POS KUPANG/ENOLD AMARAYA
CERIA-Kepala SMPK St. Yoseph Kupang, Romo Amanche Frank
OE Ninu, Pr (tengah) bersama siswa dan guru tampak ceria seusai peluncuran
berbagai kegiatan, Jumat (4/9/2015).
Setelah Gerakan 30 September 1965, situasi politik dalam negeri belum stabil. Ratusan anak usia sekolah
di Kota Kupang saat itu kesulitan untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Selain karena masalah
ekonomi, juga karena keterbatasan sarana prasarana pendidikan. Akibatnya banyak
anak tidak dapat melanjutkan pendidikan ke SMP setelah tamat sekolah dasar
(SD).
Kondisi ini disebabkan minimnya lembaga pendidikan menengah pertama. Selain itu, daya tampung rombongan belajar sangat terbatas dan jarak tempuh yang cukup jauh. Realitas sosial yang terjadi kala itu menjadi keprihatinan berbagai pihak.
Di kondisi memrihatinkan, Yos Djogo, B. Sc, salah seorang pegawai negeri
sipil (PNS) di Dinas Pertanian Provinsi NTT, berinisiatif menghadirkan satu
lembaga pendidikan menengah pertama, yaitu SMP. Kala itu wilayah Naikoten, Kota Kupang, belum terlalu padat dan Yos
memutuskan membangun sebuah lembaga pendidikan menengah pertama.
Motivasinya saat itu untuk menampung anak - anak yang sudah tamat
sekolah dasar dan hendak melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Niat itu akhirnya
terwujud pada 6 Januari 1966, sebuah sekolah menengah pertama resmi didirikan
dengan nama SMP Katolik Sapientia (Kebijaksaan) II.
Lokasi sekolah itu berada di Jalan ER Herewila No. 27, RT 05/RW 03,
Kelurahan Naikoten II, Kecamatan Kota Raja, Kota Kupang. Setelah sukses
mendirikan lembaga pendidikan, Yos mengajak sekitar lima orang mahasiswa asal
Flores yang sedang menimba ilmu untuk menjadi guru. Kelima orang tenaga honorer
yang bertugas untuk mengasuh sekitar 23 orang siswa angkatan pertama saat itu
dipimpin Barlon Parera. Ke-23 orang siswa angkatan pertama kala itu berasal
dari berbagai latar belakang etnis dan agama.
Rata-rata para siswa yang biasanya mengikuti kegiatan belajar mengajar
(KBM) pada siang hari tinggal bersama wali murid dan orangtuanya. Selain itu,
dua orang staf guru itu adalah di antaranya Drs. Piter Boli Keraf (mantan
Penjabat Bupati Lembata) dan Bernard Belo Ola (mantan
Kadis Sosial Kabupaten Sumba Timur dan Sikka).
"Kegiatan KBM dilakukan pada siang hari dan dipimpin oleh Bapak
Barlon Parera, sebagai kepala sekolah. Beliau sebenarnya sudah memiliki tugas
pokok, karena pagi hari menjadi kepala sekolah SDK Santo Belarnus, yang
kemudian berubah nama menjadi SDK Santo Yoseph I ini," jelas Kepala
Sekolah SMP Katolik St. Yoseph Naikoten, Romo Amanche Frank OE Ninu, Pr, di
ruang kerjanya, Jumat (4/9/2015).
Seiring perjalanan waktu, lembaga ini bergabung dengan Yayasan Swastisari
Keuskupan Kupang (Keuskupan Agung Kupang saat ini) pada tahun 1969. Namun
setelah berdirinya Paroki Santo Yoseph yang memekarkan diri dari Paroki
Katedral Kristus Raja, pengelola lembaga itu diserahkan kepada Dewan Pastoral
Paroki Santo Yoseph Naikoten.
"Oleh Pater C Nellisen SVD, misionaris asal Belanda yang menjadi
pastor paroki saat itu, nama SMPK Sapientia II berubah menjadi SMPK Santo
Yoseph. Nama Santo Yoseph pun diabadikan menjadi santo pelindung sekolah
ini," jelas Romo Amanche.
Sebagai lembaga pendidikan, SMP Katolik Santo Yoseph Naikoten - Kupang,
sejak awal hadir dengan visi membentuk manusia berkarakter yang unggul dalam
ilmu, iman dan moral.
Selain itu, misinya antara lain, menciptakan sekolah sebagai komunitas
pendidikan yang menyenangkan dan bersaudara, berdasarkan norma dan nilai budaya
bangsa dan nilai-nilai Kristiani. Mengembangkan profesionalitas pendidikan dan
tenaga pendidik dalam layanan pendidikan berkualitas.
Mengembangkan kurikulum secara optimal dan proses pembelajaran secara
efektif, efisien dan inovatif. Mendorong dan membantu peserta didik untuk
mengenali potensi diri, sehingga dapat dikembangkan secara optimal. Membekali
peserta didik agar lebih mencintai alam serta lingkungan sekitar.
Menumbuhkan penghayatan dan pengalaman iman dan kepercayaan yang dianut
melalui Tri-tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja. Kini di usianya sudah
hampir genap setengah abad (50 tahun), lembaga ini telah mampu dan terus
memberikan kontribusi sesuai visi dan misinya dan mencerdaskan anak bangsa.
Tercatat lebih dari 7.000 alumni telah berkarier di dalam dan luar
negeri. Para alumni yang pernah mengenakan almamater SMP Katolik Santo Yoseph
Kupang, kini terus mendedikasikan diri sebagai pemimpin bangsa dan daerah,
serta menjadi pemimpin gereja.
"Mantan Menteri
Lingkungan Hidup Republik Indonesia era Presiden Megawati Soekarnoputri, Dr.
Soni Keraf, dan Bupati Manggarai. saat ini, Drs. Christian Rotok serta
masih banyak deretan nama lainnya. Mereka semua adalah putra dan putri yang
lahir dari rahim lembaga SMP Katolik Santo Yoseph Kupang," jelas Romo
Amanche.
Punya mimpi untuk menjadikan sekolah ini tetap dan lebih berkualitas di
masa yang akan datang teristimewa anak - anak didik ini kalau sudah keluar dari
sini mereka akan menjadi orang yang mencintai iman dan ilmu.
Mereka mampu mengembangkan diri. Menjadi orang yang baik dan berguna.
Menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter untuk gereja dan tanah air. "Sama
seperti para alumnus yang sudah dilahirkan oleh almamater ini," ujarnya.
Di usianya yang ke – 49, saat ini sedang dipersiapkan Pesta Emas SMPK St Yoseph Kupang yang akan segera
dirayakan oleh lembaga itu. Sebagai Kepala Sekolah, Romo Amanche memiliki mimpi untuk menjadikan lembaga pendidikan itu lebih
berkualitas di masa yang akan dating. Para peserta didik diharapkan mampu mencintai manusia yang mencintai iman
dan ilmu.
“Teristimewa anak – anak didik ini kalau sdh keluar dari sini mereka akan menjadi org yg mencintai iman dan ilmu, sama seperti para alumnus sperti yang sudah dilahirkan oleh almamater ini,” tandas Romo Amanche.(john taena)
Sumber Pos Kupang cetak edisi Senin (7/9/2015), halaman
1
|
Thursday, 10 September 2015
Tempat Belajar yang Menyenangkan
Sunday, 23 August 2015
Hilangkan Stigma Kekejaman MOS
“Karakter yang ditanamkan dalam diri setiap peserta didik adalah sikap bisa dipercaya atau tidak menipu. Mengerjakan sesuatu tanpa harus diawasi.”
Pos Kupang/John Taena
MOS — Siswa –
siswi SCHIPS and St. Peter’s School Kupang bersama para guru saat MOS di Pantai
Lasiana Kupang. Sabtu (8/8/2015)
|
Rambut
dikepang, diikat menggunakan tali rafia. Memakai topi setengah bola dan membawa
peralatan seperti ember serta sapu. Tak jarang ada yang harus membeli beberapa
botol bir ke sekolah. Belum lagi akan dipelonco oleh para senior, seperti push
up, jongkok, loncat dan beraneka ragam penyiksaan lainnya.
Opini publik telah
terbentuk sejak lama, Masa Orientasi Sekolah (MOS) identik dengan kekerasan.
Kejam dan tidak berperikemanusiaan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan
hakikat MOS sesungguhnya.
Memasuki tahun
ajaran, Nusa Cendana Internasional Plus School (NCIPS) and St. Peter's School
Kupang menerapkan metode yang berbeda dalam MOS bagi calon siswa. Sebagai salah
satu lembaga pendidikan yang menerapkan dua bahasa dalam proses belajar
mengajar, panitia menghilangkan stigma MOS itu kejam.
Hari Sabtu
(8/8/2015), ratusan siswa empat sekolah dari keluarga besar NCIS and St.
Peter's School, diarahkan panitia mengikuti kegiatan MOS di Pantai Lasiana
Kupang. "Suasana kebersamaan dibangun tapi masih tetap dalam pembentuk
karaktek," demikian Pasianus Payong Pulo, S.Pd, salah seorang guru di
lembaga tersebut kepada Pos Kupang di Lasiana, Sabtu (8/8/2015).
MOS itu intinya
pengenalan sekolah kepada peserta didik agar mereka menyesuaikan diri dengan
suasana baru. "Kegiatan di sekolah itu full dari pagi sampai sore (07.30
-14.15 Wita). Jadi kita pilih MOS di Lasiana sekalian untuk refreshing,"
jelasnya.
Ketika berada di
luar lingkungan sekolah, para calon siswa dan peserta didik didorong
meningkatkan rasa kebersamaan. "Tidak bisa dipungkiri sikap seperti ini
berkurang karena pola hidup individual," ujar Payong.
Di lokasi wisata
tersebut peserta didik pun mengasah kemampuan bahasa Inggris. Menurut dia,
pembinaan mental dan pembentukan karakter bukan hanya diberikan kepada siswa
baru melainkan para senior juga menjadi sasaran. Alasanya, dalam keseharian di
sekolah para siswa baru akan sosialisasi dengan senior mereka. Hal ini yang
harus ditanamkan agar para senior harus bisa menjadi panutan. Dan, lebih
penting lagi mereka saling menghargai.
