Friday 18 July 2014

Jokowi "Indonesian Rock Leader"

“Kehidupan tidak ada yang tahu. Kehidupan itu misteri.
Dan bekerja harus optimis. Bekerja tidak boleh pesimis…”
by Jokowi.

Usir Investor yang Merugikan Masyarakat

Usir Investor yang Merugikan Masyarakat

Yunus Meha

POS KUPANG.COM, WAINGAPU--Untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama, pihak pemerintah membutuhkan dukungan investor. Pasalnya, dari tangan para pemodal yang akan berinvestasi diharapkan membawa dampak positif bagi perkembangan roda ekonomi di suatu daerah. Hal ini menjadi salah satu alasan bagi warga  Sumba Timur untuk menerima kehadiran PT Ade Agro Industri.
"PT Ade Agro Industri itu merupakan investor yang sebelumnya diharapkan dapat mendukung perkembangan ekonomi di daerah ini. Kehadirannya untuk berinvestasi sangat bagus dan diterima dengan tangan terbuka oleh seluruh elemen, sehingga Pemkab Sumtim menyediakan lahan," ujar Ketua Komisi B DPRD Sumba Timur, Yunus Hunga Meha, di Waingapu, Senin (5/5/2014).
PT Ade Agro Industri, lanjutnya, belakangan bukan mendukung program pembangunan di daerah, melainkan merugikan para petani setempat. Hal ini terlihat dari ulahnya membuat kelompok tani binaan fiktif demi mendapat kredit tanpa agunan dari Bank  NTT Cabang Waingapu.
"Kalau datang hanya untuk merugikan masyarakat, lebih baik diusir saja. Pemerintah jangan hanya diam melihat ulah investor seperti PT Ade Agro Industri yang tidak tahu berterima kasih," tegasnya.
Pihak Kejari Waingapu yang sebelumnya telah menangani kasus ini, tambah Hunga Meha, diminta untuk bekerja sungguh- sungguh. Pasalnya, apa yang dilakukan PT Ade Agro Industri di daerah itu merupakan perbuatan melawan hukum.
"Jadi, harus diminta pertanggungjawabannya sebelum diusir dari daerah ini," tandasnya.
Sebelumnya Yunus Hungan Meha meminta aparat Kejaksaan  Negeri (Kejari) Waingapu serius dan tidak hanya mencari sensasi dalam menangani kasus dugaan korupsi  yang terjadi di wilayah hukum Sumba Timur. Dugaan penyelewengan keuangan negara yang terjadi di daerah itu harus diproses tuntas. Salah satu contohnya  kasus dugaan korupsi di Bank NTT Cabang Waingapu yang diduga merugikan negara, namun hingga saat ini tidak jelas penanganannya.
Selama ini, katanya, pihak kejari hanya mencari sensasi pada akhir tahun, namun setelah itu diam. "Kita pertanyakan perkembangan kasus dugaan korupsi di Bank NTT itu sudah sampai di mana?" tanyanya.
Korupsi di Bank NTT Cabang Waingapu yang diduga merugikan keuangan negara senilai Rp 2,6 miliar tersebut, kata Hungan Meha, sebelumnya sangat getol diusut oleh Kejari Waingapu pada akhir tahun 2013. Namun hingga saat ini, proses hukum kasus tersebut yang sudah ada tersangkanya terkesan didiamkan begitu saja. "Sudah ada indikasi penyelewengan keuangan negara, namun prosesnya jalan di tempat," tegasnya. (jet)

sumber http://kupang.tribunnews.com/2014/05/07/usir-investor-yang-merugikan-masyarakat

Kejari Waingapu Sita Rp 2,6 Miliar Kasus Kredit Fiktif

Kejari Waingapu Sita Rp 2,6 Miliar Kasus Kredit Fiktif
POS KUPANG/JOHN TAENA
SAKSI--Dua orang petani sedang memberikan keterangan saat diperiksa oleh Kasis Intel Kejari Waingapu, Fredrix Bere, SH, Senin (9/12/2013). SAKSI--Dua orang petani sedang memberikan keterangan saat diperiksa oleh Kasis Intel Kejari Waingapu, Fredrix Bere, SH, Senin (9/12/2013)
POS-KUPANG.COM, WAINGAPU, PK -- Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Waingapu telah menyita barang bukti berupa rekening koran senilai kurang lebih Rp 2,6 miliar untuk kelancaran proses hukum  kasus dugaan kredit fiktif tanpa anggunan di Bank NTT Cabang Waingapu, yang diduga merugikan keuangan negara.
Selain menyita rekening koran, penyidik Kejari Waingapu juga sudah memeriksa 26 orang petani dari total 52 orang petani yang terdaftar sebagai anggota gabungan kelompok tani binaan PT Ade Agro Industri (AAI) untuk  mengungkap kasus tersebut.
Kepada Pos Kupang di ruang kerjanya, Rabu (11/12/2013), Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari Waingapu, Fredrix Bere, S.H mengatakan, pihaknya akan bekerja professional dan maksimal untuk mengungkap kasus dugaan korupsi tersebut.
Salah satu contoh keseriusan tim penyidik dalam membongkar kasus itu, demikian Fredrix,   melakukan pemeriksaan marathon terhadap 52 orang saksi.
"Dugaan kerugian keuangan negara ini cukup tinggi nilainya. Kami tidak main - main dalam kasus ini. Sejauh ini sudah 26 orang saksi dari petani yang kami periksa," tandasnya.
Selain pemeriksaan saksi secara marathon, lanjut Fredrix, penyidik juga telah melakukan penyitaan sejumlah dokumen yang berkaitan dengan kasus itu. Hal ini bertujuan memperlancar percepatan upaya penegakan hukum kasus dugaan korupsi yang terjadi di wilayah itu.
Ia menjelaskan, tanggal 2 Desember 2013, pihak PT AAI sudah menyetor kembali Rp 2,6 miliar sesuai dugaan kerugian keuangan negara di Bank NTT. Tim penyidik juga telah menyita rekening korannya pada tanggal 6 Desember 2013," ungkapnya.
Meskipun telah dilakukan penyetoran oleh pihak PT AAI kepada Bank NTT senilai Rp 2,6 miliar, kata Frederix, namun proses hukum kasus itu akan tetap berjalan. Selain karena proses pengembalian  setelah adanya temuan,  juga disebabkan adanya aturan hukum.
Hal ini, lanjut  Frederix, sesuai ketentuan pasal 2 dan pasal 3 Undang - Undang Tindak Pidana Korupsi. "Meskipun ada pengembalian keuangan negara, namun proses hukum kasus dugaan korupsi ini akan tetap berjalan," tegasnya.
Ia mengatakan, tim penyidik Kejari Waingapu  menargetkan proses penyidikan kasus dugaan korupsi tersebut selesai dalam waktu dekat. Hal ini tergantung proses penyidikan terhadap saksi - saksi oleh tim penyidik.
Pasalnya,  penyidik mengalami kendala untuk mendatangkan para saksi. "Untuk saat ini penyidikan tergantung saksi- saksi, selain banyak juga ada saksi yang tidak datang karena berhalangan. Awal tahun 2014 penyidikan sudah bisa rampung," tandasnya

sumber http://kupang.tribunnews.com/2013/12/12/kejari-waingapu-sita-rp-26-miliar-kasus-kredit-fiktif

Kalau Benar Proyek RPDAS Fiktif Kita Marah


Kalau Benar  Proyek RPDAS   Fiktif Kita Marah
Gidion Mbilijora
POS KUPANG.COM, WAINGAPU--Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumba Timur sudah meminta penjelasan kepada Kantor Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BP DAS) Benain-Noelmina terkait  proyek Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (RPDAS) Terpadu Kambaniru yang diduga fiktif. Jika proyek tahun anggaran 2012 benar seperti yang diberitakan oleh media selama ini, maka lembaga tersebut harus bertanggung jawab.
"Kita sudah bersurat ke BPDAS meminta penjelasan. Kalau tidak benar, maka pemberitaan media masa selama ini harus diklarifikasi. Tapi kalau memang benar, tentunya sebagai pihak yang dirugikan kita marah. Kita akan ajukan keberatan ke pusat BPDAS, mereka harus bertanggung jawab," tegas Bupati Sumba Timur, Gidion Mbilijora, di Waingapu, Rabu (16/7/2014).
Pihak BPDAS, kata Gidion, diminta untuk mengirimkan dokumen Proyek Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (RPDAS) Terpadu Kambaniru ke Pemkab Sumba Timur. Pasalnya sejak tahun 2012 hingga saat ini, dokumen yang sudah pernah diminta oleh Pemkab Sumba Timur itu belum dikirim.
"Kita sudah pernah meminta dokumen itu sejak 2012, tapi BPDAS tidak pernah kirim hingga muncul masalah ini," ujar bupati.
Tujuan meminta dokumen tersebut, jelas Gidion, untuk melihat dan mempelajari isi dan bentuk perencanaanya seperti apa. Selain itu untuk memastikan lokasi-lokasi yang akan ditangani dan dibiayai oleh pihak BPDAS sendiri dalam proyek tersebut.
Sementara pihak Pemkab Sumba Timur bisa menyusun program perencanaan untuk menangani lokasi-lokasi yang belum ditangani. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pembiayaan proyek perencanaan DAS di daerah itu.
"Kita minta dokumen itu untuk dipelajari tapi BPDAS sendiri tidak pernah kirim sejak tahun 2012, maka kita bersuarat sekarang. Kita minta untuk lihat perencanaannya seperti apa? Kalau sudah diisi, maka kita lagi lokasi lain yang belum ditangani untuk kita bisa tanggulangi dengan dana kita," jelasnya.
Pada tahun 2012 ketika didatangi oleh Ketua Tim Forum DAS NTT, Dr. Mikhael Riwu Kaho, dan beberapa orang anggota tim dari Kupang, Bupati Gidion meminta tim tersebut untuk mnenggandeng dinas kehutanan setempat. Alasannya selain sebagai tuan rumah, juga instansi terkait yang lebih mengetahui kondisi wilayah itu.
"Tapi saya tidak tahu setelah itu mereka gandeng dinas kehutanan atau tidak? Kalau mengenai tanda tangan itu, saya tidak ingat lagi. Tapi waktu itu bukan dokumen dan mungkin lampiran surat yang saya tandatangani. Setelah itu saya pikir sudah selesai," kata Gidion. (jet)

sumber http://kupang.tribunnews.com/2014/07/18/kalau-benar-proyek-rpdas-fiktif-kita-marah

Thursday 17 July 2014

Melirik Warga di Pulau Terluar



Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
 
REVOLUSI Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah salah satu gebrakan pemerintah untuk menekan tingkat kematian ibu dan anak di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah melalui dinas kesehatan gencar mensosialisasikan program ini sampai di kampung-kampung. Ibu-ibu hamil yang mau melahirkan harus dibawa ke puskesmas atau rumah sakit untuk mendapat pelayanan dari para tenaga kesehatan terlatih.
Program lainnya di bidang kesehatan adalah  memberikan kartu jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Setiap kepala keluarga (KK) yang masuk kategori miskin mendapat-kan kartu ini untuk menda-patkan pelayanan kesehat-an gratis di puskesmas atau rumah sakit pemerintah.
Bagi warga di daerah lain, program ini sangat mem-bantu. Akan tetapi bagi 125 kepala keluarga (KK) atau 618 jiwa yang tinggal di Pu-lau Salura, Kecamatan Karera, Kabupaten Sumba Timur, tidak demikian. Untuk menuju puskesmas terdekat, warga harus naik perahu motor menyeberangi laut. Dan biaya transpor luar biasa mahalnya, yakni Rp 500 ribu/orang pergi pu-lang. Kalau yang hendak berobat itu adalah ibu hamil atau pasien gawat darurat lain, tentu tidak bisa pergi sendirian. Maka biaya yang dikeluarkan minimal Rp 1 juta. Itu hanya untuk ongkos perahu motor. Meski biaya sewa perahu motor demiki-an mahal, hanya untuk 1,5 jam pelayaran dari Salura ke Puskesmas di Kecamatan Karera di daratan Sumba, tidak pernah ada intervensi pemerintah untuk memban-tu warga, misalnya menge-luarkan aturan tentang tarif angkutan.
 Akses warga terhadap sarana kesehatan begitu sulit. Harapan mereka tentang hadirnya sarana kesehatan di pulau terluar itu sudah menjadi mimpi selama puluhan tahun yang tak pernah terealisasi.
“Kami minta pemerintah bangun Poskedes (pos pela-yanan kesehatan desa) dan menempatkan perawat di desa kami. Kalau tidak, ka-mi tidak bisa ke puskesmas. Terlalu mahal biaya trans-portasi,” keluh Zahlan Abu-bakar (31), salah seorang kader posyandu di desa itu.
Tahun lalu (2010), warga setempat yang diserang malaria, diare, demam dan mencret. Umumnya yang terserang adalah anak-anak dan ibu hamil. Karena tidak ada petugas kesehatan di pulau itu yang bisa segera memberikan pertolongan medis, salah seorang anak akhirnya meninggal dunia.
Tokoh masayarakat Pulau Salura, Haji Muhamad Saleh (75), dengan suara bergetar melukiskan derita warga di pulau itu, saat berdialog dengan Dewan Pertimbangan Kesehatan Daerah, Kabupaten Sumba Timur, 10 Juni 2011, lalu.
“Awal tahun ini sudah ada dua orang mati. Bulan Februari lalu satu bayi dan satu orang ibu melahirkan yang meninggal dunia. Waktu itu kami mau bawa ke puskesmas tapi karena gelombang tinggi akhirnya tidak bisa,” katanya.
Orangtua itu tak kuasa membendung air matanya saat menceritrakan proses meninggalnya seorang ibu yang gagal melahirkan. Ka-rena tak ada petugas kese-hatan, tuturnya, ibu itu di-bantu seorang dukun. Se-lama dua hari, ibu itu ber-juang melawan maut. Akhir-nya sang ibu itu meninggal dunia bersama anak dalam kandungannya, karena lemas.
“Mati itu sudah diatur (oleh Tuhan, Red). Tapi tidak ada salahnya untuk kita berjuang. Seandainya waktu itu ada petugas kesehatan di desa kami, mungkin ibu itu bisa melahirkan dengan selamat,” katanya.
Persoalan lainnya yang menimpa masyarakat di pulau itu adalah mahalnya biaya pelayanan kesehatan. Petugas medis yang sese-kali datang memberikan pelayanan di pulau itu, menjual obat pada setiap pasien yang dilayani.
“Kami mau tanya, sebe-narnya biaya berobat itu berapa? Selama ini kami bayar Rp 50 ribu mereka (petugas medis dari puskes-mas, Red) terima, Rp 20 ribu terima dan Rp 15 ribu juga mereka terima. Jadi yang sebenarnya itu bera-pa?” tanyanya.
Menanggapi itu, Kepala Puskesmas Nggongi, dr. Rizal Edwin Kurniawan mengaku kewalahan mengontrol stafnya yang bertugas di pulau itu. Tarif pelayanan resmi, katanya, Rp 4.000/pasien. Sedangkan pasien yang mempunyai kartu jamkes-mas tidak bayar. Dia menduga, tarif yang ditetapkan petugas medis yang mencapai Rp 50 ribu itu karena petugas medis membawa obat pribadi.
Ketua DPKD Sumba Ti-mur, dr. Lapoe Moekoe me-ngatakan, ke depan harus dibangun poskesdes dan ditempatkan petugas ke-sehatan di pulau tersebut.
Dijarah Asing
Kepala Desa Praisalura, Muhamad Saleh (60) me-ngatakan bahwa kekayaan laut di sekitar pulau itu se-ring dijarah oleh para nela-yan dan kapal asing. Selain itu, wilayah perairan di pulau itu itu sering menjadi jalur penyelundupan imigran ge-lap dari Indonesia ke Australia.
“Bagaimana aparat ke-amanan bisa tangkap nela-yan asing yang punya kapal dan peralatan yang canggih, sementara petugas kita tidak memiliki peralatan yang memadai?” katanya.
Dia melukiskan bahwa selama 60 tahun lebih war-ga cinta NKRI. Tapi cinta warga itu bertepuk sebelah tangan karena warga tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Setiap pejabat pemerintah yang datang ber-kunjung ke pulau itu selalu dan selalu membawa janji.
“Kalau ada tawaran dari negara tetangga kepada kami untuk bergabung, maka jangan salahkan kami kalau kami pindah. Tapi kalau pemerintah mau perhatikan kami di sini, tidak hanya janji-janji, maka NKRI adalah harga mati,” katanya (john taena)

diterbitkan pos kupang
Selasa, 21 Juni 2011

Reformasi Budaya Sumba (3)



Teladan Dari Desa Kuta 

TRADISI penyembelihan hewan dalam jumlah puluhan, bahkan ratusan ekor, pada saat upacara adat seperti kematian atau perkawinan bagi warga Kabupaten Sumba Timur merupakan hal yang lumrah. Ada nilai positif dari tradisi ini, antara lain tali kekerabatan terus dipererat dan nilai kebersamaan terus dipupuk. Seluruh rumpun keluarga tergerak dengan sendirinya membawa hewan dan sumbangan lainnya untuk meringankan beban tuan pesta, baik dalam pesta adat kematian maupun perkawinan.

Tetapi ada juga sisi negatifnya, yakni pemborosan. Ternak yang disembelih mencapai puluhan dan ratusan ekor bernilai ekonomi tidak kecil. Jika saja sebagian (besar) dari itu dimanfaatkan untuk keperluan non- konsumtif, misalnya untuk biaya pendidikan, maka manfaat jangka panjang yang diperoleh sungguh luar biasa.

Katakanlah dalam sekali pesta adat dihabiskan 50 ekor ternak (babi, sapi dan kerbau) dengan nilai rata-rata Rp 3 juta per ekor, maka sekali pesta menghabiskan Rp 150 juta. Kalau saja Rp 100 juta dialihkan pemanfaatannya untuk kebutuhan produktif, bukankah itu nilai yang tidak kecil?  Untuk pesta adat bagi warga yang berkelas ningrat (umbu), hewan yang dihabiskan mungkin mencapai 100-an ekor. jika dinilai dengan uang, maka ini jumlah sangat fantastis.

Pesta adat, biasanya memakan waktu lama. Ini juga mempengaruhi, tepatnya mengurangi waktu prpduktif warga.  Bahkan tidak sedikit warga yang tidak bisa mengurus kebun dan ternaknya sepanjang pesta adat berlangsung. 

Sisi negatif lainnya adalah pesta adat selalu dijadikan moment untuk berjudi. Siapapun tak bisa membantah bahwa judi adalah penyakit masyarakat. Judi tak pernah membuat seseorang menjadi kaya dan maju. Judi selalu memiskinkan orang dan memantik orang untuk melakukan beragam tindak kejahatan, mulai dari dalam rumah tangga.  Selain itu, kedatanga  kerabat dengan seluruh bawaannya saat pesta adat, menjadi “hutang”  bagi tuan pesta

"Jadi kalau ada keematian begitu, nanti kelaurga- keluarga yang datang dan bawa ternak sekian ekor, akan dibalas suatu waktu saat mereka alami kedukaan. Nah suatu saat kalau ada anggota keluarga meninggal maka kita harus bawa kembali ternak yang pernah mereka bawa untuk kita. Ini sangat memberatkan," kata Hans Hamba Pulu, Kepala Desa (Kades) Kuta di Kecamatan Kanatang, Kabupaten Sumba Timur, Sabtu (12/3/2011).

Menurut Kades Kuta, tradisi seperti itu bisa dikurangi tanpa mengurangi nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan leluhur. Misalnya, kebiasaan untuk menjaga mayat selama ini berminggu-minggu, bahkan berbulan- bulan perlu dibatasi. Jumlah ternak atau hewan yang disembelih pun harus dibatasi. 

"Untuk jaga orang mati sekarang kita batasi maksimalnya 12 hari dan tidak boleh lebih dari itu. Pokoknya harus dikubur," katanya.

Budaya pesta pora dan pemborosan perlu dikurangi bahkan dihentikan. Warga Desa Kuta telah menyepakati dan menetapkan peraturan desa yang mengatur tentang pembatasan-pembatasan itu.
                                                                    ***

"Arisan Pendidikan"


Desa Kuta juga sudah menetapkan Perdes tentang peningkatan sumber daya manusia (SDM) generasi muda. Setiap keluarga wajib membiayai pendidikan anak-anak mereka sesuai standar pendidikan nasional yakni wajib belajar sembilan tahun. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan cita-cita warga setempat untuk menjadikan Desa Kuta sebagai teladan bagi desa lain.

Sebagai motivasi dan juga tanggung jawab moril seluruh warga desa bagi anak-anak mereka, maka akan dibuat arisan pendidikan bagi setiap anak Desa Kuta yang ingin mengenyam pendidikan tinggi. 

Arisan pendidikan tersebut disebut dengan acara "terima tangan". Setiap anak yang akan melanjutkan studi ke bangku kuliah akan membawa serta tanggung jawab yang dititipkan warga desanya. Semua kepala keluarga menyumbang uang untuk biaya di pendidikan tinggi.

"Jadi melalui arisan pendidikan ini juga secara tidak langsung ada ikatan moril. Setiap anak yang pergi kuliah akan belajar sungguh-sungguh untuk bisa meraih gelar sarjana, karena saat dia berangkat ada tanggung jawab yang dititipkan seluruh warga melalui arisan pendidikan," katanya.

Berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini, banyak orang tua yang memikul hutang seumur hidup hanya untuk pesta pora. Karena pada hajatan baik itu acara adat kematian atau perkawinan, lebih cendrung orang berupaya untuk meningkatkan gengsinya. Dengan beban hutang seperti itu, pendidikan anak-anak tidak akan memperoleh alokasi biaya yang jelas. Kesehatan anak-anak tidak terurus dengan baik.

"Kalau kita mau hitung, orang-orang yang berpendidikan di desa ini tidak seberapa. Karena memang tidak ada niat untuk membiayai pendidikan anak-anak dan ini yang akan kita ubah ke depan. Semua wajib sekolah, orangtua wajib sediakan biaya," katanya.

Kesadaran akan kemajuan harus dimulai dari meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dan kesadaran itu sudah dimulai warga Desa Kuta. Desa di pelosok Sumba Timur itu sudah memberi teladan bagaimana menghembuskan angin perubahan itu dari desa, bukan dari kota.  (john taena/habis)

Diterbitkan pos kupang edisi Minggu, 20 Maret 2011

Reformasi Budaya Sumba (2)



Kemiskinan di Gudang Ternak

PULAU Sumba merupakan salah satu wilayah terselatan Indonesia yang memiliki keunikan budaya dan tradisi. Tradisi merapu merupakan salah satu keunikan. Jenazah dibungkus dengan kain adat dan disemayamkan di rumah duka selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Yang unik di sini yakni jenazah tidak membusuk, tidak menebar bau meski disemayamkan demikian lama.

Tinggal serumah dengan mayat selama bertahun-tahun bukan lagi kisah fiktif melainkan kenyataan di tanah Sumba. Selama belum dikuburkan, para kerabat kenalan yang dayang melayat membawa hewan seperti babi, sapi dan kerbau.

Hewan-hewan itulah yang akan disembelih selama sekitar seminggu, bahkan lebih, menjelang penguburan dan sesudah penguburan. Jumlah hewan yang disembelih menunjukkan kelas sosial si orang mati dan keluarganya.

Upacara penguburan (sebelum dan sesudah) bisa berlangsung berminggu-minggu. Sepanjang hari, siang dan malam, selalu ada beberapa ekor hewan disembelih untuk disantap bersama segenap pelayat.

Selama itu pula permainan judi "memperoleh momentumnya". Rumah duka seakan jadi arena judi untuk mengusir kantuk. Maka aktivitas harian seperti mengolah kebun, mengurus ternak dan aktivitas produktif lainnya menjadi berkurang, bahkan tidak dilakukan sama sekali selama acara itu berlangsung.

"Bayangkan kalau dalam setahun ada enam orang yang meninggal dalam kampung dan masing-masing dijaga selama 20 atau 30 hari baru dimakamkan, maka selama itu pula ada aktivitas perjudian dan orang tidak kerja apa-apa. Sementara banyak ternak yang ikut dikurbankan," kata Kepala Desa (Kades) Kuta di Kecamatan Kanatang, Kabupaten Sumba Timur, Hans Hamba Pulu di kantornya, Sabtu (12/3/2011).

Tradisi mengurbankan ternak dalam jumlah besar di Sumba Timur bukan hanya dilakukan pada upacara   kematian, namun juga pada pesta adat lainnya, termasuk perkawinan. Biaya yang dihabiskan untuk urusan-urusan adat tersebut sedemikian besar.

Tradisi inilah menjadi salah satu penyumbang terbesar kemiskinan di tanah Sumba, salah satu daerah yang menjadi gudang ternak di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kemiskinan membuat orang mudah berbuat kejahatan, yakni kejahatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pencurian dan perampokan disertai tindak kekerasan, bahkan pembunuhan, sering terjadi di Sumba. Ternak peliharaan warga menjadi tidak aman, meski dikandangkan di pekarangan rumah sekalipun! Selalu dirampok dan dicuri orang.

"Pada tahun 2010 pernah ada yang mencuri ayam dan ditangkap kemudian diarak keliling kampung. Sekarang pencurian di sini sudah mulai berkurang dan memang pencuri itu harus dibuat malu sehingga bisa jera dan bertobat," katanya.

Tanpa mengurangi nilai budaya yang ada, tradisi penyembelihan hewan dalam jumlah besar dalam setiap acara adat harus dikurangi.  Hal ini yang telah dilakukan Pemerintah Desa Kuta. "Hal yang paling mendasar dari penetapan peraturan desa ini adalah mengurangi pesta pora, perjudian, pencurian dan menciptakan kenyamanan lingkungan. Kita juga ingin menjaga lingkungan alam melalui perdes ini," katanya.

Alasan lain dari penetapan perdes tersebut adalah wilayah Desa Kuta juga merupakan salah satu lokasi obyek wisata. Hal ini yang harus didukung oleh  warga setempat dengan menjaga lingkungan agar tidak rusak, nyaman dan aman dari aksi kejahatan.

Hal senada dikatakan tokoh masyarakat Kuta, Ngabi Ani (65). Dia mengatakan, penetapan peraturan desa yang dikukuhkan dengan sumpah adat memiliki tujuan mulia. Perdes tidak hanya dikukuhkan melalui penetapan formal pemerintah tetapi juga melalui sumpah adat.

"Kalau ada yang melanggar, maka hukumannya tidak hanya sanksi yang diatur dalam perdes tetapi oleh alam, oleh leluhur karena sudah sumpah adat," ," tegas Ngabi Ani.

Pengalaman selama ini, tambahnya, warga yang melanggar sumpah adat pasti terkena musibah berupa menjadi korban bencana, disambar petir atau musibah lainnya yang merenggut nyawa. "Ada juga yang sakit lalu mati," kata Ani. (
john taen/bersambung)

diterbitkan pos kupang
Minggu, 20 Maret 2011