Bersavanna, kering dan gersang. Itulah kesan
pertama ketika seseorang mengunjungi Pulau Sumba. Ibarat hamparan mutiara hitam
yang terbentang luas sejauh mata memandang, akan melengkapi pemnadangan alam
daerah ini disetiap musim kemarau. Hal ini bertolak belakang dengan pemandangan musim hujan, dimana sejauh mata
memandang akan terlihat hijau bak sebuah permadani.
Membakar hamparan rumput dan ilalang yang
sudah mongering membuat kondisi alam sekitar sangat memprihatinkan. Namun
inilah realitanya. Fakta yang boleh dikata sebagai tradisi orang Sumba di setiap
kalau musim kemarau. Tangan – tangan jahil dari oknum tidak bertanggung jawab
selalu membakar dan bakar lagi tanpa rasa bersalah.
Meskipun bersavana, tandus dan kering, namun tanah Sumba
memiliki sejuta potensi dan mampu menarik perhatian. Taufiq Ismail, merupakan
salah satu contoh dari sekian banyak yang terpikat oleh tanah yang satu ini.
Lewat puisinya berjudul, "Beri Daku
Sumba" sang penyair era 1970-an, menggambarkan kekayaan alam yang
dimiliki oleh negeri padang savanna, Pulau Sumba. Bukan hanya pemandangan
alamnya yang mampu memikat pandangan mata setiap orang. Para gembala ternak
kuda sandelwood, kerbau dan sapi Sumba Ongole (SO) melengkapi indahnya alam
setempat.
Bukan hanya seorang penyair kondang yang terpikat oleh
kekayaan alam yang satu ini, jauh sebelumnya pemerintah Belanda pun sudah
tertarik. Ketertarikan penjajah ini dibuktikan dengan sekitar 600 ekor sapi ongole
dari India, dan dikembangkan di padang savanna yang terbentang laus
sejauh mata memandang itu. Seiring perjalanan waktu dan didukung oleh kekayaan
alam setempat menyebabkan sapi ongole terus berkembang biak dan memadati padang
savanna itu hingga sekarang.
Pulau Sumba kini dikenal sebagai gudang ternaknya Propinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT). Seorang elite
dan penguasa daerah inipun akan bangga hingga menepuk dadanya ditingkat pusat
ketika berbicara mengenai ternak. Ratusan ribu ekor ternak yang berkeliaran di
hamparan padanga savanna Sumba kini, bukan milik orang perorang melainkan kaum
borjuis.
Aksi pembakaran hutan yang dilakukan setiap tahun tidak dapat
dipisahkan dari seorang pemilik ternak di daerah ini. Sebuah pemahaman yang
mungkin sedikit keliru telah merasuki pikiran setiap penguasa ternak. Musim
panas, rumput dan ilalang mongering. Ratusan ribu ternak milik mereka kesulitan
stok pangan. Untuk mendapatkan tunas baru, maka perlu dilakukan aksi pembakaran
liar.
Aksi pembakaran liar yang merusak lingkungan membawa petaka. Setiap
tahun, musim hujan yang ada hanya berkisar dua hingga tiga bulan. Selebihnya
adalah kemarau panjang. Masalah kekeringan panjang dan kekurangan air bersih
menjadi persoalan klasik bagi setiap rakyat jelata di pedalaman Sumba. Para
petani selalu dilanda bencana gagal tanam dan gagal panen. Akibatnya rawan
pangan hingga bencana kelaparan seakan enggan meninggalkan kehidupan setiap
anggota petani Sumba sudah menjadi agenda tahunan.
***
Cari Iwi (Dioscoreaceae) — Seorang
petani di Kampung Hiliwuku, Desa Katikuluku, Kecamatan Matawai Lapawu, Sumba
Timur ditemani dua orang anaknya saat mencari iwi (Dioscoreaceae)
di hutan. Gambar diambil Senin (13/10/2014).
|
Kala musim hujan, pemandangan
nan elok terlihat di seantero Bumi Marapu. Layaknya sebuah permadani hijau
sedang terbentang menghiasi jagad raya. Terbentang luas sejauh mata memandang
terus memanjakan mata setiap insane manusia. Namun kondisi ini akan terbalik 180
derajat kala musim kemarau. Selain aksi pembakaran hutan
secara liar, musim kemarau panjang juga menyebabkan berbagai tanaman milik
seperti pisang dan kelapa akan mati.
Bencana
kelaparan akibat gagal tanam dan gagal panen tanaman padi dan jagung, menyebabkan
setiap anggota keluarga petani dipaksa survive.
Akibatnya, Gadung (Dioscorea hispida Dennst., suku gadung – gadungan atau Dioscoreaceae) merupakan tempat pelarian paling
tepat untuk bertahan hidup.
Gadung merupakan salah satu tumbuhan
yang cukup akrab dengan petani di sejumlah daerah dan dikenal dengan nama masing–massing.
Misalnya, bitule (Gorontalo), gadu (Bima), gadung
(Bali, Jawa, Madura, Sunda) iwi (Sumba), kapak (Sasak), salapa
(Bugis) dan sikapa (Makassar).
Jenis tanaman ini juga menghasilkan umbi yang dapat dimakan. Namun kandungan
racunnya dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar
pengolahannya.
Di tempat lain, umbi gadung akan
diolah dan diproduksi menjadi keripik meskipun rebusan gadung juga dapat
dimakan. Selain itu ada juga yang menjadikan sebagai (difermentasi) sehingga di Malaysiadikenal
pula sebagai ubi arak,
selain taring pelandok.
Selain diproduksi jadi kripik atau
difermentasi menjadi arak, umbi dari jenis tumbuhan yang satu ini juga dapat
dimanfaatkan sebagai racun tikus. Tanaman gadung ini termasuk kelompok
tumbuhan redentisida atau kelompok tumbuhan yang mengahasilkan pestisida
pengendali hama rodentia.
Tradisi orang Sumba saat dilanda
bencana kelaparan adalah mencari dan mengolah umbi gadung untuk dikonsumsi. Meskipun
beracun, umbi gadung harus dimakan tiga kali sehari tanpa
memperhatikan kandungan gizi. Tak jarang, kekurangan
stok pangan menyebabkan banyak kasus kurang gizi, gizi buruk hingga busung
lapar menimpa anak – anak petani akibat mengkonsumsi ubi gadung setiap hari.
Tak
jarang, para petani di Kabupaten Sumba Timur
mendapat cacian dan hujatan dari oknum pejabat pemerintah dan penguasa
setempat. Para pejabat pemerintah yang tidak ingin dinilai gagal, dalam menjaga
popularitasnya akan berkilah iwi
adalah pangan lokal. Makan umbi gadung adalah sebuah tradisi yang juga
dikonsumsi oleh mereka. Meskipun menjadi pejabat, mereka juga sering makan iwi walaupun lima tahun sekali. Berbeda
dengan anggota keluarga petani, tiga sehari makan iwi selama berminggu – minggu.
Para
elite Sumba Timur tak sungkan untuk menilai petani di daerahnya malas. Sebuah
kata yang dilontarkan begitu saja dari mulut seorang pemimpin tanpa melihat
fakta di lapangan. Meskipun mereka dibilang malas, namun upaya untuk keluar
dari masa sulit seperti ini terus dilakukan. Sebagala hal dilakukan diupayakan untuk bisa
makan: mencari ubi beracun di hutan untuk diolah menjadi makanan. Mencari dan
menjual kayu bakar, menjual alang – alang yang mulai menipis karena kebakaran
padang. Menjual kunyit yang digali di hutan dan ternak kecil maupun besar seperti
ayam dan sapi juga dijual. Pertanyaanya, adakah orang malas yang melakukan hal
demikian?
Di sisi
lain, untuk mendapatkan umbi gadung mereka juga harus menempuh perjalanan
dengan mendaki serta menuruni bukit demi
mendapatkan iwi. Bukan sebatas itu saja, mereka juga harus harus berjalan jauh
lagi untuk merendam irisan iwi di
lokasi sumber air mengalir selama 24 jam sebelum layak dikonsumsi. Para anggota
keluarga petani juga terpaksa harus menginap di lokasi yang terdapat sungai
mengalir yang jauh dari pemukiman mereka. Masih pantas kah seorang pejabat
pemerintah menilai mereka ini sebagai orang – orang malas?
Ternak
besar seperti sapi, kuda dan kerbau biasanya akan dijual oleh mereka jika kondisi
sudah sangat parah. Itupun jika para anggota keluarga petani Sumba Timur
memiliki ternak besar. Pada situasi seperti ini, hukum ekonomi pun berlaku: untuk
memenuhi kebutuhan hidup, dan ternak mereka terpakas dijual dengan harga murah.
Di sini peran rentenir merajalela. Tak ketinggalan para mafia ternak pun ikut
bermain.
Kesempatan
emas yang ditunggu – tunggu oleh para renternir untuk mendapatkan ternak dengan
harga murah. Selanjutnya dijual ke luar pulau tanpa seleksi yang ketat,
terlepas dari jantan atau betina. Masih produktif atau tidak lagi meskipun sudah
ada larangan namun tidak berlaku bagi para elite dan penguasa Sumba Timur.
Masih
pantaskah para petani di Sumba Timur yang selalu dilanda bencana kelaparan
akibat bencana alam ini disebut malas? Sipakah yang harus bertanggung jawab
untuk mensejahterakan kehdipuan setiap anggota keluarga petani di daerah ini? Sudahkah
Negara menjamin kesejahteraan rakyatnya, terutama masyarakat kecil di pedalaman
Kabupaten Sumba Timur?
Sepertinya
nasib para anggota keluarga petani Sumba Timur untuk terus mencari umbi gadung
sebagai makanan alternative masih akan panjang. Musim laparan dan umbi gadung yang
mulai diolah sejak bulan Oktober akan dikonsumsi hingga penghujang Februari
2015. Saat ini para anggota keluarga petani yang dilanda benacana kelaparan ini
juga harus mulai menghemata dan menyimpan sebagian sebagai stok pangan mereka sampai
musim panen.
No comments:
Post a Comment