Thursday 17 July 2014

Tradisi Berburu dan Bakar di Nagekeo (1)

Babi Hutan Musuh Petani



Berburu biasanya dilaksanakan pada musim kemarau, yakni pada bulan Agustus-Oktober. Sebelum berburu, warga melakukan ritual/upacara adat pada malam hari agar upaya mereka bisa membawa banyak hasil dari perburuan di hutan.

Ritual dilakukan masyarakat Nagekeo sebelum berburu bertujuan meminta restu dari para leluhur dan bisa mendapat banyak binatang buruan. Setelah upacara adat pada malam hari, keesokan harinya warga membakar hutan. Hal ini pertanda dimulainya kegiatan berburu. Membakar hutan dimaksudkan untuk memudahkan mereka saat berburu binatang.

Binatang yang menjadi incaran warga Nagekeo saat berburu adalah babi hutan, rusa, dan sejumlah binatang yang menghuni kawasan hutan di daerah itu. Babi hutan menjadi incaran warga karena hewan yang satu ini dianggap sebagai ancaman bagi tanaman pertanian milik petani. Pasalnya, babi hutan sering menyerang/merusak tanaman yang ada di kebun para petani.

Rusa juga menjadi incaran warga saat berburu karena dianggap sebagai salah satu binatang yang lincah. Jika rusa berhasil ditangkap para pemburu, maka hal itu akan memberi kesan tersendiri. Kegiatan berburu dalam masyarakat Nagekeo biasanya dilaksanakan setiap tahun pasca musim panen.

Fidelis Ladja (45) dan Yosep Meze (65), dua tokoh pemangku adat Suku Deu, penghuni Kampung Tolopae, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, saat diwawancari Pos Kupang, Rabu (28/10/2009), menuturkan, sejak dulu nenek moyang mereka sudah menganggap babi hutan  sebagai musuh besar yang harus 'diperangi' dan dimusnahkan.

Selain itu, berburu dilihat sebagai ungkapan syukur yang bersifat hiburan. Biasanya para pemburu pulang dari hutan membawa hasil buruan, maka akan dilaksanakan pesta syukur. Berburu juga dianggap masyarakat di Boawae sebagai kesempatan refreshing atau melepas lelah. Sebab, selama berburu yang ada hanyalah perasaan gembira. "Segala macam beban dengan sendirinya hilang. Keasyikan berkuda di tengah padang sambil membawa tombak dan parang mengejar binatang buruan sangat menyenangkan," kata Fidelis Ladja.

Lebih dari itu, kata Fidelis, berburu memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Nagekeo. Hal ini yang menjadi alasan mengapa kegiatan berburu harus diawali dan diakhiri dengan ritual/upacara adat. Para pemburu juga harus menjalani berbagai pantangan agar tidak mendapat musibah saat berburu dan agar mendapat banyak binatang buruan.

Malam sebelum berburu, ungkap Fidelis, para lelaki akan berkumpul di Loka, tempat memberi sesajian, lalu mereka akan  meminta petunjuk dari para leluhur. Selain itu, para lelaki di Loka juga akan meminta restu dari leluhur. Tujuannya agar mereka terhindar dari marah bahaya/malapetaka dan bisa mendapatkan hasil buruan/binatang yang banyak.

Upacara/ritual di Loka dilaksanakan kaum lelaki. Kaum perempuan tidak diizinkan menghadiri upacara itu. Kaum perempuan baru diizinkan hadir ketika seluruh upacara sudah selesai. Mereka hanya diizinkan untuk datang dan menyantap/makan bersama kaum lelaki sebelum para lelaki berburu di hutan.

Selain itu, ada juga pantangan yang harus dijalankan. Kaum perempuan yang sedang datang bulan (haid) tidak boleh ikut masuk hutan saat berburu. Juga, tidak boleh membawa bekal berupa kacang-kacangan. Api untuk membakar hutan/padang perburuan harus dihasilkan dari alam ketika para pemburu berada di hutan.

Pantangan adat lainnya yang tidak boleh diabaikan, yakni laki-laki yang istrinya sedang hamil tidak boleh bergabung dengan rombongan pemburu.  Yang hamil harus membawa peralatan makan sendiri. Tungku api untuk memasak juga tidak boleh gabung dengan rombongan pemburu. "Mereka boleh ikut, tapi jalan lebih dahulu atau di depan atau menyusul dari belakang. Begitu pun saat berada di hutan, yang hamil harus memiliki tenda sendiri," kata Fidelis Ladja.

Saat berangkat ke hutan, jika ada perempuan atau anak gadis yang ikut serta dalam berburu, mereka harus kembali dari lokasi perburuan dengan membawa hasil buruan.

Hal ini bertujuan agar terhindar dari malapetaka yang akan menimpa perempuan tersebut. Apalagi bagi gadis yang baru pertama kali ikut berburu. "Kalau tidak mendapat hasil buruan, maka harus ada upacara potong babi di Loka," kata Meze.

Saat kembali dari medan perburuan dan berhasil membawa binatang buruan, maka sepanjang jalan mereka akan bersorak- sorai. Hal ini sebagai ungkapan kegembiraan dan tanda kemenangan dalam berperang melawan babi hutan.  Pesta kemenangan pun akan dilaksanakan di kampung bersama kaum perempuan dan anak-anak yang sudah menunggu.

Lahirnya tradisi berburu ini diawali oleh sebuah cerita yang diwariskan turun-temurun oleh leluhur orang Nagekeo. Konon terdapat dua orang gadis yang menjadi korban amukan babi hutan di kebun mereka. Hal ini yang akhirnya memicu amarah warga untuk berperang melawan babi hutan.

Sebelum berburu, hutan terlebih dahulu dibakar. Mereka dipimpin seorang panglima yang disebut Asa. Hutan yang mau dibakar pun harus ditentukan bersama dan disetujui oleh Asa (pimpinan/panglima). Hal ini bertujuan untuk menjebak babi hutan.Api pun akan dibiarkan padam sendiri. (
john taena/ bersambung)

diterbitkan pos kupang
Jumat, 30 Oktober 2009

1 comment:

Unknown said...

sangat bagus....makasih banyak