mencerdaskan anak bangsa.

Tercatat lebih dari 7.000 alumni telah berkarier di dalam dan luar negeri. Para alumni yang pernah mengenakan almamater SMP Katolik Santo Yoseph Kupang, kini terus mendedikasikan diri sebagai pemimpin bangsa dan daerah, serta menjadi pemimpin gereja.

"Mantan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia era Presiden Megawati Soekarnoputri, Dr. Soni Keraf, dan Bupati  Manggarai. saat ini, Drs. Christian Rotok serta masih banyak deretan nama lainnya. Mereka semua adalah putra dan putri yang lahir dari rahim lembaga SMP Katolik Santo Yoseph Kupang," jelas Romo Amanche.

Punya mimpi untuk menjadikan sekolah ini tetap dan lebih berkualitas di masa yang akan datang teristimewa anak - anak didik ini kalau sudah keluar dari sini mereka akan menjadi orang yang mencintai iman dan ilmu.

Mereka mampu mengembangkan diri. Menjadi orang yang baik dan berguna. Menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter untuk gereja dan tanah air. "Sama seperti para alumnus yang sudah dilahirkan oleh almamater ini," ujarnya.

Di usianya yang ke – 49, saat ini sedang dipersiapkan Pesta Emas SMPK St Yoseph Kupang yang akan segera dirayakan oleh lembaga itu. Sebagai Kepala Sekolah, Romo Amanche memiliki mimpi untuk menjadikan lembaga pendidikan itu lebih berkualitas di masa yang akan dating. Para peserta didik diharapkan  mampu mencintai manusia yang mencintai iman dan ilmu. 

“Teristimewa anak – anak didik ini kalau sdh keluar dari sini mereka akan menjadi org yg mencintai iman dan ilmu, sama seperti para alumnus sperti yang sudah dilahirkan oleh almamater ini,” tandas Romo Amanche.(john taena)

Sumber Pos Kupang cetak edisi Senin (7/9/2015), halaman 1 






Sunday 23 August 2015

Hilangkan Stigma Kekejaman MOS


“Karakter yang ditanamkan dalam diri setiap peserta didik adalah sikap bisa dipercaya atau tidak menipu. Mengerjakan sesuatu tanpa harus diawasi.”

                                                                                                                               Pos Kupang/John Taena
MOS — Siswa – siswi SCHIPS and St. Peter’s School Kupang bersama para guru saat MOS di Pantai Lasiana Kupang. Sabtu (8/8/2015)  
Rambut dikepang, diikat menggunakan tali rafia. Memakai topi setengah bola dan membawa peralatan seperti ember serta sapu. Tak jarang ada yang harus membeli beberapa botol bir ke sekolah. Belum lagi akan dipelonco oleh para senior, seperti push up, jongkok, loncat dan beraneka ragam penyiksaan lainnya.

Opini publik telah terbentuk sejak lama, Masa Orientasi Sekolah (MOS) identik dengan kekerasan. Kejam dan tidak berperikemanusiaan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan hakikat MOS sesungguhnya.

Memasuki tahun ajaran, Nusa Cendana Internasional Plus School (NCIPS) and St. Peter's School Kupang menerapkan metode yang berbeda dalam MOS bagi calon siswa. Sebagai salah satu lembaga pendidikan yang menerapkan dua bahasa dalam proses belajar mengajar, panitia menghilangkan stigma MOS itu kejam.

Hari Sabtu (8/8/2015), ratusan siswa empat sekolah dari keluarga besar NCIS and St. Peter's School, diarahkan panitia mengikuti kegiatan MOS di Pantai Lasiana Kupang. "Suasana kebersamaan dibangun tapi masih tetap dalam pembentuk karaktek," demikian Pasianus Payong Pulo, S.Pd, salah seorang guru di lembaga tersebut kepada Pos Kupang di Lasiana, Sabtu (8/8/2015).

MOS itu intinya pengenalan sekolah kepada peserta didik agar mereka menyesuaikan diri dengan suasana baru. "Kegiatan di sekolah itu full dari pagi sampai sore (07.30 -14.15 Wita). Jadi kita pilih MOS di Lasiana sekalian untuk refreshing," jelasnya.

Ketika berada di luar lingkungan sekolah, para calon siswa dan peserta didik didorong meningkatkan rasa kebersamaan. "Tidak bisa dipungkiri sikap seperti ini berkurang karena pola hidup individual," ujar Payong.

Di lokasi wisata tersebut peserta didik pun mengasah kemampuan bahasa Inggris. Menurut dia, pembinaan mental dan pembentukan karakter bukan hanya diberikan kepada siswa baru melainkan para senior juga menjadi sasaran. Alasanya, dalam keseharian di sekolah para siswa baru akan sosialisasi dengan senior mereka. Hal ini yang harus ditanamkan agar para senior harus bisa menjadi panutan. Dan, lebih penting lagi mereka saling menghargai.

"Dulu siswa sangat menghormati satu sama lain, bukan hanya yunior menghormati senior atau yang tua tapi semua orang saling menghargai. Suasana paling rusak di sekolah saat ini adalah ketika guru mengajar di depan, para murid juga sibuk ngomong di belakang," kata Payong Pulo.

Melihat realitas miris itu, NCIPS and St. Peter's School Kupang merasa terpanggil untuk mengembalikan dunia pendidikan pada relnya dengan tiada henti membentuk karakter siswa. Untuk pembentukan karakter ini, para siswa diajak saling menghormati ala budaya orang Jepang. "Saling membungkuk sebagai tanda awal respek, bukan hanya kepada guru, tapi kepada semua orang tanpa kecuali itu karakter pertama," katanya.

Karakter kedua yang ditanamkan dalam diri setiap peserta didik adalah sikap bisa dipercaya atau tidak menipu. Mengerjakan sesuatu tanpa harus diawasi. Selain itu tidak mencuri dan bertanggung jawab.  Kalau mendapat PR dan diminta untuk diselesaikan dalam satu hari ke depan, maka harus bertanggung jawab dengan itu. Jangan sampai tidak diselesaikan pada waktunya karena akan mengganggu jadwal kegiatan yang lain.

Keadilan adalah karakter keempat yang harus ditanamkan kepada para siswa. "Bekerja sama itu tidak masalah tapi bukan untuk menguntungkan salah satu pihak dengan cara-cara yang tidak sehat," katanya. 

Terakhir adalah sikap peduli. Karakter ini sangat penting dan perlu ditanamkan rasa peduli serta empati terhadap sesama. "Jikalau kelima karakter itu dimiliki maka ketika sudah saatnya menjadi pemimpin pasti mereka akan jauh lebih baik," demikian Payong Pulo. (john taena)

Sumber Pos Kupang cetak

Saturday 22 August 2015

Berburu Air di Hutan Taubnono

“Di hutan yang didominasi semak belukar dan pohon kayu putih ini, ada batang pipa ukuran 1,5 dim menyembul dari dalam tanah dan bebatuan. Pipa tersebut mengeluarkan air.”
                                                                                                                                                                                              pos kupang/julianus akoit

MENCARI AIR - Dua bersaudara, Nelcy Nahak dan Ketty Nahak sedang mencari air di Hutan Taubnono, Kupang Timur, Rabu (19/8/2015) siang.

JARUM jam tepat menunjuk pukul 12.00 Wita. Terik matahari terasa membakar kulit. Di sebuah jalan berbatu dan dan berlubang-lubang, dua orang wanita paruh baya mendorong gerobak berisikan 16 jeriken. Nafas mereka terengah-engah. Peluh bercucuran membasahi tubuh mereka.

Mereka menuju ke Hutan Taubnono, perbatasan Desa Tuatuka, Kecamatan Kupang Timur dengan Kelurahan Nonbes, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang. Di hutan yang didominasi semak belukar dan pohon kayu putih ini, ada batang pipa ukuran 1,5 dim menyembul dari dalam tanah dan bebatuan. Pipa tersebut mengeluarkan air.

Meskipun cuma menetes tidak menentu, Ny. Nelcy Nahak dan Ny. Ketty Nahak tetap sabar menunggu. Untuk 16 jeriken air berukuran 5 liter, mereka harus sabar menunggu hingga 2 jam baru terisi penuh.

"Sejak dulu, kami kekurangan air bersih. Di RW 10, ada 21 kepala keluarga yang harus masuk hutan berburu air. Kami harus mete (begadang, Red) berburu air malam-malam di hutan sampai pagi. Siang begini pun masih ada yang datang antre. Jadi 24 jam orang datang antre air," jelas Ny. Nelcy dibenarkan saudara kandungnya, Ny. Ketty.

Dulu sekali, lanjut Nelcy, warga setempat hanya membeli air yang dibawa tukang ojek. Biasanya tukang ojek membawa dua jeriken besar, masing-masing ukuran 20 liter yang ditebus seharga Rp 10.000 per jeriken. Saat memasuki puncak kemarau bulan September - November, tetesan air dari pipa mulai berkurang. Warga membutuhkan waktu lebih lama untuk antre air di kawasan Hutan Taubnono.

"Tahun 2010 lalu, kami dapat bantuan 3.000 batang pipa ukuran 1,5 dim dari PNPM. Itu pun dana sisa PNPM dari Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi sebesar Rp 120 juta. Uang itu dipakai untuk beli 3.000 batang pipa dan buat bak resevoir satu unit sebesar 2 x 2 meter," kisah Mathias Nahak, Ketua RT 20.

Sayang sekali, 3.000 batang pipa itu tidak cukup mengalirkan air sampai pemukiman penduduk. Sambungan pipa cuma sampai hutan Taubnono. Sebab jarak sumber air Oe'uki ke pemukiman sejauh 4,5 kilometer.

"Lalu warga di sini swadaya beli 65 batang pipa plastik untuk disambung lagi. Tapi belum juga sampai ke pemukiman. Terpaksa kami harus pakai gerobak masuk hutan ambil air," jelas Mathias.

Ia berjanji membuat proposal mencari bantuan dana kepada para donatur. "Supaya bisa membeli pipa untuk disambung lagi masuk ke pemukiman warga," ujarnya berharap. Semoga ada yang membantu.(julianus akoit)


Sumber Pos Kupang cetak edisi Kamis 20 Agustus 2015, halaman 1

Perintis Bandara Frans Laga Naik Pesawat (2)

“Pesawat AviaStar carteran Chris Rotok dan Deno Kamelus melayang di ketinggian udara wilayah Kota Ruteng dilepas ratusan pasang mata dengan beragam perasaan.”

                                                                                                                                             pos kupang/egy mo’a

CERIA - Kakek Oscar Garut (95) tampak ceria saat turun dari pesawat AviaStar seusai terbang keliling Manggarai, Sabtu (15/8/2015).
Kakek Oscar Garu Senang Sekali

SAAT pesawat lepas landas dari Bandara Frans Sales Lega Ruteng, Sabtu 15 Agustus 2015 sekitar pukul 10.00 Wita, tergenapi sudah niat Bupati Manggarai Christian Rotok dan Wakil Bupati Deno Kamelus membahagiakan para orang tua perintis pembangunan bandara itu.

Walau demikian aneka perasaan masih terus berkecamuk tatkala 'burung besi' AviaStar carteran itu melayang-layang di ketinggian udara wilayah Manggarai.

"Semua berdoa mudah-mudahan tak terjadi apa-apa dalam enjoy flight ini," kata Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Manggarai, Apri Laturake, S.H.

Suasana menarik tercipta saat pesawat hendak lepas landas dari Bandara Frans Sales Lega. Ketika para tokoh sepuh telah duduk manis pada kursinya, teknisi pesawat membantu memasangkan sabuk pengaman di pinggang. Sebagian dari mereka menunjukkan wajah cemas dan tidak nyaman. Semua mata tertuju ke arah kokpit. "Kita mau siap terbang," ujar teknisi pesawat.

Pesawat pun berjalan pelan keluar dari appron menuju ujung landasan pacu di sisi timur. Semakin kencang deru pesawat, tubuh penumpang seolah ikut bergetar. Tak lama berselang pesawat melaju, melayang meninggalkan landasan pacu.

Terbang gembira diawali rute menuju ke arah barat, wilayah Cancar Kecamatan Ruteng. Dokter Lian Pantas yang mendampingi para orang tua di dalam kabin pesawat itu berperan sebagai pemandu. "Wa Cancar, Golowelu, Reok, Wae Rii, Iteng, Pulau Mules, Ulumbu dan seterusnya," dokter yang bertugas di Puskemas Kota Ruteng itu menerangkan satu persatu wilayah daratan Manggarai dalam bahasa setempat.

Guncangan pesawat diterpa angin kencang atau ketika dihadang gumpalan awan tipis sesekali membentur keras badan pesawat. Mungkin di dalam hati mereka bertanya mengapapesawat bergoyang sesekali atau mengapa turun dan naik tiba-tiba? Sekian menit di udara, wajah cemas tampak memudar. Para perintis pembangunan bandara itu malah bercanda dalam bahasa Manggarai. Hijauan bukit-bukit yang dibungkus pepohonan serta bentangan sawah bertangga-tangga di bawah sana seolah sudah membunuh rasa takut mereka. Pertanyaan demi pertanyaan soal wilayah daratan yang dilewati terus saja meluncur dari setiap penumpang. "Nia ite nana (di mana kita sekarang)."

Setelah 30 menit berlalu, moncong burung besi berbelok menuju Kota Ruteng. Beberapa menit berselang roda pesawat pun menyentuh lagi bumi Congkasae.

Pengalaman pertama naik pesawat tak akan dilupakan Oscar Garu (95), Romanus Tuhe (81) dan belasan orang lanjut usia yang lainnya peserta terbang gembira hari itu. Senang tiada dua menyelimuti suasana batin Oscar dan Romanus. Mereka sulit melukiskannya dengan kata-kata.

Sambil memegang tongkat rotan untuk menopang tubuhnya yang renta, Oscar turun pelan menapaki tiga anak tangga pesawat. Seorang anggota KP3 Udara yang berdiri di ujung anak tangga membantunya menjejakkan kaki di aspal apron.

Senyum ceria tersungging di bibir pria Kampung Taga, Kelurahan Goloduka, Kecamatan Langke Rembong ini. Staf Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Manggarai mengantar dia dan rekan-rekannya menuju deretan penyambut. Mereka disambut senyum dan guyonan dari Bupati Christian Rotok, Wakil Bupati Deno Kamelus, Sekda Manseltus Mitak dan sekitar 200-an pegawai negeri sipil lingkup Pemkab Manggarai.

Jabatan tangan disusul ucapan sukacita dalam bahasa setempat terdengar riuh. Oscar, ayah 11 anak dan 19 cucu itu mengakui belum sekalipun naik pesawat. Sekian lama dia hanya dengar cerita naik pesawat dari sanak familinya. "Ini yang pertama kali saya naik pesawat. Saya senang sekali," kata Oscar yang ditinggal mati istrinya empat tahun silam. "Kalau besok lusa saya mati, saya sudah pernah naik pesawat," ujarnya lagi.

Senyum 'tanpa gigi' sebagian orang tua hari itu sungguh menggambarkan sukacita karena bisa merasakan sensasi naik pesawat terbang. Ada yang tak lupa minta dikirimkan foto ke rumah. Mereka ingin menunjukkan kepada anak, cucu serta sanak famili tentang sukacita berada di ketinggian langit Manggarai.(egy mo’a/habis)

Sumber Pos Kupang cetak edisi Rabu 19 Agustus 2015, halaman 1

Perintis Bandara Frans Laga Naik Pesawat (1)

“Niat Drs.Christian Rotok menerbangkan saksi hidup dan perintis pembangunan Bandara Frans Sales Lega Ruteng tahun 1963 tidaklah ringan. Tantangan sempat muncul dari Wabup Deno Kamelus dan Sekda Manseltus Mitak.”

pos kupang/egy mo’a

SENYUM - Dokter Lian Pantas (kiri) menemani perintis Bandara Frana Sales Lega di dalam kabin pesawat AviaStar yang terbang keliling Manggarai, Sabtu (15/8/2015) pagi. 
Chris Berdoa Cepat Pulang

BAYANGAN atas dua kecelakaan pesawat beruntun yakni pesawat Malaysia Airlines dan AirAsia tahun 2014, masih membekas di benak bupati Manggarai tersebut. Memikirkan kejadian itu, sungguh berat bagi Chris untuk memutuskan jadi atau tidaknya rencana terbang gembira keliling Manggarai.

"Pikiran itu (terbang gembira bersama perintis Bandara Frans Sales Lega) muncul seketika, tanpa rekayasa. Apalagi hendak mendapatkan sesuatu keuntungan. Saya pikir kehidupan di dunia ini hanya sekali sehingga harus dinikmati," kata Chris Rotok membuka pembicaraan dengan para perintis seusai terbang gembira di ruang VIP Bandara Frans Lega Ruteng, Sabtu (15/8/2015).

Di tengah pergolakan batin memikirkan berbagai musibah penerbangan, Chris mengaku terus termotivasi mewujudkan niat baik itu. Bersama Kamelus dan Manseltus, akhirnya disepakati terbang gembira bersama para orang tua itu harus direalisasikan.

Di zaman ini naik pesawat bukan lagi sebuah kemewahan. Tetapi bagi Chris Rotok memfasilitasi para perintis bandara menikmati penerbangan adalah untuk menghargai jerih payah mereka. Ini tentu beda rasanya. Apalagi sebagian besar mereka umumnya belum pernah menumpang pesawat terbang.

Padahal saat membangun bandara itu tahun 1963, mereka rela berdesak-desakan menumpang truk yang mengangkut batu, pasir serta material bangunan lainnya. Mereka kesampingkan segala resiko kecelakaan yang muncul.

"Penerbangan ini adalah ungkapan terima kasih kepada masyarakat Manggarai yang berjasa membangun Bandara Frans Sales Lega yang saat ini bisa dinikmati semua orang. Kami mohon maaf tidak bisa perhatikan orang perorang. Konsentrasi kami membangun infrastruktur jalan, jembatan, sekolah puskesmas dan sarana yang lain," kata Chris yang saat itu hadir bersama Deno Kamelus, Manseltus dan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Manggarai, Apri Laturake.

Pergolakan batin Chris diakuinya berkecamuk di Sabtu (16/8/2015) pagi saat menyaksikan 32 perintis utusan dari semua kecamatan telah hadir di ruangan VIP bandara. Berbagai bayangan buruk muncul dalam benaknya. Cuaca buruk, angin kencang, kabut bisa saja terjadi. Jangan-jangan juga ada orangtua yang mendadak stress. "Pokoknya macam-macam," bebernya.

Apalagi Dokter Yulianus Weng, M.Kes, yang memimpin pemeriksaan kesehatan bagi peserta terbang gembira mengingatkan tensi darah mereka rata-rata 200. Namun semua beban itu dikesempingkan Chris. Ia menyaksikan wajah-wajah ceria para orang tua berdiri di sisi apron menunggu jatah duduk di dalam lambung burung besi. "Ketika pesawat sudah terbang, saya terus berdoa, semoga pesawat cepat pulang saja," ujar Chris menahan haru.

"Niat saya tulus. Saya ingin menanamkan nilai penghormatan kepada pendahulu yang berjasa membangun daerah ini,"sambungnya.

Dokter Weng menuturkan tekanan darah untuk orang-orang yang berusia di atas 60-an tahun idealnya 140/90. Namun tensi darah semua peserta terbang gembira saat itu serentak naik 200. Menurut Weng, naiknya tekanan darah lebih disebabkan stress karena baru pertama kali naik pesawat. Ditambah lagi kurang tidur semalaman memikirkan harus terbang.

Mengantisipasi mereka mengalami muntah dalam penerbangan ini, Weng memberi mereka minum tablet anti muntah 30 menit sebelum terbang. Resep itu terbukti mujarab. Semua tokoh sepuh Manggara itu tak mengalami muntah dalam dua kali terbang dengan pesawat AviaStar. Doa Chris Rotok rupanya terkabul. Acara terbang gembira berlangsung sukses dan menyenangkan.(egy mo’a/bersambung)

Sumber Pos Kupang cetak  edisi Selasa 18 Agustus 2015, halaman 1

Thursday 16 July 2015

Menyelami Perut Bumi Kota Karang

                                                                                                                                                             POS KUPANG/JOHN TAENA

BERENDAM — Para pengunjung obyek wisata Gua Batu Kristal, di Jalan Kampung Baru Pelabuhan Ferry Bolok, Kupang Barat, Kabupaten Kupang  berendam sambil berenang di dalam kolam. Minggu (17/5/2015)
Hari itu, Minggu (17/5/2015) sekitar pukul 16.00 Wita, usai melakukan liputan di kawasan industry Kecamatan Alak, Pos Kupang hendak kembali ke Kantor Redaksi. Di luar dugaan dalam perjalanan pulang, puluhan orang menggunakan sekitar belasan sepeda motor berkonvoi. Mereka berboncengan. Ada yang berpasang – pasangan dan adapula yang sesama jenis kelamin. 

Konvoi sepeda motor yang menarik perhatian Pos Kupang itu menuju ke arah Markas Kepolisian Air (Polair). Namun sekitar 200 meter di belakang Sekolah Usaha Perikanan  Menengah  Negeri (SUPMN) Kupang yang berhadapan dengan Polair, konvoi sepeda motor itu berhenti.

Di sana sudah ada belasan anak yang menunggu. Mereka mengatur parkiran kendaraan pengunjung. Anak – anak itu juga berprofesi ganda, yakni tukang parkir sekaligus menjadi pamandu yang dibayar Rp 2000/sepeda motor. Tugas mereka adalah menjaga keamanan sepeda motor sekaligus memandu para pengunjung menusuri hutan belukar dan semak - semak.

Dari arah Kota Kupang, para pengunjung akan dipandu mamasuki semak – semak yang berada di sebelah kiri Jalan Kampung Baru Pelabuhan Ferry Bolok dari arah Kupang. Jaraknya lebih 100 hingga 200 meter dari lokasi parkiran, para pengunjung berjalan kaki hingga ke pintu masuk sebuah gua.

Saat berada di lokasi sekitar gua terlihat sepi dan tidak ada orang. Para pengguna belasan kendaraan roda dua yang mencapai puluhan orang karena berboncengan, baik  berpasang – pasangan maupun sesame jenis kelaminnya tidak satu pun terlihat di sana. Anak – anak muda itu seakan hilang begitu saja ketika tiba di depan pintu gua.

Waoow ! Sungguh sangat elok karya Tuhan yang satu ini. Rasanya tiada lagi kata yang tepat untuk menggambarkan senja temaram nan romantic, tatkala Pos Kupang diajak untuk terus menyelami perut bumi tanah karang. Menusuri Gua Batu Kristal yang berbentuk horizontal dengan pemandangan  berbagai ornament seperti stalaktit, stalakmit dan pilar serta ornament gording terus memanjakan mata.

Petulangan di dalam perut bumi tanah karang, akan terasa belum lengkap jikalau tidak terjun ke dalam sebuah kolam nan jernih di dasar Gua Batu Kristal. Selain sejuk juga kejernihan air akan memantulkan cahaya bebatuan Kristal dari dasar juga dinding gua. Seketika letih dan lelah terasa pergi meninggalkan tubuh setiap pengunjung saat terjun bebas, berenang sambil berendam di dalam kolam seluas kurang lebih 30 x 15 meter itu.

Warna kebiruan dan Kristal yang terpantul dari bebatuan dalam gua seakan tidak mau kalah memarkan keelokannya kepada para pengunjung dan pasangan masing – masing yang hendak memadu kasih.  Sambil berendam di dalam kolam, para pengunjung akan disapa oleh suara kawanan walet yang bersarang di sisi – sisi gua bersama anaknya. Begitupun  mahkluk hidup lainnya seperti serta kelelawar, tikus dan ikan bermata kecil, juga kelabang yang agak pendek dengan  kaki panjangnya, menjadi sahabat setiap pengunjung Gua Batu Kristal.

Bukan hanya para caver namun pecinta fotographi akan tertantang untuk mengabadikan setiap obyek seperti ornamen dari bebatuan yang sudah berusia ribuan bahkan jutaan tahun dalam Gua Batu Kristal. Begitupun dengan para pasangan insane manusia yang ingin memadu kasih dan memupuk rasa cinta mereka. Cahaya keemasan matahari senja yang langsung masuk dari mulut langsung menyentuh langit – langit dinding. Ornamen bebatuan dalam gua pun semakin terlihat jelas keelokannya. (john  taena)


Pesona Danau Batu Kristal Belum Dikenal

                                                                                                                                                             POS KUPANG/JOHN TAENA
  
KOLAM— Kolam renang yang terdapat di dasar gua Batu Kristal, Kecamatan Kupang Barat, kabupaten kupang. Sesaat sebelum berendam, para pengunjung obyek wisata tersebut masih menikmati berbagai ornament dalam gua gua sambil foto. Minggu (17/5/2015)
Danau Gua Batu Kristal adalah sebuah obyek wisata alam yang bisa dijadikan tempat rekreasi pada hari libur bagi warga Kota Kupang. Selain tidak terlalu jauh untuk dijangkau dengan berbagai jenis kendaraan lokasi yang satu ini juga masih tergolong natural. Pasalnya lingkungan sekitar yang jauh dari pemukiman dan gedung – gedung mewah juga belum tercemar.

Para pengunjung lokasi itu akan disuguhi oleh kicaun berbagai jenis burung yang menghuni hutan rimba setempat. Udara segar yang masih jauh dari polusi mesin dan asap pabrik akan terasa sejuk tatkala menapaki dan melintasi bayangan setiap pohon yang tumbuh sepanjang jalan setapak menuju pintu gua.

Gua Batu Kristal di Jalan Kampung Baru Pelabuhan Ferry Bolok, Kupang Barat, Kabupaten Kupang merupakan salah satu asset pariwisata dan mampu menarik perhatian para wisatawan domestic maupun asing. Namun hingga saat ini, salah satu lokasi obyek wisata itu belum mendapat perhatian pemerintah.

Sebagai obyek wisata alam,  Gua Batu Kristal seharusnya dilindungi dan dikelola dengan baik, oleh pihak pemerintah melalui instansi terkait. Hal ini bertujuan untuk menambah pendapat asli daerah (PAD) dari sector pariwisata. Selain itu meningkatkan ekonomi rumah tangga warga sekitar lokasi wisata tersebut.

“Pemandangan di dalam gua itu sangat indah. Di sana juga ada kolam jadi pengunjung bisa mandi. Biasanya kalau ada waktu luang atau hari libur saya sering referesing ke sini. Menurut saya, lokasi obyek wisata ini memiliki potensi yang cukup besar,” demikian Mario Gonsales Oki, mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang.

Berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini, katanya, lokasi obyek wisata Gua Batu Kristal akan ramai dikunjungi oleh para wisatawan asing maupun domestic setiap hari libur. Hal kini disebabkan lokasi itu masih tergolong natural dan jauh dari kebisingan. Namun sejauh ini warga sekitar belum mampu menarik uang yang dibawa oleh para pengunjung ke lokasi itu. “Kalau ada masyarakat yang berjualan snack atau aksesoris kan bisa menambah penghasilan. Biasanya pengunjung yang datang ke sini bisa sampai sore,” jelasnya.

Hal senada dikatakan oleh Matheos warga Oebobo. Dia menjelaskan, setiap kali berkunjung lokasi obyek wisata tersebut mereka harus membawa perlengkapan dan berbagai kebutuhan dari luar. Hal ini disebabkan, sejauh ini belum ada warung dan tempat yang disediakan bagi para pengunjung untuk bersantai setelah menikmati obyek wisata Gua batu Krisal.  “Kalau habis berenang di dalan kolam atau foto – foto pasti capek, paling kita tidak butuh snack dan minuman,” tandasnya. (john  taena)


Sumber Pos Kupang cetak, edisi Minggu, 12 july 2015, halaman 3

Kiprah Orlandia dan Dominggas Seusai Belajar LTS di India III

                                                                                                                                                                           POS KUPANG/JUMAL HAUTEAS
TANDA TANGAN -- Bupati TTS, Paul Mella menandatangani prasasti Bengkel LTS di Desa Koa, Kecamatan Mollo Barat, Rabu (8/7/2015). 
Anak – anak pun Menggapai Mimpinya

PERJUANGAN untuk mengubah nasib atau taraf hidup harus terbangun dari dalam diri setiap orang. Hal itu juga berlaku bagi suatu kelompok masyarakat. Karena dengan cara apapun perjuangan dan dorongan yang dilakukan oleh orang atau kelompok lain tidak akan mengubah nasib seseorang atau sekelompok orang, jika orang atau kelompok masyarakat tersebut tidak memiliki niat untuk mengubah nasib mereka sendiri.

Masyarakat Desa Koa, Kecamatan Mollo Barat-TTS pun menyadari spirit tersebut. Ketika Mario Viera, Ibu Anie Hashim Djojohadikusumo, dan sejumlah pengurus Yayasan Wadah Titian Harapan--perpanjangan tangan dari Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD)-- menyambangi mereka pada tahun 2013, masyarakat setempat belajar untuk menerima apa yang disampaikan dan mengubah pola pikir mereka untuk melakukan sesuatu dari dalam diri mereka untuk bergerak maju.

Hal ini dibuktikan dengan kesediaan masyarakat Desa Koa untuk menerima tawaran dari YayasanWadah Titian Harapan, dan siap mengikuti tes yang dilakukan tim dari India untuk menjadi peserta pelatihan surya elektrifikasi dan menadah air hujan di Garefoot College, Tilonia, Jaipur-India. Pelatihan selama enam bulan, 16 September 2013-14 Maret 2014.

Syaratnya 'membingungkan', peserta harus perempuan, berusia dewasa (tua) dan berpendidikan rendah. Bahkan yang tidak pernah bersekolah menjadi prioritas. Warga Koa pun justru berbahagia mengikuti program ini. Sebab, kalau diminta kaum berpendidikan dari Desa Koa, pasti akan menjadi syarat yang memberatkan bagi warga desa itu untuk mengikuti pelatihan.

"Kegiatan ini kami tawarkan kepada masyarakat akar rumput agar mereka tidak hanya sekadar mempertahankan kelangsungan hidup keluarga mereka, tetapi juga bisa membebaskan masyarakat dari lingkaran kemiskinan," kata Anie Hashim Djojohadikusumo, Rabu (8/7/2015), seusai peresmian Bengkel Listrik Tenaga Surya (LTS) di Desa Koa.

Ia berharap dengan adanya LTS di Desa Koa, rumah-rumah masyarakat tidak lagi hanya menjadi tempat untuk berteduh di saat hujan dan malam hari. Namun juga bisa menjadi tempat untuk menenun bagi ibu-ibu di malam hari, sekaligus menjadi sumber penerangan bagi anak-anak untuk lebih lama belajar di rumah pada malam hari.

Semoga penduduk desa ini memperoleh harapan dan masa depan lebih baik. Anak-anak pun dapat terpacu motivasinya mencapai mimpi mereka. "Kita sengaja memasang tiga titik lampu di setiap rumah, tanpa memberikan daya lebih untuk penggunaan televisi dan alat elektronik lainnya. Kami ingin masyarakat benar-benar menikmati penerangan dari LTS ini untuk aktivitas hidup yang lebih positif," kata Anie Hashim Djojohadikusumo.

Duta Besar India untuk Indonesia, Gurjit Singh, Rabu (8/7/2015) menyebut alasan memilih perempuan berumur dan minim pendidikan formal, karena jika kaum terpelajar yang diambil, tidak ada kepastian yang bersangkutan akan mau terus menetap di desanya untuk membagi ilmu yang sudah diperolehnya dari Garefoot College. "Kami pilih perempuan yang usianya cukup tua, karena setelah mendapatkan pendidikan, mereka tidak akan keluar dari lingkungannya. Sebaliknya, wanita muda dan laki-laki, setelah mendapat pendidikan langsung keluar dari lingkungannya," katanya.

Gurjit memberikan apresiasi yang tinggi kepada Olandina Ranggel dan Dominggas de Jesus, yang berhasil saat mengikuti pelatihan surya elektrifikasi dan menadah air hujan di Garefoot College, Tilonia, Jaipur, India, walau hanya dalam waktu enam bulan. "Ibu Olandina dan Ibu Dominggas adalah bagian kecil dari India yang ada di Desa Koa saat ini. Saya berharap setiap kali masyarakat Desa Koa nyalakan LTS, ada ingatan bahwa LTS adalah hasil dari persahabatan Indonesia dan India," harap Gurjit.

Kesungguhan hati masyarakat Desa Koa yang menerima program pelatihan elektrifikasi dan menadah air hujan di Garefoot College India akhirnya tidak hanya menghadirkan LTS di Desa Kota, tapi juga mampu menggerakkan hati sejumlah pihak untuk ikut memberikan sentuhan hati mereka membantu masyarakat Desa Koa.

Di antaranya, Ekspedisi NKRI untuk mendatangkan air melalui pompa hidrolik. Selain itu, ada pemberdayaan dengan kebun kelor untuk gisi keluarga dan peningkatan ekonomi keluarga. Selain itu, Ketua Komisi V DPR RI, Ir. Farry Francis, juga ikut berkarya dengan menghadirkan embung-embung dan jalan lingkungan dari bibir sungai ke Kampung Fafioban.

Farry juga menghadirkan pompa air tanah dan rehab 50 unit rumah warga. "Kami membantu masyarakat untuk membangun akses jalan, embung-embung, dan rehab rumah masyarakat. Mudah-mudahan kita bisa membuka akses pembangunan jembatan ke Desa Koa," kata Farry, Rabu (8/7/2015).

Bupati TTS Ir. Paul VR Mella, M. Si, juga memberikan perhatian kepada masyarakat Desa Koa. Bupati bersedia belajar dari apa yang sudah dilakukan Yayasan Wadah Titian Harapan dengan memberikan sentuhan pembangunan dengan hati, sehingga tumbuh rasa memiliki di hati masyarakat Desa Koa untuk menjaga fasilitas yang sudah mereka peroleh.

Sebagai bukti rasa cinta masyarakat Desa Koa terhadap fasilitas LTS yang ada saat ini, masyarakat membuat kesepakatan bersama untuk menjaga fasilitas LTS dengan bersedia membayar iuran bulanan sesuai kesepakatan bersama agar tersedia dana perbaikan perangkat LTS, terutama baterai yang harganya cukup mahal.

Semoga listik, air, kelor, yang sudah ada dan embung yang sebentar lagi akan hadir di Desa Koa, mengangkat taraf hidup masyarakat setempat menjadi lebih baik. Semoga harapan besar masyarakat Desa Koa untuk bepergian dari dan ke desa mereka dengan adanya jembatan yang menghubungkan desa mereka bisa terwujud.(jumal hauteas/habis)


Sumber Pos Kupang cetak, edisi Senin, 13 July 2015, halaman 1