Thursday 17 July 2014

Kembalikan Mbay Lumbung Padi (1)


Diserang Kerbau, Hasil Panen Melimpah

Untuk mendukung potensi ini, pada tahun 1952 berlangsung peletakan batu pertama proyek bendungan sawah irigasi teknis Mbay Kanan. Seusai dikerjakan, Badan Pemerintah Swapraja (BPS) membuka air ke areal persawahan pada tahun 1961. Saat itu sebagian besar areal irigasi masih hutan. Air dilepas secara perlahan-lahan dan baru hari ketiga sawah dialiri air.

Tahun 1962 panen perdana, dan bulan April 1969 bendungan jebol. Bendungan tersebut direhab pada tahun 1973 dan baru diresmikan oleh Sutami yang saat itu menjabat Menteri Pekerjaan Umum (PU) tahun 1974. Bendungan irigasi Mbay kemudian lebih dikenal dengan sebutan Bendungan Sutami. Sejak saat itu seluruh areal irigasi teknis persawahan Mbay yang ada mulai dikerjakan optimal oleh warga.

Philipus Alo Bisara (78), tokoh masyarakat Mbay, saat ditemui di kediamannya, Kamis (9/12/209), menuturkan, pada masa itu tanah di areal persawahan irigasi teknis sangat subur. Produksi padi setiap musim panen mencapai delapan ton per hektar. Hal itu disebabkan tingkat kesuburan tanah yang masih terpelihara dengan baik.

Hal senada dikatakan Adi Lay, salah seorang tokoh masyarakat Mbay, di areal persawahan irigasi teknis Mbay Kanan, Jumat (10/12/2009). Dia mengatakan, dahulu para petani tidak menggunakan bahan kimia. Pola pengolahan para petani saat itu masih bersifat tradisional dan tidak mengenal pola modern. Hal ini membuat alam tetap terjaga dan tidak ada pencemaran serta kontaminasi terhadap lingkungan.

Cara pengolahan sawah yang dilakukan warga saat itu tanpa pupuk dari pabrik yang mengandung bahan kimia. Semua masih tergantung pada alam dan bersifat natural. Untuk mengusir atau membunuh hama tikus dan walang sangit, mereka hanya menggunakan bahan lokal berupa kelapa muda, kayu ta'i dan jeruk purut. "Tikus dibunuh dengan isi kelapa muda yang dicampur kayu ta'i. Sementara hama walang sangit biasanya dibunuh menggunakan jeruk purut," katanya.

Satu hektar sawah membutuhkan lima buah jeruk purut. Kelima buah jeruk tersebut dipasang di empat sisi lahan dan satunya lagi di tengah lahan. Hal tersebut biasanya dilakukan pada sore hari menjelang mata hari terbenam. Jeruk purut dibelah, sepasang walang sangit yang sedang kawin ditangkap dan dimasukan ke dalam buah jeruk yang telah dibelah. Kemudian buah jeruk tersebut dipasang di setiap titik sudut lahan sambil mencabut rumput dan dibuang ke arah terbenamnya matahari.

Sejak hal tersebut dilakukan, lahan sawah ditinggalkan selama tiga hari berturut-turut. Selama masa itu, pemilik sawah tidak akan masuk ke sawah hingga waktunya tiba.

Meskipun hal itu semacam tahyul, namun telah menyelamatkan para petani dari serangan hama tersebut pada masa itu. "Memang tidak bisa dikaji dengan akal sehat dan dirasa seperti tahyul, namun saat itu terbukti hasil panen melimpah tanpa diserang hama," kata Bisara.

Sawah-sawah pun tanpa menggunakan teknologi modern, tapi hanya menggunakan tenaga ternak atau kerbau. Dari hasil panen padinya yang melimpah ruah saat itu, Bisara dapat membeli lima ekor kerbau yang kemudian berkembang biak menjadi puluhan ekor. Kerbau yang dibeli dari hasil panen padinya itu akhirnya mengantar satu persatu anaknya hingga ke bangku perguruan tinggi di Tanah Jawa. "Salah satu anak saya dapat meraih gelar menjadi dokter hanya berkat kerbau-kerbau itu," ujarnya.

Setiap pagi, saat berangkat dari rumah, mereka hanya membawa nasi. Petani biasanya tidak pusing untuk mencari lauk. Di parit-parit sekunder dan sawah terdapat banyak ikan dan belut. Hal ini sangat memudahkan mereka untuk mencari lauk yang bisa dimakan. Para petani yang bekerja mengolah sawah biasanya bekerja dari pagi hingga siang hari. Saat hari sudah siang, mereka turun mandi sambil menangkap ikan mujair dan belut di parit. Hasil tangkapan itulah yang dijadikan sebagai lauk makan siang di sawah.

Di masa-masa awal pengolahan sawah irigasi teknis Mbay Kanan, alam dan tanah sangat subur. Saat itu belum ada bahan-bahan kimia yang dipakai oleh petani dalam mengolah sawah.

Daerah irigasi teknis persawahan seluas 3.000 lebih hektar sudah mulai diolah waktu itu. Petani pun mulai hidup makmur karena hasil panen melimpah. Hal itu menjadikan Mbay sebagai lumbung padi di daerah Nusa Tenggara Timur. "Pernah padi di sawah saya sudah berumur satu bulan dan diserang kerbau pada tahun 1962. Namun setelah itu, saya tetap memelihara padi yang ada dan ternyata padi tetap subur. Setelah dua bulan kemudian padi pun siap dipanen. Hasilnya melimpah dan mencapai delapan ton," tandas Bisara. (john taena/bersambung)

 

diterbitkan pos kupang
Senin, 11 Januari 2010

No comments: