Thursday 4 December 2014

Orang Sumba dan Tradisi Makan Umbi Gadung

KEBAKARAN — Api dari aksi pembakaran liar yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab sedang melahap hutan dan padang savanna yang terbentang luas di wilayah Desa Desa Katikuluku, Kecamatan Matawai Lapawu, Sumba Timur. Gambar diabadikan Kamis (16/10/2014) petang. 
Bersavanna, kering dan gersang. Itulah kesan pertama ketika seseorang mengunjungi Pulau Sumba. Ibarat hamparan mutiara hitam yang terbentang luas sejauh mata memandang, akan melengkapi pemnadangan alam daerah ini disetiap musim kemarau. Hal ini bertolak belakang dengan  pemandangan musim hujan, dimana sejauh mata memandang akan terlihat hijau bak sebuah permadani.
Membakar hamparan rumput dan ilalang yang sudah mongering membuat kondisi alam sekitar sangat memprihatinkan. Namun inilah realitanya. Fakta yang boleh dikata sebagai tradisi orang Sumba di setiap kalau musim kemarau. Tangan – tangan jahil dari oknum tidak bertanggung jawab selalu membakar dan bakar lagi tanpa rasa bersalah.
Meskipun bersavana, tandus dan kering, namun tanah Sumba memiliki sejuta potensi dan mampu menarik perhatian. Taufiq Ismail, merupakan salah satu contoh dari sekian banyak yang terpikat oleh tanah yang satu ini. Lewat puisinya berjudul, "Beri Daku Sumba" sang penyair era 1970-an, menggambarkan kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri padang savanna, Pulau Sumba. Bukan hanya pemandangan alamnya yang mampu memikat pandangan mata setiap orang. Para gembala ternak kuda sandelwood, kerbau dan sapi Sumba Ongole (SO) melengkapi indahnya alam setempat.
Bukan hanya seorang penyair kondang yang terpikat oleh kekayaan alam yang satu ini, jauh sebelumnya pemerintah Belanda pun sudah tertarik. Ketertarikan penjajah ini dibuktikan dengan sekitar 600 ekor sapi ongole dari  India, dan dikembangkan di padang savanna yang terbentang laus sejauh mata memandang itu. Seiring perjalanan waktu dan didukung oleh kekayaan alam setempat menyebabkan sapi ongole terus berkembang biak dan memadati padang savanna itu hingga sekarang.
Pulau Sumba kini dikenal sebagai gudang ternaknya Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).  Seorang elite dan penguasa daerah inipun akan bangga hingga menepuk dadanya ditingkat pusat ketika berbicara mengenai ternak. Ratusan ribu ekor ternak yang berkeliaran di hamparan padanga savanna Sumba kini, bukan milik orang perorang melainkan kaum borjuis.
Aksi pembakaran hutan yang dilakukan setiap tahun tidak dapat dipisahkan dari seorang pemilik ternak di daerah ini. Sebuah pemahaman yang mungkin sedikit keliru telah merasuki pikiran setiap penguasa ternak. Musim panas, rumput dan ilalang mongering. Ratusan ribu ternak milik mereka kesulitan stok pangan. Untuk mendapatkan tunas baru, maka perlu dilakukan aksi pembakaran liar.
Aksi pembakaran liar yang merusak lingkungan membawa petaka. Setiap tahun, musim hujan yang ada hanya berkisar dua hingga tiga bulan. Selebihnya adalah kemarau panjang. Masalah kekeringan panjang dan kekurangan air bersih menjadi persoalan klasik bagi setiap rakyat jelata di pedalaman Sumba. Para petani selalu dilanda bencana gagal tanam dan gagal panen. Akibatnya rawan pangan hingga bencana kelaparan seakan enggan meninggalkan kehidupan setiap anggota petani Sumba sudah menjadi agenda tahunan.

                                                                        ***


Cari Iwi (Dioscoreaceae) — Seorang petani di Kampung Hiliwuku, Desa Katikuluku, Kecamatan Matawai Lapawu, Sumba Timur ditemani dua orang anaknya saat mencari iwi (Dioscoreaceae) di hutan. Gambar diambil Senin (13/10/2014). 
Kala musim hujan, pemandangan nan elok terlihat di seantero Bumi Marapu. Layaknya sebuah permadani hijau sedang terbentang menghiasi jagad raya. Terbentang luas sejauh mata memandang terus memanjakan mata setiap insane manusia. Namun kondisi ini akan terbalik 180 derajat kala musim kemarau.  Selain aksi pembakaran hutan secara liar, musim kemarau panjang juga menyebabkan berbagai tanaman milik seperti pisang dan kelapa akan mati.
Bencana kelaparan akibat gagal tanam dan gagal panen tanaman padi dan jagung, menyebabkan setiap anggota keluarga petani dipaksa survive. Akibatnya, Gadung (Dioscorea hispida  Dennst., suku  gadung – gadungan atau Dioscoreaceae) merupakan tempat pelarian paling tepat untuk bertahan hidup.
Gadung merupakan salah satu tumbuhan yang cukup akrab dengan petani di sejumlah daerah dan dikenal dengan nama masing–massing. Misalnya, bitule (Gorontalo),  gadu (Bima), gadung (Bali, Jawa, Madura, Sunda) iwi (Sumba), kapak (Sasak), salapa (Bugis) dan sikapa (Makassar). Jenis tanaman ini juga menghasilkan umbi yang dapat dimakan. Namun kandungan racunnya dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar pengolahannya.
Di tempat lain, umbi gadung akan diolah dan diproduksi menjadi keripik meskipun rebusan gadung juga dapat dimakan. Selain itu ada juga yang menjadikan sebagai (difermentasi) sehingga di Malaysiadikenal pula sebagai ubi arak, selain taring pelandok.
Selain diproduksi jadi kripik atau difermentasi menjadi arak, umbi dari jenis tumbuhan yang satu ini juga dapat dimanfaatkan sebagai racun tikus. Tanaman gadung ini termasuk kelompok tumbuhan redentisida atau kelompok tumbuhan yang mengahasilkan pestisida pengendali hama rodentia.
Tradisi orang Sumba saat dilanda bencana kelaparan adalah mencari dan mengolah umbi gadung untuk dikonsumsi. Meskipun beracun, umbi gadung harus dimakan tiga kali sehari tanpa memperhatikan kandungan gizi. Tak jarang, kekurangan stok pangan menyebabkan banyak kasus kurang gizi, gizi buruk hingga busung lapar menimpa anak – anak petani akibat mengkonsumsi ubi gadung setiap hari.

Tak jarang, para petani di Kabupaten Sumba Timur  mendapat cacian dan hujatan dari oknum pejabat pemerintah dan penguasa setempat. Para pejabat pemerintah yang tidak ingin dinilai gagal, dalam menjaga popularitasnya akan berkilah iwi adalah pangan lokal. Makan umbi gadung adalah sebuah tradisi yang juga dikonsumsi oleh mereka. Meskipun menjadi pejabat, mereka juga sering makan iwi walaupun lima tahun sekali. Berbeda dengan anggota keluarga petani, tiga sehari makan iwi selama berminggu –  minggu.

Para elite Sumba Timur tak sungkan untuk menilai petani di daerahnya malas. Sebuah kata yang dilontarkan begitu saja dari mulut seorang pemimpin tanpa melihat fakta di lapangan. Meskipun mereka dibilang malas, namun upaya untuk keluar dari masa sulit seperti ini terus dilakukan.  Sebagala hal dilakukan diupayakan untuk bisa makan: mencari ubi beracun di hutan untuk diolah menjadi makanan. Mencari dan menjual kayu bakar, menjual alang – alang yang mulai menipis karena kebakaran padang. Menjual kunyit yang digali di hutan dan ternak kecil maupun besar seperti ayam dan sapi juga dijual. Pertanyaanya, adakah orang malas yang melakukan hal demikian?

Di sisi lain, untuk mendapatkan umbi gadung mereka juga harus menempuh perjalanan dengan  mendaki serta menuruni bukit demi mendapatkan iwi. Bukan sebatas itu saja, mereka juga harus harus berjalan jauh lagi untuk merendam irisan iwi di lokasi sumber air mengalir selama 24 jam sebelum layak dikonsumsi. Para anggota keluarga petani juga terpaksa harus menginap di lokasi yang terdapat sungai mengalir yang jauh dari pemukiman mereka. Masih pantas kah seorang pejabat pemerintah menilai mereka ini sebagai orang – orang malas? 

Ternak besar seperti sapi, kuda dan kerbau biasanya akan dijual oleh mereka jika kondisi sudah sangat parah. Itupun jika para anggota keluarga petani Sumba Timur memiliki ternak besar. Pada situasi seperti ini, hukum ekonomi pun berlaku: untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan ternak mereka terpakas dijual dengan harga murah. Di sini peran rentenir merajalela. Tak ketinggalan para mafia ternak pun ikut bermain.

Kesempatan emas yang ditunggu – tunggu oleh para renternir untuk mendapatkan ternak dengan harga murah. Selanjutnya dijual ke luar pulau tanpa seleksi yang ketat, terlepas dari jantan atau betina. Masih produktif atau tidak lagi meskipun sudah ada larangan namun tidak berlaku bagi para elite dan penguasa Sumba Timur.

AIR BERSIH — Warga Kampung Hiliwuku, Desa Katikuluku, Kecamatan Matawai Lapawu, Sumba Timur, yang dilanda bencana kekeringan sedang mengambil air dari sebuah kubangan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Gambar diambil Senin (13/10/2014).
Masih pantaskah para petani di Sumba Timur yang selalu dilanda bencana kelaparan akibat bencana alam ini disebut malas? Sipakah yang harus bertanggung jawab untuk mensejahterakan kehdipuan setiap anggota keluarga petani di daerah ini? Sudahkah Negara menjamin kesejahteraan rakyatnya, terutama masyarakat kecil di pedalaman Kabupaten Sumba Timur?

Sepertinya nasib para anggota keluarga petani Sumba Timur untuk terus mencari umbi gadung sebagai makanan alternative masih akan panjang. Musim laparan dan umbi gadung yang mulai diolah sejak bulan Oktober akan dikonsumsi hingga penghujang Februari 2015. Saat ini para anggota keluarga petani yang dilanda benacana kelaparan ini juga harus mulai menghemata dan menyimpan sebagian sebagai stok pangan mereka sampai musim panen.

Hujan yang diharapkan mulai November agar panen di bulan Februari agar rawan pangan hanya bisa dinikmati selama Oktober hingga Februari. Namun ternyata para petani harus pasra untuk menanti musim panen hingga bulan Maret 2015 mendatang karena musim hujan baru tiba di awal Desember saat. (*)

No comments: