Turnamen
sepak bola antar umat beragama, telah menjadi agenda tahunan bagi seluruh
masyarakat Sumba. Menyongsong hari raya Natal dan tahun baru yang demikian semula
digagas oleh sekelompok pemuda jemaat Payeti, Waingpau, Geraja Kristen Sumba (GKS).
Niat untuk membina
kerukunan lewat dunia olah raga itu, semula diprotes dari sejumlah oknum tokoh
dan pemuka agama setempat. Sepak bolah dinilai sebagai salah satu jenis
olahraga bisa memicu konflik antar pemuda.
Menuai protes namun para
pemuda itu tidak menyerah. Mereka terus berupaya dan meyakinkan semua pihak. Turnamen
sepak bola antar umat beragama pun akhirnya terlakasana. Seiring perjalan
waktu, jenis olahraga itu dijadikan sarana pemersatu sesama pemeluk agama.
Perebutan piala
bergilir setiap tim sepak bola terus bergulir dari tahun ke tahun. Lapangan hijau
telah mejadi sebuah rumah ibadah setiap tahun bagi setiap pemeluk agama yang
ada.
Ribuan umat Kristen
Protentan, Katolik Islam, Hindu dan Budha berkumpul bersama. Selain datang untuk
mendukung tim kesayangan masing-masing, mereka juga dapat membangun komunikasi,
membina kerukunan dan toleransi antar sesama.
“Usia turnamen ini
sudah memasuki tahun yang ke-XV. Hanya ada satu pesan yang ingin kita sampaikan
yaitu, harmonisasi dan kerukunan antar umat beragama,” jelas ketua panitia turnamen
sepak bola antara umat beragama sedaratan Sumba ke-XV, Debertus Nd. Ndima, di
lapangan Matawai, Waingapu, Selasa (15/11/2016).
Turnamen itu
biasanya dibuka dengan sebuah ritual dalam upacara pembukaan. Ritual ‘agama bola’
itu wajib dilakukan sebelum turnamen dinyatakan resmi dibuka. Entah pemain
ataupun penonton, wajib hukumnya untuk ritual itu.
Kesebelasan pemuda lintas agama saat upacara
pembukaan Turnamen Sepak Bola Antar Umat Beragama Sedaratan Sumba ke-XV, di lapangan
Matawai, Waingapu, Sumba Timur. Selasa (15/11/2016)
|
Tujuan ritual itu adalah
untuk menjaga kerukunan dan toleransi antar sesama pemeluk agama sedaratan Sumba.
Ritual ‘agama bola’ ala orang Sumba itu dikenal dengan sebutan deklarasi damai dan
kehidupan yang harmonis.
Salah satu alasan yang
paling mendasar adalah, semua orang adalah satu di rumah ibadah bersama itu. Selain
itu ajaran ‘agama bola’ menolak paham radikalisme. Pasalnya radikalisme mengancam
dan bisa merusak kerukunan antar umat beragama sedaratan Sumba.
Ada empat point di dalam ajaran “agama
bola” yang selalu diucapkan bersama-sama setiap kali upacara pembukaan turnamen
Sepak Bola Antar Umat beragama sedaratan Sumba.
Isi keempat hukum ajaran ‘agama bola’
itu antara lain; (1). kami pemuda lintas agama sumba menjunjung tinggi nilai-nilai
kebhinekaan, dan sanggup menjaga kerukunan dalam kehidupan beragama, berbangsa
dan bermasyarakat di Pulau Sumba berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD)
45.
(2). Kami pemuda
lintas agama Sumba sanggup untuk menciptakan suasana damai, dan menghargai
perbedaan keyakinan serta ajaran agama masing-masing, dalam rangka menjaga
persatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
(3). Kami pemuda
lintas agama Sumba, menolak semua bentuk paham radikalisme yang mengatasnamakan
agama, dan dapat mengancam serta menimbulkan perpecahan.
(4). Kami pemuda
lintas agama sumba selalu menjaga nilai-nilai keberagaman sesuai dengan
nilai-nilai bidaya lokal kami yang ada di Bumi Matawai Amahu Pada Njara Hamu,
Bumi Padda Ewata Manda Elu, Bumi Tana Waikanena Loku Waikalala dan Bumi Loda
Wee Maringi Pada Wee Malala.
Usai
melaksakan ritual itu, perwakilan Pemuda Kristen Protestan, Pemuda Katolik dan
Pemuda Islam. Perwakilan Pemuda Hindu dan dan Pemuda Denominasi Gereja Protestan,
akan menandatangi deklarasi damai seperti yang terjadi pada Selasa (15/11/2016).
“15 tahun lalu, kami
dari pemuda GKS Payeti mencetuskan ide untuk turnamen sepak bola antara umat
beragama itu memang ditantangan tapi kami berusaha meyakinkan para tokoh. Syukurlah
sampai sekarang terus dilaksakan setiap tahun,” tutur Sekretaris
Pemuda Sinode Geraja Kristen Sumba, Nikson D. R.
Tana.
Di dalam lapangan hijau,
bola akan digiring ke semua arah oleh para pemain. Namun hanya merujuk pada
satu tempat yakni, ke kotak 16, 12 dan akhirnya ke dalam gawang. Saat berhasil
menjebol gawang lawan, para pemain di dalam lapangan maupun penonton di luar
lapangan akan melakukan selebrasi. Sementara pihak yang kebobolan akan menunjukan
ekspresi kesedihan.
Hal serupa juga akan
terjadi ketika puncak even yang menghasilkan sebuah tim pemengan. Juara turnamen
tentunya hanya satu tim kesebelasan, namun pesta kemengan akan dirayakan bersama-sama.
Pasalnya hakekat dari even itu bukan mencari sang juara, melainkan nilai
kebersamaan.
“Kami dari Remas At-Taqwa Kamala
Putih, sudah pernah memegang piala bergilir Turnamen Sepak Bola Antar Umat
beragamna di Sumba ini selama tiga tahun berturut. Keyakinan tidak bisa memisahkan
hubungan kekeluargaan dan kerukunan kita,” sambung Abdul Haris, ST, anggota DPRD
Sumba Timur dari Partai Hanura.
Bagi orang Sumba, toleransi
dan kerukunan antar umat akan tetap terpelihara dengan baik. Perberbedaan keyakinan
memang tidak bisa dipungkiri di mana-mana. Semua orang bebas beribadah sesuai
keyakinannya di rumah ibadahnya masing-masing.
Namun ketika
“agama bola” memanggil, semua pemuda dari berbagai keyakinan akan berkumpul
darimenjadi satu dalam sebuah rumah ibadah. Rumah ibadah yang disebut lapangan
hijau itu akan dipadati setiap hari sore.
“Kehidupan orang Sumba
itu harmonis. Hubungan baik yang ada itu dikarenakan adanya kawin mawin. Boleh
berbeda keyakinan tapi hanya satu yaitu ‘agama bola’ yang ada kalau kita sudah masuk di lapangan. Silakan datang studi
banding tentang toleransi antar umat beragama,” tandasnya. (*)