Sunday 31 July 2016

Sorgum dan Pertobatan Ekologi Umat (1)

POS KUPANG/JOHN TAENA
Maria Loreta bersama kaum perempuan di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagon, Flores Timur menjunjung sorgum hasil panen, Senin (9/5/2016).
SEJARAH tentang padi, tentang jagung, tentang sorgum. Ada sejarah yang hidup di dalam masyarakat, sehingga sebut sorgum itu adalah jati diri.

Devosi  Semana Santa di Keuskupan Larantuka, Flores Timur telah berlangsung selama kurang lebih 500 tahun. Namun apa sebenarnya tujuan di balik perayaan itu? Apakah sebatas berdoa dan bersyukur?

Apakah jawaban dari kehidupan beragama yang sudah berusia 500 tahun ketika mutu sekolah makin menurun? Tingkat kesejahteraan ekonomi umat pun tidak lekas membaik?
Demikian pertanyaan reflektif Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr ketika berbicara tentang tanaman sorgum yang kini dikembangkan secara luas dengan panenan berlimpah di Kabupaten Flores Timur (Flotim).

"Devosi Semana Santa cukup kuat di sini. Kami memperingati dan merayakan sudah 500 tahun. Ketika pencanangan 500 tahun perayaan ini, saya berpikir bahwa perayaan itu untuk apa? Apakah cuma bersyukur, berdoa?" ujar Uskup Frans di Larantuka, Senin (9/5/2016) lalu.

Pertanyaan reflektif Uskup Frans itu mencerminkan tekadnya untuk menghasilkan sesuatu yang lebih konkret sesuai kebutuhan masyarakat Flotim. "Perayaan 500 tahun Semana Santa dirayakan 2010, maka sejak 2009 saya ke Jakarta. Saya menjumpai tokoh-tokoh di sana, saya bangun dialog. Apakah ada pikiran untuk membantu Keuskupan Larantuka dan membantu Flores?" kenangnya.

Selama bertemu dengan para tokoh dan pengusaha di Jakarta, Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr, menggambarkan situasi ekonomi umatnya yang memrihatinkan dan mutu pendidikan yang semakin merosot. Uskup Frans mengharapkan sebuah bantuan untuk mengubah kehidupan umatnya di Flores dari aspek pendidikan dan kesejahteraan sosial ekonomi.

"Saya bertemu Ibu Mari Pangestu, Pak Goris Mere dan juga Menteri Purnomo Yusgiantoro. Juga banyak tokoh lain yang saya ajak diskusi. Akhirnya pelan -pelan muncul sejumlah gerakan. Awalnya gerakan peduli Larantuka, setelah itu ada peduli Flores, lalu makin meluas menjadi gerakan peduli Indonesia Timur," jelasnya.
Meluasnya gerakan itu sempat mencemaskan uskup. "Saya punya kekhawatiran jika terlalu luas maka gerakan awal akan terhenti. Maka saya sendiri berusaha fokus di Larantuka. Saya mau buat apa, tanpa mengabaikan Flores, dan gerakan peduli Indonesia Timur," katanya. 

Uskup Frans menjelaskan, gerakan peduli Larantuka, Flores dan Indonesia Timur menjadi topik diskusi para pemuka dan tokoh kala itu. Mereka bertemu di Kupang dan Surabaya beberapa kali guna membahas topik ini.

"Saya kembali fokus pada pendidikan, kesejahteraan ekonomi umat lewat pertanian. Itulah kenapa pilihannya pada tanaman sorgum di tempat itu (Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Flores Timur, Red)," jelas Uskup Frans.

Lokasi tersebut dipilih sebagai titik awal pengembangan tanaman sorgum oleh Mgr. Frans bukan tanpa alasan. Pertama, masyarakatnya masih tradisional dan terpencil, namun memiliki prospek ke depan. Masyarakat sederhana dan masih kuat dengan tradisi.

"Daerah ini merupakan titik pembangunan penting karena bisa ditarik garis ke mana- mana. Ke Flores daratan barat, bisa ditarik garis ke Pulau Solor, ditarik garis ke Adonara dan Pulau Lembata. Biasanya masyarakat sederhana dan kuat tradisi itu memiliki ikatan kekeluargaan yang juga kuat," ujar Uskup Frans.

Sebelumnya Uskup Larantuka sempat berpikir untuk mengembangkan peternakan di daerah itu karena warga memiliki tradisi beternak. Namun, ada masalah lain yaitu tidak mudah mengubah tradisi beternak lepas ke ternak peliharaan.

Sebagai daerah yang memiliki prospek, maka pihak Keuskupan Larantuka meminta dukungan pemerintah membangun dermaga. Tujuannya memperlancar transportasi laut.
"Dengan kegiatan panen sorgum ini, saya berterima kasih kepada Yayasan KEHATI (Keanekaragaman Hayati Indonesia)," ujarnya.

Sorgum merupakan tanaman yang menarik bagi warga Pulau Flores dan Lembata. Jenis tanaman itu bukan sekadar untuk memenuhi tuntutan perut, melainkan jati diri.

"Ini menarik bagi saya, ketika tadi ada orang yang menyebut jenis tanaman ini punya kaitan dengan jati diri. Jadi, ini tanaman masyarakat lokal yang punya sejarah. Sejarah tentang padi, tentang jagung, tentang sorgum. Ada sejarah yang hidup di dalam masyarakat, sehingga sebut sorgum itu adalah jati diri," demikian Uskup Frans. (john taena/bersambung)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber Pos Kupang cetak, edisi Sabtu (14/5/2016)

No comments: