SATU-PERSATU
lubang yang menghiasi jalanan terus dilewati. Demikian pula kilometer
demi kilometer dilalui sejak pagi. Kampung demi kampung penduduk terus
dijumpai sepanjang perjalanan. Kurang lebih sudah 60 kilometer
perjalanan.
"Kuda besi" yang saya tumpangi
juga sudah dua kali diisi bahan bakar, namun tujuan perjalanan ini pun
belum tercapai. Tiba-tiba kuda besi tadi terasa oleng dan hampir keluar
dari bahu jalan. Ternyata bannya gembos lagi.
Kendaraan ini sepertinya sudah
menyerah karena medan yang cukup berat dan kurang bersahabat ini.
Terpaksa saya harus turun dan mendorong kendaraan untuk mencari bengkel
yang paling dekat.
Usai
membetulkan ban "kuda besi" perjalanan menuju Maronggela, Kecamatan
Riung Barat, Kabupaten Ngada, dilanjutkan. Kurang lebih 75 kilometer
perjalanan yang ditempuh dengan waktu tiga jam.
Apabila menggunakan kendaraan umum membutuhkan waktu
lima
hingga enam jam. Jarak 75 kilometer, bila dibandingkan dengan jalan di
jalur negara, hanya membutuhkan waktu satu setengah sampai dua jam.
Mengapa jalan menuju pusat
kecamatan harus seperti ini? Jawabannya tidak lain karena kondisi jalan
yang kurang mendapat perhatian. Banyak lubang dan batuan lepas serta
jalur yang sempit membuat setiap pengendara harus ekstra hati-hati. Dari
kejauhan tampak sebuah tower. Di tempat itulah letak ibu kota kecamatan
dengan enam desa ini. Maronggela. Kota tersebut dikenal sebagai salah
satu ibu kota kecamatan tanpa listrik.
Listrik sebagai motor penggerak
pelayanan kesehatan di lokasi itu belum ada. Bagaimana peralatan
kesehatan yang membutuhkan daya listrik untuk dioperasikan? Jawabannya
tentu tidak dapat difungsikan dan hanya sebagai pajangan yang akhirnya
masuk museum gudang puskesmas itu.
Dijelaskan Alexander Songkares,
Kepala Desa Ria, Kecamatan Riung Barat, bukan sebatas itu saja fasilitas
umum yang belum tersedia di daerah itu. Wilayah Kecamatan Ruing Barat
dengan enam desa dan jumlah penduduk 8.425 jiwa atau 1.718 kepala
keluarga (KK) ini selalu dilanda kekeringan. Akibatnya warga di wilayah
itu sering kekurangan air bersih.
Hal ini mengakibatkan kebersihan lingkungan tidak diperhatikan dan rawan terhadap berbagai jenis penyakit menular.
Daerah tersebut masih jauh dari sentuhan pembangunan. Untuk menjangkau ibukota kabupaten dan kembali ke daerah itu, warga membutuhkan satu hari perjalanan. Hal ini disebabkan pembangunan jalan raya dan akses transportasi belum diperhatikan.
Selain itu, listrik dan kebutuhan air bersih yang berpengaruh terhadap kesehatan warga juga belum mendapat perhatian serius.
Dia menambahkan, pola hidup
sehat warga setempat belum teratur. Menurutnya, selama ini kebanyakan
warga tidak menggunakan jamban untuk buang air besar (BAB) dan lebih
sering ke semak belukar.
"Warga di sini sering BABS
(buang air besar sembarang, Red) karena tidak ada stok air bersih yang
cukup. Jangankan untuk BAB, untuk minum saja susah sekali," kata
Songkares.
Hal senada dikatakan salah seorang petugas kesehatan,
Agustinus Ceme, SKM. Dia
mengisahkan rata-rata setiap KK di dearah tersebut belum memanfaatkan
jamban. Hal ini bukan karena warga tidak memiliki kesadaran, namun
kekurangan air bersih.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, terkadang warga harus mengonsumsi air kali yang tidak bersih. (John Taena)
Pos Kupang Sabtu 20 November 2010 halaman 5
No comments:
Post a Comment