"Dulu siswa
sangat menghormati satu sama lain, bukan hanya yunior menghormati senior atau
yang tua tapi semua orang saling menghargai. Suasana paling rusak di sekolah
saat ini adalah ketika guru mengajar di depan, para murid juga sibuk ngomong di
belakang," kata Payong Pulo.
Melihat realitas
miris itu, NCIPS and St. Peter's School Kupang merasa terpanggil untuk
mengembalikan dunia pendidikan pada relnya dengan tiada henti membentuk
karakter siswa. Untuk pembentukan karakter ini, para siswa diajak saling
menghormati ala budaya orang Jepang. "Saling membungkuk sebagai tanda awal
respek, bukan hanya kepada guru, tapi kepada semua orang tanpa kecuali itu karakter
pertama," katanya.
Karakter kedua
yang ditanamkan dalam diri setiap peserta didik adalah sikap bisa dipercaya
atau tidak menipu. Mengerjakan sesuatu tanpa harus diawasi. Selain itu tidak
mencuri dan bertanggung jawab. Kalau mendapat PR dan diminta untuk diselesaikan
dalam satu hari ke depan, maka harus bertanggung jawab dengan itu. Jangan
sampai tidak diselesaikan pada waktunya karena akan mengganggu jadwal kegiatan
yang lain.
Keadilan adalah
karakter keempat yang harus ditanamkan kepada para siswa. "Bekerja sama
itu tidak masalah tapi bukan untuk menguntungkan salah satu pihak dengan
cara-cara yang tidak sehat," katanya.
Terakhir adalah
sikap peduli. Karakter ini sangat penting dan perlu ditanamkan rasa peduli
serta empati terhadap sesama. "Jikalau kelima karakter itu dimiliki maka
ketika sudah saatnya menjadi pemimpin pasti mereka akan jauh lebih baik,"
demikian Payong Pulo. (john taena)
Sumber Pos Kupang cetak
Saturday, 22 August 2015
Berburu Air di Hutan Taubnono
“Di hutan yang didominasi semak belukar
dan pohon kayu putih ini, ada batang pipa ukuran 1,5 dim menyembul dari dalam
tanah dan bebatuan. Pipa tersebut mengeluarkan air.”
pos
kupang/julianus akoit
MENCARI
AIR - Dua bersaudara, Nelcy Nahak dan Ketty Nahak sedang mencari air di Hutan
Taubnono, Kupang Timur, Rabu (19/8/2015) siang.
|
JARUM jam tepat menunjuk pukul 12.00 Wita. Terik matahari terasa
membakar kulit. Di sebuah jalan berbatu dan dan berlubang-lubang, dua orang
wanita paruh baya mendorong gerobak berisikan 16 jeriken. Nafas mereka
terengah-engah. Peluh bercucuran membasahi tubuh mereka.
Mereka
menuju ke Hutan Taubnono, perbatasan Desa Tuatuka, Kecamatan Kupang Timur
dengan Kelurahan Nonbes, Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang. Di hutan yang
didominasi semak belukar dan pohon kayu putih ini, ada batang pipa ukuran 1,5
dim menyembul dari dalam tanah dan bebatuan. Pipa tersebut mengeluarkan air.
Meskipun
cuma menetes tidak menentu, Ny. Nelcy Nahak dan Ny. Ketty Nahak tetap sabar
menunggu. Untuk 16 jeriken air berukuran 5 liter, mereka harus sabar menunggu
hingga 2 jam baru terisi penuh.
"Sejak
dulu, kami kekurangan air bersih. Di RW 10, ada 21 kepala keluarga yang harus
masuk hutan berburu air. Kami harus mete (begadang, Red) berburu air
malam-malam di hutan sampai pagi. Siang begini pun masih ada yang datang antre.
Jadi 24 jam orang datang antre air," jelas Ny. Nelcy dibenarkan saudara
kandungnya, Ny. Ketty.
Dulu
sekali, lanjut Nelcy, warga setempat hanya membeli air yang dibawa tukang ojek.
Biasanya tukang ojek membawa dua jeriken besar, masing-masing ukuran 20 liter
yang ditebus seharga Rp 10.000 per jeriken. Saat memasuki puncak kemarau bulan
September - November, tetesan air dari pipa mulai berkurang. Warga membutuhkan
waktu lebih lama untuk antre air di kawasan Hutan Taubnono.
"Tahun
2010 lalu, kami dapat bantuan 3.000 batang pipa ukuran 1,5 dim dari PNPM. Itu
pun dana sisa PNPM dari Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi sebesar Rp 120 juta.
Uang itu dipakai untuk beli 3.000 batang pipa dan buat bak resevoir satu unit
sebesar 2 x 2 meter," kisah Mathias Nahak, Ketua RT 20.
Sayang
sekali, 3.000 batang pipa itu tidak cukup mengalirkan air sampai pemukiman
penduduk. Sambungan pipa cuma sampai hutan Taubnono. Sebab jarak sumber air
Oe'uki ke pemukiman sejauh 4,5 kilometer.
"Lalu
warga di sini swadaya beli 65 batang pipa plastik untuk disambung lagi. Tapi
belum juga sampai ke pemukiman. Terpaksa kami harus pakai gerobak masuk hutan
ambil air," jelas Mathias.
Ia
berjanji membuat proposal mencari bantuan dana kepada para donatur.
"Supaya bisa membeli pipa untuk disambung lagi masuk ke pemukiman
warga," ujarnya berharap. Semoga ada yang membantu.(julianus akoit)
Sumber Pos Kupang cetak
edisi Kamis 20 Agustus 2015, halaman 1
Perintis Bandara Frans Laga Naik Pesawat (2)
“Pesawat AviaStar carteran Chris Rotok
dan Deno Kamelus melayang di ketinggian udara wilayah Kota Ruteng dilepas
ratusan pasang mata dengan beragam perasaan.”
pos kupang/egy mo’a
CERIA - Kakek Oscar Garut (95) tampak ceria
saat turun dari pesawat AviaStar seusai terbang keliling Manggarai, Sabtu
(15/8/2015).
|
Kakek Oscar Garu Senang Sekali
Walau
demikian aneka perasaan masih terus berkecamuk tatkala 'burung besi' AviaStar
carteran itu melayang-layang di ketinggian udara wilayah Manggarai.
"Semua
berdoa mudah-mudahan tak terjadi apa-apa dalam enjoy flight ini," kata
Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Manggarai, Apri
Laturake, S.H.
Suasana
menarik tercipta saat pesawat hendak lepas landas dari Bandara Frans Sales
Lega. Ketika para tokoh sepuh telah duduk manis pada kursinya, teknisi pesawat
membantu memasangkan sabuk pengaman di pinggang. Sebagian dari mereka
menunjukkan wajah cemas dan tidak nyaman. Semua mata tertuju ke arah kokpit. "Kita
mau siap terbang," ujar teknisi pesawat.
Pesawat pun
berjalan pelan keluar dari appron menuju ujung landasan pacu di sisi timur.
Semakin kencang deru pesawat, tubuh penumpang seolah ikut bergetar. Tak lama
berselang pesawat melaju, melayang meninggalkan landasan pacu.
Terbang
gembira diawali rute menuju ke arah barat, wilayah Cancar Kecamatan Ruteng.
Dokter Lian Pantas yang mendampingi para orang tua di dalam kabin pesawat itu
berperan sebagai pemandu. "Wa Cancar, Golowelu, Reok, Wae Rii, Iteng,
Pulau Mules, Ulumbu dan seterusnya," dokter yang bertugas di Puskemas Kota
Ruteng itu menerangkan satu persatu wilayah daratan Manggarai dalam bahasa
setempat.
Guncangan
pesawat diterpa angin kencang atau ketika dihadang gumpalan awan tipis sesekali
membentur keras badan pesawat. Mungkin di dalam hati mereka bertanya
mengapapesawat bergoyang sesekali atau mengapa turun dan naik tiba-tiba? Sekian
menit di udara, wajah cemas tampak memudar. Para perintis pembangunan bandara
itu malah bercanda dalam bahasa Manggarai. Hijauan bukit-bukit yang dibungkus
pepohonan serta bentangan sawah bertangga-tangga di bawah sana seolah sudah
membunuh rasa takut mereka. Pertanyaan demi pertanyaan soal wilayah daratan
yang dilewati terus saja meluncur dari setiap penumpang. "Nia ite nana (di
mana kita sekarang)."
Setelah
30 menit berlalu, moncong burung besi berbelok menuju Kota Ruteng. Beberapa
menit berselang roda pesawat pun menyentuh lagi bumi Congkasae.
Pengalaman
pertama naik pesawat tak akan dilupakan Oscar Garu (95), Romanus Tuhe (81) dan
belasan orang lanjut usia yang lainnya peserta terbang gembira hari itu. Senang
tiada dua menyelimuti suasana batin Oscar dan Romanus. Mereka sulit melukiskannya
dengan kata-kata.
Sambil
memegang tongkat rotan untuk menopang tubuhnya yang renta, Oscar turun pelan
menapaki tiga anak tangga pesawat. Seorang anggota KP3 Udara yang berdiri di
ujung anak tangga membantunya menjejakkan kaki di aspal apron.
Senyum
ceria tersungging di bibir pria Kampung Taga, Kelurahan Goloduka, Kecamatan
Langke Rembong ini. Staf Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika
Manggarai mengantar dia dan rekan-rekannya menuju deretan penyambut. Mereka
disambut senyum dan guyonan dari Bupati Christian Rotok, Wakil Bupati Deno
Kamelus, Sekda Manseltus Mitak dan sekitar 200-an pegawai negeri sipil lingkup
Pemkab Manggarai.
Jabatan
tangan disusul ucapan sukacita dalam bahasa setempat terdengar riuh. Oscar,
ayah 11 anak dan 19 cucu itu mengakui belum sekalipun naik pesawat. Sekian lama
dia hanya dengar cerita naik pesawat dari sanak familinya. "Ini yang
pertama kali saya naik pesawat. Saya senang sekali," kata Oscar yang
ditinggal mati istrinya empat tahun silam. "Kalau besok lusa saya mati,
saya sudah pernah naik pesawat," ujarnya lagi.
Senyum
'tanpa gigi' sebagian orang tua hari itu sungguh menggambarkan sukacita karena
bisa merasakan sensasi naik pesawat terbang. Ada yang tak lupa minta dikirimkan
foto ke rumah. Mereka ingin menunjukkan kepada anak, cucu serta sanak famili
tentang sukacita berada di ketinggian langit Manggarai.(egy mo’a/habis)
Sumber Pos Kupang cetak
edisi Rabu 19 Agustus 2015, halaman 1
Perintis Bandara Frans Laga Naik Pesawat (1)
“Niat Drs.Christian Rotok menerbangkan
saksi hidup dan perintis pembangunan Bandara Frans Sales Lega Ruteng tahun 1963
tidaklah ringan. Tantangan sempat muncul dari Wabup Deno Kamelus dan Sekda
Manseltus Mitak.”
pos kupang/egy mo’a
|
Chris Berdoa Cepat Pulang
BAYANGAN atas dua kecelakaan pesawat beruntun yakni pesawat Malaysia Airlines dan AirAsia tahun 2014, masih membekas di benak bupati Manggarai tersebut. Memikirkan kejadian itu, sungguh berat bagi Chris untuk memutuskan jadi atau tidaknya rencana terbang gembira keliling Manggarai.
BAYANGAN atas dua kecelakaan pesawat beruntun yakni pesawat Malaysia Airlines dan AirAsia tahun 2014, masih membekas di benak bupati Manggarai tersebut. Memikirkan kejadian itu, sungguh berat bagi Chris untuk memutuskan jadi atau tidaknya rencana terbang gembira keliling Manggarai.
"Pikiran
itu (terbang gembira bersama perintis Bandara Frans Sales Lega) muncul
seketika, tanpa rekayasa. Apalagi hendak mendapatkan sesuatu keuntungan. Saya
pikir kehidupan di dunia ini hanya sekali sehingga harus dinikmati," kata
Chris Rotok membuka pembicaraan dengan para perintis seusai terbang gembira di
ruang VIP Bandara Frans Lega Ruteng, Sabtu (15/8/2015).
Di tengah
pergolakan batin memikirkan berbagai musibah penerbangan, Chris mengaku terus
termotivasi mewujudkan niat baik itu. Bersama Kamelus dan Manseltus, akhirnya
disepakati terbang gembira bersama para orang tua itu harus direalisasikan.
Di zaman
ini naik pesawat bukan lagi sebuah kemewahan. Tetapi bagi Chris Rotok
memfasilitasi para perintis bandara menikmati penerbangan adalah untuk
menghargai jerih payah mereka. Ini tentu beda rasanya. Apalagi sebagian besar
mereka umumnya belum pernah menumpang pesawat terbang.
Padahal
saat membangun bandara itu tahun 1963, mereka rela berdesak-desakan menumpang
truk yang mengangkut batu, pasir serta material bangunan lainnya. Mereka
kesampingkan segala resiko kecelakaan yang muncul.
"Penerbangan
ini adalah ungkapan terima kasih kepada masyarakat Manggarai yang berjasa
membangun Bandara Frans Sales Lega yang saat ini bisa dinikmati semua orang.
Kami mohon maaf tidak bisa perhatikan orang perorang. Konsentrasi kami
membangun infrastruktur jalan, jembatan, sekolah puskesmas dan sarana yang
lain," kata Chris yang saat itu hadir bersama Deno Kamelus, Manseltus dan
Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Manggarai, Apri Laturake.
Pergolakan
batin Chris diakuinya berkecamuk di Sabtu (16/8/2015) pagi saat menyaksikan 32
perintis utusan dari semua kecamatan telah hadir di ruangan VIP bandara. Berbagai
bayangan buruk muncul dalam benaknya. Cuaca buruk, angin kencang, kabut bisa
saja terjadi. Jangan-jangan juga ada orangtua yang mendadak stress. "Pokoknya
macam-macam," bebernya.
Apalagi
Dokter Yulianus Weng, M.Kes, yang memimpin pemeriksaan kesehatan bagi peserta
terbang gembira mengingatkan tensi darah mereka rata-rata 200. Namun semua
beban itu dikesempingkan Chris. Ia menyaksikan wajah-wajah ceria para orang tua
berdiri di sisi apron menunggu jatah duduk di dalam lambung burung besi. "Ketika
pesawat sudah terbang, saya terus berdoa, semoga pesawat cepat pulang
saja," ujar Chris menahan haru.
"Niat
saya tulus. Saya ingin menanamkan nilai penghormatan kepada pendahulu yang
berjasa membangun daerah ini,"sambungnya.
Dokter
Weng menuturkan tekanan darah untuk orang-orang yang berusia di atas 60-an
tahun idealnya 140/90. Namun tensi darah semua peserta terbang gembira saat itu
serentak naik 200. Menurut Weng, naiknya tekanan darah lebih disebabkan stress
karena baru pertama kali naik pesawat. Ditambah lagi kurang tidur semalaman
memikirkan harus terbang.
Mengantisipasi
mereka mengalami muntah dalam penerbangan ini, Weng memberi mereka minum tablet
anti muntah 30 menit sebelum terbang. Resep itu terbukti mujarab. Semua tokoh
sepuh Manggara itu tak mengalami muntah dalam dua kali terbang dengan pesawat
AviaStar. Doa Chris Rotok rupanya terkabul. Acara terbang gembira berlangsung
sukses dan menyenangkan.(egy
mo’a/bersambung)
Sumber Pos Kupang cetak edisi Selasa 18 Agustus 2015, halaman 1
Sumber Pos Kupang cetak edisi Selasa 18 Agustus 2015, halaman 1
Thursday, 16 July 2015
Menyelami Perut Bumi Kota Karang
Hari itu, Minggu (17/5/2015) sekitar pukul
16.00 Wita, usai melakukan liputan di kawasan industry Kecamatan Alak, Pos
Kupang hendak kembali ke Kantor Redaksi. Di luar dugaan dalam
perjalanan pulang, puluhan orang menggunakan sekitar belasan sepeda motor
berkonvoi. Mereka berboncengan. Ada yang berpasang – pasangan dan adapula yang
sesama jenis kelamin.
Konvoi sepeda motor yang
menarik perhatian Pos Kupang itu menuju ke arah Markas
Kepolisian Air (Polair). Namun sekitar 200 meter di belakang Sekolah Usaha
Perikanan Menengah Negeri (SUPMN) Kupang yang berhadapan dengan
Polair, konvoi sepeda motor itu berhenti.
Di sana sudah ada
belasan anak yang menunggu. Mereka mengatur parkiran kendaraan pengunjung. Anak
– anak itu juga berprofesi ganda, yakni tukang parkir sekaligus menjadi pamandu
yang dibayar Rp 2000/sepeda motor. Tugas mereka adalah menjaga keamanan sepeda
motor sekaligus memandu para pengunjung menusuri hutan belukar dan semak -
semak.
Dari arah Kota Kupang,
para pengunjung akan dipandu mamasuki semak – semak yang berada di sebelah kiri
Jalan Kampung Baru Pelabuhan Ferry Bolok dari arah Kupang. Jaraknya lebih 100
hingga 200 meter dari lokasi parkiran, para pengunjung berjalan kaki hingga ke
pintu masuk sebuah gua.
Saat berada di lokasi
sekitar gua terlihat sepi dan tidak ada orang. Para pengguna belasan kendaraan
roda dua yang mencapai puluhan orang karena berboncengan, baik berpasang
– pasangan maupun sesame jenis kelaminnya tidak satu pun terlihat di sana. Anak
– anak muda itu seakan hilang begitu saja ketika tiba di depan pintu gua.
Waoow ! Sungguh sangat
elok karya Tuhan yang satu ini. Rasanya tiada lagi kata yang tepat
untuk menggambarkan senja temaram nan romantic, tatkala Pos Kupang diajak
untuk terus menyelami perut bumi tanah karang. Menusuri Gua Batu Kristal yang
berbentuk horizontal dengan pemandangan berbagai ornament seperti stalaktit, stalakmit dan pilar
serta ornament gording terus memanjakan mata.
Petulangan di dalam
perut bumi tanah karang, akan terasa belum lengkap jikalau tidak terjun ke
dalam sebuah kolam nan jernih di dasar Gua Batu Kristal. Selain sejuk juga
kejernihan air akan memantulkan cahaya bebatuan Kristal dari dasar juga dinding
gua. Seketika letih dan lelah terasa pergi meninggalkan tubuh setiap pengunjung
saat terjun bebas, berenang sambil berendam di dalam kolam seluas kurang lebih
30 x 15 meter itu.
Warna kebiruan dan
Kristal yang terpantul dari bebatuan dalam gua seakan tidak mau kalah memarkan
keelokannya kepada para pengunjung dan pasangan masing – masing yang hendak
memadu kasih. Sambil berendam di dalam kolam, para pengunjung akan disapa
oleh suara kawanan walet yang bersarang di sisi – sisi gua bersama anaknya.
Begitupun mahkluk hidup lainnya seperti serta kelelawar, tikus dan ikan
bermata kecil, juga kelabang yang agak pendek dengan kaki panjangnya,
menjadi sahabat setiap pengunjung Gua Batu Kristal.
Bukan hanya para caver namun
pecinta fotographi akan tertantang untuk mengabadikan setiap obyek seperti
ornamen dari bebatuan yang sudah berusia ribuan bahkan jutaan tahun dalam Gua
Batu Kristal. Begitupun dengan para pasangan insane manusia yang ingin memadu
kasih dan memupuk rasa cinta mereka. Cahaya keemasan matahari senja yang
langsung masuk dari mulut langsung menyentuh langit – langit dinding. Ornamen
bebatuan dalam gua pun semakin terlihat jelas keelokannya. (john taena)
Pesona Danau Batu
Kristal Belum Dikenal
Danau Gua Batu Kristal adalah sebuah obyek
wisata alam yang bisa dijadikan tempat rekreasi pada hari libur bagi warga Kota
Kupang. Selain tidak terlalu jauh untuk dijangkau dengan berbagai jenis
kendaraan lokasi yang satu ini juga masih tergolong natural. Pasalnya
lingkungan sekitar yang jauh dari pemukiman dan gedung – gedung mewah juga
belum tercemar.
Para pengunjung lokasi
itu akan disuguhi oleh kicaun berbagai jenis burung yang menghuni hutan rimba
setempat. Udara segar yang masih jauh dari polusi mesin dan asap pabrik akan
terasa sejuk tatkala menapaki dan melintasi bayangan setiap pohon yang tumbuh
sepanjang jalan setapak menuju pintu gua.
Gua Batu Kristal di
Jalan Kampung Baru Pelabuhan Ferry Bolok, Kupang Barat, Kabupaten Kupang
merupakan salah satu asset pariwisata dan mampu menarik perhatian para
wisatawan domestic maupun asing. Namun hingga saat ini, salah satu lokasi obyek
wisata itu belum mendapat perhatian pemerintah.
Sebagai obyek wisata
alam, Gua Batu Kristal seharusnya dilindungi dan dikelola dengan baik,
oleh pihak pemerintah melalui instansi terkait. Hal ini bertujuan untuk
menambah pendapat asli daerah (PAD) dari sector pariwisata. Selain itu
meningkatkan ekonomi rumah tangga warga sekitar lokasi wisata tersebut.
“Pemandangan di dalam
gua itu sangat indah. Di sana juga ada kolam jadi pengunjung bisa mandi.
Biasanya kalau ada waktu luang atau hari libur saya sering referesing ke sini.
Menurut saya, lokasi obyek wisata ini memiliki potensi yang cukup besar,”
demikian Mario Gonsales Oki, mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Nusa Cendana (UNDANA) Kupang.
Berdasarkan pengalaman
yang terjadi selama ini, katanya, lokasi obyek wisata Gua Batu Kristal akan
ramai dikunjungi oleh para wisatawan asing maupun domestic setiap hari libur.
Hal kini disebabkan lokasi itu masih tergolong natural dan jauh dari
kebisingan. Namun sejauh ini warga sekitar belum mampu menarik uang yang dibawa
oleh para pengunjung ke lokasi itu. “Kalau ada masyarakat yang berjualan snack
atau aksesoris kan bisa menambah penghasilan. Biasanya pengunjung yang datang
ke sini bisa sampai sore,” jelasnya.
Hal senada dikatakan
oleh Matheos warga Oebobo. Dia menjelaskan, setiap kali berkunjung lokasi obyek
wisata tersebut mereka harus membawa perlengkapan dan berbagai kebutuhan dari
luar. Hal ini disebabkan, sejauh ini belum ada warung dan tempat yang
disediakan bagi para pengunjung untuk bersantai setelah menikmati obyek wisata
Gua batu Krisal. “Kalau habis berenang di dalan kolam atau foto – foto
pasti capek, paling kita tidak butuh snack dan minuman,” tandasnya. (john taena)
Sumber Pos Kupang cetak, edisi Minggu, 12 july 2015, halaman 3
Kiprah Orlandia dan Dominggas Seusai Belajar LTS di India III
POS KUPANG/JUMAL HAUTEAS
TANDA TANGAN -- Bupati TTS, Paul Mella
menandatangani prasasti Bengkel LTS di Desa Koa, Kecamatan Mollo Barat, Rabu
(8/7/2015).
|
Anak – anak pun Menggapai Mimpinya
PERJUANGAN
untuk mengubah nasib atau taraf hidup harus terbangun dari dalam diri setiap
orang. Hal itu juga berlaku bagi suatu kelompok masyarakat. Karena dengan cara
apapun perjuangan dan dorongan yang dilakukan oleh orang atau kelompok lain
tidak akan mengubah nasib seseorang atau sekelompok orang, jika orang atau
kelompok masyarakat tersebut tidak memiliki niat untuk mengubah nasib mereka
sendiri.
Masyarakat Desa Koa,
Kecamatan Mollo Barat-TTS pun menyadari spirit tersebut. Ketika Mario Viera,
Ibu Anie Hashim Djojohadikusumo, dan sejumlah pengurus Yayasan Wadah Titian
Harapan--perpanjangan tangan dari Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD)--
menyambangi mereka pada tahun 2013, masyarakat setempat belajar untuk menerima
apa yang disampaikan dan mengubah pola pikir mereka untuk melakukan sesuatu
dari dalam diri mereka untuk bergerak maju.
Hal ini dibuktikan
dengan kesediaan masyarakat Desa Koa untuk menerima tawaran dari YayasanWadah
Titian Harapan, dan siap mengikuti tes yang dilakukan tim dari India untuk
menjadi peserta pelatihan surya elektrifikasi dan menadah air hujan di Garefoot
College, Tilonia, Jaipur-India. Pelatihan selama enam bulan, 16 September
2013-14 Maret 2014.
Syaratnya
'membingungkan', peserta harus perempuan, berusia dewasa (tua) dan
berpendidikan rendah. Bahkan yang tidak pernah bersekolah menjadi prioritas.
Warga Koa pun justru berbahagia mengikuti program ini. Sebab, kalau diminta kaum
berpendidikan dari Desa Koa, pasti akan menjadi syarat yang memberatkan bagi
warga desa itu untuk mengikuti pelatihan.
"Kegiatan ini kami
tawarkan kepada masyarakat akar rumput agar mereka tidak hanya sekadar
mempertahankan kelangsungan hidup keluarga mereka, tetapi juga bisa membebaskan
masyarakat dari lingkaran kemiskinan," kata Anie Hashim Djojohadikusumo,
Rabu (8/7/2015), seusai peresmian Bengkel Listrik Tenaga Surya (LTS) di Desa
Koa.
Ia berharap dengan
adanya LTS di Desa Koa, rumah-rumah masyarakat tidak lagi hanya menjadi tempat
untuk berteduh di saat hujan dan malam hari. Namun juga bisa menjadi tempat
untuk menenun bagi ibu-ibu di malam hari, sekaligus menjadi sumber penerangan
bagi anak-anak untuk lebih lama belajar di rumah pada malam hari.
Semoga penduduk desa
ini memperoleh harapan dan masa depan lebih baik. Anak-anak pun dapat terpacu
motivasinya mencapai mimpi mereka. "Kita sengaja memasang tiga titik lampu
di setiap rumah, tanpa memberikan daya lebih untuk penggunaan televisi dan alat
elektronik lainnya. Kami ingin masyarakat benar-benar menikmati penerangan dari
LTS ini untuk aktivitas hidup yang lebih positif," kata Anie Hashim
Djojohadikusumo.
Duta Besar India untuk
Indonesia, Gurjit Singh, Rabu (8/7/2015) menyebut alasan memilih perempuan
berumur dan minim pendidikan formal, karena jika kaum terpelajar yang diambil,
tidak ada kepastian yang bersangkutan akan mau terus menetap di desanya untuk
membagi ilmu yang sudah diperolehnya dari Garefoot College. "Kami pilih
perempuan yang usianya cukup tua, karena setelah mendapatkan pendidikan, mereka
tidak akan keluar dari lingkungannya. Sebaliknya, wanita muda dan laki-laki,
setelah mendapat pendidikan langsung keluar dari lingkungannya," katanya.
Gurjit memberikan
apresiasi yang tinggi kepada Olandina Ranggel dan Dominggas de Jesus, yang
berhasil saat mengikuti pelatihan surya elektrifikasi dan menadah air hujan di
Garefoot College, Tilonia, Jaipur, India, walau hanya dalam waktu enam bulan. "Ibu
Olandina dan Ibu Dominggas adalah bagian kecil dari India yang ada di Desa Koa
saat ini. Saya berharap setiap kali masyarakat Desa Koa nyalakan LTS, ada
ingatan bahwa LTS adalah hasil dari persahabatan Indonesia dan India,"
harap Gurjit.
Kesungguhan hati
masyarakat Desa Koa yang menerima program pelatihan elektrifikasi dan menadah
air hujan di Garefoot College India akhirnya tidak hanya menghadirkan LTS di
Desa Kota, tapi juga mampu menggerakkan hati sejumlah pihak untuk ikut
memberikan sentuhan hati mereka membantu masyarakat Desa Koa.
Di antaranya, Ekspedisi
NKRI untuk mendatangkan air melalui pompa hidrolik. Selain itu, ada
pemberdayaan dengan kebun kelor untuk gisi keluarga dan peningkatan ekonomi
keluarga. Selain itu, Ketua Komisi V DPR RI, Ir. Farry Francis, juga ikut
berkarya dengan menghadirkan embung-embung dan jalan lingkungan dari bibir
sungai ke Kampung Fafioban.
Farry juga menghadirkan
pompa air tanah dan rehab 50 unit rumah warga. "Kami membantu masyarakat
untuk membangun akses jalan, embung-embung, dan rehab rumah masyarakat.
Mudah-mudahan kita bisa membuka akses pembangunan jembatan ke Desa Koa,"
kata Farry, Rabu (8/7/2015).
Bupati TTS Ir. Paul VR
Mella, M. Si, juga memberikan perhatian kepada masyarakat Desa Koa. Bupati
bersedia belajar dari apa yang sudah dilakukan Yayasan Wadah Titian Harapan
dengan memberikan sentuhan pembangunan dengan hati, sehingga tumbuh rasa
memiliki di hati masyarakat Desa Koa untuk menjaga fasilitas yang sudah mereka
peroleh.
Sebagai bukti rasa
cinta masyarakat Desa Koa terhadap fasilitas LTS yang ada saat ini, masyarakat
membuat kesepakatan bersama untuk menjaga fasilitas LTS dengan bersedia
membayar iuran bulanan sesuai kesepakatan bersama agar tersedia dana perbaikan
perangkat LTS, terutama baterai yang harganya cukup mahal.
Semoga listik, air,
kelor, yang sudah ada dan embung yang sebentar lagi akan hadir di Desa Koa,
mengangkat taraf hidup masyarakat setempat menjadi lebih baik. Semoga harapan
besar masyarakat Desa Koa untuk bepergian dari dan ke desa mereka dengan adanya
jembatan yang menghubungkan desa mereka bisa terwujud.(jumal hauteas/habis)
Sumber Pos Kupang
cetak, edisi Senin, 13 July 2015, halaman 1
Subscribe to:
Posts (Atom)