Sunday 31 July 2016

Sorgum dan Pertobatan Ekologi Umat (2)

                                                                                                              POS KUPANG/JOHN TAENA
Kebun sorgum milik warga Dusun A, Desa Waikerong, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata. Selasa (10/5/2016).
KEPUTUSAN menjadikan sorgum sebagai tanaman kebanggaan yang digagas Keuskupan Larantuka sejak tahun 2009 butuh waktu panjang untuk sukses. Berbagai pihak yang menemui Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr untuk menawarkan bantuan kepada umat di desa-desa selalu tidak bertahan lama.

Pihak yang akhirnya berhasil membudidayakan sorgum di wilayah Keuskupan Larantuka adalah Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati).

"Saya bilang sudah terlalu banyak kelompok LSM yang datang menawarkan bantuan ke desa-desa. Apakah boleh kamu datang dan tinggal di desa, hidup dengan masyarakat di desa dan bekerja dengan mereka supaya seperti apa kehidupan dan pembangunan di desa itu dirasakan? Kalau kamu bersedia silakan," kata Uskup Frans mengulang pernyataanya saat pertama kali didatangi Maria Loreta yang ingin mengembangkan tanaman sorgum di Flores Timur.

Maria Loreta mengikuti anjuran Uskup Frans. Pengembangan sorgum yang hanya sekali tanam namun bisa panen berulang itu berhasil. Sorgum pun terbukti lebih tangguh menghadapi hama serta iklim yang tidak menentu.Di saat padi dan jagung gagal panen karena kekurangan air, sorgum malah bertumbuh subur di lahan kritis.

Menurut Direktur Yaspensel Keuskupan Larantuka, Romo Benyamin Daud, Pr saat panen raya sorgum di Dusun Likotuden, Desa Kawelelo, Kecamatan Demon Pagon, Flores Timur, Senin (9/5/2016), saat curah hujan terbatas akibat perubahan iklim, sangat cocok menanam sorgum yang tidak butuh banyak air.

Hal senada dikatakan Direktur Program Yayasan Kehati Teguh Triyono, saat acara panen raya sorgum di Dusun A, Desa Waukerong, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Selasa (10/5/2016).

Teguh menjelaskan, sorgum merupakan pangan lokal bergizi tinggi dan memiliki banyak keistimewaan. "Sederhananya begini, kalau ada yang sakit gula, lalu diteruskan makan beras, maka akan bertambah parah sakitnya. Tapi kalau pakai sorgum, bisa menghindari diabetes, karena kadar gulanya rendah," ujarnya.

Para petani yang selama ini didorong oleh Yayasan Kehati dan Yaspensel Keuskupan Larantuka menanam sorgum dibanding padi dan jagung karena jenis tanaman ini lebih tahan panas.
Menurut Teguh, kondisi alam daerah ini sangat menjanjikan untuk budidaya sorgum. Petani cukup menanam sekali, tapi dapat memanen berulang kali. Berbeda dengan nasib petani sorgum di luar negeri seperti Taiwan dan Cina yang hanya sekali panen.

"Di Taiwan dan China petani hanya panen satu kali setahun. Beda dengan kita, sekali tanam sorgum bisa panen berulang kali. Sekali potong dan masih ada sedikit air, sorgum bisa tumbuh dan bisa dipanen lagi. Itu adalah anugerah kita," ujar Teguh.

Dirut Yayasan KEHATI, M. Senang Sambiring, mengungkapkan rasa terima kasih kepada para petani di NTT. Menurut dia, setiap daerah memiliki ciri khas dan keunggulan sendiri. Hal ini perlu disuarakan terus oleh seluruh petani. Tujuannya agar ke depan bisa diperhatikan oleh pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan.

Sorgum dari Pulau Flores lebih berkualitas dibanding daerah lain. Hal ini terlihat dari hasil uji laboratorium yang dilakukan di Laboratorium Uji Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr, mengatakan, kehadiran Yayasan Kehati telah mendorong umat di keuskupannya untuk mengembangkan sorgum sebagai keunggulan yang dimiliki.
"Saya bermimpi ke depan generasi muda harus mencintai tempatnya. Mencintai lautnya, juga harus mencintai wilayahnya. Ketika berhenti dari sekolah karena orangtua tidak mampu melanjutkan, jangan pikiran yang ada itu adalah Malaysia. Semua hanya Malaysia padahal di sini juga bisa," ujar Uskup Frans.


Uskup Frans mengajak bupati dan wakil bupati, anggota DPRD dan seluruh instansi pemerintah untuk terus mendorong pengembangan tanaman sorgum di wilayah itu. (john taena/habis)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber Pos Kupang cetak, edisi cetak (Minggu, 16/5/2016 )

Sorgum dan Pertobatan Ekologi Umat (1)

POS KUPANG/JOHN TAENA
Maria Loreta bersama kaum perempuan di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagon, Flores Timur menjunjung sorgum hasil panen, Senin (9/5/2016).
SEJARAH tentang padi, tentang jagung, tentang sorgum. Ada sejarah yang hidup di dalam masyarakat, sehingga sebut sorgum itu adalah jati diri.

Devosi  Semana Santa di Keuskupan Larantuka, Flores Timur telah berlangsung selama kurang lebih 500 tahun. Namun apa sebenarnya tujuan di balik perayaan itu? Apakah sebatas berdoa dan bersyukur?

Apakah jawaban dari kehidupan beragama yang sudah berusia 500 tahun ketika mutu sekolah makin menurun? Tingkat kesejahteraan ekonomi umat pun tidak lekas membaik?
Demikian pertanyaan reflektif Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr ketika berbicara tentang tanaman sorgum yang kini dikembangkan secara luas dengan panenan berlimpah di Kabupaten Flores Timur (Flotim).

"Devosi Semana Santa cukup kuat di sini. Kami memperingati dan merayakan sudah 500 tahun. Ketika pencanangan 500 tahun perayaan ini, saya berpikir bahwa perayaan itu untuk apa? Apakah cuma bersyukur, berdoa?" ujar Uskup Frans di Larantuka, Senin (9/5/2016) lalu.

Pertanyaan reflektif Uskup Frans itu mencerminkan tekadnya untuk menghasilkan sesuatu yang lebih konkret sesuai kebutuhan masyarakat Flotim. "Perayaan 500 tahun Semana Santa dirayakan 2010, maka sejak 2009 saya ke Jakarta. Saya menjumpai tokoh-tokoh di sana, saya bangun dialog. Apakah ada pikiran untuk membantu Keuskupan Larantuka dan membantu Flores?" kenangnya.

Selama bertemu dengan para tokoh dan pengusaha di Jakarta, Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr, menggambarkan situasi ekonomi umatnya yang memrihatinkan dan mutu pendidikan yang semakin merosot. Uskup Frans mengharapkan sebuah bantuan untuk mengubah kehidupan umatnya di Flores dari aspek pendidikan dan kesejahteraan sosial ekonomi.

"Saya bertemu Ibu Mari Pangestu, Pak Goris Mere dan juga Menteri Purnomo Yusgiantoro. Juga banyak tokoh lain yang saya ajak diskusi. Akhirnya pelan -pelan muncul sejumlah gerakan. Awalnya gerakan peduli Larantuka, setelah itu ada peduli Flores, lalu makin meluas menjadi gerakan peduli Indonesia Timur," jelasnya.
Meluasnya gerakan itu sempat mencemaskan uskup. "Saya punya kekhawatiran jika terlalu luas maka gerakan awal akan terhenti. Maka saya sendiri berusaha fokus di Larantuka. Saya mau buat apa, tanpa mengabaikan Flores, dan gerakan peduli Indonesia Timur," katanya. 

Uskup Frans menjelaskan, gerakan peduli Larantuka, Flores dan Indonesia Timur menjadi topik diskusi para pemuka dan tokoh kala itu. Mereka bertemu di Kupang dan Surabaya beberapa kali guna membahas topik ini.

"Saya kembali fokus pada pendidikan, kesejahteraan ekonomi umat lewat pertanian. Itulah kenapa pilihannya pada tanaman sorgum di tempat itu (Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Flores Timur, Red)," jelas Uskup Frans.

Lokasi tersebut dipilih sebagai titik awal pengembangan tanaman sorgum oleh Mgr. Frans bukan tanpa alasan. Pertama, masyarakatnya masih tradisional dan terpencil, namun memiliki prospek ke depan. Masyarakat sederhana dan masih kuat dengan tradisi.

"Daerah ini merupakan titik pembangunan penting karena bisa ditarik garis ke mana- mana. Ke Flores daratan barat, bisa ditarik garis ke Pulau Solor, ditarik garis ke Adonara dan Pulau Lembata. Biasanya masyarakat sederhana dan kuat tradisi itu memiliki ikatan kekeluargaan yang juga kuat," ujar Uskup Frans.

Sebelumnya Uskup Larantuka sempat berpikir untuk mengembangkan peternakan di daerah itu karena warga memiliki tradisi beternak. Namun, ada masalah lain yaitu tidak mudah mengubah tradisi beternak lepas ke ternak peliharaan.

Sebagai daerah yang memiliki prospek, maka pihak Keuskupan Larantuka meminta dukungan pemerintah membangun dermaga. Tujuannya memperlancar transportasi laut.
"Dengan kegiatan panen sorgum ini, saya berterima kasih kepada Yayasan KEHATI (Keanekaragaman Hayati Indonesia)," ujarnya.

Sorgum merupakan tanaman yang menarik bagi warga Pulau Flores dan Lembata. Jenis tanaman itu bukan sekadar untuk memenuhi tuntutan perut, melainkan jati diri.

"Ini menarik bagi saya, ketika tadi ada orang yang menyebut jenis tanaman ini punya kaitan dengan jati diri. Jadi, ini tanaman masyarakat lokal yang punya sejarah. Sejarah tentang padi, tentang jagung, tentang sorgum. Ada sejarah yang hidup di dalam masyarakat, sehingga sebut sorgum itu adalah jati diri," demikian Uskup Frans. (john taena/bersambung)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber Pos Kupang cetak, edisi Sabtu (14/5/2016)

Monday 18 July 2016

Pesan Terakhir Perempuan Rembulan

Ilustrasi dari google


Bayangan perempuan itu terlihat samar-samar di balik keremangan cahaya rembulan malam hari. Sehelai kain menutupi wajah dan kepalanya. Bintang-bintang kecil di angkasa kecil itu terus dipandanginya.

“Cinta itu indah, sebab ia bekerja dalam ruang kehidupan yang luas. Pekerjaan cinta adalah memberi. Memberi apa saja yang dibutuhkan oleh orang yang kita cintai. Demi sebuah kebahagian meski sederhana,” suara lantang perempuan itu membelah kesunyian.

Dahulu dia adalah seorang perempuan rembulan yang periang. Seluruh karunia hidup dari Tuhan telah dipersembahkan, bagi seorang pemuda pujaannya. Perempuan itu lebih menyayangi tambatan sang pujaan hati dari dirinya sendiri.

Lelaki pujaan hatinya dinilai sudah matang yang bisa membiaya kehidupan mereka. Perbedaan usia yang terpaut hingga 10 tahun bukanlah persoalan. Dia telah rela meninggalkan universitas ternama, di kotanya ketika baru duduk di semester ke tiga. Semua dilakukan untuk mewujudkan cintanya, kepada sang pemuda yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan.

Seiring perjalanan waktu usia pernikahanya telah menginjak tahun yang ke-11, dan belum dikarunia buah cinta. Meski rumah tangga yang dibina bersama pujaan hati, terlihat bahagia di mata keluarga dan kebanyakan orang, ternyata tidak demikian. Sejuta duka terus menyelimuti hari-harinya.

Sang suami selama ini diam-diam telah memiliki istri simpanan. Rumput tetangga yang lebih hijau dan menyilaukan mata, telah membuat sang suami berpaling dan memilih untuk berselingkuh dengan wanita lain. Laki-laki yang dahulu dipujanya itu telah berhianat dan memiliki istri simpanan di luar.

Waktu terus berlalu dan hidup pun kian berat. Keluarga yang tidak tega melihat penderitaan perempuan rembulan itu menuntut perceraian mereka. Namun langit hatinya masih bergantung, pada lelaki yang telah dipujanya sejak dulu. Di dalam diam hati perempuan rembulan terus meronta.

Dia akhirnya memutuskan untuk pergi merantau dan berpisah sementara dengan suaminya. Perempuan rembulan pun kemudian berangkat ke luar negeri, menjadi seorang tenaga kerja wanita (TKW). Dua tahun berada di negeri orang, dirinya mengalami sakit berat dan dipulangkan ke kampung halaman.

Hasil diagnosa dan uji lab menyatakan perempuan rembulan, telah positif mengidap penyakit AIDS. Penyakit mematikan yang belum ditemukan obatnya itu, ternyata sudah diderita perempuan rembulan sejak 10 tahun silam. Penderitaannya terus bertambah parah. Sementara keluarga tidak memiliki jalan lain, selain berpasrah kepada Tuhan sambil menunggu harinya berakhir. Mereka hanya mampu menghibur perempuan rembulan di sisa-sia kehidupan menuju kematiannya.

Dua hari sebelum ajal menjemput, perempuan rembulan meminta keluarga untuk mendatangkan sang suami. Meski penuh keterpaksaan, suami perempuan rembulan bersedia untuk datang. Perempuan rembulan lalu meminta maaf. Dirinya juga menyampaikan rasa terima kasih tiada tara, atas semua hal yang telah dilalui bersama suaminya.

“Maafkan aku, maafkan cintaku yang terbatas ini. Maafkan rahim sial ini yang tdak bisa memberimu keturunan. Maafkan aku yang tidak bisa menjadi ibu untuk anak-anakmu. Aku ingin pulang ke ribaan Tuhan dengan tenang, dan telah ku ikhlaskan untukmu memiliki yang lain secara resmi. Maafkan aku, aku mencintaimu.” demikian pesan terakhirnya.

Sang suami tidak mampu berkata-kata. Diriya diam seribu bahasa dan hanya meneteskan air mata tatkala menerima pesan terakhir dari perempuan rembulan.

Kisah ‘Perempuan Rembulan’ karya Yahya Ado ini, diceritakan lewat pentas monologia yang dimainkan oleh Linda Tagie. Naskah yang terinspirasi dari sebuah kisah nyata itu dikemas oleh Sutradara, Lanny Koroh, dan dipentaskan dalam acara ‘Panggung Perempuan Biasa’ di Taman Dedari Sikumana, Kupang, Sabtu (16/7/2016).

“Bukan hanya dari Kota Kupang tapi ada yang datang dari Flores dan Lembata, bahkan dari Bali juga datang. Pentas monolog dan musikalisasi puisi sebagai bentuk protes seniwati terhadap human traficking dan kekerasan terhadap perempuan,” demikian Koordinator Komunitas Perempuan Biasa, kepada Pos Kupang, usai acara di lokasi itu, Sabtu (16/7/2016) malam.(jet)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber Pos Kupang cetak, edisi Minggu (17/7/2016) halaman 2. 

Thursday 10 September 2015

Tempat Belajar yang Menyenangkan

POS KUPANG/ENOLD AMARAYA

CERIA-Kepala SMPK St. Yoseph Kupang, Romo Amanche Frank OE Ninu, Pr (tengah) bersama siswa dan guru tampak ceria seusai peluncuran berbagai kegiatan, Jumat (4/9/2015).



Setelah  Gerakan 30 September 1965, situasi politik dalam negeri belum stabil. Ratusan anak usia sekolah di Kota Kupang saat itu kesulitan untuk memperoleh pendidikan yang layak.

Selain karena masalah ekonomi, juga karena keterbatasan sarana prasarana pendidikan. Akibatnya banyak anak tidak dapat melanjutkan pendidikan ke SMP setelah tamat sekolah dasar (SD).

Kondisi ini disebabkan minimnya lembaga pendidikan menengah pertama. Selain itu, daya tampung rombongan belajar sangat terbatas dan jarak tempuh yang cukup jauh. Realitas sosial yang terjadi kala itu menjadi keprihatinan berbagai pihak.

Di kondisi memrihatinkan, Yos Djogo, B. Sc, salah seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Dinas Pertanian Provinsi NTT, berinisiatif menghadirkan satu lembaga pendidikan menengah pertama, yaitu SMP. Kala itu wilayah Naikoten, Kota Kupang, belum terlalu padat dan Yos memutuskan membangun sebuah lembaga pendidikan menengah pertama.

Motivasinya saat itu untuk menampung anak - anak yang sudah tamat sekolah dasar dan hendak melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Niat itu akhirnya terwujud pada 6 Januari 1966, sebuah sekolah menengah pertama resmi didirikan dengan nama SMP Katolik Sapientia (Kebijaksaan) II.

Lokasi sekolah itu berada di Jalan ER Herewila No. 27, RT 05/RW 03, Kelurahan Naikoten II, Kecamatan Kota Raja, Kota Kupang. Setelah sukses mendirikan lembaga pendidikan, Yos mengajak sekitar lima orang mahasiswa asal Flores yang sedang menimba ilmu untuk menjadi guru. Kelima orang tenaga honorer yang bertugas untuk mengasuh sekitar 23 orang siswa angkatan pertama saat itu dipimpin Barlon Parera. Ke-23 orang siswa angkatan pertama kala itu berasal dari berbagai latar belakang etnis dan agama.

Rata-rata para siswa yang biasanya mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) pada siang hari tinggal bersama wali murid dan orangtuanya. Selain itu, dua orang staf guru itu adalah di antaranya Drs. Piter Boli Keraf (mantan Penjabat Bupati Lembata) dan Bernard Belo Ola (mantan Kadis Sosial Kabupaten Sumba Timur dan Sikka).

"Kegiatan KBM dilakukan pada siang hari dan dipimpin oleh Bapak Barlon Parera, sebagai kepala sekolah. Beliau sebenarnya sudah memiliki tugas pokok, karena pagi hari menjadi kepala sekolah SDK Santo Belarnus, yang kemudian berubah nama menjadi SDK Santo Yoseph I ini," jelas Kepala Sekolah SMP Katolik St. Yoseph Naikoten, Romo Amanche Frank OE Ninu, Pr, di ruang kerjanya, Jumat (4/9/2015).

Seiring perjalanan waktu, lembaga ini bergabung dengan Yayasan Swastisari Keuskupan Kupang (Keuskupan Agung Kupang saat ini) pada tahun 1969. Namun setelah berdirinya Paroki Santo Yoseph yang memekarkan diri dari Paroki Katedral Kristus Raja, pengelola lembaga itu diserahkan kepada Dewan Pastoral Paroki Santo Yoseph Naikoten.

"Oleh Pater C Nellisen SVD, misionaris asal Belanda yang menjadi pastor paroki saat itu, nama SMPK Sapientia II berubah menjadi SMPK Santo Yoseph. Nama Santo Yoseph pun diabadikan menjadi santo pelindung sekolah ini," jelas Romo Amanche.

Sebagai lembaga pendidikan, SMP Katolik Santo Yoseph Naikoten - Kupang, sejak awal hadir dengan visi membentuk manusia berkarakter yang unggul dalam ilmu, iman dan moral.

Selain itu, misinya antara lain, menciptakan sekolah sebagai komunitas pendidikan yang menyenangkan dan bersaudara, berdasarkan norma dan nilai budaya bangsa dan nilai-nilai Kristiani. Mengembangkan profesionalitas pendidikan dan tenaga pendidik dalam layanan pendidikan berkualitas.

Mengembangkan kurikulum secara optimal dan proses pembelajaran secara efektif, efisien dan inovatif. Mendorong dan membantu peserta didik untuk mengenali potensi diri, sehingga dapat dikembangkan secara optimal. Membekali peserta didik agar lebih mencintai alam serta lingkungan sekitar.

Menumbuhkan penghayatan dan pengalaman iman dan kepercayaan yang dianut melalui Tri-tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja. Kini di usianya sudah hampir genap setengah abad (50 tahun), lembaga ini telah mampu dan terus memberikan kontribusi sesuai visi dan misinya dan mencerdaskan anak bangsa.

Tercatat lebih dari 7.000 alumni telah berkarier di dalam dan luar negeri. Para alumni yang pernah mengenakan almamater SMP Katolik Santo Yoseph Kupang, kini terus mendedikasikan diri sebagai pemimpin bangsa dan daerah, serta menjadi pemimpin gereja.

"Mantan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia era Presiden Megawati Soekarnoputri, Dr. Soni Keraf, dan Bupati  Manggarai. saat ini, Drs. Christian Rotok serta masih banyak deretan nama lainnya. Mereka semua adalah putra dan putri yang lahir dari rahim lembaga SMP Katolik Santo Yoseph Kupang," jelas Romo Amanche.

Punya mimpi untuk menjadikan sekolah ini tetap dan lebih berkualitas di masa yang akan datang teristimewa anak - anak didik ini kalau sudah keluar dari sini mereka akan menjadi orang yang mencintai iman dan ilmu.

Mereka mampu mengembangkan diri. Menjadi orang yang baik dan berguna. Menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter untuk gereja dan tanah air. "Sama seperti para alumnus yang sudah dilahirkan oleh almamater ini," ujarnya.

Di usianya yang ke – 49, saat ini sedang dipersiapkan Pesta Emas SMPK St Yoseph Kupang yang akan segera dirayakan oleh lembaga itu. Sebagai Kepala Sekolah, Romo Amanche memiliki mimpi untuk menjadikan lembaga pendidikan itu lebih berkualitas di masa yang akan dating. Para peserta didik diharapkan  mampu mencintai manusia yang mencintai iman dan ilmu. 

“Teristimewa anak – anak didik ini kalau sdh keluar dari sini mereka akan menjadi org yg mencintai iman dan ilmu, sama seperti para alumnus sperti yang sudah dilahirkan oleh almamater ini,” tandas Romo Amanche.(john taena)

Sumber Pos Kupang cetak edisi Senin (7/9/2015), halaman 1 






Sunday 23 August 2015

Hilangkan Stigma Kekejaman MOS


“Karakter yang ditanamkan dalam diri setiap peserta didik adalah sikap bisa dipercaya atau tidak menipu. Mengerjakan sesuatu tanpa harus diawasi.”

                                                                                                                               Pos Kupang/John Taena
MOS — Siswa – siswi SCHIPS and St. Peter’s School Kupang bersama para guru saat MOS di Pantai Lasiana Kupang. Sabtu (8/8/2015)  
Rambut dikepang, diikat menggunakan tali rafia. Memakai topi setengah bola dan membawa peralatan seperti ember serta sapu. Tak jarang ada yang harus membeli beberapa botol bir ke sekolah. Belum lagi akan dipelonco oleh para senior, seperti push up, jongkok, loncat dan beraneka ragam penyiksaan lainnya.

Opini publik telah terbentuk sejak lama, Masa Orientasi Sekolah (MOS) identik dengan kekerasan. Kejam dan tidak berperikemanusiaan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan hakikat MOS sesungguhnya.

Memasuki tahun ajaran, Nusa Cendana Internasional Plus School (NCIPS) and St. Peter's School Kupang menerapkan metode yang berbeda dalam MOS bagi calon siswa. Sebagai salah satu lembaga pendidikan yang menerapkan dua bahasa dalam proses belajar mengajar, panitia menghilangkan stigma MOS itu kejam.

Hari Sabtu (8/8/2015), ratusan siswa empat sekolah dari keluarga besar NCIS and St. Peter's School, diarahkan panitia mengikuti kegiatan MOS di Pantai Lasiana Kupang. "Suasana kebersamaan dibangun tapi masih tetap dalam pembentuk karaktek," demikian Pasianus Payong Pulo, S.Pd, salah seorang guru di lembaga tersebut kepada Pos Kupang di Lasiana, Sabtu (8/8/2015).

MOS itu intinya pengenalan sekolah kepada peserta didik agar mereka menyesuaikan diri dengan suasana baru. "Kegiatan di sekolah itu full dari pagi sampai sore (07.30 -14.15 Wita). Jadi kita pilih MOS di Lasiana sekalian untuk refreshing," jelasnya.

Ketika berada di luar lingkungan sekolah, para calon siswa dan peserta didik didorong meningkatkan rasa kebersamaan. "Tidak bisa dipungkiri sikap seperti ini berkurang karena pola hidup individual," ujar Payong.

Di lokasi wisata tersebut peserta didik pun mengasah kemampuan bahasa Inggris. Menurut dia, pembinaan mental dan pembentukan karakter bukan hanya diberikan kepada siswa baru melainkan para senior juga menjadi sasaran. Alasanya, dalam keseharian di sekolah para siswa baru akan sosialisasi dengan senior mereka. Hal ini yang harus ditanamkan agar para senior harus bisa menjadi panutan. Dan, lebih penting lagi mereka saling menghargai.

"Dulu siswa sangat menghormati satu sama lain, bukan hanya yunior menghormati senior atau yang tua tapi semua orang saling menghargai. Suasana paling rusak di sekolah saat ini adalah ketika guru mengajar di depan, para murid juga sibuk ngomong di belakang," kata Payong Pulo.

Melihat realitas miris itu, NCIPS and St. Peter's School Kupang merasa terpanggil untuk mengembalikan dunia pendidikan pada relnya dengan tiada henti membentuk karakter siswa. Untuk pembentukan karakter ini, para siswa diajak saling menghormati ala budaya orang Jepang. "Saling membungkuk sebagai tanda awal respek, bukan hanya kepada guru, tapi kepada semua orang tanpa kecuali itu karakter pertama," katanya.

Karakter kedua yang ditanamkan dalam diri setiap peserta didik adalah sikap bisa dipercaya atau tidak menipu. Mengerjakan sesuatu tanpa harus diawasi. Selain itu tidak mencuri dan bertanggung jawab.  Kalau mendapat PR dan diminta untuk diselesaikan dalam satu hari ke depan, maka harus bertanggung jawab dengan itu. Jangan sampai tidak diselesaikan pada waktunya karena akan mengganggu jadwal kegiatan yang lain.

Keadilan adalah karakter keempat yang harus ditanamkan kepada para siswa. "Bekerja sama itu tidak masalah tapi bukan untuk menguntungkan salah satu pihak dengan cara-cara yang tidak sehat," katanya. 

Terakhir adalah sikap peduli. Karakter ini sangat penting dan perlu ditanamkan rasa peduli serta empati terhadap sesama. "Jikalau kelima karakter itu dimiliki maka ketika sudah saatnya menjadi pemimpin pasti mereka akan jauh lebih baik," demikian Payong Pulo. (john taena)

Sumber Pos Kupang cetak

Saturday 22 August 2015

Berburu Air di Hutan Taubnono

“Di hutan yang didominasi semak belukar dan pohon kayu putih ini, ada batang pipa ukuran 1,5 dim menyembul dari dalam tanah dan bebatuan. Pipa tersebut mengeluarkan air.”
                                                                                                                                                                                              pos kupang/julianus akoit

MENCARI AIR - Dua bersaudara, Nelcy Nahak dan Ketty Nahak sedang mencari air di Hutan Taubnono, Kupang Timur, Rabu (19/8/2015) siang.

JARUM jam tepat menunjuk pukul 12.00 Wita. Terik matahari terasa membakar kulit. Di sebuah jalan berbatu dan dan berlubang-lubang, dua orang wanita paruh baya mendorong gerobak berisikan 16 jeriken. Nafas mereka terengah-engah. Peluh bercucuran membasahi tubuh mereka.

Mereka menuju ke Hutan Taubnono, perbatasan Desa Tuatuka, Kecamatan Kupang Timur dengan Kelurahan Nonbes, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang. Di hutan yang didominasi semak belukar dan pohon kayu putih ini, ada batang pipa ukuran 1,5 dim menyembul dari dalam tanah dan bebatuan. Pipa tersebut mengeluarkan air.

Meskipun cuma menetes tidak menentu, Ny. Nelcy Nahak dan Ny. Ketty Nahak tetap sabar menunggu. Untuk 16 jeriken air berukuran 5 liter, mereka harus sabar menunggu hingga 2 jam baru terisi penuh.

"Sejak dulu, kami kekurangan air bersih. Di RW 10, ada 21 kepala keluarga yang harus masuk hutan berburu air. Kami harus mete (begadang, Red) berburu air malam-malam di hutan sampai pagi. Siang begini pun masih ada yang datang antre. Jadi 24 jam orang datang antre air," jelas Ny. Nelcy dibenarkan saudara kandungnya, Ny. Ketty.

Dulu sekali, lanjut Nelcy, warga setempat hanya membeli air yang dibawa tukang ojek. Biasanya tukang ojek membawa dua jeriken besar, masing-masing ukuran 20 liter yang ditebus seharga Rp 10.000 per jeriken. Saat memasuki puncak kemarau bulan September - November, tetesan air dari pipa mulai berkurang. Warga membutuhkan waktu lebih lama untuk antre air di kawasan Hutan Taubnono.

"Tahun 2010 lalu, kami dapat bantuan 3.000 batang pipa ukuran 1,5 dim dari PNPM. Itu pun dana sisa PNPM dari Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi sebesar Rp 120 juta. Uang itu dipakai untuk beli 3.000 batang pipa dan buat bak resevoir satu unit sebesar 2 x 2 meter," kisah Mathias Nahak, Ketua RT 20.

Sayang sekali, 3.000 batang pipa itu tidak cukup mengalirkan air sampai pemukiman penduduk. Sambungan pipa cuma sampai hutan Taubnono. Sebab jarak sumber air Oe'uki ke pemukiman sejauh 4,5 kilometer.

"Lalu warga di sini swadaya beli 65 batang pipa plastik untuk disambung lagi. Tapi belum juga sampai ke pemukiman. Terpaksa kami harus pakai gerobak masuk hutan ambil air," jelas Mathias.

Ia berjanji membuat proposal mencari bantuan dana kepada para donatur. "Supaya bisa membeli pipa untuk disambung lagi masuk ke pemukiman warga," ujarnya berharap. Semoga ada yang membantu.(julianus akoit)


Sumber Pos Kupang cetak edisi Kamis 20 Agustus 2015, halaman 1

Perintis Bandara Frans Laga Naik Pesawat (2)

“Pesawat AviaStar carteran Chris Rotok dan Deno Kamelus melayang di ketinggian udara wilayah Kota Ruteng dilepas ratusan pasang mata dengan beragam perasaan.”

                                                                                                                                             pos kupang/egy mo’a

CERIA - Kakek Oscar Garut (95) tampak ceria saat turun dari pesawat AviaStar seusai terbang keliling Manggarai, Sabtu (15/8/2015).
Kakek Oscar Garu Senang Sekali

SAAT pesawat lepas landas dari Bandara Frans Sales Lega Ruteng, Sabtu 15 Agustus 2015 sekitar pukul 10.00 Wita, tergenapi sudah niat Bupati Manggarai Christian Rotok dan Wakil Bupati Deno Kamelus membahagiakan para orang tua perintis pembangunan bandara itu.

Walau demikian aneka perasaan masih terus berkecamuk tatkala 'burung besi' AviaStar carteran itu melayang-layang di ketinggian udara wilayah Manggarai.

"Semua berdoa mudah-mudahan tak terjadi apa-apa dalam enjoy flight ini," kata Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Manggarai, Apri Laturake, S.H.

Suasana menarik tercipta saat pesawat hendak lepas landas dari Bandara Frans Sales Lega. Ketika para tokoh sepuh telah duduk manis pada kursinya, teknisi pesawat membantu memasangkan sabuk pengaman di pinggang. Sebagian dari mereka menunjukkan wajah cemas dan tidak nyaman. Semua mata tertuju ke arah kokpit. "Kita mau siap terbang," ujar teknisi pesawat.

Pesawat pun berjalan pelan keluar dari appron menuju ujung landasan pacu di sisi timur. Semakin kencang deru pesawat, tubuh penumpang seolah ikut bergetar. Tak lama berselang pesawat melaju, melayang meninggalkan landasan pacu.

Terbang gembira diawali rute menuju ke arah barat, wilayah Cancar Kecamatan Ruteng. Dokter Lian Pantas yang mendampingi para orang tua di dalam kabin pesawat itu berperan sebagai pemandu. "Wa Cancar, Golowelu, Reok, Wae Rii, Iteng, Pulau Mules, Ulumbu dan seterusnya," dokter yang bertugas di Puskemas Kota Ruteng itu menerangkan satu persatu wilayah daratan Manggarai dalam bahasa setempat.

Guncangan pesawat diterpa angin kencang atau ketika dihadang gumpalan awan tipis sesekali membentur keras badan pesawat. Mungkin di dalam hati mereka bertanya mengapapesawat bergoyang sesekali atau mengapa turun dan naik tiba-tiba? Sekian menit di udara, wajah cemas tampak memudar. Para perintis pembangunan bandara itu malah bercanda dalam bahasa Manggarai. Hijauan bukit-bukit yang dibungkus pepohonan serta bentangan sawah bertangga-tangga di bawah sana seolah sudah membunuh rasa takut mereka. Pertanyaan demi pertanyaan soal wilayah daratan yang dilewati terus saja meluncur dari setiap penumpang. "Nia ite nana (di mana kita sekarang)."

Setelah 30 menit berlalu, moncong burung besi berbelok menuju Kota Ruteng. Beberapa menit berselang roda pesawat pun menyentuh lagi bumi Congkasae.

Pengalaman pertama naik pesawat tak akan dilupakan Oscar Garu (95), Romanus Tuhe (81) dan belasan orang lanjut usia yang lainnya peserta terbang gembira hari itu. Senang tiada dua menyelimuti suasana batin Oscar dan Romanus. Mereka sulit melukiskannya dengan kata-kata.

Sambil memegang tongkat rotan untuk menopang tubuhnya yang renta, Oscar turun pelan menapaki tiga anak tangga pesawat. Seorang anggota KP3 Udara yang berdiri di ujung anak tangga membantunya menjejakkan kaki di aspal apron.

Senyum ceria tersungging di bibir pria Kampung Taga, Kelurahan Goloduka, Kecamatan Langke Rembong ini. Staf Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Manggarai mengantar dia dan rekan-rekannya menuju deretan penyambut. Mereka disambut senyum dan guyonan dari Bupati Christian Rotok, Wakil Bupati Deno Kamelus, Sekda Manseltus Mitak dan sekitar 200-an pegawai negeri sipil lingkup Pemkab Manggarai.

Jabatan tangan disusul ucapan sukacita dalam bahasa setempat terdengar riuh. Oscar, ayah 11 anak dan 19 cucu itu mengakui belum sekalipun naik pesawat. Sekian lama dia hanya dengar cerita naik pesawat dari sanak familinya. "Ini yang pertama kali saya naik pesawat. Saya senang sekali," kata Oscar yang ditinggal mati istrinya empat tahun silam. "Kalau besok lusa saya mati, saya sudah pernah naik pesawat," ujarnya lagi.

Senyum 'tanpa gigi' sebagian orang tua hari itu sungguh menggambarkan sukacita karena bisa merasakan sensasi naik pesawat terbang. Ada yang tak lupa minta dikirimkan foto ke rumah. Mereka ingin menunjukkan kepada anak, cucu serta sanak famili tentang sukacita berada di ketinggian langit Manggarai.(egy mo’a/habis)

Sumber Pos Kupang cetak edisi Rabu 19 Agustus 2015, halaman 1