Monday 29 December 2014

Revolusi Menulis II



Jadi Blogger itu Bagian Dari Publikasi Diri  

ilustrasi
Bila dibanding dengan bangsa lain, budaya menulis di negeri tercinta ini boleh dikata masih amat sangat rendah. Hal ini bisa terlihat dari judul buku yang diterbitkan setiap tahun. Tuan dan puan, baru saja Beta mengunjungi http://news.kompas.com/) dan menemukan sebuah lapaoran yang cukup mengagetkan tentang jumlah terbitan buku di Indonesia yang tergolong rendah setiap tahun.


Menurut laporan tersebut, jumlah terbitan buku di Indonesia tidak sampai 18.000 judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang. yang mencapai 40.000 judul buku per tahun, India 60.000, dan China sekitar 140.000 judul buku per tahun. Tentunya tuan dan puan sudah bisa membayangkan seperti apa budaya menulis kita?


Ini memang hanya sebuah mimpi. Hanya mimpi untuk menulis. Beta yakin suatu hari kelak, kehebatan orang Indonesia untuk menerbitkan banyak judul buku tidak dengan Amerika. Impian itu tampaknya tidak jauh dan bukan sesuatu yang mustahil. Potensi itu bisa terlihat dari rajinnya orang anak – anak muda dan para orang tua. Paling tidak banyak orang yang rajin mengirim dan membalas SMS setiap hari.

Seorang sahabat karib yang berprofesi sebagai petani adalah salah satu orang Indonesia yang memiliki kemauan untuk menulis. Sebuah langkah kecil yang telah ditempub adalah membuat akun blogspot gratis.  Semula akun blog miliknya hanya diisi dengan berbagai gambar yang diabadikan sewaktu mengolah lahan. Dari gambar, sang petani blogger itupun kini sudah mulai dan berani untuk menulis tentang dunia pertanian.  berbagai langkah telah dilakukan untuk mulai menulis.

Ada pengalaman unik lainnya tentang semangat menulis ini. Kobaran semangat mereka untuk menulis pun lambat laun akan memudar dan kembali menyala bak disambar bensin tatkala akan bertemu di waktu lain. Jangankan untuk menulis dan menerbitkan sebuah buku, sebuah artikel untuk diposting ke blog pribadi saja susahnya minta ampun. Mereka, dari dahulu sampai sekarang semangatnya selalu berkobar – kobar menulis dan bisa menerbitkan buku. Namun itu hanya sebatas semangat saja.  

Beta pun kemudian bertanya pada suatu ketika, “Kenapa demikan?” Dan sebagai seorang sahabat yang baik, tentunya ingin membantu mereka walau hanya sebatas support.  Pertanyaan dan jawaban yang setiap kali akan menghiasi diskusi kami tentang menulis. Rasanya membuat bulu kuduk merinding dan senyum simpul akan mengembang setiap saat mendengar jawaban mereka. Tak jarang pula Beta akan berkata sendiri dalam hati, “ Ah…alasan klasik. Sudah basi!”


Kenapa Beta bilang alasan klasik dan sudah basi? Karena memang alasan merupakan penghambat yang dapat menggagalkan niat seseorang untuk menulis. Semantara kalau mau dilihat lebih jauh, mereka telah menghabiskan paling tidak 12 jam untuk berbicara. Tapi hanya meluangkan 30 menit dalam sehari untuk menulis tidak bisa.

Maka alasan – alasan hanya karena hal sepela untuk tidak menulis adalah sesuatu yang tidak bisa diterima dengan akal sehat. Paling itu itu menurut Beta, entah seperti apa menurut tuan dan puan? Tapi mungkin alasan – alasan sepele itu sangat besar dampaknya sehingga menghambat niat mereka untuk menulis.

Ada sejumlah alasan klasik yang sering kita temui sebelum kita memulai menulis. Alasan – alasan yang menghambat kita untuk menulis itu antara lain, masalah waktu. Tidak memiliki ide untuk ditulis dan sulit memulai untuk menulis. Selain itu takut dihujat karena tulisan yang buruk dan terakhir tidak berani menulis karena tidak memiliki kemampuan tata bahasa yang bagus.

Tuan dan puan, menulis bukanlah sesuatu yang harus diprioritaskan sehingga kemudian waktu dijadikan sebagai alasan utama. Padahal kalau mau jujur, banyak sekali orang – orang yang kondisinya sangat parah. Banyak diantara mereka nyaris tidak ada waktu untuk mengurus diri sendiri karena tuntutan pekerjaan dan alasan lain tapi masih mau menulis sesuatu. Bahkan diantara mereka yang supre sibuk itu masih bisa menjadi seorang penulis hebat, paling tidak menjadi bloger.

Alasan sahabat – sahabatku yang katanya tidak punya waktu untuk menulis boleh dibilang wajar. Mereka adalah karyawan perusahaan. Ada juga yang berwira usaha sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk menulis. Sebagai karyawan kebanyakan mereka akan berangkat pagi hari dan pulang sore bahkan sudah larut malam. Rutinitas yang selalu dan senantiasa dijalani setiap hari memang membuat mereka tidak ada waktu untuk menulis.

Tentunya tuan dan puan pernah mengalami bukan? Ketika berada di kantor kita akan disibukan dengan banyak pekerjaan, meskipun kadang juga terlibat sebuah gossip di sela – sela kesibukan. Saat pulang sampai ke rumah, sudah lelah tapi masih harus meluangkan waktu untuk keluarga.

Waktu memang musuh utama dalam hidup. Tak jarang untuk melakukan sesuatu, manusia akan merasa tidak cukup waktu. Namun menulis bukanlah prioritas, sehingga waktu menjadi alasan paling utama untuk menghambat niat menulis. Lantas kapankah kita akan memiliki waktu untuk menulis?


Lain lagi tuan dan puan yang memiliki cukup waktu untuk menulis, tapi bingung harus menulis apa dan mulai dari mana? Beta dapat memastikan, ketika sahabat – sahabatku mengatakan tidak ada ide untuk menulis adalah alasan klasik juga.

Benarkah dalam hidup ini tidak ide untuk menulis? Lalu kemana rutinitas setiap hari dari pagi sampai larut malam, hingga membuat sahabat – sahabatku itu seakan bosan sendiri dengan hidup mereka? Bukankah itu contoh konkrit ide menarik untuk ditulis? Paling tidak pengalaman sehari - hari yang membosankan itu yang ditulis. Menuliskan saja apa yang ada dalam isi kepala dan selanjutnya diposting ke blog. Hanya sebatas dan sesederhana itu saja.

Tuan dan puan, kedengaran memang gampang tapi sulit memulai. Begitu kata sahabatku yang lain. Sungguh sebuah alasan klasik yang tiada habis – habisnya bagi mereka. Tapi memang benar, persoalan ini sering kali akan dihadapi oleh seorang pemula walau tak jarang pula ada penulis senior sekalipun akan mengalaminya. 

Kalau mau ditelusuri lebih jauh penyebabnya itu sepela sebenarnya, karena kita belum menguasai materi. Kekurangan atau minim literature. Maka kita memerlukan strategi khusus untuk terus menuliskan apa saja yang terlintas dalam pikiran tanpa harus berpikir mau dikemankan. Paling tidak kita tidak menjadi seorang penulis dan editor dalam waktu yang bersamaan. Apabila sudah berhasil menuliskan ide dalam satu atau dua halaman sudah selesai baru kita edit lagi.

Ini Beta punya pengalaman tuan dan puan. Ketika memotivasi sahabatku yang adalah seorang petani untuk menjadi seorang bloger ia mengatakan, “Takut dihujat aah…petani tidak pinter bermnain kata – kata seperti wartawan.” Bener sekali tuan dan puan, kebanyakan kita sebenarnya mau menulis tapi takut dihujat.

Seorang pembaca yang kebetulan mampir ke blog kita akan berkomnetar, “Tulisan apaan sih? Ah kalau sekedar bikin tulisan kayak gini aku juga biki oooih…” ada yang lain lagi dan lebih sakit kalau dilihat komentarnya, “Tidak berbobot sama sekali. Heran sama si pemilik blog ini. Tulisan kayak gini kok diposting? Emank tidak tau malu apa?”

Tidak perlu dipikirkan. Bukankah komentar seperti itu juga sudah pernah didengar atau bahkan kita sendiri pernah melontarkannya saat membaca sebuah postingan buku? Bisa jadi juga kita pernah melakukannya saat mengunjungi sebuah toko buku dan kemudian kita mengontari seorang penulis yang sudah berhasil menerbitkan sebuah buku kan?

Menulis artikel di blog saja belum bisa tapi beraninya mengomentari sebuah buku yang sudah melalui berbagai tahapan dan lulus sensor sampai bisa diterbitkan. Jadi kalau dulu hanya bisa komentar maka sekarang sudah saatnya untuk memulai dan menerima hujatan demi hujatan agar lebih baik.  Heheheh tenang coy…

Ketika belum bisa menulis sebuah artikel paling tidak di blog pribadi, tentunya  kita akan menjadi seorang kritikus hebat yang melontarkan hujatan demikian. Namun seiring perjalanan sang waktu yang kita selalu keluhkan karena kekurangan itu kita akan sadar. Kesadaran kita akan lahir bahwa tulisan apapun, tema apapun atau artikel dan cara penulisannya seperti apapun kalau sudah berhasil diterbitkan oleh seorang bloger itu adalah sebuah karya. Karya yang harus dihargai paling tidak kita sendiri karena kita tahu sudah melalui berbagai proses hingga tuntas.

Tuan dan puan mungkin bisa membayangkan, seorang petani yang setiap hari berusan dengan cangkul. Lumpur dan hama tanaman, belum tentu memiliki tata bahasa yang bagus untuk menuliskan ilmu pertaniannya. Tidak perlu membayangkan yang muluk – muluk agar artikel yang kita tulis itu sebagus penulis kelas atas.

Tidak perlu juga menggunakan bahasa yang keren kalau kita sendiri tidak tau maknanya. Kita adalah orang Indonesia, gunakan saja bahasa yang sederha dan mudah dipahami. Layaknya bahasa sehari – hari seorang petani di kebun. Kalau seorang petani bisa menulis di artikel tentang ilmu pertanian, kemudian menjadi bloger sekaligus mempublikasikan diri sendiri, kenapa kita yang lain tidak bisa?


Saat menulis sebuah artikel, dan mempostingkan ke blog otomatis sudah menjalan tugas jurnalistik. Maka disaat menjadi bloger, dengan sendirinya seseorang sudah menjadi wartwan. Sekali lagi bloger adalah wartawan yang telah melakukan sebuah revolusi menulis di Indonesia. (*)

Sunday 28 December 2014

Revolusi Menulis I



Bloger Adalah Wartawan

ilustrasi
Pernahkah terlintas dalam pikiran tuan dan puan kalau bloger adalah wartawan? Mungkin pernah, dan mungkin juga tidak. Sama halnya dengan Beta, sebelumnya tidak pernah terlintas sama sekali.

Di penghujung tahun ini, Minggu (28/12/2014), tepatnya pukul 15.00 Wita, spontan pikiran itu terlintas dalam pikiran saat menyentuh huruf “B” di atas tuts laptop. Itu sebabnya tulisan “Bloger Adalah Wartawan” sengaja disajikan kepada pembaca.   

Tuan dan puan, tidak selamanya harus menjadi seorang kontributor Harian Kompas dan Jawa Pos, baru disebut kita sebagai wartawan. Tidak selamanya pula harus menjadi seorang reporter MetroTv, TvOne atau Radio KBR baru anda layak menyandang gelar jurnalis. Tidak selamanya harus demikian.

Kegiatan seorang jurnalis biasanya tidak jauh dari aktivitas tulis menulis. Nyaris 1 x 24 dan 16 bulan setahun, para pewarta akan menghabiskan waktunya untuk melakukan pekerjaan mereka yang identik dengan bahasa tulisan. Hakikatnya adalah untuk memuaskan hasrat khalayak umum akan informasi public lewat tulisan.

Ketika memutuskan untuk menulis sesuatu yang layak dibaca khalayak melalui media apapun, di saat itupula seseorang telah memproklamirkan diri sebagai journalis. Begitupun dengan bloger. Meskipun hanya sekedar menyalurkan hobby dengan memposting tulisannya lewat blog, seorang bloger juga telah menjalankan tugas pewartaan.

Tugas seorang jurnalis tidak beda jauh dngan seorang bloger. Keduanya menulis dan wartakan informasi untuk dibaca dan diketahui public. Maka dapat boleh dikata bloger adalah wartawan, namun tidak semua wartawan adalah bloger.

Karya seorang bloger jauh lebih mulia dan original dibanding seorang jurnalis. Tulisan dan karya seorang bloger jauh lebih natural dan kaya dibanding seorang jurnalis. Bloger menulis dan mempublikasikan segala sesuatu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa pamrih.



Berbeda dengan seorang pekerja media masa yang disebut dengan jurnalis. Mereka menulis untuk memenuhi tuntutan kampung tengah. Jurnalis menulis untuk menyambung hidup, sementara bloger tidak demikian.

Memang tulisan seorang jurnalis akan jauh berbeda dan enak dibaca ketimbang tulisan bloger, apa lagi yang baru mau memulai untuk menulis. Namun tulisan seorang bloger jauh lebih natural dibanding seorang jurnalis media cetak maupun elektorik.

Karya seorang jurnalis senior sekalipun dijamin pasti akan melalui proses editing oleh editor. Sementara karya dan tulisan seorang bloger, hampir dapat dipastikan tidak melalui proses demikian. Itu sebabnya kebanyakan tulisan seorang jurnalis yang sudah diterbitkan oleh media tempatnya bekerja, akan berbeda dan nyaris jauh lebih menarik dibaca ketimbang tulisan seorang bloger apalagi pemula. Namun pada hakikatnya, bloger dan jurnalis sama – sama menyajikan irformasi kepada public.

***


K
apan seorang bloger disebut sebagai pewarta yang tidak kalah jauh dengan jurnalis? Jawabannya adalah ketika seseorang menghasilkan sebuah tulisan, kemudian dipublikasikan lewat blog pribadinya, saat itulah ia telah menjalan tugas jurnalistik.

Tuan dan puan, bloger adalah wartawan sejati. Alasanya tulisan dan hasil karya seorang bloger biasanya lebih cenderung untuk mengejar kepuasan bathin. Hal ini tentu sedikit berbeda dengan karya seorang jurnalis, yang bekerja pada perusahaan media. Kebanyakan jurnalis melakukan tugasnya untuk memenuhi tuntutan kampung tengah.

Beta dapat memastikan saat menulis, seorang jurnalis melakukannya dalam tekanan yakni deadline. Nyaris saat menyajikan tulisan kepada pembacanya, seorang jurnalis menjalankan tugas liputan yang sudah diputuskan dalam rapat redaksi setiap pagi. Hasil karya jurnalis yang kadang bertolak belakang dengan orientasi perusahaan tak jarang akan “disembunyikan” dari khalayak umum.

Karya pekerja perusahaan media masa yang lebih keren disebut dengan “kuli tinta” hampir dapat dipastikan, lebih cenderung berorientasi pada material. Kalau tidak menulis maka kampung tengah tidak lagi terisi. Akibatnya, tak jarang pula seorang jurnalis akan dilanda strees ketika sebuah tulisan yang dibuat untuk mendapat kepuasan bathin tidak diterbitkan. Jauh berbeda dengan bloger, menulis dan menyajikan informasi tanpa mengharapkan imbalan.

Kaya harta sudah biasa namun kaya akan karya baru luar biasa.” Mungkin tuan dan puan pernah mendengar ungkapan bijak yang satu ini. Seorang bloger akan lebih tenang hidupnya karena sudah berkontribusi untuk kehidupan bangsa ini. Ikut ambil bagian menjadi pewarta sama halnya para jurnalis yang mencintai aktivitas tulis menulis.

Di saat kebanyakan anak bangsa malas menulis, para bloger terus melakukan aktivitas tulis menulis. Mereka telah berkontribusi untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sadar atau tidak, para bloger telah mendengungkan revolusi menulis di negeri ini, tuan dan puan.

Harus diakui, hingga saat ini masih banyak kita anak – anak negeri yang masih kurang piawai dalam mencurahkan perasaan, ide dan pikiran lewat tulisan. Bukan hanya orang muda, hal serupa juga terjadi dengan para orang tua dan semua kita masuk dalam kategori malas. Kebanyakan kita orang Indonesia, lebih suka dengan budaya bahasa lisan dan bukan tulisan.


Beta jadi teringat seorang teman lama yang sudah dikenal sejak beberapa tahun silam. Sebuah pengalaman yang hingga saat ini masih terus menghantui pikiran ini. Sang teman lama itu dari dulu sampai sekarang belum berubah. Dia termasuk salah satu dari sekian banyak anak negeri yang masuk kategori malas menulis.

Kamis (25/12/2014) yang lalu, sebagai seorang nasrani kami telah merayakan hari raya natal. Kebetulan teman lama itu tinggal di luar negeri sehingga tidak bisa dikunjungi untuk bersilaturahmi. Lewat sebuah pesan singkat, Beta mengirimkan ucapan selamat hari raya natal.

Selama kurang lebih 10 tahun berteman sejak masih di bangku kuliah, kebiasan buruknya itupun tidak pernah hilang. Bayangkan, sekian lama berteman, selama itu pula tidak pernah satu SMS dibalasnya. Alasanya tombol angka dan huruf diponsel terlalu kecil untuk jari – jarinya.

Tangannya tergolong cukup besar dan bobot tubuh yang dimiliki hampir 100 kg. Maka lebih mudah untuk menelpon ketimbang harus mengetik satu layar SMS di ponselnya. Mungkin benar dan mungkin juga tidak. Tapi ini alasan dan salah satu contoh kemalasan menulis yang dimiliki oleh manusia modern.

Meskipun menulis di blog hanya paruh waktu namun menjadi seorang bloger,  tuan dan puan jauh lebih baik dari siapapun. Paling tidak di saat sebagian besar warga Negara ini dikategorikan sebagai orang malas, para bloger telah membantu seorang penulis buku handal yang ternama dan para pekerja media masa untuk membangkitkan semangat menulis.

Para bloger telah berkarya untuk generasi kini dan yang akan datang. Lalu apa yang sudah anda lakukan untuk bangsa ini tuan dan puan? Apakah hanya akan mengisi sisa – sisa hidup dengan bekerja sepanjang hari hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga?

Sebagai manusia modern, kabanyakan kita hanya hanya berkontribusi untuk diri sendiri dan keluarga. Jangankan untuk bangsa dan Negara, berkontribusi untuk masyarakat sekitar, lingkungan terkadat yakni tetangga saja terkadang kita tidak melakukan apapun.

Tuan dan puan, mungkin saat ini anda sedang memikirkan bagaimana caranya untuk berkontribusi kepada generasi kini dan mendatang. Lantas apa yang harus dilakukan agar dikenang? Jawabannya adalah menulis. Kalau anda belum dapat melakukan sesuatu yang layak untuk dicatat, maka sekarang sudah saatnya untuk menulis. Menuliskan sesuatu yang layak dibaca.

Mari bergandengan tangan bersama para bloger, kita mulai menulis apa saja tanpa harus memikirkan apa dampak yang bakal kita peroleh dari kegiatan ini. Pasalnya ilmu pengetahuan dan keahlian yang dimiliki saat ini tidak akan pernah memberikan manfaat jangka panjang kalau tidak bisa diabadikan lewat tulisan.

Lewat sebuah tulisan yang dibuat, tuan dan puan sekalian akan mendapat dua hal dalam waktu yang bersamaan. Membagikan manfaat kepada public saat ini sekaligus mewariskan ilmu kepada generasi yang akan datang.

Percaya atau tidak setiap tulisan merupakan warisan paling berharag yang dapat diwariskan secara turun temurun bagi anak cucu. Setiap kata akan terus berlalu, namun setiap tulisan akan tetap bertahan dan tidak pernah lekang oleh waktu.

Silahkan menelusuri kembali sejarah perjalana manusia sejak dahulu hingg kini, untuk membuktikan apa yang tersisa dari masa lalu. Apa saja warisan nenek moyang kita yang masih ada sampai saat ini? Tiada yang lain kecuali wujud fisik berupa bangunan dan tulis – tulisan yang akan kita temukan. Sekali lagi tuan dan puan, bloger adalah wartawan yang telah mengengungkan revolusi menulis di tanah air. (bersambung)

Wednesday 24 December 2014

Mungkinkah Dia Adalah Belahan Jiwaku?



Selamat menempuh hidup baru sobat
“Apakah kamu bersedia menerima dia sebagai suami atau istri?” Sebuah pertanyaan sederhana yang selalu dan senantiasa diajukan oleh imam, kepada setiap insan manusia yang hendak menerima sakramen pernikahan.

Mengapa dalam setiap Misa Pernikahan, seorang imam tidak pernah bertanya, apakah kalian saling mencintai? Bukan cinta, melainkan kehendak bebas, tekad dan keputusan atau komitmen yang seharusnya menjadi fondasi sebuah hubungan. Mungkin itu alasannya mengapa harus ada pertanyaan demikian?

Dalam hidup manusia, tidak ada yang namanya cinta sejati yang siap pakai. Belahan jiwa yang sempurna dan tanpa cacat atau cela itu sama sekali tidak ada. Selama manusia masih hidup di muka bumi ini, maka selama itu pula akan selalu ada orang yang lebih baik daripada pasangan kita. Oleh sebab itu itu yang dibutuhkan hanyalah sebuah ketegasan. Yakni, “Ya, saya mau mengasihinya dalam kerapuhannya.  Mau menjadi sempurna bersamanya dalam untung dan malang. Dalam suka maupun duka, di waktu sehat dan sakit, sampai maut memisahkan memisahkan.”

Tatkala seseorang telah memutuskan untuk menikahi orang lain, di saat itu pula sebagai manusia kita tidak akan pernah bisa tahu secara mutlak, apakah ia sungguh “jodoh saya?” Seseorang baru akan akan mengetahuinya, ketika telah memasuki masa tua dan melihat ke ke belakang.  Memandang setiap momen yang telah dijalani bersama pasangannya dalam suka maupun dukanya. Di saat itu ia akan berkata dengan tulus, “Setelah semua yang terjadi, saya bersyukur telah memilih kamu sebagai istri atau suami saya.”

Manusia menikahi manusia lain yang berbeda jenis kelamin, bukan karena ia adalah jodohnya, melainkan mereka bertekad untuk saling menjadikan pendamping hidup. Sahabat sejati hingga  maut datang untuk memisahkan. Kedengarannya sederhana dan mudah dilakukan, namuan tidak semua orang akan mampu melakukan sebuah taruhan seumur hidupnnya.



Sebagai umat kristiani, kita akan senantiasa dihadapkan pada proses pencarian seorang pribadi yang hendak menjadi pasangan hidup. Pasangan yang mau menerima kita apa adanya dan mau menghabiskan sisa – sisa nafas bersama dalam suka maupu duka hingga maut memisahkan. Namun konsep akan belahan jiwa yang demikian tentu akan menimbulkan efek negative, dan di sinilah tantangan bagi setiap umat kristiani menyikapinya.

“Pater, bagaimana saya dapat mengetahui pacara saya yang sekarang ini adalah pasangan hidup yang Tuhan siapkan bagi saya?” Masih segar dalam ingatan, pada suatu senja ketika usai melakukan pengakuan bersama seorang bapak rohani di kapela kala itu.

“Kalau relasi kita sungguh intim dengan Allah, kita mungkin bisa tahu dengan pasti (maksudnya ialah kita dapat langsung bertanya dan mendengarkan jawaban Allah secara langsung). Namun bila tidak, kita hanya bisa membaca tanda-tanda. Apakah ia setia, apakah ia orang yang baik secara moral, rajin ke Gereja, tekun bekerja? Dan untuk mengetahui segala sesuatu, kita harus selalu mendengarkan suara hati.”

Sebagai manusia, kita tidak bisa berharap Allah akan membisikan di telinga kita, “Ya, dia adalah jodohmu!”   Kita tidak pernah bisa merasa yakin secara absolut bahwa seseorang yang kita cintai memang sungguh dikehendaki Tuhan bagi kita.

Kita hanya berusaha untuk lebih mengenal kepribadianya sebagai manusia biasa. Satu hal yang perlu diutamakan adalah mengetahui apakah seseorang yang hendak kita jadikan sahbat dan pendamping itu mengutamakan Tuhan dalam hidupnya atau tidak?  Sungguhka ia berusaha menjalani hidup yang kudus dan murni?

Sebagai manusai, apakah ia memiliki karakter yang diperlukan untuk dapat menjalani hidup bersama? Apakah ia berusaha mengembangkan keutamaan, tekun berdoa dan bekerja? Setia dan rela berkorban dengan semua kelebihan dan kekurangan yang dimiliki? Bila tlah usai menimbang semuanya, dan dengan kejernihan hati serta budi, di saat itulah baru kita dapat mengambil sebuah keputusan, “Ya, saya ingin membangun keluarga dan menghabiskan seluruh hidup saya bersamanya.”

Manusia menikahi pasangannya bukan karena ia adalah jodoh kita, melainkan karena kita bertekad untuk menjadikannya pendamping hidup kita, sampai maut yang memisahkan. Dan ini merupakan sebuah taruhan seumur hidup.


****




Di luar sana, ada jodohku yang harus dicari dan ditemukan. Tak jarang banyak orang berpikir demikian. Akibatnya, pemikiran mereka terpusat untuk mendapat dan menemukan belahan jiwanya di luar sana. Mengharapkan cinta sejati kita, dengan kepercayaaan dan tanpa disadari telah melahirkan anggapan jika sang belahan jiwa akan memberikan kebahagiaan yang meniadakan kesusahan hidup.

Dalam hidup manusia, jikalau kita mengharapkan pasangan hidup yang sempuran akan melahirkan rasa tidak aman (insecure). Hal ini cenderung terjadi bila kita melihat kelemahan pasangan kita, akibatnya mungkin akan melahirkan. Pasalnya manusia dari sononya memang tidak tahan dengan godaan. Sering terganggu dengan pertanyaan, “Apakah benar dia sunggun jodoh saya? Bagaimana bila dia bukan jodoh saya? Biar tidak salah memilih jodoh, maka saya harus lebih berhati – hati karena saya tidak mau hidup dengan orang yang salah. 

Selain itu rasa cemburu juga sering tampil ke permukaan. Ini disebabkan bisa saja karena kita lebih cenderung berpikir bahwa di luar sana, akan ada pria atau wanita yang lebih baik. Ada orang lain yang lebih sempurna. Lebih cantik dan ganteng dan lebih pengertian daripada pasangan kita. Dampaknya, muncullah rasa cemburu terhadap invisible man or woman,sebuah sosok tanpa wajah yang tidak kita kenal, yang ada di luar sana, yang dapat membahayakan relasi yang sedang dibangun.

Rasa tidak aman dan cemburu seperti ini dapat berdampak negative dan pada akhirnya melemahnya rasa saling percaya di antara pasangan. Kita terlalu takut kehilangan orang yang kita cintai. Kita resah memikirkan kemungkinan bahwa bisa saja pria atau wanita yang sedang berinteraksi dengan pasangan kita, dianggap sebagai belahan jiwa yang lebih sempurna. Akibatnya, timbullah rasa curiga yang berlebihan.

Keyakinan tentang adanya soulmate malah menempatkan beban yang begitu besar ke pundak pasangan kita, karena kita memiliki keyakinan bahwa jodohku harus sempurna, ia bisa membahagiakan saya, memenuhi kebutuhan saya, tidak membuat saya menderita, dsb. Akibatnya, bisa saja pernikahan yang baru berjalan sebentar menjadi rapuh dan pecah. Seseorang merasa salah dalam memilih, dan tidak tahan menanggung kesulitan. Akibatnya, perceraian pun terlihat sebagai sebuah godaan yang menggiurkan, sebuah pintu yang akan menyelesaikan segala persoalan.

Bila kita beranggapan bahwa soulmate kita harus memenuhi semua kebutuhan kita dan membahagiakan kita, ada kemungkinan bahwa kebahagiaan kita bergantung pada orang lain. Sebagai orang Katolik, satu-satunya sumber kebahagiaan kita ialah Allah. Dan kita disebut berbahagia bila kita menjalani delapan Sabda Bahagia dengan sungguh-sungguh. Bukan berarti kita ataupun pasangan kita boleh berhenti untuk mengasihi, melainkan bahwa tidak selayaknya kita mengharuskan atau menuntut kesempurnaan yang sangat tinggi terhadap mereka.

Pemahaman soulmate yang serba sempurna akan membuat kita mudah kecewa kita menghadapi konflik dan bertemu dengan kelemahan ia yang menjadi pasangan kita. Kekecewaan ini dapat berujung pada sebuah perpisahan, dikarenakan kita merasa yakin ia bukan orang yang tepat bagi kita, bukan cinta sejati kita. Bila kita tidak berhati-hati, kita akan menjadi takut untuk membuat komitmen seumur hidup, atau kita akan terus melakukan pencarian cinta sejati tanpa henti, karena di luar sana akan tetap selalu ada orang yang lebih baik dari pasangan kita.

Gambaran soulmate yang terlalu idealis dapat membuat kita sulit untuk berpuas diri terhadap kelemahan seseorang. Padahal, sikap kita seharusnya ialah mensyukuri apa yang sudah dipercayakan pada kita, termasuk pasangan kita. Ketidaksempurnaan pasangan kita, itulah yang dapat menguduskan kita, asal kita dapat mengolahnya dengan baik. (*)

(Refleksi Natal 2014 di Negeri 1001 Padang Savanna. Dari tempat kita bertugas, Beta titipkan salam  bagimu Nonato Sarmento yang akan segera mengakhiri masa lajangnya di penghujung tahun ini. Selamat menempuh hidup baru sobat, semoga bahagia dan langgeng dalam membangun keluarga kecilnya.)

Tuesday 23 December 2014

Meldawati Bertualangan di Sumba



                           Meldawati
Pagiku hilang sudah melayang,
Hari mudaku sudah pergi,
Kini petang datang membayang,
Batang usiaku sudah tinggi

MUHAMMAD Ali Hasyim, salah satu penyair era 1970 -an, melalui puisinya 'Menyesal' ingin menggugah kaum muda agar memanfaatkan waktunya sebaik mungkin.  Selagi masih bisa menimba ilmu dan mencari pengalaman, teruslah berjuang untuk mengalahkan tantangan. Bahkan harus berpetualangan ke daerah pelosok atau pedalaman sekalipun demi menambah ilmu dan pengalaman hidup.

Tidak semua orang mau, apalagi dari kota besar mau mengabdikan sebagai guru di daerah pelosok atau pedalaman. Sebagian orang yang tidak sanggup akan segera pergi meninggalkan tempat tugasnya apabila tidak merasa terpanggil atau memiliki jiwa bertualang.

Tantangan demikian akan menjadi santapan empuk bagi gadis yang satu ini. Namanya  Meldawati, S,pd, salah satu alumni Universitas Negeri Makassar (UNM) Fakultas Ilmu Olahara (FIK) angkatan 2007.

Kepada Pos Kupang di Kataka, Kecamatan Kahunga Eti, Kabupaten Sumba Timur, Rabu (13/2/2013),  gadis kelahiran Balikpapan, 24 Oktober 1987 ini mengatakan, sejak kecil dirinya sudah sering bermimpi jadi guru. Alasanya, dengan mengajar seseorang dari tidak bisa menjadi bisa dapat menempatkan diri seorang guru menjadi panutan atau teladan.

"Mengajar di daerah terpencil, itu bukan masalah buat saya untuk menghentikan langkah mengabdi pada negeri. Karena menurut saya, guru itu bisa jadi teladan. Mengajar seseorang dari tidak bisa menjadi bisa," ujar Meldawati, salah seorang peserta Program Sarjana Mengajar di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) di SMP Satu Atap Kataka.

Menjadi seorang pahlawan tanpa tanda jasa yang mengemban misi mencerdaskan anak bangsa merupakan kebanggan tersendiri baginya. Kebanggan ini selalu ditunjukan dan diwujudkan dalam keseharianya sebagai seorang guru olahraga. Disamping mengajarkan pendidikan olahraga, Meldawati juga mengajak anak didiknya mencintai dan memelihara alam. 


Meldawati mengatakan, "Melintasi alam itu juga bagian dari olahraga. Jadi, alam harus dijaga dan dipelihara."

Bertualangan dengan menjadi seorang guru di pedalaman, kata Mel, demikian sapaan akrabnya,  belum lengkap kalau tidak melesuri alam sekitar. Hal ini yang selalu dilakukan di setiap waktu senggang dengan melakukan hiking, rockclimbing dan caving. Melalui kegiatan - kegiatan itu, demikian Mel, ia akan mendapatkan kepuasaan tersendiri.

Meskipun terkadang harus merasa was - was ketika menelusuri hingga keluar dari dunia bawah tanah hanya untuk bisa menikmati dan melihat setiap ornamen dalam gua.
Anak ke lima dari enam orang bersaudara ini mengatakan, ketika di alam bebas tentunya akan bertemu dengan banyak binatang buas seperti ular berbisa. Namun hal ini bukan harus ditakuti karena disitulah letak tentangan yang sesungguhnya selain alam itu sendiri.
"Seorang caver tentunya memiliki ilmu tentang penelusuran gua. Tentunya tidak sembarang masuk juga sebelum mengetahui kondisi gua dn mendapatkan informasi tentang gua-gua yang akan di masuki itu," kata salah satu putri  pasangan Asfar Ali dan Junnuati.

Memegang moto; "Melangkah hingga jauh, meraih yang ku mau", Mel mengaku di Pulau Sumba untuk petualangan naik gunung memang agak susah. Pasalnya, alam daerah tersebut tidak memiliki gunung dan yang ditemukan hanya bukit.

Sementara untuk kegiatan hiking bisa dilakukan jika menaiki gunung yang tingginya sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) ke atas. Namun, kata Mel,  ada potensi lain di daerah ini, yakni untuk kegiatan  rockclimbing karena terdapat banyak tebing alam yang bagus untuk dipanjati.

"Cuma  kendala di sini alat - alat untuk pemanjatan itu tidak ada. Baik itu dipakai untuk pengaman maupun membuka jalur pemanjatan. Kalau caving juga bisa, karena dari informasinya banyak gua di Sumba yang belum pernah dimasuki orang atau belum terjamah. Saya tertantang dan ingin menjadi orang pertama untuk berpetualang di sana. Itu bisa dilakukan jika ada alat yng memadai," ujar Mel. (john taena)

Monday 22 December 2014

Penganan Khas Pulau Sumba Itu Mulai Tergeser


Manggulu, salah satu penganan khas Pulau Sumba
Manggulu. Demikian sebutan untuk salah satu jenis makanan khas daerah yang sudah dikenal secara turun temurun dari para leluhur orang Sumba Timur, di Pulau Sumba. Mungkin kedengarannya agak sedikit asing bagi Tuan dan Puan, namun ssejujurnya jenis makanan khas yang dibungkus daun pisang kering ini sangat lezat rasanya.

Tuan dan Puan, Manggulu adalah salah satu jenis penganan khas daerah di Pulau Sumba yang terbuat dari kacang tanah dan pisang. Ukurannya kecil dan bentuknya pun mirip dodol. Meskipun kedua jenis makanana ini mirip, namun  tetap tidak sama baik rasa maupun kemasan. Namanya juga makanan khas, kalau sama rasa dan kemasan maka tidak akan khas lagi.  

Sesungguhnya penganan khas daerah yang satu ini tidak kalah lezatnya. Sayangnya jenis penganan lokal Sumba Timur itu sudah jarang ditemukan. Hanya di beberapa wilayah yang masyarakatnya masih membuat produk tersebut. Itu pun hanya pada waktu – waktu tertentu dan jumlahnya pun terbatas di Pulau Sumba Tuan  dan Puan.

Dalam kemasan aslinya, Manggulu dibungkus dengan daun pisang kering. Bagi orang Sumba, daun pisang kering memiliki nilai pengawet. Sayangnya, belakangan daun pisang mulai ditinggalkan dan diganti dengan kemasan modern seperti plastik. Keasliannya sebagai penganan khas yang sehat serta ramah lingkungan karena tidak mengandung unsure kimia itu mulai terancam.

Jika Tuan dan Puan sempat mengunjungi Pulau Sumba, Manggulu saat ini memang masih ada di daerah itu terutama Sumba Timur. Namun keberadaannya mulai tergeser oleh penganan dari luar. Selain karena produksinya terbatas, perubahan gaya hidup masyarakat setempat pun turut mempengaruhi eksistensi produk tersebut. Keterbatasan produksi disebabkan oleh proses pembuatannya yang cukup memakan waktu.


Biasanya, pisang kapok masak harus dikeringkan terlebih dahulu. Sementara kacang tanah digoreng kemudian diangkat kulit arinya. Pisang yang sudah dikeringkan kemudian kemudian ditumbuk. Demikian juga kacang tanah yang sudah digoreng. Selanjutnya, kedua bahan yang sudah dihaluskan ini dicampur dan dibentuk. Jika cara tradisional pembentukan Manggulu menggunakan tangan, maka belakangan pencampuran dan pembentukannya kini beralih menggunakan mesin penggiling.

Saat ini Manggulu memang masih bisa ditemukan di Sumba Timur, namun hanya di wilayah – wilayah tertentu saja. Di Kota Waingapu juga ada sejumlah industry rumah tangga yang membuat Manggulu. Itupun produksinya tidak banyak dan sangat terbatas, selain karena kekurangan modal usaha, akibatnya Menggulu jarang ditemukan di toko kue. Jikalau ada, jumlahnya sangat terbatas. Itupun jarang laku terjual karena Manggulu sebagai cirri khas daerah seakan tenggelam di antara penganan dari luar.

Tuan dan Puan, selain kacang Sumba yang dikenal memiliki karena kekhasan rasanya,  Sumba Timur juga kaya akan penganan lokal. Namun harus diakui karena gaungnya kalah dengan penganan dari luar. Kemasan dan tampilan yang lebih menarik, pergeseran pola hidup masyarakat setempta juga turut mempengaruhi eksistensi Manggulu sebagai penganan lokal.


Beta melihat, masyarakat Sumba Timur akan merasa lebih berkelas jika menenteng donat atau roti dengan kemasan yang menarik daripada Manggulu dengan kemasan daun pisang kering. Mungkin ini juga disebabkan oleh pengaruh promosi dan pencitraan pangan lokal yang masih terbatas. Akibatnya, menyebabkan penganan ini tidak banyak dilirik oleh masyarakat Sumba Timur.

Tuan dan Puan, Manggulu memang belum terkenal seperti kacang Sumba. Jangankan untuk masyarakat luar, generasi muda Pulau Sumba saja bahkan sudah ada yang tidak mengenal Manggulu. Padahal kalau diperkenalkan terus – menerus, Manggulu bisa menjadi penganan yang diminati banyak orang karena rasanya khas. (*)