Monday 29 December 2014

Revolusi Menulis II



Jadi Blogger itu Bagian Dari Publikasi Diri  

ilustrasi
Bila dibanding dengan bangsa lain, budaya menulis di negeri tercinta ini boleh dikata masih amat sangat rendah. Hal ini bisa terlihat dari judul buku yang diterbitkan setiap tahun. Tuan dan puan, baru saja Beta mengunjungi http://news.kompas.com/) dan menemukan sebuah lapaoran yang cukup mengagetkan tentang jumlah terbitan buku di Indonesia yang tergolong rendah setiap tahun.


Menurut laporan tersebut, jumlah terbitan buku di Indonesia tidak sampai 18.000 judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang. yang mencapai 40.000 judul buku per tahun, India 60.000, dan China sekitar 140.000 judul buku per tahun. Tentunya tuan dan puan sudah bisa membayangkan seperti apa budaya menulis kita?


Ini memang hanya sebuah mimpi. Hanya mimpi untuk menulis. Beta yakin suatu hari kelak, kehebatan orang Indonesia untuk menerbitkan banyak judul buku tidak dengan Amerika. Impian itu tampaknya tidak jauh dan bukan sesuatu yang mustahil. Potensi itu bisa terlihat dari rajinnya orang anak – anak muda dan para orang tua. Paling tidak banyak orang yang rajin mengirim dan membalas SMS setiap hari.

Seorang sahabat karib yang berprofesi sebagai petani adalah salah satu orang Indonesia yang memiliki kemauan untuk menulis. Sebuah langkah kecil yang telah ditempub adalah membuat akun blogspot gratis.  Semula akun blog miliknya hanya diisi dengan berbagai gambar yang diabadikan sewaktu mengolah lahan. Dari gambar, sang petani blogger itupun kini sudah mulai dan berani untuk menulis tentang dunia pertanian.  berbagai langkah telah dilakukan untuk mulai menulis.

Ada pengalaman unik lainnya tentang semangat menulis ini. Kobaran semangat mereka untuk menulis pun lambat laun akan memudar dan kembali menyala bak disambar bensin tatkala akan bertemu di waktu lain. Jangankan untuk menulis dan menerbitkan sebuah buku, sebuah artikel untuk diposting ke blog pribadi saja susahnya minta ampun. Mereka, dari dahulu sampai sekarang semangatnya selalu berkobar – kobar menulis dan bisa menerbitkan buku. Namun itu hanya sebatas semangat saja.  

Beta pun kemudian bertanya pada suatu ketika, “Kenapa demikan?” Dan sebagai seorang sahabat yang baik, tentunya ingin membantu mereka walau hanya sebatas support.  Pertanyaan dan jawaban yang setiap kali akan menghiasi diskusi kami tentang menulis. Rasanya membuat bulu kuduk merinding dan senyum simpul akan mengembang setiap saat mendengar jawaban mereka. Tak jarang pula Beta akan berkata sendiri dalam hati, “ Ah…alasan klasik. Sudah basi!”


Kenapa Beta bilang alasan klasik dan sudah basi? Karena memang alasan merupakan penghambat yang dapat menggagalkan niat seseorang untuk menulis. Semantara kalau mau dilihat lebih jauh, mereka telah menghabiskan paling tidak 12 jam untuk berbicara. Tapi hanya meluangkan 30 menit dalam sehari untuk menulis tidak bisa.

Maka alasan – alasan hanya karena hal sepela untuk tidak menulis adalah sesuatu yang tidak bisa diterima dengan akal sehat. Paling itu itu menurut Beta, entah seperti apa menurut tuan dan puan? Tapi mungkin alasan – alasan sepele itu sangat besar dampaknya sehingga menghambat niat mereka untuk menulis.

Ada sejumlah alasan klasik yang sering kita temui sebelum kita memulai menulis. Alasan – alasan yang menghambat kita untuk menulis itu antara lain, masalah waktu. Tidak memiliki ide untuk ditulis dan sulit memulai untuk menulis. Selain itu takut dihujat karena tulisan yang buruk dan terakhir tidak berani menulis karena tidak memiliki kemampuan tata bahasa yang bagus.

Tuan dan puan, menulis bukanlah sesuatu yang harus diprioritaskan sehingga kemudian waktu dijadikan sebagai alasan utama. Padahal kalau mau jujur, banyak sekali orang – orang yang kondisinya sangat parah. Banyak diantara mereka nyaris tidak ada waktu untuk mengurus diri sendiri karena tuntutan pekerjaan dan alasan lain tapi masih mau menulis sesuatu. Bahkan diantara mereka yang supre sibuk itu masih bisa menjadi seorang penulis hebat, paling tidak menjadi bloger.

Alasan sahabat – sahabatku yang katanya tidak punya waktu untuk menulis boleh dibilang wajar. Mereka adalah karyawan perusahaan. Ada juga yang berwira usaha sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk menulis. Sebagai karyawan kebanyakan mereka akan berangkat pagi hari dan pulang sore bahkan sudah larut malam. Rutinitas yang selalu dan senantiasa dijalani setiap hari memang membuat mereka tidak ada waktu untuk menulis.

Tentunya tuan dan puan pernah mengalami bukan? Ketika berada di kantor kita akan disibukan dengan banyak pekerjaan, meskipun kadang juga terlibat sebuah gossip di sela – sela kesibukan. Saat pulang sampai ke rumah, sudah lelah tapi masih harus meluangkan waktu untuk keluarga.

Waktu memang musuh utama dalam hidup. Tak jarang untuk melakukan sesuatu, manusia akan merasa tidak cukup waktu. Namun menulis bukanlah prioritas, sehingga waktu menjadi alasan paling utama untuk menghambat niat menulis. Lantas kapankah kita akan memiliki waktu untuk menulis?


Lain lagi tuan dan puan yang memiliki cukup waktu untuk menulis, tapi bingung harus menulis apa dan mulai dari mana? Beta dapat memastikan, ketika sahabat – sahabatku mengatakan tidak ada ide untuk menulis adalah alasan klasik juga.

Benarkah dalam hidup ini tidak ide untuk menulis? Lalu kemana rutinitas setiap hari dari pagi sampai larut malam, hingga membuat sahabat – sahabatku itu seakan bosan sendiri dengan hidup mereka? Bukankah itu contoh konkrit ide menarik untuk ditulis? Paling tidak pengalaman sehari - hari yang membosankan itu yang ditulis. Menuliskan saja apa yang ada dalam isi kepala dan selanjutnya diposting ke blog. Hanya sebatas dan sesederhana itu saja.

Tuan dan puan, kedengaran memang gampang tapi sulit memulai. Begitu kata sahabatku yang lain. Sungguh sebuah alasan klasik yang tiada habis – habisnya bagi mereka. Tapi memang benar, persoalan ini sering kali akan dihadapi oleh seorang pemula walau tak jarang pula ada penulis senior sekalipun akan mengalaminya. 

Kalau mau ditelusuri lebih jauh penyebabnya itu sepela sebenarnya, karena kita belum menguasai materi. Kekurangan atau minim literature. Maka kita memerlukan strategi khusus untuk terus menuliskan apa saja yang terlintas dalam pikiran tanpa harus berpikir mau dikemankan. Paling tidak kita tidak menjadi seorang penulis dan editor dalam waktu yang bersamaan. Apabila sudah berhasil menuliskan ide dalam satu atau dua halaman sudah selesai baru kita edit lagi.

Ini Beta punya pengalaman tuan dan puan. Ketika memotivasi sahabatku yang adalah seorang petani untuk menjadi seorang bloger ia mengatakan, “Takut dihujat aah…petani tidak pinter bermnain kata – kata seperti wartawan.” Bener sekali tuan dan puan, kebanyakan kita sebenarnya mau menulis tapi takut dihujat.

Seorang pembaca yang kebetulan mampir ke blog kita akan berkomnetar, “Tulisan apaan sih? Ah kalau sekedar bikin tulisan kayak gini aku juga biki oooih…” ada yang lain lagi dan lebih sakit kalau dilihat komentarnya, “Tidak berbobot sama sekali. Heran sama si pemilik blog ini. Tulisan kayak gini kok diposting? Emank tidak tau malu apa?”

Tidak perlu dipikirkan. Bukankah komentar seperti itu juga sudah pernah didengar atau bahkan kita sendiri pernah melontarkannya saat membaca sebuah postingan buku? Bisa jadi juga kita pernah melakukannya saat mengunjungi sebuah toko buku dan kemudian kita mengontari seorang penulis yang sudah berhasil menerbitkan sebuah buku kan?

Menulis artikel di blog saja belum bisa tapi beraninya mengomentari sebuah buku yang sudah melalui berbagai tahapan dan lulus sensor sampai bisa diterbitkan. Jadi kalau dulu hanya bisa komentar maka sekarang sudah saatnya untuk memulai dan menerima hujatan demi hujatan agar lebih baik.  Heheheh tenang coy…

Ketika belum bisa menulis sebuah artikel paling tidak di blog pribadi, tentunya  kita akan menjadi seorang kritikus hebat yang melontarkan hujatan demikian. Namun seiring perjalanan sang waktu yang kita selalu keluhkan karena kekurangan itu kita akan sadar. Kesadaran kita akan lahir bahwa tulisan apapun, tema apapun atau artikel dan cara penulisannya seperti apapun kalau sudah berhasil diterbitkan oleh seorang bloger itu adalah sebuah karya. Karya yang harus dihargai paling tidak kita sendiri karena kita tahu sudah melalui berbagai proses hingga tuntas.

Tuan dan puan mungkin bisa membayangkan, seorang petani yang setiap hari berusan dengan cangkul. Lumpur dan hama tanaman, belum tentu memiliki tata bahasa yang bagus untuk menuliskan ilmu pertaniannya. Tidak perlu membayangkan yang muluk – muluk agar artikel yang kita tulis itu sebagus penulis kelas atas.

Tidak perlu juga menggunakan bahasa yang keren kalau kita sendiri tidak tau maknanya. Kita adalah orang Indonesia, gunakan saja bahasa yang sederha dan mudah dipahami. Layaknya bahasa sehari – hari seorang petani di kebun. Kalau seorang petani bisa menulis di artikel tentang ilmu pertanian, kemudian menjadi bloger sekaligus mempublikasikan diri sendiri, kenapa kita yang lain tidak bisa?


Saat menulis sebuah artikel, dan mempostingkan ke blog otomatis sudah menjalan tugas jurnalistik. Maka disaat menjadi bloger, dengan sendirinya seseorang sudah menjadi wartwan. Sekali lagi bloger adalah wartawan yang telah melakukan sebuah revolusi menulis di Indonesia. (*)

No comments: