Selain airnya jernih,
salah satu wilayah NKRI yang berbtasan langsung dengan Australia ini memiliki banyak potensi. Yuuuk mari
kita lestarikan sobat…
|
Saturday 13 December 2014
Cerita Dari Pedalaman Sumba
Friday 12 December 2014
Desi Rihi, Waktu Pacaran Sedikit
Desi Rihi |
POS
KUPANG.COM -- Menjaga kesegaran kulit agar tetap
mulus dan terlihat elok, serta tampil memikat merupakan dambaan setiap kaum
wanita. Perawatan tubuh untuk tetap terlihat cantik dan berpenampilan sempurna
penuh percaya diri, tidak dapat disangkal lagi. Ada banyak motivasi bagi
seorang wanita untuk tampil cantik. Mulai dari memikat hati kaum pria
hingga menjadi selebriti.
"Persaingan
dan gaya hidup di Jakarta sangat besar. Kita harus bisa menyesuaikan. Kalau
tidak bisa menyesuaikan, pasti kita akan mati. Kalau orang mengandalkan
keterampilan, kita di dunia entertain mengandalkan face dan suara. Jadi,
fashion memang sangat penting agar orang tertarik. Modal cantik saja tidak
cukup," kata Desi Rahmania yang memiliki nama asli Desi Rihi, saat ditemui
di Waingapu, Sumba Timur, Senin (20/1/2014).
Kepada Pos
Kupang, Chy, demikian sapaan akrab putri tunggal pasangan Farug Alhaddad dan
Yuliati Rihi, ini mengatakan, berawal dari hobi potret dirinya terjun ke
dunia model fotographi hingga kini menjadi salah seorang host atau presenter.
"Tadinya tidak terpikir terjun ke dunia entertain, karena memang tidak
punya basic. Hobi memotret akhirnya dipotret jadi model dan sekarang seperti
ini," ujar gadis kelahiran Kupang, 16 Desember 1989.
Berawal dari
kedekatannya dengan sejumlah fotografer yang memiliki kenalan dengan
orang-orang di dunia entertain, akhirnya membuka jalan bagi Chy untuk menjadi
seorang host.
Selain itu,
pengalaman pertama sebagai presenter acara Edit Foto di ANTV yang sekarang
sudah diganti dengan Mata Lensa, membuat Chy sempat gugup tampil di depan
kamera. Hal ini disebabkan dirinya seorang programmer yang pernah belajar di
Institut Pembangunan Surabaya Jurusan Teknik Informatika.
"Waktu itu
sempat kaget juga dan tidak percaya diri karena tidak memiliki basic. Tapi kata
teman saya, muka kamu itu menjual Chy. Terus mungkin karena saya juga banyak
ngomong dan cerita. Jadi, tidak panik saat pertama tampil di depan kamera.
Namanya juga orang Sabu, pasti cerewet ya, jadi keterusan sampai
sekarang," ujarnya.
Anak-anak NTT,
kata Chy, tidak terlalu beda jauh kemampuannya dengan orang Jakarta. Namun
untuk mewujudkan impian, kembali lagi dan tergantung pembawaan seseorang.
Misalnya, sudah memiliki kemampuan, tapi tidak bisa untuk mengekspresikan
semuanya, maka hal itu tidak akan mungkin diwujudkan.
"Jadi,
tidak hanya orang Jakarta yang bisa, kitapun bisa asalkan ada kemauan. Modal cantik
saja tidak cukup. Harus berani mengekspresikan semuanya, misalnya tampil di
depan umum," jelas alumni SMA Kristen Payeti 2009 ini.
Menekuni profesi
entertain, kata Chy, seseorang harus memiliki kemampuan minimal pernah kursus
atau sekolah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Hal ini berbeda dengan dirinya
yang tidak mengenyam pendidikan di dunia seni. Selain itu, untuk menjadi
seorang host yang dijual adalah face, suara serta penampilan.
"Waktu
untuk keluarga, bermain, shoping dan pacaran juga agak sedikit terbatas, karena
kegiatan sangat padat. Saya bersyukur walaupun tidak pernah belajar atau
minimal kursus tapi bisa bersaing," kata Chy. (john taena)
Thursday 11 December 2014
Ingin Menguji Kadar Cinta Kekasih Malah Diborgol Hansip
Ilustrasi (Google) |
Di luar skenario dan tidak pernah diduga
sebelumnya, Martinus sang kekasih Martina alias Rambu harus dibawa ke kantor
polisi. Lebih perih dan parah lagi orang yang mengadukan dirinya ke pihak
berwajib adalahg kekasihnya sendiri. Namun apa hendak dikata, semua sudah
terjadi.
Begitupun Martina, gadis
asal Pulau Mengkudu juga semakin bingung. Semula ia berharap kekasihnya itu
segera mengungkap jadi dirinya dan berterus terang malah rela diborgol oleh
petugas hansip dan di bawa ke Markas Kantor Kepolisian.
Sebab musab peristiwa
yang semua bertujua untuk menguji kadar cinta masing – masing pasangan,
terpaksa harus berujung di kantor polisi. Peristiwa yang tergolong unik,
konyol, lucu dan rumit ini. Namun apa hendak dikata, ibaratnya nasi sudah
menjadi bubur. Semua sudah terjadi, tiada guna lagi disesali. Kedua tangan
Martinus telah diborgol dan digiring ke kantor Polisi untuk diminta
keterangannya.
Sesaat sebelum
dijebloskan ke dalam sel oleh petugas, Martina buru – buru menjelaskan duduk
persoalan yang sebenarnya. Kepada petugas kepolisian Dia menjelaskan, pemuda
misterius yang dilaporkan itu adalah kekasihnya Martinus yang sedang menyamar
sebgai seorang pelanglang. Pria tersebut bermaksud untuk menguji kadar cintanya
seperti apa? “Tunggu! Sebenarnya dia (Martinus,red) itu saya punya
pacar,” teriak Martina.
Para pertugas kepolisian
semakin bingung dengan tingkah laku korban yang sebelumnya melaporkan pemuda
misterius yang mendatangi rumahnya itu. Kepada Martina alias Rambu, gadis asal
Pulau Mengkudu itu seorang petugas bertanya, “Apa maksudnya? Kenapa tadi kamu
melapor kalau ada pemuda misterius yang mencurigakan ada di rumahmu, sekarang
malah tidak mau ditahan?”
Kepada para petugas,
Martina menjelaskan, sosok pemuda misterius itu adalah kekasihnya yang bernama
Martinus. Sebelumnya Ia menyamar sebagai seorang pelanglang untuk menguji
cintanya. Penyamaran Martinus sebenarnya sudah diketahui sejak awal, namun di
saat yang bersamaan dirinya juga memiliki ide untuk sekalian menguji kadar
cinta kekasihnya. Selanjutnya Ia melaporakan kekesihnya kepada petugas hansip.
“Saya pikir kalau lapor
pak hansip nanti Dia (Martinus) mau mengaku. Ternyata tidak mengaku jadi
akhirnya dibawa ke sini dan sampai sekarang juga masih tidak mau mengaku.
Tolong Pak Polisi jangan kasih masuk saya punya pacar ke sel,” jelasnya.
Mendengar penjelas
tersebut, para petugas kepolisian kemudian menanyakan hal itu kepada Martinus.
Apakah benar seperti apa yang dijelaskan oleh Martina? Kemudian Martinus pun
mengatakan benar. “Ia benar Pak Polisi tadi saya hanya mau menguji kadar
cintanya, ternyata dia (Martina,red) lapor seperti ini,” jelasnya sambil
tersenyum.
Kepada wartawan di
Kantor Polisi, Martina mengisahkan, sebagai seorang bunga desa yang hendak
menuntun ilmu di kota, ia terpaksa meninggalkan kampung halamnanya di Pulau
Salura beberapa waktu silam. Gayanya yang semula sebagai seorang
gadis desa telah berangsur hilang dan tumbuh nmenjadi gadis kota.
Semakin hari,
penampilannya kian anggun dan menawan. Tak di sangkal, sudah banyak pemuda yang
menaruh rasa simpati pada gadis yang terbilang lugu itu. “Saya telah lama
menjadi tambatan hati kekasinya Martinus. Cinta kasih diantara telah lama
bersemi. Keduanya saling menyangi satu sama lain, lebih dari apapun.
Namun manusia tetaplah
manusia, tidak akan terlepas dari cobaan,” kisah Martina.
Lebih lanjut Dia
mengatakan, peristiwa tersebut bermula sekitar pukul 20.00 kemarin. Saat itu
udara dingin dan gerimis masih menyelimuti jalan Kota Waingpau, Sumba Timur.
Suasana di luar sangat sepi dan tidak seperti biasanya dan hanya terdengar
dentuman keras, bunyi petasan anak – anak yang sedang bermain dari kejauhan.
Saat itu, dirinya yang
tinggal seorang diri di rumah sedang menikmati secangkir teh hangat sambil
menonton acara televisi di ruang tengah. Tiba – tiba dirinya dikejutkan seorang
pemuda misterius mengutuk pintu rumahnya. Dari penampilan sang pemuda misterius
itu sepertinya ia seorang pelanglang yang sedang membutuhkan bantuan.
“Dia (Martinus,red)
masuk langsnung bilang selamat malam rambu, saya temanya Martinus kebetulan
kehujanan. Boleh saya numpang berteduh sebentar? Jadi saya kasih tumpangan,
padahal sebenaranya saya sudah tau dia (Martinus,red) sedang menyamar
untuk menguji saya,” katanya.
Di saat yang bersamaan, dirinya memiliki
ide untuk menguji kadar cinta dari kekasih itu sekalian. Hal ini kemudian
membuat dirinya menghubungi komandan hansip dan melaporkan ada seorang pemuda
misterius yang mencurigakan sedang berada di rumahnya.
Petugas hansip segera datang. Selanjutnya
menanyakan tujuan si pemuda misterisu itu mendatangi rumah Matina malam –
malam. Ternyata memang benar, dari gelagatnya si pemuda itu sangat gugup
sehingga semakin mencurigakan. Tanpa ragu – ragu, petugas hansip pun memborgol
kedua tangannya pemuda misterius itu dan selanjutnya diserahkan ke kantor
polisi. “Begitu ceritanya pak. Tadi saya sudah bingung waktu mau dijebloskan
Dia (Martinus,red) ke dalam sel,” ceritanya sambil tertawa.
Hal yang sama dikisahkan oleh Martinus.
Saat diminta komentarnya, dia mengatakan tujuan penyamaran yang dilakukan itu
untuk menguji kadar cinta sang kekasih. Namun di luar dugaan ternyata berujung
sampai di Kantor Polisi. “Sebenaranya hanya mau menguji kadar cintanya. Tapi
nyatanya malah dilaporkan ke hansip. Saya pikir lebih baik begitu, daripada
mengungkapkan siapa saya yang sebenarya, hahahaha” katanya.
Ilustrasi (google) |
Setelah dirinya dilaporkan dan dibawa oleh
petugas hansip ke kantor polisi, kini giliran si Martina yang tidak tahan.
Martina alias rambu (25) gadis asal Pulau Salura yang melaporkan seorang pemuda
misterius yang mendatangi rumahnya kepada hansip. etika hendak dijebloskan ke
dalam sel, Martina buru – buru menjelaskan bahwa pemuda misterius itu adalah
kekasihnya martinus yang berkunjung ke rumahnya dengan cara menyamar guna
menguji kadar cintanya.
Karena sikapnya yang mencurigakan, hansip
membawa pemuda ke mapolres sumba timur selasa (10/12/2014). Ketika hendak dijebloskan
ke dalam sel, Martina buru – buru menjelaskan bahwa pemuda misterius itu adalah
kekasihnya martinus yang berkunjung ke rumahnya dengan cara menyamar guna
menguji kadar cintanya. Dan Ia terpaksa harus menjelaskan masalah yang
demikian rumit dan konyol itu kepada anda yang sedang membaca dengan serius
ini. (hahahaha...)
Tuesday 9 December 2014
Arisan Pendidikan, Solusi Reformasi Budaya Sumba
Pulau Sumba merupakan salah satu wilayah terselatan Indonesia
yang memiliki keunikan budaya dan tradisi. Tradisi Marapu merupakan salah satu
keunikan. Jenazah dibungkus dengan kain adat dan disemayamkan di rumah duka
selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Yang unik di
sini yakni jenazah tidak membusuk, tidak menebar bau meski disemayamkan
demikian lama.
Tinggal serumah dengan
mayat selama bertahun-tahun bukanlah kisah fiktif melainkan kenyataan di tanah
Sumba. Selama belum dikuburkan, para kerabat, kenalan yang datang melayat
membawa hewan seperti babi, sapi dan kerbau.
Hewan-hewan itulah yang
akan disembelih selama sekitar seminggu, bahkan lebih, menjelang penguburan dan
sesudah penguburan. Jumlah hewan yang disembelih menunjukkan kelas sosial si
Mati dan keluarganya.
Upacara penguburan
(sebelum dan sesudah) bisa berlangsung berminggu-minggu bahkan tahunan.
Sepanjang hari, siang dan malam, selalu ada beberapa ekor hewan disembelih
untuk disantap bersama segenap pelayat.
Selama itu pula permainan
kartu remi dan aneka permaianan lainnya bahkan perjudian "memperoleh
momentumnya". Rumah dan tenda duka dan sekitarnya di beberapa bagian
seakan menjadi arena judi untuk mengusir kantuk. Maka aktivitas harian seperti
mengolah kebun, mengurus ternak dan aktivitas produktif lainnya menjadi
berkurang, bahkan tidak dilakukan sama sekali selama acara itu berlangsung.
