"HARI ini mau makan siapa?" Bagi para pemegang kekuasaan,
berpikir demikian sudah tentu untuk tetap menempati kursi empuknya.
Namun warga kampung Geo Olo, Desa
Gerodhere, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, setiap hari masih berpikir,
"Hari ini mau minum apa?" Apa lagi pada musim kemarau panjang. Untuk
mendapatkan setetes air minum, warga terpaksa berebutan dengan ternak di lokasi
sumber air.
Kampung Geo Olo terletak di atas sebuah
bukit yang berjarak sekitar 30 km dari Kota Mbay, Ibu Kota Kabupaten Nagekeo.
Untuk mencapai lokasi tersebut, membutuhkan waktu kurang lebih empat jam. Dari
pusat Desa Gerodhere harus berjalan kaki sekitar tiga jam untuk menempuh jarak
5 kilometer agar sampai di kampung ini. Waktu perjalanan cukup lama karena
harus melalui jalan menanjak dan berlumpur. Selain itu, terdapat beberapa kali
yang harus diseberangi.
Dari ketinggian bukit kampung Geo Olo,
dapat disaksikan pemandangan indah dari berbagai penjuru. Meski demikian, tanah
Geo Olo, yang tandus dan kurang subur, menjadi lokasi pilihan untuk bermukim
bagi 13 kepala keluarga (KK). Mereka merupakan sekelompok masyarakat yang
enggan untuk meninggalkan tanah leluhur. Meskipun pergulatan hidup kian hari
kian keras dan menantang.
Kurang lebih terdapat 80 jiwa yang
bermukim di kampung Geo Olo. Sebuah kampung yang hingga saat ini masih
terisolir dan jauh dari sentuhan pembangunan. Akses transportasi dan
pembangunan lainnya belum mereka nikmati. Tak jarang pada musim kemarau
panjang, mereka membawa bekal dan mengantre sepanjang hari untuk mendapatkan
setetes air minum.
Berdasarkan hasil analisis kesejahteraan
partisipatif (AKP), warga setempat masih hidup di bawah garis kemiskinan atau
sangat miskin.
Hal ini dikatakan oleh tiga orang warga
setempat, masing-masing Kosmas Djawa (tokoh masyarakat setempat), Rafael Bhia
(Ketua RT 13) dan Hermanus Laki (Kepala Desa Gerodhere).
Mereka mengatakan, kesulitan terbesar yang
dihadapi
warga setempat adalah air minum.
"Kadang-kadang terjadi konflik di antara warga yang mengantre di lokasi
sumber air untuk mendapatkan air minum," kata Laki.
Musim kemarau biasanya terjadi mulai bulan
Juni hingga akhir Desember. Warga setempat biasanya antre sejak pukul 04.00
Wita di lokasi sumber air yang berjarak sekitar 5 km dari pusat permukiman.
Selain itu, debit air yang ada tidak
besar. "Kalau kami antre dari dini hari biasanya sampai jam 12 siang baru
dapat jatah air minum. Itu pun hanya mendapat sekitar 20 liter," sambung
Laki.
Tak jarang sejumlah warga yang tidak
mendapat air minum memilih untuk bermalam di sekitar lokasi sumber air. Hal ini
terpaksa dilakukan demi dapat menampung air minum untuk dibawa kembali ke
rumah.
Dikisahkan Rafel Bhia, Ketua RT setempat,
terkadang air yang sudah ditampung oleh warga menunggu sejak malam hari dicuri
sesama warga lainnya. "Kalau sudah seperti itu, konflik dan perkelahian di
antara mereka tidak terelakkan," sambung Kosmas Djawa.
Mereka mengatakan, untuk mendapatkan air
bersih yang bisa dikonsumsi saja sudah sulit sekali, apalagi kebutuhan rumah
tangga yang lain tentunya tidak terpenuhi. Dari debit air yang tersedia pada
musim kemarau tersebut, warga hanya bisa menggunakannya untuk konsumsi.
"Hanya untuk minum saja, sudah
kesulitan sekali. Bagaimana mau mandi. Apalagi untuk kebutuhan lainnya, tentu
kami tidak bisa penuhi. Kasarnya kami di sini rebutan air minum dengan
ternak," kata mereka. (John
Taena)
Pos Kupang edisi Sabtu, 27 Maret 2010
halaman 5
No comments:
Post a Comment