Pulau Sumba merupakan salah satu wilayah terselatan Indonesia
yang memiliki keunikan budaya dan tradisi. Tradisi Marapu merupakan salah satu
keunikan. Jenazah dibungkus dengan kain adat dan disemayamkan di rumah duka
selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Yang unik di
sini yakni jenazah tidak membusuk, tidak menebar bau meski disemayamkan
demikian lama.
Tinggal serumah dengan
mayat selama bertahun-tahun bukanlah kisah fiktif melainkan kenyataan di tanah
Sumba. Selama belum dikuburkan, para kerabat, kenalan yang datang melayat
membawa hewan seperti babi, sapi dan kerbau.
Hewan-hewan itulah yang
akan disembelih selama sekitar seminggu, bahkan lebih, menjelang penguburan dan
sesudah penguburan. Jumlah hewan yang disembelih menunjukkan kelas sosial si
Mati dan keluarganya.
Upacara penguburan
(sebelum dan sesudah) bisa berlangsung berminggu-minggu bahkan tahunan.
Sepanjang hari, siang dan malam, selalu ada beberapa ekor hewan disembelih
untuk disantap bersama segenap pelayat.
Selama itu pula permainan
kartu remi dan aneka permaianan lainnya bahkan perjudian "memperoleh
momentumnya". Rumah dan tenda duka dan sekitarnya di beberapa bagian
seakan menjadi arena judi untuk mengusir kantuk. Maka aktivitas harian seperti
mengolah kebun, mengurus ternak dan aktivitas produktif lainnya menjadi
berkurang, bahkan tidak dilakukan sama sekali selama acara itu berlangsung.
Bayangkan, jika setahun
ada enam orang yang meninggal dalam sebuah kampung dan masing-masing dijaga
selama 20 hingga 30 hari baru dimakamkan, maka selama itu pula ada aktivitas
perjudian dan orang tidak bisa bekerja. Sementara banyak ternak yang ikut
dikurbankan. Tidak ada keseimbangan antara produksi dan konsumsi.
Tradisi mengurbankan ternak dalam
jumlah besar di Sumba Timur, bukan hanya dilakukan pada upacara kematian, namun
juga pada pesta adat lainnya, termasuk perkawinan. Biaya yang dihabiskan untuk
urusan-urusan adat tersebut juga boleh dikata sedemikian besar.
Arisan Pendidikan
DERAJAT kesehatan
di desa-desa tertentu, bahkan wilayah Sumba umumnya, masih memprihatinkan.
Belum meratanya kehadiran sarana pelayanan kesehatan di semua wilayah
mengakibatkan kualitas kesehatan masyarakat masih rendah. Sementara disisi
lain, padang savana yang terbentang luas di seantero Pulau Sumba sangat
potensial untuk pengembangan ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan domba.
Itu sebabnya mengapa Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menetapkan
Sumba sebagai salah satu pusat pengembangan ternak demi mewujudkan propinsi
ternak.
Ikon Sumba sudah jelas, Negeri Sandle Wood. Hal ini disebabkan kecintaan warga setempat terhadap kuda. Kuda sandle wood. Terkenal di seantero nusantara. Tanah Sumba juga tenar di dunia karena keunikan budayanya seperti pasola, pacuan kuda dan wisata budaya yang unik seperti kuburan megalitik, perkampungan adat dan sebagainya.
Ikon Sumba sudah jelas, Negeri Sandle Wood. Hal ini disebabkan kecintaan warga setempat terhadap kuda. Kuda sandle wood. Terkenal di seantero nusantara. Tanah Sumba juga tenar di dunia karena keunikan budayanya seperti pasola, pacuan kuda dan wisata budaya yang unik seperti kuburan megalitik, perkampungan adat dan sebagainya.
Namun keterkenalan suatu
daerah belum tentu berbanding lurus dengan kemajuan masyarakat dan daerahnya.
Masih banyak warga di pedalaman wilayah Sumba yang belum menikmati jalan aspal,
listrik dan masih sangat terbatas akses terhadap sarana pelayanan publik
seperti puskesmas dan sarana pendidikan dasar.
Kecamatan Kambata
Mapambuhang adalah salah satu contoh yang mewakili seluruh masyarakat di
pelosok Kabupaten Sumba Timur. Wilayah kecamatan ini mencakup enam desa.
Sebagian besar masayarakat di desa ini belum ada listrik. Sarana jalan serta
alat transportasi menuju pusat kecamatan belum memadai. Di sisi lain, potensi
yang di miliki cukup besar di sektor peternakan, namun tradisi pesta pora
seperti ada kematian dan perkawinan adalah faktor penghambatnya.
Tradisi penyembelihan
hewan dalam jumlah puluhan, bahkan ratusan ekor, pada saat upacara adat seperti
kematian atau perkawinan bagi warga Kabupaten Sumba Timur merupakan hal yang
lumrah. Ada nilai positif dari tradisi ini, antara lain tali kekerabatan terus
dipererat dan nilai kebersamaan terus dipupuk. Seluruh rumpun keluarga tergerak
dengan sendirinya membawa hewan dan sumbangan lainnya untuk meringankan beban tuan
pesta, baik dalam pesta adat kematian maupun perkawinan.
Tetapi ada juga sisi
negatifnya, yakni pemborosan. Ternak yang disembelih mencapai puluhan bahkan
ratusan ekor bernilai ekonomi tidak kecil. Jika saja sebagian (besar) dari itu
dimanfaatkan untuk keperluan non-konsumtif, misalnya untuk biaya pendidikan,
maka manfaat jangka panjang yang diperoleh sungguh luar biasa.
Katakanlah dalam sekali pesta adat dihabiskan 50 ekor ternak (babi, sapi dan kerbau) dengan nilai rata-rata Rp 3 juta per ekor, maka sekali pesta menghabiskan Rp 150 juta. Kalau saja Rp 100 juta dialihkan pemanfaatannya untuk kebutuhan produktif, bukankah itu nilai yang tidak kecil? Untuk pesta adat bagi warga yang berkelas ningrat, hewan yang dihabiskan mungkin mencapai 100-an ekor. Jika dinilai dengan uang, maka ini jumlah sangat fantastis.
Pesta adat, biasanya
memakan waktu lama. Ini juga mempengaruhi, tepatnya mengurangi waktu produktif
warga. Bahkan tidak sedikit warga yang tidak bisa mengurus kebun dan ternaknya
sepanjang pesta adat berlangsung.
Sisi negatif lainnya
adalah pesta adat selalu dijadikan moment untuk berjudi. Siapapun tak bisa
membantah bahwa judi adalah penyakit masyarakat. Judi tak pernah membuat
seseorang menjadi kaya dan maju. Judi selalu memiskinkan orang dan memantik
orang untuk melakukan beragam tindak kejahatan, mulai dari dalam rumah tangga
dan atau komunitas terkecil.
Selain itu, kedatangan
kerabat dengan seluruh bawaannya saat pesta adat, menjadi "hutang"
bagi tuan pesta. Tradisi inilah menjadi salah satu penyumbang terbesar
kemiskinan di tanah Sumba.
Kemiskinan membuat orang
mudah berbuat kejahatan, yakni kejahatan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pencurian dan perampokan disertai tindak kekerasan, bahkan pembunuhan, sering
terjadi di Sumba. Ternak peliharaan warga menjadi tidak aman, meski
dikandangkan di pekarangan rumah sekalipun! Selalu dirampok dan dicuri orang.
Tanpa mengurangi nilai
budaya yang ada, tradisi penyembelihan hewan dalam jumlah besar pada setiap
acara adat harus dikurangi. Penyembelihan ternak dalam setiap pesta baik itu
adat perkawinan maupun kematian perlu dibatasi. Tradisi seperti ini kurang baik
dan perlu sedikit perubahan atau elegannya direformasi. Selain dapat
meningkatkan produksi ternak dan ekonomi rumah tangga, mengurangi pesta pora, perjudian,
pencurian dan menciptakan kenyamanan lingkungan.
Tradisi seperti itu bisa
dikurangi tanpa mengurangi nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan
leluhur. Misalnya, kebiasaan untuk menjaga mayat selama ini berminggu-minggu,
bahkan berbulan-bulan perlu dibatasi. Jumlah ternak atau hewan yang disembelih
pun harus dibatasi. Budaya pesta pora dan pemborosan perlu dikurangi bahkan
dihentikan.
Andai saja, budaya dan
tradisi yang sudah diwariskan oleh para leluhur orang Sumba Timur sedikit
dialihkan ke arisan pendidikan maka akan lebih bermanfaat. Setiap keluarga
wajib membiayai pendidikan anak-anak mereka sesuai standar pendidikan nasional
yakni wajib belajar sembilan tahun. Investasi jangka panjang yakni meningkatan
sumber daya manusia (SDM) generasi muda.
Arisan pendidikan tersebut
disebut dengan acara "terima tangan". Setiap anak yang akan
melanjutkan studi ke bangku kuliah akan membawa serta tanggung jawab yang
dititipkan warga desanya. Semua kepala keluarga menyumbang uang untuk biaya di
pendidikan tinggi.
Jadi melalui arisan
pendidikan ini juga secara tidak langsung ada ikatan moril. Setiap anak yang
pergi kuliah akan belajar sungguh-sungguh untuk bisa meraih gelar sarjana,
karena saat dia berangkat ada tanggung jawab yang dititipkan seluruh warga
melalui arisan pendidikan.
Berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini, banyak orang tua yang memikul hutang seumur hidup hanya untuk pesta pora. Karena pada hajatan baik itu acara adat kematian atau perkawinan, lebih cenderung orang berupaya untuk meningkatkan gengsinya. Dengan beban hutang seperti itu, pendidikan anak-anak tidak akan memperoleh alokasi biaya yang jelas. Kesehatan anak-anak tidak terurus dengan baik.
Kesadaran akan kemajuan
harus dimulai dari meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dan kesadaran itu
perlu dimulai dari dalam keluarga, lingkungan sekitar kita, desa hingga tingkat
kabupaten. Dari keluarga pelosok Sumba Timur, mungkin akan memberi teladan
bagaimana menghembuskan angin perubahan itu dari desa, bukan dari kota. Arisan
pendidikan tentunya bisa menjadi momentum awal. Sanggupkah kita melakukan
reformasi budaya konsumtif ke arah produktif? (*)
*) John Taena, Pemerhati Budaya Sumba
No comments:
Post a Comment