Sunday 4 January 2015

Menulis Dapat Mencegah Stress dan Post Power Syndrome



Ilustrasi orang stress (Google)
Beta pernah mengajak tuan dan puan untuk menulis. Tahun lalu anda diajak untuk membuat  tulisan – tulisan sederhana sebagai publikasi diri. Itu baru salah satu contoh dari manfaat menjadi blogger dan rajin menulis. Mungkin pernah terbayang dan mungkin juga tidak pernah membayangkan sebelumnya, kalau menulis itu banyak manfaatnya termasuk untuk kesehatan.

Di sisi lain keuntungan dari menulis adalah mendapat kebanggaan tersendiri. Sebuah kebanggaan yang tak ternilai harganya. Dan hanya akan bisa diperoleh, ketika sudah menghasilkan sebuah tulisan, baik dalam bentuk buku maupun artikel sederhana.

Ketika tuan dan puan membuat sebuah tulisan lalu membayangkan jika suatu saat sudah tiada, sementara tulisan – tulisan kita masih tetap bertahan untuk dinikmati dan dibaca oleh generasi berikutnya. Katakanlah, tulisan yang dibuat saat ini akan dibaca oleh generasi mendatang pada tahun 2320 M. Tentunya sebagai pemilik tulisan itu sendiri anda akan merasa bangga, karena saat itu kita sudah tidak bisa berkata – kata lagi tapi pikiran kita masih terus terlihat dalam tulisan.

Puan mungkin sudah tiada, namun anak, cucu, cicit dan seluruh keturunannya akan bangga. Mereka bangga karena memiliki seorang moyang yang tidak hanya menghabis hidupnya untuk berbicara, melainkan bisa meninggalkan warisan dalam bentuk tulisan yang terus menerus dibaca oleh semua orang. Itulah yang disebut dengan warisan peradaban yang tak ternilai harganya.

Tuan, kata – kata akan terus berlalu dan hanyut bersama perjalanan sang waktu. Namun tulisan – tulisan akan tetap bertahan sampai kapanpun. Coba bayangkan di masa mendatang, pikiran yang tertuang dalam bentuk tulisan itu akan dikutip oleh seseorang. Saat orang itu berbicara di depan khalayak banyak, sambil mengutip dan ada namamu juga yang disebut.



Pikiran seseorang yang sudah dituangkan dalam tulisan bukan tidak mungkin akan menjadi inspirator. Misalnya sebuah tulisan tentang solusi – solusi hidup di perabadan modern. Bukan tidak mungkin juga sebagai pemilik tulisan itu sendiri, akan dianggap sebagai pemberi inspirasi dalam hal tertentu. Atau sebuah tulisan fiksi akan dijadikan hiburan. Otomatis anda sudah menjadi penghibur luar biasa bagi manusia lain di masa mendatang dari sekarang hanya dengan sebuah tulisan.

Berbicara tentang aktifitas tulis menulis, mungkin kebanyakan kita tidak pernah menyadari bahwa saat melakukan aktivitas demikian sangat bermanfaat untuk kesehatan. Setidaknya dapat mencegah kepikunan. Yaah kepikunan karena saat menulis sesuatu, terdapat ribuan bahkan jutaan jaringan otak kita saling keit mengait satu sama lain dan bergerak aktif dengan lincahnya  di dalam kepala kita.

Jika tuan dan puan tidak menggerakan sel – sel otak di dalam kepala, maka bersiap – siaplah untuk segera pikun. Alasannya sederhana, karena kalau sel – sel otak dalam kepala dibiarkan diam dan pasif terlalu lama, maka lambat laun akan mati. Semakin banyak jaringan otak yang mati, semakin cepat pula anda mengalami kepikunan.

Memang benar ada juga unsure negative yang beresiko bagi bagi kesehatan jika seseorang duduk terlalu lama untuk menulis. Namun kalau seseorang rajin menulis buku atau artikel apapun, akan lebih banyak mendapat manfaat positif bagi kesehatannya dibanding yang negative.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan, penyebab penyakit bagi diri manusia ditemukan lebih banyak karena factor stress. Sementara unsur fisik hanya menyumbang sekitar 10 persen. Ketika kita sudah membiasakan diri, untuk menyalurkan seluruh pikiran dan perasaan lewat sebuah tulisan sekecil apapun, otomatis dan sudah pasti akan terhindar dari stress.

Disaat menulis segala seseuatu, terdapat tiga unsure penting sebagai inti dalam diri mansia manusia akan diaktifkan pada saat yang bersamaan. Otak diaktifkan, hati dan jiwa pun demikian, kemudian perasaan dituangkan dalam tulisan. Inti dari diri manusia adalah otak, hati dan jiwa. Para blogger yang sebelumnya mengalami stress, dengan sendirinya hilang dan kesehatan kita sebagai manusia tetap terjaga bila sudah mulai menulis.

Stress biasanya dialami oleh seseorang saat perasaannya tidak dapat disalurkan. Begitupun istilah post power pyndrome yang mungkin sering kita dengar dan biasanya lebih sering dialami oleh para pensiunan. Meskipun baru saja menjalani masa pensiun, tapi seseorang sudah menikmati beberapa jenis obat penawar dalam mengisi hari – harinya. Maka menjadi orang yang rajin menulis, baik masih berusia muda maupun sudah tua, kita akan mampu menyalurkan perasaannya dan terhindar dari stress.  


Bila saat ini tuan dan puan masih aktif dan muda, sesibuk apapun pekerjaan anda cobalah meluangkan waktu paling tidak 30 menit setiap hari. Upayakan sebisa mungkin untuk menghindari stress dengan menulis.

Sudah saatnya sekarang, ambilah bagian menjadi seorang blogger pada akun blog gratisan sekalipun. Kumpul dan simpanlah tulisan itu di blog anda dan suatu saat sudah menghasilkan banyak tulisan diterbitkan menjadi buku.

Menjadi seorang penulis tidak selamanya harus menghabiskan sebagian besar waktu yang ada. Kita dapat menggunakan waktu untuk menjalankan profesi lain yang bisa mendatangkan  penghasilan, namun bisa menggunakan sisa waktu untuk mengisi hobby dengan menulis.

Menghasilkan sebuah karya yang dibukukan, selain dapat mempublikasi diri juga kita akan mendapat pasif income. Pasalnya setiap penerbitan, bisanya akan memberikan royalty sekitar 10 persen bagi sang penulis, dibayar setiap enam bulan sekali sesuai jumlah buku yang terjual.

Tuan dan puan, tahukah anda kenapa kebanyakan orang yang sudah pensiun sering ngotot menjadi penulis? Pertama karena mereka ingin menjaga kesehatan dan tidak tidak mau jadi orang pikun. Kedua menulis adalah ladang dan sumber penghasilan, karena profesi menulis tidak dibatasi oleh usia.

Boleh percaya dan boleh tidak, belum pernah tercatat dalam sejarah ada kata “pensiun” bagi seorang penulis. Bahkan ada sejumlah orang yang bisa menulis sampai akhir hayat mereka. Masih banyak lagi manfaat dari menulis, silahkan dibuktikan sendiri tuan dan puan.(*)

Saturday 3 January 2015

Anak Laihiding Melintasi Zaman



Anak Kampung Laihiding, Sumba Timur bertelanjang renangi sungai ke sekolah
Sejak puluhan tahun bangsa ini merdeka, jutaan orang telah menikmati manfaat pembangunan. Namun fakta di Dusun Laihiding, Desa Kiritana, Sumba Timur  tidak demikian. Hidup tak pernah mudah bagi sekitar 40 – an anak usia sekolah di kampung ini.

Kala musim panas dan kemarau panjang melanda Pulau Sumba setiap tahun, puluhan anak – anak usia harus menoreh keringat melintasi padang savanna. Bukan hanya sebatas itu, mereka juga harus menyebrangi derasnya aliran sungai untuk mencapai lokasi tempat menimba ilmu yakni SDN Kiritana.
Memiliki sebuah tas sekolah akan menjadi sangat istimewa bagi seorang anak meskipun sudah bertahun – tahun usianya. Sobek dan lusuh bukan masalah, namanya tetap sebuah tas sekolah yang tentu mahal nilainya. Meskipun sudah sobek dan lusuh, namun sebuah tas kresek tetaplah mahal nilainya bagi mereka.
Puan tentu bertanya, apa yang mahal dari sebuah tas kresek yang dapat dibeli dengan harga tiga seribu di pasar atau toko? Bahkan terkadang juga akan mendapatkan dengan gratis saat belanja di pasar. Bukan itu letak persoalannya tuan dan puan.
Tuan coba bayangkan, demi menimba ilmu seoarang anak di bawah usia 10 tahun harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 10 kilo meter setiap hari pergi dan pulang. Meninggalkan rumah orang tua sejak tubuh dan baru akan tiba kembali di pemukiman penduduknya pada petang hari.
Usai renangi sunagi, anak Kampung Laihiding, Sumba Timur mendaki bukit ke sekolah
Di kampung ini tidak ada mobil mewah. Melihat sebuah kendaraan roda dua melintas padang savanna hingga di tengah pemukiman penduduk adalah sesuatu yang mustahil. Jarak yang demikian bukan ditempuh dengan alat transportasi seperti yang biasanya dipakai oleh tuan dan puan di kota.
Menenteng sebuah tas kresek yang sesak dengan buku, pena dan pensil serta penghapus adalah sesuatu yang senantiasa didambakan oleh puluhan anak usia sekolah dari Laihiding. Menapaki jalan setapak tanpa alas kaki di bawah terik mentari panas adalah sebuah kebanggaan menjadi anak sekolah.
Menanggalkan seragam merah putih, bertelanjang dan berenang sambil menenteng tas kresek yang diisi peralatan sekolah adalah semangat anak Laihiding. Tiba di seberang sungai dan kembali mengenaikan seragam merah putih, spirit anak dari kampung ini dalam melintasi zaman.
Tuan dan puan, berenang di aliran sungai yang jernih sekitar Sembilan bulan dan tiga bulan bertarung dengan banjir bukan hal baru lagi. Semuanya hanya demi mendapatkan ilmu di bangku sekolah dasar.
Setiap pagi mengucapkan selamat pagi ibu, selamat pagi bapak ku pergi sekolah menuntun ilmu demi masa depan tidak semudah dan segampang anak – anak di tempat lain. Sejak leluhur anak kampung laihiding, mereka sudah biasa untuk menyebrangi aliran sungai yang deras dan dalam.
Anak Kampung Laihiding, Sumba Timur bertelanjang & renangi sungai lagi ke sekolah
Mengayunkan satu persatu langkah kaki beberapa ribu meter, setiap mereka harus bertelanjang. Dan terjun… terjun ke dalam aliran sungai. Bereneng dan berenang hingga ke tepian. Selanjutnya, menapaki kaki bukit hingga ke puncak dan kembali menrun ke kaki bukit sebrang. Menapaki jalan setepak, menelusuri hutan belatantara hingga tiba lagi di tepi sungai. Kemudian seragam merah putih di tanggalkan. Bertelanjang lagi dan lagi. Terjun dan terjun lagi untuk berenang ke tepian.
Setibanya seberang, kembali mengenakan seragan kebanggaan bangsa. Kulit tubuh anak – anak sekolah inipun kembali dibungkus dengan warna Pusaka bangsa. Selanjutnya kaki mungil mereka diayunkan beribu kali dengan pasti hingga tiba di depan kelas dan siap menerima ilmu dari bapak dan ibu guru mereka.
Tuan dan puan, entah kapan bekas roda kendaraan akan terlihat tengah kampung Laihiding. Sudah sejak ratuasan tahun, ratusan jiwa warga Kampung Laihiding merindukan jalan raya, tapi entah sampai kapan kerinduan itu akan terobati? 

(Catatan pengalaman saat melakukan perjalanan ke Kampung Laihiding bebera waktu yang lalu)




Tuesday 30 December 2014

Bupati Bantah Curi Empat Ekor Kambing



ilustrasi ruang sidang
Di sini. Di tempat ini, perempuan tua itu tertunduk lesu saat mernyaksikan jalannya sidang kasus pencurian empat ekor kambing miliknya. Mulutnya terus komat – kamit. “Andai Sudah Terjual kambing saya,” demikan sebuah kalimat ajaib yang tiada henti diucapkannya berulang kali.

Nenek tujuh orang cucu yang satu ini seakan tenggelam dalam hiruk pikuk para pencari keadilan di kantor pengadilan setempat siang itu. Tetesan bening – bening Kristal pun tak henti membasi keriput kulit, pembungkus tulang pipinya itu. Sehelai sapu tangan berwarna ungu digunakan sang janda itu untuk menghapus tetesan air matanya.

“Bagaimana tidak sedih?” kata Marsinda (52) saat ditanya. Sebagai seorang perempuan janda, dirinya telah kehilangan  empat ekor kambing yang telah susah payah dipeliharanya selama ini. “Saya datang ke sini untuk mencari keadilan,” katanya lagi.

Dia mengisahkan, untuk memiliki empat ekor kambing dirinya mulai dengan memilihara seekor ayam jago, yang kemudian dijual dan dibelinya lagi lima ekor ayam jago lagi. Setelah besar, kelima ekor ayam jantan itu dijual dan uangnya dipakai untuk membeli seekor kambing betina seharga Rp 500 ribu. Hingga akhirnya berkembang biak menjadi empat ekor kambing.

"kambing itu saya beli masih kecil dan sudah saya pelihara kurang lebih tiga tahun ini sampai beranak," katanya dengan terbata – bata sambil mengusap air mata.

Namun apa hendak dikata, sial tak dapat ditolak dan untung pun tak dapat diraih. Kini keempat ekor kambing miliknya yang dipelihara dengan susah payah telah raib digasak dimaling. Peristiwa itu bermula pada kamis dini hari saat kampungnya dilanda hujan deras.

Perempuan paruh baya itu terlihat begitu menyesal, karena sudah ada pembeli yang datang meminta membeli seekor kambing jantanya dengan harga Rp 2 juta, namun Ia masih bertahan dengan harga Rp 2,5 juta.

Nenek tujuh orang cucu yang satu ini sudah membayangkan bahwa dengan uang Rp 2,5 juta hasil penjualan empat ekor kambing itu, dia bisa membeli dua ekor kambing lagi untuk dikembangkan guna menopang hidupnya.

"Waktu itu sudah ada orang yang tawar dengan harga Rp 2 juta, tapi saya mau jual dengan harga Rp 2,5 juta," katanya.


Andai saja, sang nenek mau menurunkan harga salah satu ekor kambing jantan miliknya itu menjadi Rp 2 juta, bisa jadi pembeli mau dan kini dirinya tidak sekusut saat ini. Sebab saat si maling beraksi, kambingnya sudah laku terjual.

Namun hanya terpaut dua malam dari kedatangan pembeli itu, keempat ekor kambing kesayangannya hilang tanpa bekas digayang maling. Tekad Nenek Marsinda guna mengembangkan usaha peternakannya pun kandas.

"Kalau tidak salah, dua malam setelah pembeli itu datang, saya punya kambing hilang semua. Begitu pagi hari, saya mau kasih makan ternyata kandang sudah kosong," katanya.

Kini sang nenek hanya bisa pasrah sambil mengharap kepada majelis hakim dapat memberikan vonis hukuman yang setimpal dengan perbuatan. “ Saya tidak pernah membayangkan akan mendapat musibah ini. Saya hanya berharap kepada majelis hakim untuk menghukum pelaku yang seberat – beratnya,” pungkas Nenek Marsinda.

Tuan dan puan, kisah si kabayang pun terulang lagi di sini. Di tempat ini. Seorang pria, sebut saja Petrus alias Penembak Misterius alias Bupati Sumba Pinggir, dituduh mencuri empat ekor kambing. Namun lelaki itu membantah tuduhan tersebut saat ditanya oleh majelis hakim di ruang sidang pengadilan setempat. Alasannya, dia hanya mencuri seekor kambing betina.

“Saudara terdakwa, lantas siapa yang mencuri tiga ekor kambing yang lain? Berdasarkan keterangan saksi dan fakta – fakta di persidangan, semuanya mengarah kepada saudara terdakwa?” tanya majelis hakim.

“Majelis hakim yang terhormat, saya sudah bilang hanya satu ekor kambing betina yang dicuri. Bukan salah saya, kalau ketiga ekor anak kambing itu mengikuti induknya,” bantah  Petrus alias Penembak Misterius alias Bupati Sumba Pinggir.

Para majelis hakim dan seluruh pengunjung dibuat terbahak mendengar keterangan terdakwa. Seketika ruang sidang yang semula hening itu menjadi riuh akibat keterangan terdakwa yang mengiris perut hadirin dalam persidangan itu.


Di sini, di tempat ini tuan dan puan yang sejak tadi sudah terus membaca diminta untuk serius. Sekali lagi tetap serius, jangan tertawa tuan dan puan. Demikian kisahku dari Negeri Sumba Pinggir.(*)

Monday 29 December 2014

Revolusi Menulis II



Jadi Blogger itu Bagian Dari Publikasi Diri  

ilustrasi
Bila dibanding dengan bangsa lain, budaya menulis di negeri tercinta ini boleh dikata masih amat sangat rendah. Hal ini bisa terlihat dari judul buku yang diterbitkan setiap tahun. Tuan dan puan, baru saja Beta mengunjungi http://news.kompas.com/) dan menemukan sebuah lapaoran yang cukup mengagetkan tentang jumlah terbitan buku di Indonesia yang tergolong rendah setiap tahun.


Menurut laporan tersebut, jumlah terbitan buku di Indonesia tidak sampai 18.000 judul buku per tahun. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan Jepang. yang mencapai 40.000 judul buku per tahun, India 60.000, dan China sekitar 140.000 judul buku per tahun. Tentunya tuan dan puan sudah bisa membayangkan seperti apa budaya menulis kita?


Ini memang hanya sebuah mimpi. Hanya mimpi untuk menulis. Beta yakin suatu hari kelak, kehebatan orang Indonesia untuk menerbitkan banyak judul buku tidak dengan Amerika. Impian itu tampaknya tidak jauh dan bukan sesuatu yang mustahil. Potensi itu bisa terlihat dari rajinnya orang anak – anak muda dan para orang tua. Paling tidak banyak orang yang rajin mengirim dan membalas SMS setiap hari.

Seorang sahabat karib yang berprofesi sebagai petani adalah salah satu orang Indonesia yang memiliki kemauan untuk menulis. Sebuah langkah kecil yang telah ditempub adalah membuat akun blogspot gratis.  Semula akun blog miliknya hanya diisi dengan berbagai gambar yang diabadikan sewaktu mengolah lahan. Dari gambar, sang petani blogger itupun kini sudah mulai dan berani untuk menulis tentang dunia pertanian.  berbagai langkah telah dilakukan untuk mulai menulis.

Ada pengalaman unik lainnya tentang semangat menulis ini. Kobaran semangat mereka untuk menulis pun lambat laun akan memudar dan kembali menyala bak disambar bensin tatkala akan bertemu di waktu lain. Jangankan untuk menulis dan menerbitkan sebuah buku, sebuah artikel untuk diposting ke blog pribadi saja susahnya minta ampun. Mereka, dari dahulu sampai sekarang semangatnya selalu berkobar – kobar menulis dan bisa menerbitkan buku. Namun itu hanya sebatas semangat saja.  

Beta pun kemudian bertanya pada suatu ketika, “Kenapa demikan?” Dan sebagai seorang sahabat yang baik, tentunya ingin membantu mereka walau hanya sebatas support.  Pertanyaan dan jawaban yang setiap kali akan menghiasi diskusi kami tentang menulis. Rasanya membuat bulu kuduk merinding dan senyum simpul akan mengembang setiap saat mendengar jawaban mereka. Tak jarang pula Beta akan berkata sendiri dalam hati, “ Ah…alasan klasik. Sudah basi!”


