Jadi Blogger itu Bagian Dari Publikasi Diri
ilustrasi |
Bila
dibanding dengan bangsa lain, budaya menulis di negeri tercinta ini boleh
dikata masih amat sangat rendah. Hal ini bisa terlihat dari judul buku yang
diterbitkan setiap tahun. Tuan dan puan, baru saja Beta mengunjungi http://news.kompas.com/) dan menemukan
sebuah lapaoran yang cukup mengagetkan tentang jumlah terbitan buku di Indonesia
yang tergolong rendah setiap tahun.
Menurut laporan
tersebut, jumlah terbitan buku di Indonesia tidak sampai 18.000 judul buku per tahun.
Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang. yang mencapai 40.000 judul buku
per tahun, India 60.000,
dan China sekitar
140.000 judul buku per tahun. Tentunya tuan dan puan sudah bisa membayangkan
seperti apa budaya menulis kita?
Ini memang hanya sebuah
mimpi. Hanya mimpi untuk menulis. Beta yakin suatu hari kelak, kehebatan orang
Indonesia untuk menerbitkan banyak judul buku tidak dengan Amerika. Impian itu
tampaknya tidak jauh dan bukan sesuatu yang mustahil. Potensi itu bisa terlihat
dari rajinnya orang anak – anak muda dan para orang tua. Paling tidak banyak
orang yang rajin mengirim dan membalas SMS setiap hari.
Seorang sahabat karib
yang berprofesi sebagai petani adalah salah satu orang Indonesia yang memiliki
kemauan untuk menulis. Sebuah langkah kecil yang telah ditempub adalah membuat
akun blogspot gratis. Semula akun blog
miliknya hanya diisi dengan berbagai gambar yang diabadikan sewaktu mengolah
lahan. Dari gambar, sang petani blogger itupun kini sudah mulai dan berani untuk
menulis tentang dunia pertanian.
berbagai langkah telah dilakukan untuk mulai menulis.
Ada pengalaman unik
lainnya tentang semangat menulis ini. Kobaran semangat mereka untuk menulis pun lambat laun akan memudar dan kembali menyala bak disambar bensin tatkala akan bertemu di waktu lain. Jangankan untuk menulis dan menerbitkan sebuah buku, sebuah artikel untuk diposting ke blog pribadi saja susahnya minta ampun. Mereka, dari dahulu sampai
sekarang semangatnya selalu berkobar – kobar menulis dan bisa menerbitkan buku. Namun itu hanya sebatas semangat saja.
Beta pun kemudian
bertanya pada suatu ketika, “Kenapa demikan?” Dan sebagai seorang sahabat yang
baik, tentunya ingin membantu mereka walau hanya sebatas support. Pertanyaan dan jawaban yang setiap kali akan
menghiasi diskusi kami tentang menulis. Rasanya membuat bulu kuduk merinding
dan senyum simpul akan mengembang setiap saat mendengar jawaban mereka. Tak jarang
pula Beta akan berkata sendiri dalam hati, “ Ah…alasan klasik. Sudah basi!”
Kenapa Beta bilang alasan klasik dan sudah basi? Karena memang alasan merupakan penghambat yang dapat menggagalkan niat seseorang untuk menulis. Semantara kalau mau dilihat lebih jauh, mereka telah menghabiskan paling tidak 12 jam untuk berbicara. Tapi hanya meluangkan 30 menit dalam sehari untuk menulis tidak bisa.
Maka alasan – alasan
hanya karena hal sepela untuk tidak menulis adalah sesuatu yang tidak bisa
diterima dengan akal sehat. Paling itu itu menurut Beta, entah seperti apa
menurut tuan dan puan? Tapi mungkin alasan – alasan sepele itu sangat besar
dampaknya sehingga menghambat niat mereka untuk menulis.
Ada sejumlah alasan
klasik yang sering kita temui sebelum kita memulai menulis. Alasan – alasan
yang menghambat kita untuk menulis itu antara lain, masalah waktu. Tidak
memiliki ide untuk ditulis dan sulit memulai untuk menulis. Selain itu takut
dihujat karena tulisan yang buruk dan terakhir tidak berani menulis karena
tidak memiliki kemampuan tata bahasa yang bagus.
Tuan dan puan, menulis
bukanlah sesuatu yang harus diprioritaskan sehingga kemudian waktu dijadikan
sebagai alasan utama. Padahal kalau mau jujur, banyak sekali orang – orang yang
kondisinya sangat parah. Banyak diantara mereka nyaris tidak ada waktu untuk
mengurus diri sendiri karena tuntutan pekerjaan dan alasan lain tapi masih mau
menulis sesuatu. Bahkan diantara mereka yang supre sibuk itu masih bisa menjadi
seorang penulis hebat, paling tidak menjadi bloger.
Alasan sahabat –
sahabatku yang katanya tidak punya waktu untuk menulis boleh dibilang wajar.
Mereka adalah karyawan perusahaan. Ada juga yang berwira usaha sehingga tidak
memiliki cukup waktu untuk menulis. Sebagai karyawan kebanyakan mereka akan
berangkat pagi hari dan pulang sore bahkan sudah larut malam. Rutinitas yang
selalu dan senantiasa dijalani setiap hari memang membuat mereka tidak ada
waktu untuk menulis.
Tentunya tuan dan puan
pernah mengalami bukan? Ketika berada di kantor kita akan disibukan dengan
banyak pekerjaan, meskipun kadang juga terlibat sebuah gossip di sela – sela
kesibukan. Saat pulang sampai ke rumah, sudah lelah tapi masih harus meluangkan
waktu untuk keluarga.
Waktu memang musuh
utama dalam hidup. Tak jarang untuk melakukan sesuatu, manusia akan merasa
tidak cukup waktu. Namun menulis bukanlah prioritas, sehingga waktu menjadi
alasan paling utama untuk menghambat niat menulis. Lantas kapankah kita akan
memiliki waktu untuk menulis?
Lain lagi tuan dan puan
yang memiliki cukup waktu untuk menulis, tapi bingung harus menulis apa dan
mulai dari mana? Beta dapat memastikan, ketika sahabat – sahabatku mengatakan
tidak ada ide untuk menulis adalah alasan klasik juga.
Benarkah dalam hidup
ini tidak ide untuk menulis? Lalu kemana rutinitas setiap hari dari pagi sampai
larut malam, hingga membuat sahabat – sahabatku itu seakan bosan sendiri dengan
hidup mereka? Bukankah itu contoh konkrit ide menarik untuk ditulis? Paling
tidak pengalaman sehari - hari yang membosankan itu yang ditulis. Menuliskan
saja apa yang ada dalam isi kepala dan selanjutnya diposting ke blog. Hanya
sebatas dan sesederhana itu saja.
Tuan dan puan,
kedengaran memang gampang tapi sulit memulai. Begitu kata sahabatku yang lain. Sungguh
sebuah alasan klasik yang tiada habis – habisnya bagi mereka. Tapi memang
benar, persoalan ini sering kali akan dihadapi oleh seorang pemula walau tak
jarang pula ada penulis senior sekalipun akan mengalaminya.
Kalau mau ditelusuri
lebih jauh penyebabnya itu sepela sebenarnya, karena kita belum menguasai
materi. Kekurangan atau minim literature. Maka kita memerlukan strategi khusus
untuk terus menuliskan apa saja yang terlintas dalam pikiran tanpa harus
berpikir mau dikemankan. Paling tidak kita tidak menjadi seorang penulis dan
editor dalam waktu yang bersamaan. Apabila sudah berhasil menuliskan ide dalam
satu atau dua halaman sudah selesai baru kita edit lagi.
Ini Beta punya
pengalaman tuan dan puan. Ketika memotivasi sahabatku yang adalah seorang
petani untuk menjadi seorang bloger ia mengatakan, “Takut dihujat aah…petani
tidak pinter bermnain kata – kata seperti wartawan.” Bener sekali tuan dan
puan, kebanyakan kita sebenarnya mau menulis tapi takut dihujat.
Seorang pembaca yang
kebetulan mampir ke blog kita akan berkomnetar, “Tulisan apaan sih? Ah kalau sekedar bikin tulisan kayak gini aku juga
biki oooih…” ada yang lain lagi dan lebih sakit kalau dilihat komentarnya,
“Tidak berbobot sama sekali. Heran sama
si pemilik blog ini. Tulisan kayak gini kok diposting? Emank tidak tau malu
apa?”
Tidak perlu dipikirkan.
Bukankah komentar seperti itu juga sudah pernah didengar atau bahkan kita
sendiri pernah melontarkannya saat membaca sebuah postingan buku? Bisa jadi
juga kita pernah melakukannya saat mengunjungi sebuah toko buku dan kemudian
kita mengontari seorang penulis yang sudah berhasil menerbitkan sebuah buku
kan?
Menulis artikel di blog
saja belum bisa tapi beraninya mengomentari sebuah buku yang sudah melalui
berbagai tahapan dan lulus sensor sampai bisa diterbitkan. Jadi kalau dulu
hanya bisa komentar maka sekarang sudah saatnya untuk memulai dan menerima
hujatan demi hujatan agar lebih baik.
Heheheh tenang coy…
Ketika belum bisa menulis
sebuah artikel paling tidak di blog pribadi, tentunya kita akan menjadi seorang kritikus hebat yang
melontarkan hujatan demikian. Namun seiring perjalanan sang waktu yang kita
selalu keluhkan karena kekurangan itu kita akan sadar. Kesadaran kita akan
lahir bahwa tulisan apapun, tema apapun atau artikel dan cara penulisannya
seperti apapun kalau sudah berhasil diterbitkan oleh seorang bloger itu adalah
sebuah karya. Karya yang harus dihargai paling tidak kita sendiri karena kita
tahu sudah melalui berbagai proses hingga tuntas.
Tuan dan puan mungkin
bisa membayangkan, seorang petani yang setiap hari berusan dengan cangkul.
Lumpur dan hama tanaman, belum tentu memiliki tata bahasa yang bagus untuk
menuliskan ilmu pertaniannya. Tidak perlu membayangkan yang muluk – muluk agar artikel
yang kita tulis itu sebagus penulis kelas atas.
Tidak perlu juga
menggunakan bahasa yang keren kalau kita sendiri tidak tau maknanya. Kita
adalah orang Indonesia, gunakan saja bahasa yang sederha dan mudah dipahami. Layaknya
bahasa sehari – hari seorang petani di kebun. Kalau seorang petani bisa menulis
di artikel tentang ilmu pertanian, kemudian menjadi bloger sekaligus mempublikasikan
diri sendiri, kenapa kita yang lain tidak bisa?
Saat menulis sebuah
artikel, dan mempostingkan ke blog otomatis sudah menjalan tugas jurnalistik. Maka
disaat menjadi bloger, dengan sendirinya seseorang sudah menjadi wartwan. Sekali
lagi bloger adalah wartawan yang telah melakukan sebuah revolusi menulis di
Indonesia. (*)
No comments:
Post a Comment