KAIN tenun ikat Sumba Timur boleh dikata cukup mahal. Pasalnya setiap lembar motif kain yang dijual oleh para pengrajin bisa mencapai Rp 5 juta.
Penggunaan bahan alami dalam proses pembuatan kain
adalah salah satu alasan yang nilai jual motif kain tenun ikat di daerah itu
terlampau mahal.
"Kenapa kita pakai bahan alami? Karena kain tenun
ikat juga kami pakai untuk membungkus dan mengawawetkan jenasah," demikian
Umbu Rihi (44), warga Kampung Kalu, RT 15, RW 05, Kelurahan Prailius, Kecamatan
Kambera, Sumba Timur.
Menurut Dia, setiap motif yang dilukis dalam
lembaran-lembaran kain tenun ikat daerah itu memiliki maknanya masing-masing.
Salah satu contohnya adalah mengisahkan tentang proses pemakaman raja-raja di
daerah itu.
"Misalnya cerita tentang penguburan raja-raja
mulai dari proses awal kematiannya bisa dilukiskan dalam sebuah kain. Motif
yang dilukis itu bisa menceritakan."
Para pengrajin di daerah itu, lanjutnya, membutuhkan
waktu paling cepat empat hingga lima bulan untuk menghasilkan satu lembar kain
motif tenun ikat.
Proses pembuatan motif kain tenun ikat setempat yang
membutuhkan waktu cukup lama itu disebabkan oleh masalah bahan. Para pengrajin
tidak mau menggunakan produk pabrik.
"Semua bahan yang dipakai itu alami. Tidak ada
yang pakai produk pabrik makanya proses pembuatan kain tenun ikat itu lama.
Misalnya benang, kita pintal benang sendiri. Untuk pewarna pakai bahan alami
dan harus direndam berhari-hari supaya menghasilkan hasil yang
berkualitas," tandasnya.
Rata-Rata Setahun Hanya Dua
Lembar Kain yang Dihasilkan Seorang Penenun
John Taena/Proses Prose pembuatan kain tenun oleh salah seorang pengrajin motif kain tenun ikat di Kampung Kalu, Kelurahan Prailiu, Kecamatan Kambera, Sumba Timur |
Semakin banyak hasil produksi sebuah kain tenun ikat,
semakin juga penghasilan yang didapat oleh seorang pengrajin kain tenun ikat di
sebuah daerah.
Namun hal ini tidak berlaku bagi warga Kabupaten Sumba
Timur yang hanya bisa memproduksi dua lembar kain setiap tahun.
Dua orang pengrajin kain tenun ikat di Kampung Kalu,
RT 15, RW 05, Kelurahan Prailiu, masing-masing, Mbitu Mbombu (39) dan Umbu Rihi
(44), mengisahkan proses pembuatan motif kain tenun ikat di daerah itu
tergolong sulit. Pasalnya tidak semua orang mampu membuat dan memproduksi motif
kain tenun ikat khas daerah setempat.
"Keluarga kami itu semua bisa tenun ikat, baik
itu laki-laki maupun perempuan. Kita bisa buat kain karena memang dari leluhur
mereka yang wariskan," jelas Umbu Rihi (44), saat ditemui Pos Kupang.com,
di kediamannya, Sabtu (18/3/2017).
Setiap anggota keluarga mereka, lanjut Umbu Rihi,
memiliki talenta masing-masing dalam membuat kain tenun ikat. Ada orang yang
khusus melukis motif, ada juga yang khusus untuk pewarnaan dan tenun ikat.
"Saya hanya bisa ikat dan tenun, kalau untuk
lukis motif itu kakak saya. Sedangkan yang biasanya membuat warna itu kami
punya mama karena dai yang ahli. Jadi kami bagi-bagi tugas," ujarnya.
Hal senada dikatakan oleh pengrajin kain tenun ikat
lainnya di Kampung Kalu, Mbitu Mbombu (39). Dia menjelaskan, rata-rata setiap
tahun hanya bisa menghasilkan dua lembar kain. Pasalnya proses pembuatan motif
kain tenun ikat khas daerah itu membutuhkan waktu yang cukup lama.
"Semua bahan dari alam yang kita pakai jadi
memang proses pembuatannya cukup lama. Satu lembar kain itu bisa makan waktu
empat sampai lima bulan baru jadi. Kalau dijual itu lima juta per lembar,"
tandasnya.
Setiap
motif yang Dipakai Pengrajin Sumba Memiliki Maknanya Masing-Masing
John Taena/Pengrajin Proses pembuatan motif kain tenun oleh pengrajin di Kampung Kalu, Kelurahan Prailiu, Kecamatan Kambera, Sumba Timur |
Sejumlah motif pada kain tenun ikat seperti gajah,
tengkorak, manusia, ayam dan motif kuda, yang terdapat pada setiap kain tenun
ikat daerah itu tidak sembarang dibuat oleh para pengrajin.
Setiap motif yang tertara pada kain tenun ikat Sumba
Timur, bukan tanpa alasan atau asal dibuat.
Pasalnya setiap daerah di wilayah Sumba Timur memiliki
ceritera dengan makna masing-masiang terhadap motif kain tenun ikatnya.
"Ada banyak sekali motif di Sumba Timur,
dan setiap motif ada maknanya masing-masing. Ada jalan ceriteranya, bukan asal
dibuat motif," demikian Bupati Gidion Mbiliyora, di ruang kerjanya.
Lebih lanjut Dia mengatakan, motif pada kain tenun
ikat asal daerah itu sudah berkembang sejak dahulu. "Ada jalan ceritanya
begitu. Ada maknanya masing-masing," ujarnya.
Harga kain motif tenun ikat di daerah itu, terang
Gidion, pada umumnya mulai berkisar dari Rp 500 ribu ke atas. Walaupun ada juga
yang bisa dibeli dengan harga murah atau sekitar Rp 300 ribu per helai.
"Dapatlah Rp 300 ribu,
tapi yah, itu kualitasnya sudah yang ke berapa kan begitu. Pada umumnya cukup
mahal di atas satu juta apalagi yang sudah lama sekali produksinya itu mahal
sekali. Bisa puluhan juta," tandasnya.
Kenapa Harga Kain Sumba Mahal?
Ini Penjelasan Bupati Gidion
John Taena/Motif Gajah merupakan salah satu motif yang dipakai pada kain Pahikung oleh para pengrajin di Sumba Timur. Usia kain yang sudah di atas 30-an tahun ini dijual dengan harga Rp 20-an juta |
Motif kain Sumba Timur pada umumnya mahal harganya.
Meskipun demikian ada juga yang bisa dibeli dengan harga murah, namun hal itu
tidak menjamin kualitas bahan yang dipakai.
Pengrajin kain tenun ikat dari daerah itu tidak
menggunakan bahan produk pabrik seperti benang dan pewarna untuk berbagai jenis
motif kain tenun ikat di daerah itu.
Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa proses
pembuatan motif Sumba Timur membutuhkan waktu cukup panjang.
Penggunaan bahan alami dan proses pembuatan yang lama,
menjadi salah satu alasan mengapa harga selehai kain Sumba Timur, bisa dijual
dengan nilai satu juta rupiah ke atas.
Selain motif khas daerah setempat, faktor usia
produksi juga dapat menentukan harga jual sebuah kain. Semakin tua usia
produksi sebuah kain, semakin tinggi nilai jualnya.
"Pada umumnya cukup mahal di atas satu juta
apalagi yang sudah lama sekali produksinya itu mahal sekali. Bisa puluhan
juta," jelas Bupati Gidion Mbiliyora, saat ditemui di ruang kerjanya,
Jumat (24/3/2017).
Selengkapnya tonton vidio penjelasan Bupati Gidion
Mbiliyora.