Sunday 23 August 2015

Hilangkan Stigma Kekejaman MOS


“Karakter yang ditanamkan dalam diri setiap peserta didik adalah sikap bisa dipercaya atau tidak menipu. Mengerjakan sesuatu tanpa harus diawasi.”

                                                                                                                               Pos Kupang/John Taena
MOS — Siswa – siswi SCHIPS and St. Peter’s School Kupang bersama para guru saat MOS di Pantai Lasiana Kupang. Sabtu (8/8/2015)  
Rambut dikepang, diikat menggunakan tali rafia. Memakai topi setengah bola dan membawa peralatan seperti ember serta sapu. Tak jarang ada yang harus membeli beberapa botol bir ke sekolah. Belum lagi akan dipelonco oleh para senior, seperti push up, jongkok, loncat dan beraneka ragam penyiksaan lainnya.

Opini publik telah terbentuk sejak lama, Masa Orientasi Sekolah (MOS) identik dengan kekerasan. Kejam dan tidak berperikemanusiaan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan hakikat MOS sesungguhnya.

Memasuki tahun ajaran, Nusa Cendana Internasional Plus School (NCIPS) and St. Peter's School Kupang menerapkan metode yang berbeda dalam MOS bagi calon siswa. Sebagai salah satu lembaga pendidikan yang menerapkan dua bahasa dalam proses belajar mengajar, panitia menghilangkan stigma MOS itu kejam.

Hari Sabtu (8/8/2015), ratusan siswa empat sekolah dari keluarga besar NCIS and St. Peter's School, diarahkan panitia mengikuti kegiatan MOS di Pantai Lasiana Kupang. "Suasana kebersamaan dibangun tapi masih tetap dalam pembentuk karaktek," demikian Pasianus Payong Pulo, S.Pd, salah seorang guru di lembaga tersebut kepada Pos Kupang di Lasiana, Sabtu (8/8/2015).

MOS itu intinya pengenalan sekolah kepada peserta didik agar mereka menyesuaikan diri dengan suasana baru. "Kegiatan di sekolah itu full dari pagi sampai sore (07.30 -14.15 Wita). Jadi kita pilih MOS di Lasiana sekalian untuk refreshing," jelasnya.

Ketika berada di luar lingkungan sekolah, para calon siswa dan peserta didik didorong meningkatkan rasa kebersamaan. "Tidak bisa dipungkiri sikap seperti ini berkurang karena pola hidup individual," ujar Payong.

Di lokasi wisata tersebut peserta didik pun mengasah kemampuan bahasa Inggris. Menurut dia, pembinaan mental dan pembentukan karakter bukan hanya diberikan kepada siswa baru melainkan para senior juga menjadi sasaran. Alasanya, dalam keseharian di sekolah para siswa baru akan sosialisasi dengan senior mereka. Hal ini yang harus ditanamkan agar para senior harus bisa menjadi panutan. Dan, lebih penting lagi mereka saling menghargai.

"Dulu siswa sangat menghormati satu sama lain, bukan hanya yunior menghormati senior atau yang tua tapi semua orang saling menghargai. Suasana paling rusak di sekolah saat ini adalah ketika guru mengajar di depan, para murid juga sibuk ngomong di belakang," kata Payong Pulo.

Melihat realitas miris itu, NCIPS and St. Peter's School Kupang merasa terpanggil untuk mengembalikan dunia pendidikan pada relnya dengan tiada henti membentuk karakter siswa. Untuk pembentukan karakter ini, para siswa diajak saling menghormati ala budaya orang Jepang. "Saling membungkuk sebagai tanda awal respek, bukan hanya kepada guru, tapi kepada semua orang tanpa kecuali itu karakter pertama," katanya.

Karakter kedua yang ditanamkan dalam diri setiap peserta didik adalah sikap bisa dipercaya atau tidak menipu. Mengerjakan sesuatu tanpa harus diawasi. Selain itu tidak mencuri dan bertanggung jawab.  Kalau mendapat PR dan diminta untuk diselesaikan dalam satu hari ke depan, maka harus bertanggung jawab dengan itu. Jangan sampai tidak diselesaikan pada waktunya karena akan mengganggu jadwal kegiatan yang lain.

Keadilan adalah karakter keempat yang harus ditanamkan kepada para siswa. "Bekerja sama itu tidak masalah tapi bukan untuk menguntungkan salah satu pihak dengan cara-cara yang tidak sehat," katanya. 

Terakhir adalah sikap peduli. Karakter ini sangat penting dan perlu ditanamkan rasa peduli serta empati terhadap sesama. "Jikalau kelima karakter itu dimiliki maka ketika sudah saatnya menjadi pemimpin pasti mereka akan jauh lebih baik," demikian Payong Pulo. (john taena)

Sumber Pos Kupang cetak

Saturday 22 August 2015

Berburu Air di Hutan Taubnono

“Di hutan yang didominasi semak belukar dan pohon kayu putih ini, ada batang pipa ukuran 1,5 dim menyembul dari dalam tanah dan bebatuan. Pipa tersebut mengeluarkan air.”
                                                                                                                                                                                              pos kupang/julianus akoit

MENCARI AIR - Dua bersaudara, Nelcy Nahak dan Ketty Nahak sedang mencari air di Hutan Taubnono, Kupang Timur, Rabu (19/8/2015) siang.

JARUM jam tepat menunjuk pukul 12.00 Wita. Terik matahari terasa membakar kulit. Di sebuah jalan berbatu dan dan berlubang-lubang, dua orang wanita paruh baya mendorong gerobak berisikan 16 jeriken. Nafas mereka terengah-engah. Peluh bercucuran membasahi tubuh mereka.

Mereka menuju ke Hutan Taubnono, perbatasan Desa Tuatuka, Kecamatan Kupang Timur dengan Kelurahan Nonbes, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang. Di hutan yang didominasi semak belukar dan pohon kayu putih ini, ada batang pipa ukuran 1,5 dim menyembul dari dalam tanah dan bebatuan. Pipa tersebut mengeluarkan air.

Meskipun cuma menetes tidak menentu, Ny. Nelcy Nahak dan Ny. Ketty Nahak tetap sabar menunggu. Untuk 16 jeriken air berukuran 5 liter, mereka harus sabar menunggu hingga 2 jam baru terisi penuh.

"Sejak dulu, kami kekurangan air bersih. Di RW 10, ada 21 kepala keluarga yang harus masuk hutan berburu air. Kami harus mete (begadang, Red) berburu air malam-malam di hutan sampai pagi. Siang begini pun masih ada yang datang antre. Jadi 24 jam orang datang antre air," jelas Ny. Nelcy dibenarkan saudara kandungnya, Ny. Ketty.

Dulu sekali, lanjut Nelcy, warga setempat hanya membeli air yang dibawa tukang ojek. Biasanya tukang ojek membawa dua jeriken besar, masing-masing ukuran 20 liter yang ditebus seharga Rp 10.000 per jeriken. Saat memasuki puncak kemarau bulan September - November, tetesan air dari pipa mulai berkurang. Warga membutuhkan waktu lebih lama untuk antre air di kawasan Hutan Taubnono.

"Tahun 2010 lalu, kami dapat bantuan 3.000 batang pipa ukuran 1,5 dim dari PNPM. Itu pun dana sisa PNPM dari Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi sebesar Rp 120 juta. Uang itu dipakai untuk beli 3.000 batang pipa dan buat bak resevoir satu unit sebesar 2 x 2 meter," kisah Mathias Nahak, Ketua RT 20.

Sayang sekali, 3.000 batang pipa itu tidak cukup mengalirkan air sampai pemukiman penduduk. Sambungan pipa cuma sampai hutan Taubnono. Sebab jarak sumber air Oe'uki ke pemukiman sejauh 4,5 kilometer.

"Lalu warga di sini swadaya beli 65 batang pipa plastik untuk disambung lagi. Tapi belum juga sampai ke pemukiman. Terpaksa kami harus pakai gerobak masuk hutan ambil air," jelas Mathias.

Ia berjanji membuat proposal mencari bantuan dana kepada para donatur. "Supaya bisa membeli pipa untuk disambung lagi masuk ke pemukiman warga," ujarnya berharap. Semoga ada yang membantu.(julianus akoit)


Sumber Pos Kupang cetak edisi Kamis 20 Agustus 2015, halaman 1

Perintis Bandara Frans Laga Naik Pesawat (2)

“Pesawat AviaStar carteran Chris Rotok dan Deno Kamelus melayang di ketinggian udara wilayah Kota Ruteng dilepas ratusan pasang mata dengan beragam perasaan.”

                                                                                                                                             pos kupang/egy mo’a

CERIA - Kakek Oscar Garut (95) tampak ceria saat turun dari pesawat AviaStar seusai terbang keliling Manggarai, Sabtu (15/8/2015).
Kakek Oscar Garu Senang Sekali

SAAT pesawat lepas landas dari Bandara Frans Sales Lega Ruteng, Sabtu 15 Agustus 2015 sekitar pukul 10.00 Wita, tergenapi sudah niat Bupati Manggarai Christian Rotok dan Wakil Bupati Deno Kamelus membahagiakan para orang tua perintis pembangunan bandara itu.

Walau demikian aneka perasaan masih terus berkecamuk tatkala 'burung besi' AviaStar carteran itu melayang-layang di ketinggian udara wilayah Manggarai.

"Semua berdoa mudah-mudahan tak terjadi apa-apa dalam enjoy flight ini," kata Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Manggarai, Apri Laturake, S.H.

Suasana menarik tercipta saat pesawat hendak lepas landas dari Bandara Frans Sales Lega. Ketika para tokoh sepuh telah duduk manis pada kursinya, teknisi pesawat membantu memasangkan sabuk pengaman di pinggang. Sebagian dari mereka menunjukkan wajah cemas dan tidak nyaman. Semua mata tertuju ke arah kokpit. "Kita mau siap terbang," ujar teknisi pesawat.

Pesawat pun berjalan pelan keluar dari appron menuju ujung landasan pacu di sisi timur. Semakin kencang deru pesawat, tubuh penumpang seolah ikut bergetar. Tak lama berselang pesawat melaju, melayang meninggalkan landasan pacu.

Terbang gembira diawali rute menuju ke arah barat, wilayah Cancar Kecamatan Ruteng. Dokter Lian Pantas yang mendampingi para orang tua di dalam kabin pesawat itu berperan sebagai pemandu. "Wa Cancar, Golowelu, Reok, Wae Rii, Iteng, Pulau Mules, Ulumbu dan seterusnya," dokter yang bertugas di Puskemas Kota Ruteng itu menerangkan satu persatu wilayah daratan Manggarai dalam bahasa setempat.

Guncangan pesawat diterpa angin kencang atau ketika dihadang gumpalan awan tipis sesekali membentur keras badan pesawat. Mungkin di dalam hati mereka bertanya mengapapesawat bergoyang sesekali atau mengapa turun dan naik tiba-tiba? Sekian menit di udara, wajah cemas tampak memudar. Para perintis pembangunan bandara itu malah bercanda dalam bahasa Manggarai. Hijauan bukit-bukit yang dibungkus pepohonan serta bentangan sawah bertangga-tangga di bawah sana seolah sudah membunuh rasa takut mereka. Pertanyaan demi pertanyaan soal wilayah daratan yang dilewati terus saja meluncur dari setiap penumpang. "Nia ite nana (di mana kita sekarang)."

Setelah 30 menit berlalu, moncong burung besi berbelok menuju Kota Ruteng. Beberapa menit berselang roda pesawat pun menyentuh lagi bumi Congkasae.

Pengalaman pertama naik pesawat tak akan dilupakan Oscar Garu (95), Romanus Tuhe (81) dan belasan orang lanjut usia yang lainnya peserta terbang gembira hari itu. Senang tiada dua menyelimuti suasana batin Oscar dan Romanus. Mereka sulit melukiskannya dengan kata-kata.

Sambil memegang tongkat rotan untuk menopang tubuhnya yang renta, Oscar turun pelan menapaki tiga anak tangga pesawat. Seorang anggota KP3 Udara yang berdiri di ujung anak tangga membantunya menjejakkan kaki di aspal apron.

Senyum ceria tersungging di bibir pria Kampung Taga, Kelurahan Goloduka, Kecamatan Langke Rembong ini. Staf Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Manggarai mengantar dia dan rekan-rekannya menuju deretan penyambut. Mereka disambut senyum dan guyonan dari Bupati Christian Rotok, Wakil Bupati Deno Kamelus, Sekda Manseltus Mitak dan sekitar 200-an pegawai negeri sipil lingkup Pemkab Manggarai.

Jabatan tangan disusul ucapan sukacita dalam bahasa setempat terdengar riuh. Oscar, ayah 11 anak dan 19 cucu itu mengakui belum sekalipun naik pesawat. Sekian lama dia hanya dengar cerita naik pesawat dari sanak familinya. "Ini yang pertama kali saya naik pesawat. Saya senang sekali," kata Oscar yang ditinggal mati istrinya empat tahun silam. "Kalau besok lusa saya mati, saya sudah pernah naik pesawat," ujarnya lagi.

Senyum 'tanpa gigi' sebagian orang tua hari itu sungguh menggambarkan sukacita karena bisa merasakan sensasi naik pesawat terbang. Ada yang tak lupa minta dikirimkan foto ke rumah. Mereka ingin menunjukkan kepada anak, cucu serta sanak famili tentang sukacita berada di ketinggian langit Manggarai.(egy mo’a/habis)

Sumber Pos Kupang cetak edisi Rabu 19 Agustus 2015, halaman 1

Perintis Bandara Frans Laga Naik Pesawat (1)

“Niat Drs.Christian Rotok menerbangkan saksi hidup dan perintis pembangunan Bandara Frans Sales Lega Ruteng tahun 1963 tidaklah ringan. Tantangan sempat muncul dari Wabup Deno Kamelus dan Sekda Manseltus Mitak.”

pos kupang/egy mo’a

SENYUM - Dokter Lian Pantas (kiri) menemani perintis Bandara Frana Sales Lega di dalam kabin pesawat AviaStar yang terbang keliling Manggarai, Sabtu (15/8/2015) pagi. 
Chris Berdoa Cepat Pulang

BAYANGAN atas dua kecelakaan pesawat beruntun yakni pesawat Malaysia Airlines dan AirAsia tahun 2014, masih membekas di benak bupati Manggarai tersebut. Memikirkan kejadian itu, sungguh berat bagi Chris untuk memutuskan jadi atau tidaknya rencana terbang gembira keliling Manggarai.

"Pikiran itu (terbang gembira bersama perintis Bandara Frans Sales Lega) muncul seketika, tanpa rekayasa. Apalagi hendak mendapatkan sesuatu keuntungan. Saya pikir kehidupan di dunia ini hanya sekali sehingga harus dinikmati," kata Chris Rotok membuka pembicaraan dengan para perintis seusai terbang gembira di ruang VIP Bandara Frans Lega Ruteng, Sabtu (15/8/2015).

Di tengah pergolakan batin memikirkan berbagai musibah penerbangan, Chris mengaku terus termotivasi mewujudkan niat baik itu. Bersama Kamelus dan Manseltus, akhirnya disepakati terbang gembira bersama para orang tua itu harus direalisasikan.

Di zaman ini naik pesawat bukan lagi sebuah kemewahan. Tetapi bagi Chris Rotok memfasilitasi para perintis bandara menikmati penerbangan adalah untuk menghargai jerih payah mereka. Ini tentu beda rasanya. Apalagi sebagian besar mereka umumnya belum pernah menumpang pesawat terbang.

Padahal saat membangun bandara itu tahun 1963, mereka rela berdesak-desakan menumpang truk yang mengangkut batu, pasir serta material bangunan lainnya. Mereka kesampingkan segala resiko kecelakaan yang muncul.

"Penerbangan ini adalah ungkapan terima kasih kepada masyarakat Manggarai yang berjasa membangun Bandara Frans Sales Lega yang saat ini bisa dinikmati semua orang. Kami mohon maaf tidak bisa perhatikan orang perorang. Konsentrasi kami membangun infrastruktur jalan, jembatan, sekolah puskesmas dan sarana yang lain," kata Chris yang saat itu hadir bersama Deno Kamelus, Manseltus dan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Manggarai, Apri Laturake.

Pergolakan batin Chris diakuinya berkecamuk di Sabtu (16/8/2015) pagi saat menyaksikan 32 perintis utusan dari semua kecamatan telah hadir di ruangan VIP bandara. Berbagai bayangan buruk muncul dalam benaknya. Cuaca buruk, angin kencang, kabut bisa saja terjadi. Jangan-jangan juga ada orangtua yang mendadak stress. "Pokoknya macam-macam," bebernya.

Apalagi Dokter Yulianus Weng, M.Kes, yang memimpin pemeriksaan kesehatan bagi peserta terbang gembira mengingatkan tensi darah mereka rata-rata 200. Namun semua beban itu dikesempingkan Chris. Ia menyaksikan wajah-wajah ceria para orang tua berdiri di sisi apron menunggu jatah duduk di dalam lambung burung besi. "Ketika pesawat sudah terbang, saya terus berdoa, semoga pesawat cepat pulang saja," ujar Chris menahan haru.

"Niat saya tulus. Saya ingin menanamkan nilai penghormatan kepada pendahulu yang berjasa membangun daerah ini,"sambungnya.

Dokter Weng menuturkan tekanan darah untuk orang-orang yang berusia di atas 60-an tahun idealnya 140/90. Namun tensi darah semua peserta terbang gembira saat itu serentak naik 200. Menurut Weng, naiknya tekanan darah lebih disebabkan stress karena baru pertama kali naik pesawat. Ditambah lagi kurang tidur semalaman memikirkan harus terbang.

Mengantisipasi mereka mengalami muntah dalam penerbangan ini, Weng memberi mereka minum tablet anti muntah 30 menit sebelum terbang. Resep itu terbukti mujarab. Semua tokoh sepuh Manggara itu tak mengalami muntah dalam dua kali terbang dengan pesawat AviaStar. Doa Chris Rotok rupanya terkabul. Acara terbang gembira berlangsung sukses dan menyenangkan.(egy mo’a/bersambung)

Sumber Pos Kupang cetak  edisi Selasa 18 Agustus 2015, halaman 1