Bayangkan, jika setahun
ada enam orang yang meninggal dalam sebuah kampung dan masing-masing dijaga
selama 20 hingga 30 hari baru dimakamkan, maka selama itu pula ada aktivitas
perjudian dan orang tidak bisa bekerja. Sementara banyak ternak yang ikut
dikurbankan. Tidak ada keseimbangan antara produksi dan konsumsi.
Tradisi mengurbankan ternak dalam
jumlah besar di Sumba Timur, bukan hanya dilakukan pada upacara kematian, namun
juga pada pesta adat lainnya, termasuk perkawinan. Biaya yang dihabiskan untuk
urusan-urusan adat tersebut juga boleh dikata sedemikian besar.
Arisan Pendidikan
DERAJAT kesehatan
di desa-desa tertentu, bahkan wilayah Sumba umumnya, masih memprihatinkan.
Belum meratanya kehadiran sarana pelayanan kesehatan di semua wilayah
mengakibatkan kualitas kesehatan masyarakat masih rendah. Sementara disisi
lain, padang savana yang terbentang luas di seantero Pulau Sumba sangat
potensial untuk pengembangan ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan domba.
Itu sebabnya mengapa Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menetapkan
Sumba sebagai salah satu pusat pengembangan ternak demi mewujudkan propinsi
ternak.
Ikon Sumba sudah jelas, Negeri Sandle Wood. Hal ini disebabkan kecintaan warga setempat terhadap kuda. Kuda sandle wood. Terkenal di seantero nusantara. Tanah Sumba juga tenar di dunia karena keunikan budayanya seperti pasola, pacuan kuda dan wisata budaya yang unik seperti kuburan megalitik, perkampungan adat dan sebagainya.
Ikon Sumba sudah jelas, Negeri Sandle Wood. Hal ini disebabkan kecintaan warga setempat terhadap kuda. Kuda sandle wood. Terkenal di seantero nusantara. Tanah Sumba juga tenar di dunia karena keunikan budayanya seperti pasola, pacuan kuda dan wisata budaya yang unik seperti kuburan megalitik, perkampungan adat dan sebagainya.
Namun keterkenalan suatu
daerah belum tentu berbanding lurus dengan kemajuan masyarakat dan daerahnya.
Masih banyak warga di pedalaman wilayah Sumba yang belum menikmati jalan aspal,
listrik dan masih sangat terbatas akses terhadap sarana pelayanan publik
seperti puskesmas dan sarana pendidikan dasar.
Kecamatan Kambata
Mapambuhang adalah salah satu contoh yang mewakili seluruh masyarakat di
pelosok Kabupaten Sumba Timur. Wilayah kecamatan ini mencakup enam desa.
Sebagian besar masayarakat di desa ini belum ada listrik. Sarana jalan serta
alat transportasi menuju pusat kecamatan belum memadai. Di sisi lain, potensi
yang di miliki cukup besar di sektor peternakan, namun tradisi pesta pora
seperti ada kematian dan perkawinan adalah faktor penghambatnya.
Tradisi penyembelihan
hewan dalam jumlah puluhan, bahkan ratusan ekor, pada saat upacara adat seperti
kematian atau perkawinan bagi warga Kabupaten Sumba Timur merupakan hal yang
lumrah. Ada nilai positif dari tradisi ini, antara lain tali kekerabatan terus
dipererat dan nilai kebersamaan terus dipupuk. Seluruh rumpun keluarga tergerak
dengan sendirinya membawa hewan dan sumbangan lainnya untuk meringankan beban tuan
pesta, baik dalam pesta adat kematian maupun perkawinan.
Tetapi ada juga sisi
negatifnya, yakni pemborosan. Ternak yang disembelih mencapai puluhan bahkan
ratusan ekor bernilai ekonomi tidak kecil. Jika saja sebagian (besar) dari itu
dimanfaatkan untuk keperluan non-konsumtif, misalnya untuk biaya pendidikan,
maka manfaat jangka panjang yang diperoleh sungguh luar biasa.
Katakanlah dalam sekali pesta adat dihabiskan 50 ekor ternak (babi, sapi dan kerbau) dengan nilai rata-rata Rp 3 juta per ekor, maka sekali pesta menghabiskan Rp 150 juta. Kalau saja Rp 100 juta dialihkan pemanfaatannya untuk kebutuhan produktif, bukankah itu nilai yang tidak kecil? Untuk pesta adat bagi warga yang berkelas ningrat, hewan yang dihabiskan mungkin mencapai 100-an ekor. Jika dinilai dengan uang, maka ini jumlah sangat fantastis.
Pesta adat, biasanya
memakan waktu lama. Ini juga mempengaruhi, tepatnya mengurangi waktu produktif
warga. Bahkan tidak sedikit warga yang tidak bisa mengurus kebun dan ternaknya
sepanjang pesta adat berlangsung.
Sisi negatif lainnya
adalah pesta adat selalu dijadikan moment untuk berjudi. Siapapun tak bisa
membantah bahwa judi adalah penyakit masyarakat. Judi tak pernah membuat
seseorang menjadi kaya dan maju. Judi selalu memiskinkan orang dan memantik
orang untuk melakukan beragam tindak kejahatan, mulai dari dalam rumah tangga
dan atau komunitas terkecil.
Selain itu, kedatangan
kerabat dengan seluruh bawaannya saat pesta adat, menjadi "hutang"
bagi tuan pesta. Tradisi inilah menjadi salah satu penyumbang terbesar
kemiskinan di tanah Sumba.
Kemiskinan membuat orang
mudah berbuat kejahatan, yakni kejahatan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pencurian dan perampokan disertai tindak kekerasan, bahkan pembunuhan, sering
terjadi di Sumba. Ternak peliharaan warga menjadi tidak aman, meski
dikandangkan di pekarangan rumah sekalipun! Selalu dirampok dan dicuri orang.
Tanpa mengurangi nilai
budaya yang ada, tradisi penyembelihan hewan dalam jumlah besar pada setiap
acara adat harus dikurangi. Penyembelihan ternak dalam setiap pesta baik itu
adat perkawinan maupun kematian perlu dibatasi. Tradisi seperti ini kurang baik
dan perlu sedikit perubahan atau elegannya direformasi. Selain dapat
meningkatkan produksi ternak dan ekonomi rumah tangga, mengurangi pesta pora, perjudian,
pencurian dan menciptakan kenyamanan lingkungan.
Tradisi seperti itu bisa
dikurangi tanpa mengurangi nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan
leluhur. Misalnya, kebiasaan untuk menjaga mayat selama ini berminggu-minggu,
bahkan berbulan-bulan perlu dibatasi. Jumlah ternak atau hewan yang disembelih
pun harus dibatasi. Budaya pesta pora dan pemborosan perlu dikurangi bahkan
dihentikan.
Andai saja, budaya dan
tradisi yang sudah diwariskan oleh para leluhur orang Sumba Timur sedikit
dialihkan ke arisan pendidikan maka akan lebih bermanfaat. Setiap keluarga
wajib membiayai pendidikan anak-anak mereka sesuai standar pendidikan nasional
yakni wajib belajar sembilan tahun. Investasi jangka panjang yakni meningkatan
sumber daya manusia (SDM) generasi muda.
Arisan pendidikan tersebut
disebut dengan acara "terima tangan". Setiap anak yang akan
melanjutkan studi ke bangku kuliah akan membawa serta tanggung jawab yang
dititipkan warga desanya. Semua kepala keluarga menyumbang uang untuk biaya di
pendidikan tinggi.
Jadi melalui arisan
pendidikan ini juga secara tidak langsung ada ikatan moril. Setiap anak yang
pergi kuliah akan belajar sungguh-sungguh untuk bisa meraih gelar sarjana,
karena saat dia berangkat ada tanggung jawab yang dititipkan seluruh warga
melalui arisan pendidikan.
Berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini, banyak orang tua yang memikul hutang seumur hidup hanya untuk pesta pora. Karena pada hajatan baik itu acara adat kematian atau perkawinan, lebih cenderung orang berupaya untuk meningkatkan gengsinya. Dengan beban hutang seperti itu, pendidikan anak-anak tidak akan memperoleh alokasi biaya yang jelas. Kesehatan anak-anak tidak terurus dengan baik.
Kesadaran akan kemajuan
harus dimulai dari meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dan kesadaran itu
perlu dimulai dari dalam keluarga, lingkungan sekitar kita, desa hingga tingkat
kabupaten. Dari keluarga pelosok Sumba Timur, mungkin akan memberi teladan
bagaimana menghembuskan angin perubahan itu dari desa, bukan dari kota. Arisan
pendidikan tentunya bisa menjadi momentum awal. Sanggupkah kita melakukan
reformasi budaya konsumtif ke arah produktif? (*)
*) John Taena, Pemerhati Budaya Sumba
Nona Umbu Sogara Awalnya Iseng
POS KUPANG/JOHN TAENA
Nona Umbu Sogara
|
POS KUPANG.COM -- Jika Anda ingin berbahagia selama satu jam, silakan
tidur siang. Jika Anda ingin berbahagia selama satu hari, pergilah berpiknik.
Bila Anda ingin berbahagia seminggu, pergilah berlibur.
Bila Anda ingin berbahagia selama
sebulan, menikahlah. Bila Anda ingin berbahagia selama setahun, warisilah
kekayaan. Jika Anda ingin berbahagia seumur hidup, cintailah pekerjaan.
Demikian sepenggal kalimat dari
orang bijak yang selalu dipegang oleh sejumlah ibu rumah tangga (IRT) di RT
15/RW 03, Kelurahan Prailiu, Kecamatan Kambera, Sumba Timur. Kaum hawa di
kelurahan ini merasa terpanggil untuk menjadi penggerak tanaman (sayur)
organik. Selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri, juga untuk menopang ekonomi
rumah tangga menyekolah anak.
Salah satu penggeraknya Nona Umbu
Sogara (39). Hawa kelahiran Ngambadeta, Sumba Barat Daya, 6 Juli 1976, ini
tidak ingin berpangku tangan seperti layaknya para ibu rumah tangga pada
umumnya. Setiap waktu senggang, pagi dan sore, dimanfaatkan Nona Umbu Sogara
untuk membudidayakan tanaman sayur organik.
"Awalnya kita hanya iseng
untuk belajar pertanian organik. Saya dan beberapa orang teman, sesama ibu
rumah tangga, memanfaatkan lapangan bola ini untuk tanam sayur. Waktu itu, pertama
kali kita tanam, untuk makan sendiri," kisah salah satu anggota Kelompok
Tani Organik Pahammu, Ndumaluri, Kalu, Kelurahan Prailiu, Kecamatan Kambera,
ini.
Seiring perjalanan waktu, usaha
sayuran organik yang digeluti oleh para anggota kelompok tani ini mendapat
apresiasi dari masyarakat. Permintaan pasar dari waktu ke waktu terus meningkat
dari berbagai kalangan.
"Karena permintaan pasar
cukup banyak, kami termotivasi untuk terus membudidayakan tanaman sayur
organik. Hasilnya cukup memuaskan," terang ibu rumah tangga yang akrab
disapa Mama Resti ini.
Aneka sayuran organik yang
dibudidayakan oleh para anggota kelompok tani tersebut, antara lain tomat,
paria, kol dan bunga kol, terong, pak coy atau sawi putih, ketimun dan
sejumlah tanaman umur pendek lainnya. Rata-rata penghasilan dari setiap kali
musim panen berkisar empat hingga lima juta rupiah perorang.
"Hasilnya, selain untuk
makan, kami juga bisa pakai untuk biaya pendidikan anak-anak. Kalau kol dan
bunga kol itu biasa setiap tiga bulan baru panen. Satu pohon sayur kol dan
bunga kami jual Rp 15.000. Saya punya ada 2.500 pohon," tuturnya.
Dia menjelaskan, para anggota
kelompok tani sayuran organik di Prailiu ingin memperluas usaha, namun
terkendala kekurangan modal.
"Lahan yang kami tanam ini
hampir satu hektar. Kami bagi-bagi, ada yang tanam sayur kol dan bunga. Ada
yang tanam tomat, paria, kol dan bunga kol, terong, pak coy atau sawi putih dan
ketimun. Jadi kalau pembeli datang mau belanja, kita tidak saling
rebut," tandas Nona Sogara.
Dia menambahkan, selain belajar
pola pertanian organik, para anggota kelompok tani juga belajar manajemen
organisasi pemasaran. Tujuannya agar para ibu rumah tangga pembudidaya sayuran
organik tidak dikorbankan. "Selama ini kami tidak pernah pergi jual di
pasar, pembeli yang datang dan langsung ambil di kebun. Kami yang atur dan
tentukan harga jualnya," pungkasnya. (john taena)
Saturday 6 December 2014
Lestarikan Lingkungan dengan Menanam Pohon
AKSI pembakaran hutan oleh oknum yang tidak
bertanggung jawab membuat Yohanis Elo Kaka prihatin. Pria berusia 42 tahun yang
juga seorang pencinta lingkungan hidup ini terpanggil untuk mengatasi masalah
ini.
Yohanis Elo Kaka |
Sehari – hari Yohanis Elo Kaka menekuni bidang penangkaran
atau pembibitan berbagai anakan pohon untuk perkebunan dan kehutanan.
Beranjak dari keprihatinan dan sebuah cita-cita sederhana
yakni ingin melihat Pulau Sumba, khususnya Sumba Timur, salah satu daerah
terselatan di Indonesia ini menjadi hijau. Pasalnya, alam dan hutan Kabupaten
Sumba Timur kian hari kian rusak. Atas alasan inilah, dirinya bergerak untuk
melakukan pembibitan berbagai anakan pohon atau tanaman umur panjang.
Dalam wawancara eksklusif dengan wartawan Pos Kupang, John Taena, lelaki yang telah berhasil menangkar ribuan bahkan jutaan anakan pohon ini menjelaskan, dirinya ingin mengisi sisa hidupnya dengan gerakan menabung pohon demi masa depan anak cucu. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda melihat kondisi lingkungan Sumba Timur?
Dalam wawancara eksklusif dengan wartawan Pos Kupang, John Taena, lelaki yang telah berhasil menangkar ribuan bahkan jutaan anakan pohon ini menjelaskan, dirinya ingin mengisi sisa hidupnya dengan gerakan menabung pohon demi masa depan anak cucu. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda melihat kondisi lingkungan Sumba Timur?
Saya tidak memiliki basik tentang ilmu pertanian atau
kehutanan. Saya hanya tamatan sekolah menengah atas (SMA) jurusan IPS dari SMA
Negeri 1 Waingapu pada tahun 1990. Saya juga tidak punya referensi yang cukup
untuk berbicara lebih luas tentang lingkungan hidup secara regional. Tapi kalau
untuk Sumba Timur, sudah hampir tidak ada lagi hutan yang bisa melindungi alam
dari erosi sewaktu-waktu.
Saya hanya merasa prihatin dengan kondisi lingkungan yang
setiap hari terus bertambah rusak. Ketakutan saya, jangan sampai suatu saat
nanti, alam dan ekosistem yang semula diciptakan Tuhan sangat indah akan
menjadi rusak total. Kalau sudah demikian, kita sebagai manusia juga bukan
tidak mungkin akan ikut punah.
Menurut Anda, di mana letak persoalan yang menyebabkan
terjadinya kerusakan lingkungan di daerah ini?
Penyebab terjadinya kerusakan hutan di Kabupaten Sumba Timur
selama ini adalah perilaku oknum. Pertama, pembakaran liar yang dilakukan oleh
oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Mengapa orang mau melakukan pembakaran
hutan pada musim kemarau, itu karena tidak memiliki kesadaran untuk menjaga dan
melestarikan lingkungan.
Ada juga yang melakukan karena terpaksa untuk
mempertahankan hidup dan itu biasanya dilakukan ketika para petani
mengalami gagal panen. Biasanya hutan dibakar untuk memudahkan proses pencarian
iwi (ubi) hutan sebagai cadangan makanan. Kedua, pola pertanian yang bersifat
tradisional dan selalu berpindah – pindah lokasi. Setiap kali membuka lahan
baru, biasanya para petani melakukan penebangan hutan dan kemudian dibakar
untuk digarap menjadi lahan pertanian. Pola pertanian seperti ini yang perlu
diubah dengan meningkatkan wawasan dan sumber daya manusia para petani
setempat.
Ketiga, pola peternakan yang dilakukan selama ini juga masih
bersifat tradisional. Para pemilik dan penggembala ternak biasa melakukan aksi
pembakaran padang serta hutan. Mengapa mereka melakukan pembakaran? Sangat
sederhana, yakni untuk merangsang pertumbuhunan tunas-tunas rumput yang hijau
untuk dijadikan pakan ternak. Dampak negatif dari perilaku yang salah seperti
ini adalah rusaknya lingkungan. Akibatnya anak cucu kita yang akan menanggung
risiko dari kerusakan lingkungan yang terjadi selama ini.
Maksudnya?
Ya, kalau kebiasaan-kebiasaan buruk seperti ini terus
dipelihara dan tidak diminimalisir, maka manusia sebagai makhluk yang paling
sempurna di dunia ini juga akan punah. Bagaimana manusia mau bertahan hidup di
bumi kalau suhu panas terus meningkat dari waktu ke waktu karena tidak ada lagi
pohon atau ruang terbuka hijau?
Meskipun manusia sebagai makhluk paling sempurna, kita juga
butuh pohon dan hutan. Kita tidak mungkin bisa hidup lebih lama kalau
alam terus bertambah rusak dari waktu ke waktu. Di Kabupaten Sumba Timur, luas
hutan terus berkurang dari waktu ke waktu. Bukan tidak mungkin suatu saat nanti
daerah ini sudah tidak memiliki hutan lagi.
Apa barometer untuk mengukur tingkat kerusakan lingkungan di
Sumba Timur dan mengapa Anda harus prihatin dengan kondisi ini?
Sebagai seorang pencinta lingkungan dan tanaman, saya
melihatnya dengan cara yang sangat sederhana. Dulu antara tahun 1970-an hingga
akhir 1980-an, kita masih sering melihat pohon-pohon besar. Banyak pohon yang
tumbuh dan hidup di hutan – hutan.
Pohon cendana bukan hanya tumbuh di Pulau Timor, tapi di
Sumba juga ada dan itu adalah salah satu jenis tanaman hutan yang menjadi
kebanggaan orang Sumba. Curah hujan juga stabil dan tidak terlalu banyak
daerah yang mengeluh kekeringan atau kekurangan air bersih. Kalau kita bandingkan
dengan realitas yang terjadi sekarang, semuanya itu sudah tidak ada lagi.
Bagaimana dengan daerah ini?
Lingkungan dan alam Pulau Sumba sudah tidak bersahabat lagi
karena semuanya telah rusak. Udara yang dahulunya tidak terlalu panas dan sejuk
sekarang berubah drastis dan sangat ekstrem. Kekeringan panjang dan bencana
kelaparan terjadi di mana-mana.
Setiap tahun para petani selalu gagal panen karena curah
hujan yang tidak menentu dan cuaca ekstrem. Isu pemanasan global sudah menjadi
rahasia umum. Seharusnya luas hutan yang dimiliki oleh sebuah kabupaten itu
minimal 30 persen dari total luas wilayah yang dimiliki.
Sumba Timur adalah salah satu daerah yang paling luas di
Propinsi NTT dengan wilayah teritorial seluas kurang lebih 7000,5 km². Dari
total wilayah teritorial tersebut, luas hutan yang dimiliki enam persen.
Sementara kawasan hutan yang dimiliki 261.466,34 hektar dari total wilayah
teritorial seluas 7000,5 km².
Alasan- alasan inilah yang membuat saya prihatin. Saya merasa
terpanggil untuk bergerak di bidang lingkungan hidup, dengan memanfaatkan
tenaga yang ada selama sisa hidup ini sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Beranjak
dari situlah, kemudian saya memutuskan untuk terjun ke bidang ini sejak tahun
2005 lalu.
Bukan hanya melihat peluang bisnis, dari usaha pembibitan
anakan dari berbagai jenis tanaman umur panjang, baik itu untuk pertanian
maupun kehutanan. Melalui usaha seperti ini, sebagai orang Sumba, saya juga
ingin menabung pohon untuk anak cucu dan generasi muda di daerah ini.
Siapa saja yang bertanggung jawab atas upaya pelestarian
lingkungan hidup?
Semua pihak mempunyai tanggung jawab yang sama sesuai dengan
potensinya masing-masing. Masalah kerusakan lingkungan bukan hanya menjadi
tanggung jawab pemerintah ataupun lembaga donor dari luar. Pemerintah dan
lembaga donor dari luar bekerja dengan cara dan kemampuan yang dimilikinya.
Sementara kita sebagai warga daerah ini harus memiliki
kesadaran. Merawat dan memelihara lingkungan alam sekitar adalah tanggung jawab
kita semua sebagai manusia. Setiap warga di daerah ini, baik petani, pengusaha,
pemerintah dan legislatif mempunyai tanggung jawab yang sama dalam upaya
melestarikan lingkungan dan segala isinya.
Sekarang sudah saatnya, kebiasaan-kebiasaan buruk selama ini
ditinggalkan untuk tidak merusak lingkungan lagi. Kita dapat melakukan segala
sesuatu sesuai kemampuan dan potensi yang kita miliki. Sejak tahun 2005 hingga
saat ini saya menjalin kemitraan dengan pemerintah. Pemerintah yang memiliki
program penghijauan seperti Gerhan dan reboisasi.
Sebagai seorang pencinta lingkungan hidup yang bergerak di
bidang pembibitan, tanaman perkebunan dan kehutanan apa saja yang telah Anda
lakukan sejak tahun 2005 hingga saat ini?
Terus terang saya bukan orang yang memiliki disiplin ilmu di
bidang pertanian, perkebunan ataupun kehutanan dari bangku pendidikan tinggi.
Saya adalah anak petani, jadi mungkin karena itu saya tertarik dan mencintai
tanaman sehingga memotivasi saya untuk bergerak di bidang pembibitan.
Setiap tahun rata-rata saya bisa menangkar 500 hingga 600
ribu anakan pohon dan kemudian dilempar ke pasar. Pihak pemerintah dan swasta
lewat berbagai program penghijauan yang dilaksanakan baik di bidang pertanian
maupun kehutanan yang biasanya memanfaatkan anakan pohon dari lokasi
penangkaran saya selama ini.
Usaha pembibitan anakan ini tidak semata-mata untuk
dikomersilkan. Selama ini kalau ada kegiatan yang sifatnya untuk penghijauan,
kadang-kadang tidak dipungut biaya dari anakan diambil. Syaratnya adalah setiap
anakan yang diambil dari penangkaran harus ditanam dan dirawat hingga tumbuh
dan tidak boleh dijual lagi.
Jikalau sudah demikian, kita pantau sejauh mana tingkat
keberhasilanya. Karena tujuan dari semua ini adalah untuk penghijuan lingkungan
dan pelestarian hutan di Sumba Timur ini.
Berdasarkan pengalaman Anda selama ini, pohon atau tanaman
unggulan lokal apa saja yang biasanya dikembangkan untuk penghijauan di Pulau
Sumba?
Tanaman adalah makhluk hidup yang memiliki nyawa. Sebagai
makhluk hidup, setiap tanaman butuh perlakuan khusus. Kita harus melakukannya
dengan sepenuh hati. Perlakuan terhadap setiap tanaman itu berbeda-beda sesuai
sifatnya.
Katakanlah, perlakuan bagi tanaman keras akan berbeda dengan tanaman
yang lain. Biasanya untuk tanaman keras disemaikan terlebih dahulu hingga
berkecambah baru dipindahkan ke polibag. Sementara jenis tanaman yang lain
langsung dimasukkan ke dalam polibag yang sudah dicampur tanah dan pupuk
kandang.
Sebagai makhluk hidup, tanaman akan berbicara kepada manusia
kapan tanaman itu membutuhkan pasokan pakan dan air. Jadi kita perlu memiliki
kepekaan untuk memahami bahasa dari tanaman agar bisa diperlakukan sesuai
kebutuhannya sehingga dapat bertumbuh dan memberikan hasil sesuai yang
diinginkan.
Berdasarkan pengalaman yang terjadi di lapangan, sekalipun orang tersebut adalah jebolan dari universitas atau tepatnya sarjana pertanian maupun kehutanan. Jadi tidak semua orang bisa menyemaikan tanaman atau pembibitan anakan dari berbagai jenis pohon untuk keperluan penghijaun.
Butuh orang- orang khusus yang memahami dan menjiwai tanaman.
Selama ini yang saya semaikan, antara lain, Kaduru, Lubung, Inji Watu. Jati,
Mahoni, Gamalina, Kadimbil, Kiru, Kelapa, Mete, Kakao, Pinang, Kopi dan
Kemiri.*
Tabungan untuk Anak Cucu
SEJAK tahun 2005 hingga sekarang, Yohanis Elo Kaka (42) melirik
usaha pembibitan baik tanaman perkebunan maupun kehutanan. Usaha penangkaran
berbagai jenis anakan pohon seperti Kaduru, Lubung, Inji Watu. Jati, Mahoni,
Gamelina, Kadimbil, Kiru, Kelapa, Mente, Kakao, Pinang, Kopi dan Kemiri
bertujuan untuk penghijauan.
Hal ini sebagai bentuk partisipasi keikutsertaannya dalam
mengampanyekan isu pemanasan global. Sebagai seorang pencinta lingkungan hidup,
kegiatan yang dilakoninya tidak semata-mata untuk mengejar keuntungan.
Rata-rata 500 hingga 600 ribu anakan berhasil dikembangkan dan dilempar ke
pasaran.
Ribuan bahkan jutaan anakan pohon yang disemaikan selama ini belum juga mampu memenuhi permintaan pasar. "Permintaan anakan cukup tinggi selama ini. Setiap tahun permintaan pasar terus meningkat seiring dengan berbagai program penghijauan yang dicanangkan oleh pemerintah," kata ayah enam orang anak ini.
Setiap tahun, permintaan akan anakan pohon baik itu tanaman
perkebunan maupun kehutanan terus meningkat. Namun hingga saat ini belum
terlalu banyak orang yang berminat ke bidang tersebut. Lewat usaha yang
ditekuni selama ini, John Elo, demikian sapaan akrabnya, ingin mengajak warga
setempat untuk mulai mencintai lingkungan dengan menanam pohon.
Selain itu, lewat menanam pohon, setiap orang bisa menabung
untuk masa depan anak cucu mereka. "Kita menanam pohon itu juga bagian
dari tabungan bagi anak cucu kita. Bagi segenap orang Sumba, khususnya
Kabupaten Sumba Timur, mari kita menjaga dan melestarikan lingkungan dengan
menanam pohon untuk penghijauan," imbaunya.
Pasalnya, setiap pohon yang berhasil ditanam dan terus hidup
akan memiliki manfaat yang cukup besar bagi banyak orang. Selain itu, sebagai
orang yang menanam atau menyemaikan anakan pohon, dirinya akan mendapatkan
banyak manfaat. Manfaat-manfaat tersebut anatara lain meningkatkan ekonomi
keluarga. Selain itu memiliki nilai dan kesan tersendiri yang tidak bisa
digambarkan yakni kepuasan batin. "Manfaat yang tidak ternilai itu adalah
kepuasan batin yang tidak bisa dinilai dengan uang," tandasnya. (jet)
http://kupang.tribunnews.com/2012/04/23/lestarikan-lingkungan-dengan-menanam-pohon
Thursday 4 December 2014
Orang Sumba dan Tradisi Makan Umbi Gadung
Bersavanna, kering dan gersang. Itulah kesan
pertama ketika seseorang mengunjungi Pulau Sumba. Ibarat hamparan mutiara hitam
yang terbentang luas sejauh mata memandang, akan melengkapi pemnadangan alam
daerah ini disetiap musim kemarau. Hal ini bertolak belakang dengan pemandangan musim hujan, dimana sejauh mata
memandang akan terlihat hijau bak sebuah permadani.
Membakar hamparan rumput dan ilalang yang
sudah mongering membuat kondisi alam sekitar sangat memprihatinkan. Namun
inilah realitanya. Fakta yang boleh dikata sebagai tradisi orang Sumba di setiap
kalau musim kemarau. Tangan – tangan jahil dari oknum tidak bertanggung jawab
selalu membakar dan bakar lagi tanpa rasa bersalah.
Meskipun bersavana, tandus dan kering, namun tanah Sumba
memiliki sejuta potensi dan mampu menarik perhatian. Taufiq Ismail, merupakan
salah satu contoh dari sekian banyak yang terpikat oleh tanah yang satu ini.
Lewat puisinya berjudul, "Beri Daku
Sumba" sang penyair era 1970-an, menggambarkan kekayaan alam yang
dimiliki oleh negeri padang savanna, Pulau Sumba. Bukan hanya pemandangan
alamnya yang mampu memikat pandangan mata setiap orang. Para gembala ternak
kuda sandelwood, kerbau dan sapi Sumba Ongole (SO) melengkapi indahnya alam
setempat.
Bukan hanya seorang penyair kondang yang terpikat oleh
kekayaan alam yang satu ini, jauh sebelumnya pemerintah Belanda pun sudah
tertarik. Ketertarikan penjajah ini dibuktikan dengan sekitar 600 ekor sapi ongole
dari India, dan dikembangkan di padang savanna yang terbentang laus
sejauh mata memandang itu. Seiring perjalanan waktu dan didukung oleh kekayaan
alam setempat menyebabkan sapi ongole terus berkembang biak dan memadati padang
savanna itu hingga sekarang.
Pulau Sumba kini dikenal sebagai gudang ternaknya Propinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT). Seorang elite
dan penguasa daerah inipun akan bangga hingga menepuk dadanya ditingkat pusat
ketika berbicara mengenai ternak. Ratusan ribu ekor ternak yang berkeliaran di
hamparan padanga savanna Sumba kini, bukan milik orang perorang melainkan kaum
borjuis.
Aksi pembakaran hutan yang dilakukan setiap tahun tidak dapat
dipisahkan dari seorang pemilik ternak di daerah ini. Sebuah pemahaman yang
mungkin sedikit keliru telah merasuki pikiran setiap penguasa ternak. Musim
panas, rumput dan ilalang mongering. Ratusan ribu ternak milik mereka kesulitan
stok pangan. Untuk mendapatkan tunas baru, maka perlu dilakukan aksi pembakaran
liar.
Aksi pembakaran liar yang merusak lingkungan membawa petaka. Setiap
tahun, musim hujan yang ada hanya berkisar dua hingga tiga bulan. Selebihnya
adalah kemarau panjang. Masalah kekeringan panjang dan kekurangan air bersih
menjadi persoalan klasik bagi setiap rakyat jelata di pedalaman Sumba. Para
petani selalu dilanda bencana gagal tanam dan gagal panen. Akibatnya rawan
pangan hingga bencana kelaparan seakan enggan meninggalkan kehidupan setiap
anggota petani Sumba sudah menjadi agenda tahunan.
***
Cari Iwi (Dioscoreaceae) — Seorang
petani di Kampung Hiliwuku, Desa Katikuluku, Kecamatan Matawai Lapawu, Sumba
Timur ditemani dua orang anaknya saat mencari iwi (Dioscoreaceae)
di hutan. Gambar diambil Senin (13/10/2014).
|
Kala musim hujan, pemandangan
nan elok terlihat di seantero Bumi Marapu. Layaknya sebuah permadani hijau
sedang terbentang menghiasi jagad raya. Terbentang luas sejauh mata memandang
terus memanjakan mata setiap insane manusia. Namun kondisi ini akan terbalik 180
derajat kala musim kemarau. Selain aksi pembakaran hutan
secara liar, musim kemarau panjang juga menyebabkan berbagai tanaman milik
seperti pisang dan kelapa akan mati.
Bencana
kelaparan akibat gagal tanam dan gagal panen tanaman padi dan jagung, menyebabkan
setiap anggota keluarga petani dipaksa survive.
Akibatnya, Gadung (Dioscorea hispida Dennst., suku gadung – gadungan atau Dioscoreaceae) merupakan tempat pelarian paling
tepat untuk bertahan hidup.
Gadung merupakan salah satu tumbuhan
yang cukup akrab dengan petani di sejumlah daerah dan dikenal dengan nama masing–massing.
Misalnya, bitule (Gorontalo), gadu (Bima), gadung
(Bali, Jawa, Madura, Sunda) iwi (Sumba), kapak (Sasak), salapa
(Bugis) dan sikapa (Makassar).
Jenis tanaman ini juga menghasilkan umbi yang dapat dimakan. Namun kandungan
racunnya dapat mengakibatkan pusing dan muntah apabila kurang benar
pengolahannya.
Di tempat lain, umbi gadung akan
diolah dan diproduksi menjadi keripik meskipun rebusan gadung juga dapat
dimakan. Selain itu ada juga yang menjadikan sebagai (difermentasi) sehingga di Malaysiadikenal
pula sebagai ubi arak,
selain taring pelandok.
Selain diproduksi jadi kripik atau
difermentasi menjadi arak, umbi dari jenis tumbuhan yang satu ini juga dapat
dimanfaatkan sebagai racun tikus. Tanaman gadung ini termasuk kelompok
tumbuhan redentisida atau kelompok tumbuhan yang mengahasilkan pestisida
pengendali hama rodentia.
Tradisi orang Sumba saat dilanda
bencana kelaparan adalah mencari dan mengolah umbi gadung untuk dikonsumsi. Meskipun
beracun, umbi gadung harus dimakan tiga kali sehari tanpa
memperhatikan kandungan gizi. Tak jarang, kekurangan
stok pangan menyebabkan banyak kasus kurang gizi, gizi buruk hingga busung
lapar menimpa anak – anak petani akibat mengkonsumsi ubi gadung setiap hari.
Tak
jarang, para petani di Kabupaten Sumba Timur
mendapat cacian dan hujatan dari oknum pejabat pemerintah dan penguasa
setempat. Para pejabat pemerintah yang tidak ingin dinilai gagal, dalam menjaga
popularitasnya akan berkilah iwi
adalah pangan lokal. Makan umbi gadung adalah sebuah tradisi yang juga
dikonsumsi oleh mereka. Meskipun menjadi pejabat, mereka juga sering makan iwi walaupun lima tahun sekali. Berbeda
dengan anggota keluarga petani, tiga sehari makan iwi selama berminggu – minggu.
Para
elite Sumba Timur tak sungkan untuk menilai petani di daerahnya malas. Sebuah
kata yang dilontarkan begitu saja dari mulut seorang pemimpin tanpa melihat
fakta di lapangan. Meskipun mereka dibilang malas, namun upaya untuk keluar
dari masa sulit seperti ini terus dilakukan. Sebagala hal dilakukan diupayakan untuk bisa
makan: mencari ubi beracun di hutan untuk diolah menjadi makanan. Mencari dan
menjual kayu bakar, menjual alang – alang yang mulai menipis karena kebakaran
padang. Menjual kunyit yang digali di hutan dan ternak kecil maupun besar seperti
ayam dan sapi juga dijual. Pertanyaanya, adakah orang malas yang melakukan hal
demikian?
Di sisi
lain, untuk mendapatkan umbi gadung mereka juga harus menempuh perjalanan
dengan mendaki serta menuruni bukit demi
mendapatkan iwi. Bukan sebatas itu saja, mereka juga harus harus berjalan jauh
lagi untuk merendam irisan iwi di
lokasi sumber air mengalir selama 24 jam sebelum layak dikonsumsi. Para anggota
keluarga petani juga terpaksa harus menginap di lokasi yang terdapat sungai
mengalir yang jauh dari pemukiman mereka. Masih pantas kah seorang pejabat
pemerintah menilai mereka ini sebagai orang – orang malas?
Ternak
besar seperti sapi, kuda dan kerbau biasanya akan dijual oleh mereka jika kondisi
sudah sangat parah. Itupun jika para anggota keluarga petani Sumba Timur
memiliki ternak besar. Pada situasi seperti ini, hukum ekonomi pun berlaku: untuk
memenuhi kebutuhan hidup, dan ternak mereka terpakas dijual dengan harga murah.
Di sini peran rentenir merajalela. Tak ketinggalan para mafia ternak pun ikut
bermain.
Kesempatan
emas yang ditunggu – tunggu oleh para renternir untuk mendapatkan ternak dengan
harga murah. Selanjutnya dijual ke luar pulau tanpa seleksi yang ketat,
terlepas dari jantan atau betina. Masih produktif atau tidak lagi meskipun sudah
ada larangan namun tidak berlaku bagi para elite dan penguasa Sumba Timur.
Masih
pantaskah para petani di Sumba Timur yang selalu dilanda bencana kelaparan
akibat bencana alam ini disebut malas? Sipakah yang harus bertanggung jawab
untuk mensejahterakan kehdipuan setiap anggota keluarga petani di daerah ini? Sudahkah
Negara menjamin kesejahteraan rakyatnya, terutama masyarakat kecil di pedalaman
Kabupaten Sumba Timur?
Sepertinya
nasib para anggota keluarga petani Sumba Timur untuk terus mencari umbi gadung
sebagai makanan alternative masih akan panjang. Musim laparan dan umbi gadung yang
mulai diolah sejak bulan Oktober akan dikonsumsi hingga penghujang Februari
2015. Saat ini para anggota keluarga petani yang dilanda benacana kelaparan ini
juga harus mulai menghemata dan menyimpan sebagian sebagai stok pangan mereka sampai
musim panen.
Saturday 2 August 2014
Gaji Untuk PBB Warga
GAYA bicaranya penuh semangat, ditunjang suaranya yang lantang dan jelas didengar. Cepat akrab dengan siapa saja yang menemuinya. Dia memiliki visi yang jauh ke depan untuk membanguan desanya yang memiliki territorial sekitar 10.000 kilometer persegi. Sorot matanya tajam dan sejuk, serta mencerminkan jiwa yang luhur sebagai seorang pemimpin dari sekitar 219 kepala keluarga (KK) atau 750 jiwa penduduk desa setempat.
Itulah sosok Kepala Desa Praibakul, Kecamatan Katala Hamu Lingu, Kabupaten Sumba Timur, Umbu Kahumbu Nggiku yang ditemui Pos-Kupang.Com di Waingapu, Rabu (4/4/2012). Banyak hal yang dibicarakan tentang Desa Praibakul yang dipimpinnya sejak 2009 lalu. Umbu, sapaan akrabnya berkisah, sejak masa mudanya dia tak pernah bermimpi menjadi kepala desa. Namun, karena dipercayakan warga
desa Praibakul, sehingga sebagai putra desa dia harus menerima kepercayaan dan tanggungjawab berat itu.Sejak terpilih menjadi Kepala Desa Paraibakul, dia hanya memiliki satu tekad yakni membebaskan warganya dari kemiskinan, membuka akses bagi warganya yang hidup terisolasi selama bertahun - tahun sejak bangsa ini membebaskan diri dari belenggu penjajah.
Alumnus Sekolah Menengah Atas (SMA) Bina Karya Atambua, Kabupaten Belu ini mengisahkan, sejak dipercaya warga setempat untuk memimpin desa itu, gajinya sebagai kepala desa tidak pernah disentuhnya. "Saya melihat rakyat saya di desa ini hidupnya terlalu susah. Karena itu saya ambil keputusan untuk pakai gaji saya bantu mereka yakni membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) seluruh KK yang ada di desa ini selama masa jabatan saya. Kalau tidak berbuat seperti itu, mau bagaimana lagi? Seluruh masyarakat saya ini petani yang susah sekali untuk mendapat uang Rp 100 ribu dalam sebulan. Daripada mereka terbeban lagi dengan pajak, lebih baik dibayar pakai gaji saya," ujar ayah satu orang putra ini.
Selain membabaskan warganya dari PBB, Umbu juga memiliki orientasi kuat pada bidang pengembangan sektor pariwisata di desanya. Alasannya, desa tersebut memiliki sejumlah obyek wisata alam menarik seperti Pantai Kambaru, Mambang dan Pantai Walakari. Selain itu, terdapat beberapa satwa langkah diantaranya penyu, rusa, burung kakatua, rangkong dan burung ongkang.
"Potensi pantai ini sudah ada investor luar yang mau beli, tapi kita tidak mau jual. Kita punya rencana untuk membuat penangkaran rusa, tapi masih kurang modal." kata pria kelahiran desa itu, 13 Maret 1966 lalu
Suami dari Ny. Marniwati Rambu Hida ini menjelaskan, sebelumnya satwa langkah yang hidup di daerah tersebut nyaris punah. Hal ini disebabkan oleh ulah oknum tidak bertanggung jawab yang selalu memburu dan membunuh binatang - binatang yang dilindungi tersebut. Merasa khawatir akan kepunahan habitat satwa - satwa langkah tersebut, pihaknya
bersama para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat setempat membuat peraturan desa (perdes). "Sekarang sudah mulai ada kembali. Terutama rusa yang dulunya hampir punah, kini junmlahnya sudah mencapai 5.000 ekor. Saya berharap potensi-potensi ini bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa ini," tandasnya.
Sumber http://kupang.tribunnews.com/2012/04/10/gaji-untuk-pbb-warga
Subscribe to:
Posts (Atom)