Kenapa Beta bilang alasan klasik dan sudah basi? Karena memang alasan merupakan penghambat yang dapat menggagalkan niat seseorang untuk menulis. Semantara kalau mau dilihat lebih jauh, mereka telah menghabiskan paling tidak 12 jam untuk berbicara. Tapi hanya meluangkan 30 menit dalam sehari untuk menulis tidak bisa.

Maka alasan – alasan hanya karena hal sepela untuk tidak menulis adalah sesuatu yang tidak bisa diterima dengan akal sehat. Paling itu itu menurut Beta, entah seperti apa menurut tuan dan puan? Tapi mungkin alasan – alasan sepele itu sangat besar dampaknya sehingga menghambat niat mereka untuk menulis.

Ada sejumlah alasan klasik yang sering kita temui sebelum kita memulai menulis. Alasan – alasan yang menghambat kita untuk menulis itu antara lain, masalah waktu. Tidak memiliki ide untuk ditulis dan sulit memulai untuk menulis. Selain itu takut dihujat karena tulisan yang buruk dan terakhir tidak berani menulis karena tidak memiliki kemampuan tata bahasa yang bagus.

Tuan dan puan, menulis bukanlah sesuatu yang harus diprioritaskan sehingga kemudian waktu dijadikan sebagai alasan utama. Padahal kalau mau jujur, banyak sekali orang – orang yang kondisinya sangat parah. Banyak diantara mereka nyaris tidak ada waktu untuk mengurus diri sendiri karena tuntutan pekerjaan dan alasan lain tapi masih mau menulis sesuatu. Bahkan diantara mereka yang supre sibuk itu masih bisa menjadi seorang penulis hebat, paling tidak menjadi bloger.

Alasan sahabat – sahabatku yang katanya tidak punya waktu untuk menulis boleh dibilang wajar. Mereka adalah karyawan perusahaan. Ada juga yang berwira usaha sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk menulis. Sebagai karyawan kebanyakan mereka akan berangkat pagi hari dan pulang sore bahkan sudah larut malam. Rutinitas yang selalu dan senantiasa dijalani setiap hari memang membuat mereka tidak ada waktu untuk menulis.

Tentunya tuan dan puan pernah mengalami bukan? Ketika berada di kantor kita akan disibukan dengan banyak pekerjaan, meskipun kadang juga terlibat sebuah gossip di sela – sela kesibukan. Saat pulang sampai ke rumah, sudah lelah tapi masih harus meluangkan waktu untuk keluarga.

Waktu memang musuh utama dalam hidup. Tak jarang untuk melakukan sesuatu, manusia akan merasa tidak cukup waktu. Namun menulis bukanlah prioritas, sehingga waktu menjadi alasan paling utama untuk menghambat niat menulis. Lantas kapankah kita akan memiliki waktu untuk menulis?


Lain lagi tuan dan puan yang memiliki cukup waktu untuk menulis, tapi bingung harus menulis apa dan mulai dari mana? Beta dapat memastikan, ketika sahabat – sahabatku mengatakan tidak ada ide untuk menulis adalah alasan klasik juga.

Benarkah dalam hidup ini tidak ide untuk menulis? Lalu kemana rutinitas setiap hari dari pagi sampai larut malam, hingga membuat sahabat – sahabatku itu seakan bosan sendiri dengan hidup mereka? Bukankah itu contoh konkrit ide menarik untuk ditulis? Paling tidak pengalaman sehari - hari yang membosankan itu yang ditulis. Menuliskan saja apa yang ada dalam isi kepala dan selanjutnya diposting ke blog. Hanya sebatas dan sesederhana itu saja.

Tuan dan puan, kedengaran memang gampang tapi sulit memulai. Begitu kata sahabatku yang lain. Sungguh sebuah alasan klasik yang tiada habis – habisnya bagi mereka. Tapi memang benar, persoalan ini sering kali akan dihadapi oleh seorang pemula walau tak jarang pula ada penulis senior sekalipun akan mengalaminya. 

Kalau mau ditelusuri lebih jauh penyebabnya itu sepela sebenarnya, karena kita belum menguasai materi. Kekurangan atau minim literature. Maka kita memerlukan strategi khusus untuk terus menuliskan apa saja yang terlintas dalam pikiran tanpa harus berpikir mau dikemankan. Paling tidak kita tidak menjadi seorang penulis dan editor dalam waktu yang bersamaan. Apabila sudah berhasil menuliskan ide dalam satu atau dua halaman sudah selesai baru kita edit lagi.

Ini Beta punya pengalaman tuan dan puan. Ketika memotivasi sahabatku yang adalah seorang petani untuk menjadi seorang bloger ia mengatakan, “Takut dihujat aah…petani tidak pinter bermnain kata – kata seperti wartawan.” Bener sekali tuan dan puan, kebanyakan kita sebenarnya mau menulis tapi takut dihujat.

Seorang pembaca yang kebetulan mampir ke blog kita akan berkomnetar, “Tulisan apaan sih? Ah kalau sekedar bikin tulisan kayak gini aku juga biki oooih…” ada yang lain lagi dan lebih sakit kalau dilihat komentarnya, “Tidak berbobot sama sekali. Heran sama si pemilik blog ini. Tulisan kayak gini kok diposting? Emank tidak tau malu apa?”

Tidak perlu dipikirkan. Bukankah komentar seperti itu juga sudah pernah didengar atau bahkan kita sendiri pernah melontarkannya saat membaca sebuah postingan buku? Bisa jadi juga kita pernah melakukannya saat mengunjungi sebuah toko buku dan kemudian kita mengontari seorang penulis yang sudah berhasil menerbitkan sebuah buku kan?

Menulis artikel di blog saja belum bisa tapi beraninya mengomentari sebuah buku yang sudah melalui berbagai tahapan dan lulus sensor sampai bisa diterbitkan. Jadi kalau dulu hanya bisa komentar maka sekarang sudah saatnya untuk memulai dan menerima hujatan demi hujatan agar lebih baik.  Heheheh tenang coy…

Ketika belum bisa menulis sebuah artikel paling tidak di blog pribadi, tentunya  kita akan menjadi seorang kritikus hebat yang melontarkan hujatan demikian. Namun seiring perjalanan sang waktu yang kita selalu keluhkan karena kekurangan itu kita akan sadar. Kesadaran kita akan lahir bahwa tulisan apapun, tema apapun atau artikel dan cara penulisannya seperti apapun kalau sudah berhasil diterbitkan oleh seorang bloger itu adalah sebuah karya. Karya yang harus dihargai paling tidak kita sendiri karena kita tahu sudah melalui berbagai proses hingga tuntas.

Tuan dan puan mungkin bisa membayangkan, seorang petani yang setiap hari berusan dengan cangkul. Lumpur dan hama tanaman, belum tentu memiliki tata bahasa yang bagus untuk menuliskan ilmu pertaniannya. Tidak perlu membayangkan yang muluk – muluk agar artikel yang kita tulis itu sebagus penulis kelas atas.

Tidak perlu juga menggunakan bahasa yang keren kalau kita sendiri tidak tau maknanya. Kita adalah orang Indonesia, gunakan saja bahasa yang sederha dan mudah dipahami. Layaknya bahasa sehari – hari seorang petani di kebun. Kalau seorang petani bisa menulis di artikel tentang ilmu pertanian, kemudian menjadi bloger sekaligus mempublikasikan diri sendiri, kenapa kita yang lain tidak bisa?


Saat menulis sebuah artikel, dan mempostingkan ke blog otomatis sudah menjalan tugas jurnalistik. Maka disaat menjadi bloger, dengan sendirinya seseorang sudah menjadi wartwan. Sekali lagi bloger adalah wartawan yang telah melakukan sebuah revolusi menulis di Indonesia. (*)