Thursday 17 July 2014

Wabah Penyakit Ngorok di Wolowae (2)

Kau Punya Ternak Berapa Padang?

Lebih kurang tiga jam berkendaraan dari Mbay, rombongan memasuki wilayah Wolowae. Tandus dan gersang. Itulah kesan yang terlihat ketika memasuki wilayah kecamatan terpencil ini.
Di gerbang masuk Desa  Tendatoto, desa dimana warganya banyak menjadi korban karena sapi dan kerbaunya mati, rombongan disambut Kepala Resor Peternakan Kecamatan Wolowae, dua dokter hewan dan warga setempat. Seremoni penyambutan berlangsung sekitar lima belas menit. Setelah itu  rombongan langsung meninjau lokasi ternak-ternak warga.

Kami menuju ke sebuah kubangan, tempat ternak- ternak biasa berkumpul untuk minum dan berkubang demi mengusir panas yang menyengat. Rumput-rumput di pasang sekitar yang selama ini menjadi andalan ternak, semuanya kering. Pohon-pohon terlihat perdu meranggas menahan hawa panas musim kemarau.

Sebentar mengawati kubangan itu, rombongan meneruskan perjalanan ke Desa Tendakinde. Pemandangan yang sama terlihat di tempat itu.

Sepintas, kegersangan padang sabana Wolowae tidak menjanjikan apa-apa. Namun tidak bagi warga setempat. Di kecamatan ini justeru menjadi gudang ternaknya Kabupaten Nagekeo.  Populasi sapi mencapai 3.335 ekor, kerbau 739 ekor, kuda 134 ekor dan babi  2.684 ekor.

Memelihara dan mengembalakan ternak adalah pekerjaan pokok, ketimbang mengolah sawah ataupun berkebun. Memiliki sepuluh ekor induk sapi atau kerbau, sudah dapat menghasilkan uang Rp 25 juta pertahun.

"Orang Wolowae kalau tidak beternak dipandang rendah di mata masyarakat. Sejak dahulu kala, kalau orang tanya nenek moyang kami punya ternak berapa kandang, maka jawabannya pasti berupa pertanyaan yaitu  kau punya ternak berapa padang?" ujar Rafeal Awe Dae (63), mantan Kepala Desa Tendakinde.


***
Tim ahli dan rombongan berjalan menelusuri tanah yang kering dan gersang selama dua hari. Teriknya mentari yang terus membakar kulit tidak dipedulikan. Tim ahli dan rombongan seakan berpacu dengan waktu, berburu cepat dengan meluasnya serangan SE yang sudah membunuh ratusan ternak di Wolowae dan Maukaro. Satu demi satu sapi dan kerbau diambil sampel darahnya, baik induk (betina) maupun jantan.

Selama kurang lebih dua hari, tim masuk keluar kampung mengambil sample darah ternak untuk diteliti di Laboratorium Denpasar. Warga setempat terlihat sibuk menangkap dan mengikat ternaknya di sekitar pekarangan rumah untuk diambil sampel darahnya. Mereka sepanjang hari menanti kedatangan tim pengambil sample darah ternak mereka. Pengambilan sampel darah ini untuk diteliti guna memastikan penyakit yang menyerang ternak-ternak besar itu.

Dari cerita warga setempat, ternak-ternak mereka  banyak yang mati di hutan. Maklum, warga memelihara ternak dengan cara melepasnya bebas berkeliaran di hutan/padang untuk mencari makan. Karena mati di padang, seringkali sudah membusuk saat ditemukan. Dua pekan silam, kata warga, tercium bau bangkai dimana-mana di hutan. Ternak babi banyak juga yang mati karena memakan bangkai sapi atau kerbau yang sudah hancur membusuk di padang.

Menurut warga setempat, untuk memelihara ternak hingga ratusan ekor membutuhkan pakan yang banyak. Karena alam kurang bersahabat, maka warga melepas saja ternak mereka untuk mencari makan sendiri di padang sabana. Kebutuhan air minum pun menjadi sulit di saat musim kemarau. Karena itu mengembalakan ternak menjadi pilihan yang paling memungkinkan bagi warga ketimbang mengandangkan atau mengikat mereka untuk diparon.

Pola beternak yang demikian sangat menyulitkan jika muncul serangan wabah penyakit seperti saat ini. Kegiatan vaksinasi dan pengobatan terkendala karena lebih banyak ternak yang berkeliaran di hutan. Penyebaran penyakit pun menjadi cepat karena ternak berkeliaran bebas.

Selama dua hari, tim berhasil mengambil sampel darah 130 ternak. Untuk memastikan jenis penyakit penyebab kematian ternak, masih menunggu hasil uji laboratorium di Denpasar. Sambil memandang kawanan ternak yang sedang merumput, drh. Ni Luh Dartini, Ketua Tim Ahli dari Denpasar, mengatakan, pola beternak di sini perlu diubah. Peternakan di daerah ini masih bersifat tradisional sehingga rentan sekali terhadap serangan penyakit. (john/bersambung)


diterbitkan pos kupang
Selasa, 25 Agustus 2009 

No comments: