Wednesday 4 January 2017

Negara Kalah Menghadapi Ancaman Intoleransi


"Ketika bom meledak di Thamrin, Presiden Jokowi hadir dan mengatakan bahwa negara tidak boleh kalah. Tapi kenapa pada hal -hal tertentu negara kalah dalam menjamin kebesan beragama?"


POS KUPANG/JOHN TAENA
WORKSHOP — Para peserta dan narasumber dalam kegiatan workshop media bertajuk ‘Merawat Keberagaman dan Toleransi Melalui Pemberitaan’ di Aula LPP RRI Kupang. Selasa (1/3/2016)

MEDIA adalah sebuah entitas yang sangat berkuasa untuk menciptakan sebuah peristiwa sebagai kebenaran atau sebaliknya. Media juga mempunyai kuasa untuk menunjukan hitam putihnya sebuah peristiwa atau persoalan.

Hal ini diakui Program Manager Serikat Jurnalis untuk Keberagaman, Tantowi Anwari, dalam workshop media yang bertajuk `Merawat Keberagaman Dan Toleransi Melalui Pemberitaan' di aula LPP RRI Kupang, Selasa (1/3/2016). 
Tantowi Anwari sebagai pembicara bersama Kepala RRI Kupang, Enderiman Butar  Butar  SP.MSI, Pemred Harian Kursor, Ana Djukana dan Wakil Sekretaris PWI NTT, Ferry Jahang dan moderatornya Kepala Bidang Pemberitaan RRI Kupang, Ekleopas Leo.

Menurut Tantowi, lewat kekuatan yang dan pengaruh yang dimiliki itu, media masa bisa menunjukan kepada publik tentang, mana yang benar dan yang salah.

"Implikasinya bisa sangat berbahaya dan juga bisa menguntungkan. Bisa membuat sebuah persoalan menjadi baik atau lebih runyam dari yang dibayangkan orang. Itulah media massa," katanya.

Dewasa ini, katanya, korban kekerasan atas nama agama dan berkeyakinan saban hari bukan berkurang melainkan terus meningkat.

Kini sudah saatnya bagi para jurnalis untuk mengangkat pena dan menggoreskan tinta emasnya, untuk menyuarakan keadilan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan.

"Artinya kalau media hanya melihat dan diam saja itu sama dengan membiarkan intoleransi terus terjadi di masyarakat. Kasusnya juga akan meluas, ini berdasarkan hasil pemantauan dari 2007 sampai sekarang," ujar Anwari.

Berbagai pemberitaan yang cenderung kurang berpihak kepada kelompok minoritas akhir -akhir ini cukup memrihatinkan. Hal ini mulai nampak ketika Fatwa MUI pada tentang penyesatan Ahmadyah pada tahun 2005 diikuti penutupan gereja -gereja di Jawa Barat dan Jakarta.

Kekerasan dan intimidasi terhadap kaum minoritas yang dianggap berbeda terus menerus terjadi di mana -mana. Tak jarang komunitas atau kelompok minoritas itu mendapat diskriminasi dari pihak mayoritas juga pemerintah.

“Sekarang kita harus mengatakan bahwa kebebasan beragama itu adalah isu yang harus diangkat media. Kenapa isu ini dianggap penting, karena korban kekerasan atas nama agama dan berkeyakinan ini bukan berkurang, tapi malah terus bertambah dari waktu ke waktu."

Cover bot side sebagai prinsip jurnalistik tidak relevan lagi dalam kasus -kasus demikian. Kehadiran media dan para jurnalis tidak lagi hanya sebatas netral tapi harus memihak dan memberi ruang yang lebih kepada korban.

"Kita harus memberikan ruang yang banyak kepada kelompok minoritas yang menjadi korban. Teori jurnalistik tentang pemberitaan secara berimbang, itu kami tantang. Apakah dengan fakta -fakta demikian media hanya merasa cukup dengan berimbang?" katanya.

Kepala RRI Cabang Kupang, Enderiman Butar  Butar  SP.MSI menegaskan, lembaga yang dipimpinnya terus menggelorakan keberagaman dan toleransi. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai acara yang disiarkan secara rutin di RRI dengan mengikutkan semua agama di Indonesia.

Misalnya hari minggu menyiarkan secara langsung kebaktian di gereja Katolik dan Protestan. "Begitu juga untuk teman- teman yang beragama lainnnya," kata Enderiman.

Pemimpin Redaksi Harian Kursor, Ana Djukana, mengatakan sebagai salah satu tonggak penegak demokrasi di negara ini, katanya, pers harus terus memperkuat perannya dalam mengawasi dan mengingatkan kewajiban negara untuk  menghormati, melindungi dan memenuhi hak serta kebebasan paling dasar  dari setiap warga Negara untuk beragama dan berkeyakinan.

"Misalnya kelompok LGBT yang dianggap tidak sesuai ajaran agama ini dan itu, maka kita harus menggunakan pendekatan hak asasi manusia. Kita kadang memberikan ruang yang seluas -luasnya kepada narasumber, yang justru mendukung intoleransi," katanya.

Wakil Sekretaris PWI NTT, Ferry Jahang, mengatakan, Undang -undang pers, Nomor 40 tahun 1999, yang kemudian dijabarkan ke dalam kode etik masing -masing organisasi adalah acuan bagi para wartawan Indonesia dalam menjalankan tugasnya.

Ketika menjalankan tugas dan fungsinya, para wartawan harus berdiri di atas asas yang disebut dengan hak asasi manusia.

Terkait diksi yang digunakan media dalam pemberitaan manakala terjadi perseteruan antara kelompok mayoritas dan minoritas maka pers seharusnya berada pada posisi korban.

Dikatakanya, "Kalu dilihat dari apa yg terjadi selama ini, media atau perss itu sudah mengarah dan bergerak ke sana hanya memang tidak semuanya."

Kekuatan media juga tak jarang dijadikan sebagai alat propaganda. Salah satu contoh kasus adalah peristiwa kerusuhan di Ambon, Propinsi Maluku yang nyaris tak kunjung usia. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh pemberitaan media masa. Pasalnya, terdapat perusahaan tertentu yang menciptakan dua media untuk dua kelompok yang bertikai.

"Ini terjadi karena negara memang tidak hadir sebagai penengah atau pemegang aturan yang benar untuk menengahi persoalan itu. Begitu juga dengan berbagai  persoalan lain yang terjadi di negara kita," ujarnya.

Negara sebagai pemegang kekuasaan sudah mulai menunjukan langkah -langkah positif pada kasus tertentu. Hal ini terlihat pada peristiwa bom Thamrin di Jakarta beberapa waktu lalu. 

"Ketika bom meledak di Thamrin, Presiden Jokowi hadir dan mengatakan bahwa negara tidak boleh kalah. Tapi kenapa pada hal -hal tertentu negara kalah dalam menjamin kebebasan beragama?" sambungnya. (john taena)

Sumber: Pos Kupang Cetak Edisi 5 Maret 2016, hal 5

Tuesday 15 November 2016

‘Agama Bola’ di Sumba Menolak Paham Radikal





Pembukaan Turnamen Sepak Bola Antar Umat Beragama Sedaratan Sumba ke XV, di Lapangan Matawai, Waingapu dibuka Assisten I, Sumba Timur, Domu Warondoy. Partai pertama dalam even tahuna ini adalah Remas An-Nur, Waingapu, Sumba Timur vs Pemuda GKS Waibakul, Sumba Tengah. Selasa (15/11/2016)
Turnamen sepak bola antar umat beragama, telah menjadi agenda tahunan bagi seluruh masyarakat Sumba. Menyongsong hari raya Natal dan tahun baru yang demikian semula digagas oleh sekelompok pemuda jemaat Payeti, Waingpau,  Geraja Kristen Sumba (GKS).

Niat untuk membina kerukunan lewat dunia olah raga itu, semula diprotes dari sejumlah oknum tokoh dan pemuka agama setempat. Sepak bolah dinilai sebagai salah satu jenis olahraga bisa memicu konflik antar pemuda.

Menuai protes namun para pemuda itu tidak menyerah. Mereka terus berupaya dan meyakinkan semua pihak. Turnamen sepak bola antar umat beragama pun akhirnya terlakasana. Seiring perjalan waktu, jenis olahraga itu dijadikan sarana pemersatu sesama pemeluk agama.

Perebutan piala bergilir setiap tim sepak bola terus bergulir dari tahun ke tahun. Lapangan hijau telah mejadi sebuah rumah ibadah setiap tahun bagi setiap pemeluk agama yang ada.

Ribuan umat Kristen Protentan, Katolik Islam, Hindu dan Budha berkumpul bersama. Selain datang untuk mendukung tim kesayangan masing-masing, mereka juga dapat membangun komunikasi, membina kerukunan dan toleransi antar sesama.

“Usia turnamen ini sudah memasuki tahun yang ke-XV. Hanya ada satu pesan yang ingin kita sampaikan yaitu, harmonisasi dan kerukunan antar umat beragama,” jelas ketua panitia turnamen sepak bola antara umat beragama sedaratan Sumba ke-XV, Debertus Nd. Ndima, di lapangan Matawai, Waingapu, Selasa (15/11/2016).

Turnamen itu biasanya dibuka dengan sebuah ritual dalam upacara pembukaan. Ritual ‘agama bola’ itu wajib dilakukan sebelum turnamen dinyatakan resmi dibuka. Entah pemain ataupun penonton, wajib hukumnya untuk ritual itu.


Kesebelasan pemuda lintas agama saat upacara pembukaan Turnamen Sepak Bola Antar Umat Beragama Sedaratan Sumba ke-XV, di lapangan Matawai, Waingapu, Sumba Timur. Selasa (15/11/2016)
Tujuan ritual itu adalah untuk menjaga kerukunan dan toleransi antar sesama pemeluk agama sedaratan Sumba. Ritual ‘agama bola’ ala orang Sumba itu dikenal dengan sebutan deklarasi damai dan kehidupan yang harmonis.

Salah satu alasan yang paling mendasar adalah, semua orang adalah satu di rumah ibadah bersama itu. Selain itu ajaran ‘agama bola’ menolak paham radikalisme. Pasalnya radikalisme mengancam dan bisa merusak kerukunan antar umat beragama sedaratan Sumba.

Ada empat point di dalam ajaran “agama bola” yang selalu diucapkan bersama-sama setiap kali upacara pembukaan turnamen Sepak Bola Antar Umat beragama sedaratan Sumba.

Isi keempat hukum ajaran ‘agama bola’ itu antara lain; (1). kami pemuda lintas agama sumba menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan, dan sanggup menjaga kerukunan dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bermasyarakat di Pulau Sumba berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 45.

(2). Kami pemuda lintas agama Sumba sanggup untuk menciptakan suasana damai, dan menghargai perbedaan keyakinan serta ajaran agama masing-masing, dalam rangka menjaga persatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

(3). Kami pemuda lintas agama Sumba, menolak semua bentuk paham radikalisme yang mengatasnamakan agama, dan dapat mengancam serta menimbulkan perpecahan.

(4). Kami pemuda lintas agama sumba selalu menjaga nilai-nilai keberagaman sesuai dengan nilai-nilai bidaya lokal kami yang ada di Bumi Matawai Amahu Pada Njara Hamu, Bumi Padda Ewata Manda Elu, Bumi Tana Waikanena Loku Waikalala dan Bumi Loda Wee Maringi Pada Wee Malala.

Usai melaksakan ritual itu, perwakilan Pemuda Kristen Protestan, Pemuda Katolik dan Pemuda Islam. Perwakilan Pemuda Hindu dan dan Pemuda Denominasi Gereja Protestan, akan menandatangi deklarasi damai seperti yang terjadi pada Selasa (15/11/2016).  

“15 tahun lalu, kami dari pemuda GKS Payeti mencetuskan ide untuk turnamen sepak bola antara umat beragama itu memang ditantangan tapi kami berusaha meyakinkan para tokoh. Syukurlah sampai sekarang terus dilaksakan setiap tahun,” tutur Sekretaris Pemuda Sinode Geraja Kristen Sumba, Nikson D. R. Tana.

Di dalam lapangan hijau, bola akan digiring ke semua arah oleh para pemain. Namun hanya merujuk pada satu tempat yakni, ke kotak 16, 12 dan akhirnya ke dalam gawang. Saat berhasil menjebol gawang lawan, para pemain di dalam lapangan maupun penonton di luar lapangan akan melakukan selebrasi. Sementara pihak yang kebobolan akan menunjukan ekspresi kesedihan.  

Hal serupa juga akan terjadi ketika puncak even yang menghasilkan sebuah tim pemengan. Juara turnamen tentunya hanya satu tim kesebelasan, namun pesta kemengan akan dirayakan bersama-sama. Pasalnya hakekat dari even itu bukan mencari sang juara, melainkan nilai kebersamaan.

“Kami dari Remas At-Taqwa Kamala Putih, sudah pernah memegang piala bergilir Turnamen Sepak Bola Antar Umat beragamna di Sumba ini selama tiga tahun berturut. Keyakinan tidak bisa memisahkan hubungan kekeluargaan dan kerukunan kita,” sambung Abdul Haris, ST, anggota DPRD Sumba Timur dari Partai Hanura.
  

Perwakilan dari setiap pemeluk agama menanda tangani deklarasi damai dalam Turnamen Sepak Bola Antar Umat Beragama Sedaratan Sumba ke-XV, di lapangan Matawai, Waingapu, Sumba Timur. Selasa (15/11/2016)
Bagi orang Sumba, toleransi dan kerukunan antar umat akan tetap terpelihara dengan baik. Perberbedaan keyakinan memang tidak bisa dipungkiri di mana-mana. Semua orang bebas beribadah sesuai keyakinannya di rumah ibadahnya masing-masing.

Namun ketika “agama bola” memanggil, semua pemuda dari berbagai keyakinan akan berkumpul darimenjadi satu dalam sebuah rumah ibadah. Rumah ibadah yang disebut lapangan hijau itu akan dipadati setiap hari sore.

“Kehidupan orang Sumba itu harmonis. Hubungan baik yang ada itu dikarenakan adanya kawin mawin. Boleh berbeda keyakinan tapi hanya satu yaitu ‘agama bola’ yang ada kalau  kita sudah masuk di lapangan. Silakan datang studi banding tentang toleransi antar umat beragama,” tandasnya. (*)