Showing posts with label Feature. Show all posts
Showing posts with label Feature. Show all posts

Thursday 17 July 2014

Reformasi Budaya Sumba (3)



Teladan Dari Desa Kuta 

TRADISI penyembelihan hewan dalam jumlah puluhan, bahkan ratusan ekor, pada saat upacara adat seperti kematian atau perkawinan bagi warga Kabupaten Sumba Timur merupakan hal yang lumrah. Ada nilai positif dari tradisi ini, antara lain tali kekerabatan terus dipererat dan nilai kebersamaan terus dipupuk. Seluruh rumpun keluarga tergerak dengan sendirinya membawa hewan dan sumbangan lainnya untuk meringankan beban tuan pesta, baik dalam pesta adat kematian maupun perkawinan.

Tetapi ada juga sisi negatifnya, yakni pemborosan. Ternak yang disembelih mencapai puluhan dan ratusan ekor bernilai ekonomi tidak kecil. Jika saja sebagian (besar) dari itu dimanfaatkan untuk keperluan non- konsumtif, misalnya untuk biaya pendidikan, maka manfaat jangka panjang yang diperoleh sungguh luar biasa.

Katakanlah dalam sekali pesta adat dihabiskan 50 ekor ternak (babi, sapi dan kerbau) dengan nilai rata-rata Rp 3 juta per ekor, maka sekali pesta menghabiskan Rp 150 juta. Kalau saja Rp 100 juta dialihkan pemanfaatannya untuk kebutuhan produktif, bukankah itu nilai yang tidak kecil?  Untuk pesta adat bagi warga yang berkelas ningrat (umbu), hewan yang dihabiskan mungkin mencapai 100-an ekor. jika dinilai dengan uang, maka ini jumlah sangat fantastis.

Pesta adat, biasanya memakan waktu lama. Ini juga mempengaruhi, tepatnya mengurangi waktu prpduktif warga.  Bahkan tidak sedikit warga yang tidak bisa mengurus kebun dan ternaknya sepanjang pesta adat berlangsung. 

Sisi negatif lainnya adalah pesta adat selalu dijadikan moment untuk berjudi. Siapapun tak bisa membantah bahwa judi adalah penyakit masyarakat. Judi tak pernah membuat seseorang menjadi kaya dan maju. Judi selalu memiskinkan orang dan memantik orang untuk melakukan beragam tindak kejahatan, mulai dari dalam rumah tangga.  Selain itu, kedatanga  kerabat dengan seluruh bawaannya saat pesta adat, menjadi “hutang”  bagi tuan pesta

"Jadi kalau ada keematian begitu, nanti kelaurga- keluarga yang datang dan bawa ternak sekian ekor, akan dibalas suatu waktu saat mereka alami kedukaan. Nah suatu saat kalau ada anggota keluarga meninggal maka kita harus bawa kembali ternak yang pernah mereka bawa untuk kita. Ini sangat memberatkan," kata Hans Hamba Pulu, Kepala Desa (Kades) Kuta di Kecamatan Kanatang, Kabupaten Sumba Timur, Sabtu (12/3/2011).

Menurut Kades Kuta, tradisi seperti itu bisa dikurangi tanpa mengurangi nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan leluhur. Misalnya, kebiasaan untuk menjaga mayat selama ini berminggu-minggu, bahkan berbulan- bulan perlu dibatasi. Jumlah ternak atau hewan yang disembelih pun harus dibatasi. 

"Untuk jaga orang mati sekarang kita batasi maksimalnya 12 hari dan tidak boleh lebih dari itu. Pokoknya harus dikubur," katanya.

Budaya pesta pora dan pemborosan perlu dikurangi bahkan dihentikan. Warga Desa Kuta telah menyepakati dan menetapkan peraturan desa yang mengatur tentang pembatasan-pembatasan itu.
                                                                    ***

"Arisan Pendidikan"


Desa Kuta juga sudah menetapkan Perdes tentang peningkatan sumber daya manusia (SDM) generasi muda. Setiap keluarga wajib membiayai pendidikan anak-anak mereka sesuai standar pendidikan nasional yakni wajib belajar sembilan tahun. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan cita-cita warga setempat untuk menjadikan Desa Kuta sebagai teladan bagi desa lain.

Sebagai motivasi dan juga tanggung jawab moril seluruh warga desa bagi anak-anak mereka, maka akan dibuat arisan pendidikan bagi setiap anak Desa Kuta yang ingin mengenyam pendidikan tinggi. 

Arisan pendidikan tersebut disebut dengan acara "terima tangan". Setiap anak yang akan melanjutkan studi ke bangku kuliah akan membawa serta tanggung jawab yang dititipkan warga desanya. Semua kepala keluarga menyumbang uang untuk biaya di pendidikan tinggi.

"Jadi melalui arisan pendidikan ini juga secara tidak langsung ada ikatan moril. Setiap anak yang pergi kuliah akan belajar sungguh-sungguh untuk bisa meraih gelar sarjana, karena saat dia berangkat ada tanggung jawab yang dititipkan seluruh warga melalui arisan pendidikan," katanya.

Berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini, banyak orang tua yang memikul hutang seumur hidup hanya untuk pesta pora. Karena pada hajatan baik itu acara adat kematian atau perkawinan, lebih cendrung orang berupaya untuk meningkatkan gengsinya. Dengan beban hutang seperti itu, pendidikan anak-anak tidak akan memperoleh alokasi biaya yang jelas. Kesehatan anak-anak tidak terurus dengan baik.

"Kalau kita mau hitung, orang-orang yang berpendidikan di desa ini tidak seberapa. Karena memang tidak ada niat untuk membiayai pendidikan anak-anak dan ini yang akan kita ubah ke depan. Semua wajib sekolah, orangtua wajib sediakan biaya," katanya.

Kesadaran akan kemajuan harus dimulai dari meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dan kesadaran itu sudah dimulai warga Desa Kuta. Desa di pelosok Sumba Timur itu sudah memberi teladan bagaimana menghembuskan angin perubahan itu dari desa, bukan dari kota.  (john taena/habis)

Diterbitkan pos kupang edisi Minggu, 20 Maret 2011

Reformasi Budaya Sumba (2)



Kemiskinan di Gudang Ternak

PULAU Sumba merupakan salah satu wilayah terselatan Indonesia yang memiliki keunikan budaya dan tradisi. Tradisi merapu merupakan salah satu keunikan. Jenazah dibungkus dengan kain adat dan disemayamkan di rumah duka selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Yang unik di sini yakni jenazah tidak membusuk, tidak menebar bau meski disemayamkan demikian lama.

Tinggal serumah dengan mayat selama bertahun-tahun bukan lagi kisah fiktif melainkan kenyataan di tanah Sumba. Selama belum dikuburkan, para kerabat kenalan yang dayang melayat membawa hewan seperti babi, sapi dan kerbau.

Hewan-hewan itulah yang akan disembelih selama sekitar seminggu, bahkan lebih, menjelang penguburan dan sesudah penguburan. Jumlah hewan yang disembelih menunjukkan kelas sosial si orang mati dan keluarganya.

Upacara penguburan (sebelum dan sesudah) bisa berlangsung berminggu-minggu. Sepanjang hari, siang dan malam, selalu ada beberapa ekor hewan disembelih untuk disantap bersama segenap pelayat.

Selama itu pula permainan judi "memperoleh momentumnya". Rumah duka seakan jadi arena judi untuk mengusir kantuk. Maka aktivitas harian seperti mengolah kebun, mengurus ternak dan aktivitas produktif lainnya menjadi berkurang, bahkan tidak dilakukan sama sekali selama acara itu berlangsung.

"Bayangkan kalau dalam setahun ada enam orang yang meninggal dalam kampung dan masing-masing dijaga selama 20 atau 30 hari baru dimakamkan, maka selama itu pula ada aktivitas perjudian dan orang tidak kerja apa-apa. Sementara banyak ternak yang ikut dikurbankan," kata Kepala Desa (Kades) Kuta di Kecamatan Kanatang, Kabupaten Sumba Timur, Hans Hamba Pulu di kantornya, Sabtu (12/3/2011).

Tradisi mengurbankan ternak dalam jumlah besar di Sumba Timur bukan hanya dilakukan pada upacara   kematian, namun juga pada pesta adat lainnya, termasuk perkawinan. Biaya yang dihabiskan untuk urusan-urusan adat tersebut sedemikian besar.

Tradisi inilah menjadi salah satu penyumbang terbesar kemiskinan di tanah Sumba, salah satu daerah yang menjadi gudang ternak di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Kemiskinan membuat orang mudah berbuat kejahatan, yakni kejahatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pencurian dan perampokan disertai tindak kekerasan, bahkan pembunuhan, sering terjadi di Sumba. Ternak peliharaan warga menjadi tidak aman, meski dikandangkan di pekarangan rumah sekalipun! Selalu dirampok dan dicuri orang.

"Pada tahun 2010 pernah ada yang mencuri ayam dan ditangkap kemudian diarak keliling kampung. Sekarang pencurian di sini sudah mulai berkurang dan memang pencuri itu harus dibuat malu sehingga bisa jera dan bertobat," katanya.

Tanpa mengurangi nilai budaya yang ada, tradisi penyembelihan hewan dalam jumlah besar dalam setiap acara adat harus dikurangi.  Hal ini yang telah dilakukan Pemerintah Desa Kuta. "Hal yang paling mendasar dari penetapan peraturan desa ini adalah mengurangi pesta pora, perjudian, pencurian dan menciptakan kenyamanan lingkungan. Kita juga ingin menjaga lingkungan alam melalui perdes ini," katanya.

Alasan lain dari penetapan perdes tersebut adalah wilayah Desa Kuta juga merupakan salah satu lokasi obyek wisata. Hal ini yang harus didukung oleh  warga setempat dengan menjaga lingkungan agar tidak rusak, nyaman dan aman dari aksi kejahatan.

Hal senada dikatakan tokoh masyarakat Kuta, Ngabi Ani (65). Dia mengatakan, penetapan peraturan desa yang dikukuhkan dengan sumpah adat memiliki tujuan mulia. Perdes tidak hanya dikukuhkan melalui penetapan formal pemerintah tetapi juga melalui sumpah adat.

"Kalau ada yang melanggar, maka hukumannya tidak hanya sanksi yang diatur dalam perdes tetapi oleh alam, oleh leluhur karena sudah sumpah adat," ," tegas Ngabi Ani.

Pengalaman selama ini, tambahnya, warga yang melanggar sumpah adat pasti terkena musibah berupa menjadi korban bencana, disambar petir atau musibah lainnya yang merenggut nyawa. "Ada juga yang sakit lalu mati," kata Ani. (
john taen/bersambung)

diterbitkan pos kupang
Minggu, 20 Maret 2011

Reformasi Budaya Sumba (1)


Kurangi Pemborosan
   
PADANG savana yang terbentang luas di seantero Pulau Sumba sangat potensiL untuk  pengembangan ternak seperti sapi, kerbau, kambing dan domba. Itu sebabnya mengapa Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menetapkan Sumba sebagai salah satu pusat pengembangan ternak demi mewujudkan propinsi ternak.

Ikon Sumba sudah jelas, Negeri Sandle Wood. Hal ini disebabkan kecintaan warga setempat terhadap kuda. Kuda sandel wood. Terkenal di seantero nusantara. Tanah Sumba juga tenar di dunia karena keunikan budayanya seperti pasola dan wisata budaya yang unik seperti kuburan megalitik, perkampungan adat dan sebagainya.

Namun keterkenalan suatu daerah belum tentu berbanding lurus dengan kemajuan masyarakat dan daerahnya. Masih banyak warga di pedalaman wilayah Sumba yang belum menikmati jalan aspal, listrik dan masih sangat terbatas akses terhadap sarana pelayanan publik seperti puskesmas dan sarana pendidikan dasar.

Kecamatan Kambata Mapambuhang di Kabupaten Sumba Timur adalah salah satu contoh. Wilayah kecamatan ini mencakup enam desa. Seluruh desa belum ada listrik. Sarana jalan serta alat transportasi menuju pusat kecamatan belum memadai.

Derajat kesehatan di desa ini, bahkan wilayah Sumba umumnya, masih memprihatinkan. Belum meratanya kehadiran sarana pelayanan kesehatan di semua wilayah mengakibatkan kualitas kesehatan masyarakat masih rendah. Kondisi ini diungkapkan pula Sekretaris Komisi Perlindungan Anak (KPA) Nasional, dr. Nafsiah Mboi dalam seminar penanggulangan HIV/AIDS se- daratan Sumba di Waingapu, Kamis (10/3/2011).

Menurut Nafsiah Mboi, angka kematian karena AIDS di daratan Sumba yang masih tergolong tinggi ini menandakan pelayanan kesehatan masih rendah. Persentase kematian akibat AIDS mencapai 70 persen, sementara untuk NTT 60 persen dan di tingkat nasional 16 persen. Sepanjang tahun 2010, ada 16 pasien HIV/AIDS yang meninggal dunia.

"Angka kematian paling tinggi dari total pasien yang kita tangani adalah AIDS," kata Direktur RSU Imanuel-Waingapu, dr. Danny.

Persoalan yang sama juga disampaikan Direktur RSUD Umbu Rara Meha Waingapu, dr. Chrisnawan Trihariantana.

Menurut dia, kasus HIV/AIDS pertama kali ditemukan tahun 2008. Selama periode 2008 hingga 2011 tercatat 30 penderita yang ditangani RSUD setempat. "Tahun 2011 (Januari sampai Februari 2011) ada delapan orang pasien, dan dua orang di antaranya sudah meninggal dunia," katanya.

                                                         ***


Tapi saat ini geliat perubahan sudah mulai memancar dari desa. Desa Kuta di Kecamatan Kanatang, Kabupaten Sumba Timur, contohnya. Pemerintah desa setempat bersama tokoh agama, adat dan tokoh masyarakat sepakat melakukan reformasi budaya yang dirasa menghambat kemajuan masyarakat. Reformasi itu dilakukan melalui terbitnya Peraturan Desa (Perdes) yang disahkan pada hari Sabtu 12 Maret 2011.

Ada beberapa point penting reformasi yang dimuat dalam Perdes yang tidak hanya disahkan tetapi disusul sumpah adat. Itu artinya, Perdes tidak hanya memperoleh legitimasi formal yuridis tetapi dikuatkan dengan legitimasi adat dan budaya. Daya pengaruh dan mengikatnya makin kuat.

"Kalau sumpah adat ini dilanggar maka resiko ditanggung sendiri karena alam yang akan kasi teguran. Kita tidak bermaksud mengabaikan hukum formal tapi kalau ada sumpah adat ini maka akan lebih kuat lagi bagi kita untuk melakukan reformasi budaya," kata Wakil Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD) Kuta, Lukas Panji Anakami.

Point-point penting dalam Perdes tersebut antara lain melarang perjudian dan pencurian. Menurut Anakami, perjudian merupakan salah satu akar berbagai tindak kriminal. Kekacauan dalam rumah tangga dan pencurian merupakan akibat dari kecanduan berjudi.

"Kita tidak mau ini terjadi karena harus ada perubahan di desa kita dan mudah-mudahan menjadi contoh bagi desa-desa lain," katanya.

Hal senada dikatakan Kades Kuta, Hans Hamba Pulu. Point lainnya dalam Perdes tersebut yang juga merupakan inti reformasi budaya adalah pembatasan jumlah hewan yang disembelih saat upacara kematian  maupun pesta adat lainnya.

Oleh sebab itu, lajutnya, perlu dilakukan reformasi budaya. Setiap warga Desa Kuta diharapkan agar mengikuti apa yang telah  diwariskan secara turun temurun oleh leluhur orang Sumba. Namun hal-hal yang bersifat tidak produktif atau bersifat pemborosan perlu dikurangi. (
john taena/bersambung)
diterbitkan pos kupang
Jumat, 18 Maret 2011

Program Perak di Ngada (3)


Operasi Nusa Hangus

BERBURU merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan warga di Kabupaten Ngada dan Nagekeo. Berburu bagi warga kedua kabupaten tersebut biasanya dilakukan tiap tahun pada musim panas. Sebelum berburu, biasanya terlebih dahulu dilakukan ritual adat dan pembakaran hutan. Hal ini juga sebagai pertanda sudah tiba waktunya bagi para petani membuka lahan untuk berkebun.

Konon, tradisi berburu dilakukan oleh leluhur mereka untuk berperang melawan babi hutan yang selalu merusak tanaman petani di kebun. Berbagai versi cerita tentang tradisi berburu ini pun diciptakan oleh leluhur warga kedua kabapaten ini. Namun dari cerita-cerita tersebut pada umumnya menyimpan pesan dan nilai-nilai moral kemanusiaan dan kebersamaan  yang harus tetap dijaga.


Pada zaman dahulu, biasanya hutan yang dibakar untuk berburu sudah ditentukan para tetua dan pemuka adat. Titik api pun sudah ditentukan batas-batasannya sehingga tidak merusak lingkungan.

Begitu juga dengan hasil buruan selalu dibagikan kepada warga sekampung untuk disantap bersama tak perduli besar kecilnya hasil buruan tersebut.
Kini, tradisi berburu di kedua daerah ini sudah mulai bergesar dari nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur mereka. Biasanya pada musim panas, ketika tiba saatnya untuk berburu, hutan pun dibakar.

Alasannya untuk memudahkan warga berburu babi hutan. Babi hutan lebih mudah dilihat, diburu dan  ditangkap. Selain dagingnya lezat bergizi, membasmi babi hutan sama dengan membasmi hama, membebaskan tanaman petani dari kerakusan babi hutan.

Tujuan lain dari pembakaran hutan pada musim berburu saat ini adalah untuk membuat tunas-tunas ilalang bertumbuh sehingga menjadi pakan ternak. "Operasi nusa hangus' ini yang merusak lingkungan dan menyebabkan tanah menjadi tandus.

"Padahal kita sudah himbau masyarakat untuk tidak membakar hutan tapi musim panas pasti mereka bakar," keluh Alexander Songkares, Kepala Desa Ria di
Kecamatan Riung Barat.

                                                                   ***
 

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ngada, di bawah kepemimpinan Bupati Marianus Sae dan wakilnya Paulus Soliwoa telah meluncurkan Program
Perak (Pemeberdayaan Ekonomi Rakyat). Tujuan program tersebut sangat mulia yakni untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat.

Salah satu fokus program ini adalah pengembangan ternak; cocok dengan tekad Propinsi NTT yang mau menjadikan NTT sebagai propinsi ternak.

"Kita berharap tiga tahun lagi, angka kemiskinan sudah bisa diminimalisir melalui Program Perak," kata Bupati Marianus Sae di ruang kerjanya, belum lama ini.
Untuk program pengembangan ternak tersebut, Pemkab Ngada akan membeli bibit sapi bali sebanyak 1.932 ekor, 5.250 ekor babi dan 2.448 ekor kambing. Pengadaan sekitar 9.630 ternak tersebut dibiayai dengan dana Rp 22,5 miliar. Hal ini akan menambah populasi ternak di daerah tersebut menjadi sekitar 150.405 ekor.

Metode pengembangan dan pembagian ternak kepada para kepala keluarga (KK) miskin di daerah itu juga akan disesuaikan dengan pemetaan kawasan pengembangan ternak.

"Akan kita sosialisasikan sebelum pembagian dan juga dibuat semacam kontrak agar bantuan ini tidak diselewengkan.Ternak- ternak yang akan dibagikan kepada para KK miskin juga akan diberi tanda atau cap khusus," jelas Kepala Dinas Peternakan Ngada, Laurensius Ngiso Godja.

Daerah yang akan menjadi kawasan pengembangan ternak, katanya, adalah Kecamatan Aimere, Golewa, Riung, Riung Barat, Bajawa Utara, Wolomeze dan Soa, untuk pengembangan ternak besar. Sementara untuk ternak babi akan difokuskan di Kecamatan Jerebuu, Bajawa dan Kecamatan Golewa.

Paulus D Maku, anggota DPRD Ngada, mengatakan, Program Perak perlu dievaluasi. Alasannya, untuk menyukses program tersebut maka peningkatan SDM harus dipertimbangkan dan dibenahi. Selain itu, penguatan personel di lapangan dalam memback up program itu agar berjalan sesuai dengan yang direncanakan.

"Kita DPR memang telah memberikan dukungan politik tapi bukan berarti tidak boleh dikawal lagi," kata Maku.
Diuraikan Maku, persoalan yang bakal dihadapi dalam program ini adalah pasokan pakan ternak. Karena itu perlu dipikirkan secara serius bagaimana menyediakan pakan ternak agar penerima bantuan tidak lagi kembali memelihara secara tradisional.

Masalah lainnya adalah ketersediaan stok obat dan vaksin. Juga perlu SDM yang bagus untuk melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan program ini.

"Bagaimana dengan personel yang bertugas untuk mengawasi? Contohnya tenaga kesehatan atau dokter hewan bagaimana," ujarnya.

Menurut Maku, data populasi ternak di Kabupaten Ngada bukan sedikit, namun cukup banyak. Persoalan lain yang dihadapi di lapangan adalah perilaku dan pola pikir masayarakat yang perlu diubah. Selain itu, pihak pemerintah juga perlu menyediakan stok obat dan vaksinasi sebesar 75 persen dari total populasi ternak di daerah itu.

Faktor-faktor tersebut harus dipikirkan jalan keluarnya seiring pelaksanaan program tersebut. Jika tidak maka Program Perak tidak akan menghasilkan apa-apa dan pemberdayaan ekonomi masyarakat guna mengentaskan kemiskinan masih sebatas wacana. (
john taena/ habis)

diterbitkan pos kupang
Minggu, 27 Februari 2011