Selamat menempuh hidup baru sobat
|
“Apakah kamu bersedia menerima dia sebagai suami
atau istri?” Sebuah pertanyaan sederhana yang selalu dan senantiasa diajukan
oleh imam, kepada setiap insan manusia yang hendak menerima sakramen
pernikahan.
Mengapa dalam setiap Misa Pernikahan, seorang imam tidak pernah
bertanya, apakah kalian saling mencintai? Bukan cinta, melainkan kehendak
bebas, tekad dan keputusan atau komitmen yang seharusnya menjadi fondasi sebuah
hubungan. Mungkin itu alasannya mengapa harus ada pertanyaan demikian?
Dalam hidup manusia, tidak ada yang namanya cinta sejati yang siap
pakai. Belahan jiwa yang sempurna dan tanpa cacat atau cela itu sama sekali
tidak ada. Selama manusia masih hidup di muka bumi ini, maka selama itu pula
akan selalu ada orang yang lebih baik daripada pasangan kita. Oleh sebab itu
itu yang dibutuhkan hanyalah sebuah ketegasan. Yakni, “Ya, saya mau
mengasihinya dalam kerapuhannya. Mau menjadi sempurna bersamanya dalam
untung dan malang. Dalam suka maupun duka, di waktu sehat dan sakit, sampai
maut memisahkan memisahkan.”
Tatkala seseorang telah memutuskan untuk menikahi orang lain, di
saat itu pula sebagai manusia kita tidak akan pernah bisa tahu secara mutlak,
apakah ia sungguh “jodoh saya?” Seseorang baru akan akan mengetahuinya, ketika
telah memasuki masa tua dan melihat ke ke belakang. Memandang setiap
momen yang telah dijalani bersama pasangannya dalam suka maupun dukanya. Di
saat itu ia akan berkata dengan tulus, “Setelah semua yang terjadi, saya
bersyukur telah memilih kamu sebagai istri atau suami saya.”
Manusia menikahi manusia lain yang berbeda jenis kelamin, bukan
karena ia adalah jodohnya, melainkan mereka bertekad untuk saling menjadikan
pendamping hidup. Sahabat sejati hingga maut datang untuk memisahkan.
Kedengarannya sederhana dan mudah dilakukan, namuan tidak semua orang akan
mampu melakukan sebuah taruhan seumur hidupnnya.
Sebagai umat kristiani, kita akan senantiasa dihadapkan pada
proses pencarian seorang pribadi yang hendak menjadi pasangan hidup. Pasangan
yang mau menerima kita apa adanya dan mau menghabiskan sisa – sisa nafas
bersama dalam suka maupu duka hingga maut memisahkan. Namun konsep akan belahan
jiwa yang demikian tentu akan menimbulkan efek negative, dan di sinilah
tantangan bagi setiap umat kristiani menyikapinya.
“Pater, bagaimana saya dapat mengetahui pacara saya yang sekarang
ini adalah pasangan hidup yang Tuhan siapkan bagi saya?” Masih segar dalam
ingatan, pada suatu senja ketika usai melakukan pengakuan bersama seorang bapak
rohani di kapela kala itu.
“Kalau relasi kita sungguh intim dengan Allah, kita mungkin bisa
tahu dengan pasti (maksudnya ialah kita dapat langsung bertanya dan
mendengarkan jawaban Allah secara langsung). Namun bila tidak, kita hanya bisa
membaca tanda-tanda. Apakah ia setia, apakah ia orang yang baik secara moral,
rajin ke Gereja, tekun bekerja? Dan untuk mengetahui segala sesuatu, kita harus
selalu mendengarkan suara hati.”
Sebagai manusia, kita tidak bisa berharap Allah akan membisikan di
telinga kita, “Ya, dia adalah jodohmu!” Kita tidak pernah bisa
merasa yakin secara absolut bahwa seseorang yang kita cintai memang sungguh
dikehendaki Tuhan bagi kita.
Kita hanya berusaha untuk lebih mengenal kepribadianya sebagai
manusia biasa. Satu hal yang perlu diutamakan adalah mengetahui apakah
seseorang yang hendak kita jadikan sahbat dan pendamping itu mengutamakan Tuhan
dalam hidupnya atau tidak? Sungguhka ia berusaha menjalani hidup yang
kudus dan murni?
Sebagai manusai, apakah ia memiliki karakter yang diperlukan untuk
dapat menjalani hidup bersama? Apakah ia berusaha mengembangkan keutamaan,
tekun berdoa dan bekerja? Setia dan rela berkorban dengan semua kelebihan dan
kekurangan yang dimiliki? Bila tlah usai menimbang semuanya, dan dengan
kejernihan hati serta budi, di saat itulah baru kita dapat mengambil sebuah
keputusan, “Ya, saya ingin membangun keluarga dan menghabiskan seluruh hidup
saya bersamanya.”
Manusia menikahi pasangannya bukan karena ia adalah jodoh kita,
melainkan karena kita bertekad untuk menjadikannya pendamping hidup kita,
sampai maut yang memisahkan. Dan ini merupakan sebuah taruhan seumur hidup.
****
Di luar
sana, ada jodohku yang harus dicari dan ditemukan. Tak jarang banyak orang
berpikir demikian. Akibatnya, pemikiran mereka terpusat untuk mendapat dan
menemukan belahan jiwanya di luar sana. Mengharapkan cinta sejati kita, dengan
kepercayaaan dan tanpa disadari telah melahirkan anggapan jika sang belahan
jiwa akan memberikan kebahagiaan yang meniadakan kesusahan hidup.
Dalam hidup manusia, jikalau kita mengharapkan pasangan hidup yang sempuran akan melahirkan rasa tidak aman (insecure). Hal ini cenderung terjadi bila kita melihat kelemahan pasangan kita, akibatnya mungkin akan melahirkan. Pasalnya manusia dari sononya memang tidak tahan dengan godaan. Sering terganggu dengan pertanyaan, “Apakah benar dia sunggun jodoh saya? Bagaimana bila dia bukan jodoh saya? Biar tidak salah memilih jodoh, maka saya harus lebih berhati – hati karena saya tidak mau hidup dengan orang yang salah.
Dalam hidup manusia, jikalau kita mengharapkan pasangan hidup yang sempuran akan melahirkan rasa tidak aman (insecure). Hal ini cenderung terjadi bila kita melihat kelemahan pasangan kita, akibatnya mungkin akan melahirkan. Pasalnya manusia dari sononya memang tidak tahan dengan godaan. Sering terganggu dengan pertanyaan, “Apakah benar dia sunggun jodoh saya? Bagaimana bila dia bukan jodoh saya? Biar tidak salah memilih jodoh, maka saya harus lebih berhati – hati karena saya tidak mau hidup dengan orang yang salah.
Selain itu rasa cemburu juga sering tampil ke permukaan. Ini
disebabkan bisa saja karena kita lebih cenderung berpikir bahwa di luar sana,
akan ada pria atau wanita yang lebih baik. Ada orang lain yang lebih sempurna.
Lebih cantik dan ganteng dan lebih pengertian daripada pasangan kita.
Dampaknya, muncullah rasa cemburu terhadap invisible man or woman,sebuah sosok
tanpa wajah yang tidak kita kenal, yang ada di luar sana, yang dapat
membahayakan relasi yang sedang dibangun.
Rasa tidak aman dan cemburu seperti ini dapat berdampak negative
dan pada akhirnya melemahnya rasa saling percaya di antara pasangan. Kita
terlalu takut kehilangan orang yang kita cintai. Kita resah memikirkan
kemungkinan bahwa bisa saja pria atau wanita yang sedang berinteraksi dengan pasangan
kita, dianggap sebagai belahan jiwa yang lebih sempurna. Akibatnya, timbullah
rasa curiga yang berlebihan.
Keyakinan tentang adanya soulmate malah menempatkan beban yang
begitu besar ke pundak pasangan kita, karena kita memiliki keyakinan bahwa jodohku
harus sempurna, ia bisa membahagiakan saya, memenuhi kebutuhan saya, tidak
membuat saya menderita, dsb. Akibatnya, bisa saja pernikahan yang baru berjalan
sebentar menjadi rapuh dan pecah. Seseorang merasa salah dalam memilih, dan
tidak tahan menanggung kesulitan. Akibatnya, perceraian pun terlihat sebagai
sebuah godaan yang menggiurkan, sebuah pintu yang akan menyelesaikan segala
persoalan.
Bila kita beranggapan bahwa soulmate kita harus memenuhi semua
kebutuhan kita dan membahagiakan kita, ada kemungkinan bahwa kebahagiaan kita
bergantung pada orang lain. Sebagai orang Katolik, satu-satunya sumber
kebahagiaan kita ialah Allah. Dan kita disebut berbahagia bila kita menjalani
delapan Sabda Bahagia dengan sungguh-sungguh. Bukan berarti kita ataupun pasangan
kita boleh berhenti untuk mengasihi, melainkan bahwa tidak selayaknya kita
mengharuskan atau menuntut kesempurnaan yang sangat tinggi terhadap mereka.
Pemahaman soulmate yang serba sempurna akan membuat kita mudah
kecewa kita menghadapi konflik dan bertemu dengan kelemahan ia yang menjadi
pasangan kita. Kekecewaan ini dapat berujung pada sebuah perpisahan,
dikarenakan kita merasa yakin ia bukan orang yang tepat bagi kita, bukan cinta
sejati kita. Bila kita tidak berhati-hati, kita akan menjadi takut untuk
membuat komitmen seumur hidup, atau kita akan terus melakukan pencarian cinta
sejati tanpa henti, karena di luar sana akan tetap selalu ada orang yang lebih
baik dari pasangan kita.
Gambaran soulmate yang terlalu idealis dapat membuat kita sulit
untuk berpuas diri terhadap kelemahan seseorang. Padahal, sikap kita seharusnya
ialah mensyukuri apa yang sudah dipercayakan pada kita, termasuk pasangan kita.
Ketidaksempurnaan pasangan kita, itulah yang dapat menguduskan kita, asal kita
dapat mengolahnya dengan baik. (*)
(Refleksi Natal 2014 di Negeri 1001 Padang Savanna. Dari tempat
kita bertugas, Beta titipkan salam bagimu Nonato Sarmento yang akan
segera mengakhiri masa lajangnya di penghujung tahun ini. Selamat menempuh
hidup baru sobat, semoga bahagia dan langgeng dalam membangun keluarga
kecilnya.)
No comments:
Post a Comment