Saturday 3 January 2015

Anak Laihiding Melintasi Zaman



Anak Kampung Laihiding, Sumba Timur bertelanjang renangi sungai ke sekolah
Sejak puluhan tahun bangsa ini merdeka, jutaan orang telah menikmati manfaat pembangunan. Namun fakta di Dusun Laihiding, Desa Kiritana, Sumba Timur  tidak demikian. Hidup tak pernah mudah bagi sekitar 40 – an anak usia sekolah di kampung ini.

Kala musim panas dan kemarau panjang melanda Pulau Sumba setiap tahun, puluhan anak – anak usia harus menoreh keringat melintasi padang savanna. Bukan hanya sebatas itu, mereka juga harus menyebrangi derasnya aliran sungai untuk mencapai lokasi tempat menimba ilmu yakni SDN Kiritana.
Memiliki sebuah tas sekolah akan menjadi sangat istimewa bagi seorang anak meskipun sudah bertahun – tahun usianya. Sobek dan lusuh bukan masalah, namanya tetap sebuah tas sekolah yang tentu mahal nilainya. Meskipun sudah sobek dan lusuh, namun sebuah tas kresek tetaplah mahal nilainya bagi mereka.
Puan tentu bertanya, apa yang mahal dari sebuah tas kresek yang dapat dibeli dengan harga tiga seribu di pasar atau toko? Bahkan terkadang juga akan mendapatkan dengan gratis saat belanja di pasar. Bukan itu letak persoalannya tuan dan puan.
Tuan coba bayangkan, demi menimba ilmu seoarang anak di bawah usia 10 tahun harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 10 kilo meter setiap hari pergi dan pulang. Meninggalkan rumah orang tua sejak tubuh dan baru akan tiba kembali di pemukiman penduduknya pada petang hari.
Usai renangi sunagi, anak Kampung Laihiding, Sumba Timur mendaki bukit ke sekolah
Di kampung ini tidak ada mobil mewah. Melihat sebuah kendaraan roda dua melintas padang savanna hingga di tengah pemukiman penduduk adalah sesuatu yang mustahil. Jarak yang demikian bukan ditempuh dengan alat transportasi seperti yang biasanya dipakai oleh tuan dan puan di kota.
Menenteng sebuah tas kresek yang sesak dengan buku, pena dan pensil serta penghapus adalah sesuatu yang senantiasa didambakan oleh puluhan anak usia sekolah dari Laihiding. Menapaki jalan setapak tanpa alas kaki di bawah terik mentari panas adalah sebuah kebanggaan menjadi anak sekolah.
Menanggalkan seragam merah putih, bertelanjang dan berenang sambil menenteng tas kresek yang diisi peralatan sekolah adalah semangat anak Laihiding. Tiba di seberang sungai dan kembali mengenaikan seragam merah putih, spirit anak dari kampung ini dalam melintasi zaman.
Tuan dan puan, berenang di aliran sungai yang jernih sekitar Sembilan bulan dan tiga bulan bertarung dengan banjir bukan hal baru lagi. Semuanya hanya demi mendapatkan ilmu di bangku sekolah dasar.
Setiap pagi mengucapkan selamat pagi ibu, selamat pagi bapak ku pergi sekolah menuntun ilmu demi masa depan tidak semudah dan segampang anak – anak di tempat lain. Sejak leluhur anak kampung laihiding, mereka sudah biasa untuk menyebrangi aliran sungai yang deras dan dalam.
Anak Kampung Laihiding, Sumba Timur bertelanjang & renangi sungai lagi ke sekolah
Mengayunkan satu persatu langkah kaki beberapa ribu meter, setiap mereka harus bertelanjang. Dan terjun… terjun ke dalam aliran sungai. Bereneng dan berenang hingga ke tepian. Selanjutnya, menapaki kaki bukit hingga ke puncak dan kembali menrun ke kaki bukit sebrang. Menapaki jalan setepak, menelusuri hutan belatantara hingga tiba lagi di tepi sungai. Kemudian seragam merah putih di tanggalkan. Bertelanjang lagi dan lagi. Terjun dan terjun lagi untuk berenang ke tepian.
Setibanya seberang, kembali mengenakan seragan kebanggaan bangsa. Kulit tubuh anak – anak sekolah inipun kembali dibungkus dengan warna Pusaka bangsa. Selanjutnya kaki mungil mereka diayunkan beribu kali dengan pasti hingga tiba di depan kelas dan siap menerima ilmu dari bapak dan ibu guru mereka.
Tuan dan puan, entah kapan bekas roda kendaraan akan terlihat tengah kampung Laihiding. Sudah sejak ratuasan tahun, ratusan jiwa warga Kampung Laihiding merindukan jalan raya, tapi entah sampai kapan kerinduan itu akan terobati? 

(Catatan pengalaman saat melakukan perjalana ke Kampung Laihiding bebera waktu yang lalu)




No comments: