POS KUPANG/JOHN TAENA
Maria Loreta bersama kaum perempuan di Dusun
Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagon, Flores Timur menjunjung sorgum
hasil panen, Senin (9/5/2016).
|
SEJARAH
tentang padi, tentang jagung, tentang sorgum. Ada
sejarah yang hidup di dalam masyarakat, sehingga sebut sorgum itu
adalah jati diri.
Devosi Semana
Santa di Keuskupan Larantuka, Flores Timur telah berlangsung selama kurang lebih
500 tahun. Namun apa sebenarnya tujuan di balik perayaan itu? Apakah sebatas
berdoa dan bersyukur?
Apakah jawaban dari kehidupan beragama yang sudah
berusia 500 tahun ketika mutu sekolah makin menurun? Tingkat kesejahteraan
ekonomi umat pun tidak lekas membaik?
Demikian pertanyaan reflektif Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr
ketika berbicara tentang tanaman sorgum yang
kini dikembangkan secara luas dengan panenan berlimpah di Kabupaten Flores
Timur (Flotim).
"Devosi Semana
Santa cukup kuat di sini. Kami memperingati dan merayakan sudah 500 tahun.
Ketika pencanangan 500 tahun perayaan ini, saya berpikir bahwa perayaan itu
untuk apa? Apakah cuma bersyukur, berdoa?" ujar Uskup Frans di Larantuka,
Senin (9/5/2016) lalu.
Pertanyaan reflektif Uskup Frans itu mencerminkan
tekadnya untuk menghasilkan sesuatu yang lebih konkret sesuai kebutuhan masyarakat
Flotim. "Perayaan 500 tahun Semana
Santa dirayakan 2010, maka sejak 2009 saya ke Jakarta. Saya menjumpai
tokoh-tokoh di sana, saya bangun dialog. Apakah ada pikiran untuk membantu
Keuskupan Larantuka dan membantu Flores?" kenangnya.
Selama bertemu dengan para tokoh dan pengusaha di
Jakarta, Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr, menggambarkan situasi
ekonomi umatnya yang memrihatinkan dan mutu pendidikan yang semakin merosot.
Uskup Frans mengharapkan sebuah bantuan untuk mengubah kehidupan umatnya di
Flores dari aspek pendidikan dan kesejahteraan sosial ekonomi.
"Saya bertemu Ibu Mari Pangestu, Pak Goris
Mere dan juga Menteri Purnomo Yusgiantoro. Juga banyak tokoh lain yang saya
ajak diskusi. Akhirnya pelan -pelan muncul sejumlah gerakan. Awalnya gerakan
peduli Larantuka, setelah itu ada peduli Flores, lalu makin meluas menjadi
gerakan peduli Indonesia Timur," jelasnya.
Meluasnya gerakan itu sempat mencemaskan uskup. "Saya punya kekhawatiran jika terlalu luas
maka gerakan awal akan terhenti. Maka saya sendiri berusaha fokus di Larantuka.
Saya mau buat apa, tanpa mengabaikan Flores, dan gerakan peduli Indonesia
Timur," katanya.
Uskup Frans menjelaskan, gerakan peduli Larantuka, Flores
dan Indonesia Timur menjadi topik diskusi para pemuka dan tokoh kala itu.
Mereka bertemu di Kupang dan Surabaya beberapa kali guna membahas topik ini.
"Saya kembali fokus pada pendidikan,
kesejahteraan ekonomi umat lewat pertanian. Itulah kenapa pilihannya pada
tanaman sorgum
di tempat itu (Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Flores
Timur, Red)," jelas Uskup Frans.
Lokasi tersebut dipilih sebagai titik awal
pengembangan tanaman sorgum oleh Mgr. Frans bukan tanpa alasan. Pertama,
masyarakatnya masih tradisional dan terpencil, namun memiliki prospek ke depan.
Masyarakat sederhana dan masih kuat dengan tradisi.
"Daerah ini merupakan titik pembangunan
penting karena bisa ditarik garis ke mana- mana. Ke Flores daratan barat, bisa
ditarik garis ke Pulau Solor, ditarik garis ke Adonara dan Pulau Lembata.
Biasanya masyarakat sederhana dan kuat tradisi itu memiliki ikatan kekeluargaan
yang juga kuat," ujar Uskup Frans.
Sebelumnya Uskup Larantuka sempat berpikir untuk
mengembangkan peternakan di daerah itu karena warga memiliki tradisi beternak.
Namun, ada masalah lain yaitu tidak mudah mengubah tradisi beternak lepas ke
ternak peliharaan.
Sebagai daerah yang memiliki prospek, maka pihak
Keuskupan Larantuka meminta dukungan pemerintah membangun dermaga. Tujuannya
memperlancar transportasi laut.
"Dengan kegiatan panen sorgum ini,
saya berterima kasih kepada Yayasan KEHATI (Keanekaragaman Hayati
Indonesia)," ujarnya.
Sorgum merupakan tanaman yang menarik bagi warga
Pulau Flores dan Lembata. Jenis tanaman itu bukan sekadar untuk memenuhi
tuntutan perut, melainkan jati diri.
"Ini menarik bagi saya, ketika tadi ada
orang yang menyebut jenis tanaman ini punya kaitan dengan jati diri. Jadi, ini
tanaman masyarakat lokal yang punya sejarah. Sejarah tentang padi, tentang
jagung, tentang sorgum. Ada sejarah yang hidup di dalam masyarakat, sehingga
sebut sorgum
itu adalah jati diri," demikian Uskup Frans. (john taena/bersambung)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber Pos Kupang cetak, edisi Sabtu (14/5/2016)
No comments:
Post a Comment