Anak Kampung Laihiding, Sumba Timur bertelanjang renangi sungai ke sekolah |
Kala musim panas dan kemarau panjang
melanda Pulau Sumba setiap tahun, puluhan anak – anak usia harus menoreh
keringat melintasi padang savanna. Bukan hanya sebatas itu, mereka juga harus
menyebrangi derasnya aliran sungai untuk mencapai lokasi tempat menimba ilmu
yakni SDN Kiritana.
Memiliki sebuah tas sekolah akan
menjadi sangat istimewa bagi seorang anak meskipun sudah bertahun – tahun usianya.
Sobek dan lusuh bukan masalah, namanya tetap sebuah tas sekolah yang tentu
mahal nilainya. Meskipun sudah sobek dan lusuh, namun sebuah tas kresek tetaplah
mahal nilainya bagi mereka.
Puan tentu bertanya, apa yang mahal
dari sebuah tas kresek yang dapat dibeli dengan harga tiga seribu di pasar atau
toko? Bahkan terkadang juga akan mendapatkan dengan gratis saat belanja di
pasar. Bukan itu letak persoalannya tuan dan puan.
Tuan coba bayangkan, demi menimba
ilmu seoarang anak di bawah usia 10 tahun harus berjalan kaki sejauh kurang
lebih 10 kilo meter setiap hari pergi dan pulang. Meninggalkan rumah orang tua
sejak tubuh dan baru akan tiba kembali di pemukiman penduduknya pada petang hari.
Usai renangi sunagi, anak Kampung Laihiding, Sumba Timur mendaki bukit ke sekolah |
Di kampung ini tidak ada mobil
mewah. Melihat sebuah kendaraan roda dua melintas padang savanna hingga di
tengah pemukiman penduduk adalah sesuatu yang mustahil. Jarak yang demikian
bukan ditempuh dengan alat transportasi seperti yang biasanya dipakai oleh tuan
dan puan di kota.
Menenteng sebuah tas kresek yang
sesak dengan buku, pena dan pensil serta penghapus adalah sesuatu yang
senantiasa didambakan oleh puluhan anak usia sekolah dari Laihiding. Menapaki jalan
setapak tanpa alas kaki di bawah terik mentari panas adalah sebuah kebanggaan
menjadi anak sekolah.
Menanggalkan seragam merah putih,
bertelanjang dan berenang sambil menenteng tas kresek yang diisi peralatan
sekolah adalah semangat anak Laihiding. Tiba di seberang sungai dan kembali
mengenaikan seragam merah putih, spirit anak dari kampung ini dalam melintasi
zaman.
Tuan dan puan, berenang di aliran
sungai yang jernih sekitar Sembilan bulan dan tiga bulan bertarung dengan banjir
bukan hal baru lagi. Semuanya hanya demi mendapatkan ilmu di bangku sekolah
dasar.
Setiap pagi mengucapkan selamat pagi
ibu, selamat pagi bapak ku pergi sekolah menuntun ilmu demi masa depan tidak
semudah dan segampang anak – anak di tempat lain. Sejak leluhur anak kampung
laihiding, mereka sudah biasa untuk menyebrangi aliran sungai yang deras dan dalam.
Anak Kampung Laihiding, Sumba Timur bertelanjang & renangi sungai lagi ke sekolah |
Mengayunkan satu persatu langkah
kaki beberapa ribu meter, setiap mereka harus bertelanjang. Dan terjun… terjun
ke dalam aliran sungai. Bereneng dan berenang hingga ke tepian. Selanjutnya,
menapaki kaki bukit hingga ke puncak dan kembali menrun ke kaki bukit sebrang. Menapaki
jalan setepak, menelusuri hutan belatantara hingga tiba lagi di tepi sungai. Kemudian
seragam merah putih di tanggalkan. Bertelanjang lagi dan lagi. Terjun dan
terjun lagi untuk berenang ke tepian.
Setibanya seberang, kembali
mengenakan seragan kebanggaan bangsa. Kulit tubuh anak – anak sekolah inipun kembali
dibungkus dengan warna Pusaka bangsa. Selanjutnya kaki mungil mereka diayunkan
beribu kali dengan pasti hingga tiba di depan kelas dan siap menerima ilmu dari
bapak dan ibu guru mereka.
(Catatan pengalaman saat melakukan perjalanan ke Kampung Laihiding bebera waktu yang lalu)