Thursday 17 July 2014

Wabah Penyakit Ngorok di Wolowae (3)


Pola Beternak Tradisional
Pertemuan tersebut dihadiri oleh tokoh masyarakat dan para kepala desa dari dua kecamatan yang berbatasan wilayah, yakni Wolowae (Kabupaten Nagekeo) dan Maukaro (Kabupaten Ende). Hadir pula  camat kedua kecamatan, pimpinan Dinas Pertanian dan Peternakan dua kabupaten.

Veteriner dari Dinas Peternakan Propinsi NTT, drh. Mery, pada pertemuan tersebut  memberikan penjelasan dan sosialisasi kepada warga. Dia menekankan mengenai bagaimana pola beternak yang baik. Banyak ternak di dua wilayah kecamatan itu yang masih digembalakan dan dilepas bebas di padang. "Akibatnya ketika penyakit datang ternak mudah terserang dan hewan mati karena tidak divaksinasi," katanya.

Ternak, katanya, harus divaksin agar tidak mudah terserang penyakit. Pemberian vaksin dan suntikan antibiotik, katanya,  harus dilakukan oleh petugas veteriner. Alasannya, hanya dokter hewan yang mengerti dan tahu dosis yang sesuai, tepat dan benar. Veteriner mempunyai keahlian mendiagnosa setiap jenis penyakit pada hewan.

Fakta yang terjadi selama ini, ada sejumlah orang yang hanya bermodalkan obat atibiotik, beberapa botol vitamin dan jarum suntik, mendatangi peternak dan menyuntik ternak milik warga. Orang-orang ini bisa menyuntik dan tahu vaksin serta obat ternak hanya dari pengalaman. Namun aneh, ada peternak yang lebih mempercayai mereka ketimbang paramedis veteriner yang paham betul tentang dunia peternakan.

Wabah penyakit ngorok yang meluas di Wolowae dan Maukaro itu membuktikan. Banyak ternak yang sudah disuntik oleh orang yang hanya bermodalkan jarum suntik, vitamin dan obat antibiotik itu, terserang dan mati. Namun ternak yang sudah divaksin oleh petugas veteriner selamat.

Kalau saja ternak-ternak itu bisa protes, maka mereka pasti akan mengatakan, "Saya ingin selamat. Tolong berikan dosis yang benar".

Para "penyuntik liar" biasanya menjual jasa, mencari keuntungan. Terhadap ternak yang sakit mereka memberi dosis tinggi. Saat lagi mujur, ternak bisa sembuh. Namun banyak kali ternak langsung mati. Di "penyuntik liar" pun mudah saja berkilah "Kondisinya memang sudah sangat kritis, tidak tertolong lagi". Benar- benar seperti veteriner profesional. Dan peternak yang tidak mengerti apa-apa, menerima kenyataan itu.
Kondisi inilah yang membuat "pusing" veteriner dan paramedis yang ditempatkan di pes kesehatan hewan (poskeswan). Dalam banyak kasus, ternak warga tidak mempan (kebal) terhadap antibiotik karena ulah "penyuntik liar" yang pernah memberi dosis tinggi saat ternak sakit.

***
Data dari Dinas Peternakan Kabupaten Nagekeo, populasi ternak di Kabupaten Nagekeo mencapai 366.436 ekor. Dari jumlah itu, ternak sapi sebanyak 21.303 ekor, kerbau 7.748 ekor, kuda 4.402 ekor, kambing 39.365 ekor, domba 3.572 ekor, babi 54.000 ekor dan unggas 236.041 ekor.

Dari total populasi ternak tersebut, ternak besar paling banyak terdapat di Kecamatan Wolowae. Karena itu serangan penyakit ngorok pada ternak sapi, kerbau, kuda dan babi di kecamatan ini, sangat berpengaruh terhadap populasi ternak besar di Nagekeo.

Mempertahankan dan meningkatkan populasi ternak mutlak membutuhkan tenaga kesehatan hewan yang memadai dan profesional. Namun sejauh ini, Kabupaten Nagekeo hanya memiliki 14 tenaga yang profesional di bidang peternakan. Ke-14 tenaga itu, hanya dua orang dokter hewan dan meski langka, mereka hanya menjadi staf biasa di kantor yang mengurus ternak, yakni Dinas Peternakan Nagekeo. Sisanya, 12 paramedis veteriner yang ditempatkan di kecamatan-kecamatan.

Dengan sebaran ternak warga di 100 desa/kelurahan, 14 tenaga itu tentu sangat tidak cukup. Mereka tidak bisa menjangkau semua wilayah untuk menjamin kesehatan ternak-ternak warga. Di sinilah para "penyuntik liar" mengambil kesempatan, menjual jasa dengan hanya bermodalkan jarum suntik, beberapa botol vitamin dan obat antibiotik.

Wabah penyakit ngorok di Wolowae dan kemudian menyebar ke Maukaro itu mengungkap ketidakbecusan mengurus ternak. Pertama, vaksinasi yang tidak rutin. Buktinya, di saat sudah banyak ternak yang tewas, barulah pihak-pihak terkait kalang kabut dengan stok vaksin. Penyakit ngorok yang datang setiap tahun mestinya bisa diantisipasi secara dini.

Kedua, Dinas Peternakan cenderung menjadikan pola beternak tradisional sebagai kambing hitam tanpa ada upaya serius dan kontinyu untuk mengubah pola beternak warga.

Ketiga, keterbatasan tenaga dokter hewan membuktikan ketidakseriusan pemerintah memperhatikan pengembangan sektor peternakan. Kebijakan untuk mengoptimalisasikan tenaga dokter hewan pun masih sangat memprihatinkan. Meski hanya dua orang dokter hewan di satu kabupaten dan keduanya hanya menjadi staf biasa di kantor yang mengurus peternakan, ini membuktikan bahwa pemanfaatan SDM masih belum mengacu pada keahlian dan kapasitas diri tetapi pada faktor-faktor lain yang tidak ada kaitannya dengan urusan yang ditangani. Semoga wabah penyakit ngorok di Wolowae dan Maukaro bisa menjadi pelajaran berharga. (john teana/habis)


diterbitkan pos kupang
Rabu 26 Agustus 2009

No comments: