POS
KUPANG/JOHN TAENA
Kebun sorgum
milik warga Dusun A, Desa Waikerong, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata.
Selasa (10/5/2016).
|
KEPUTUSAN
menjadikan sorgum
sebagai tanaman kebanggaan yang digagas Keuskupan Larantuka sejak tahun 2009
butuh waktu panjang untuk sukses. Berbagai pihak yang menemui Uskup Larantuka,
Mgr. Frans Kopong Kung, Pr untuk menawarkan bantuan kepada umat di desa-desa
selalu tidak bertahan lama.
Pihak yang akhirnya berhasil membudidayakan sorgum di
wilayah Keuskupan Larantuka adalah Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia
(Kehati).
"Saya bilang sudah terlalu banyak kelompok
LSM yang datang menawarkan bantuan ke desa-desa. Apakah boleh kamu datang dan
tinggal di desa, hidup dengan masyarakat di desa dan bekerja dengan mereka
supaya seperti apa kehidupan dan pembangunan di desa itu dirasakan? Kalau kamu
bersedia silakan," kata Uskup Frans mengulang pernyataanya saat pertama
kali didatangi Maria Loreta yang ingin mengembangkan tanaman sorgum di
Flores Timur.
Maria Loreta mengikuti anjuran Uskup Frans.
Pengembangan sorgum
yang hanya sekali tanam namun bisa panen berulang itu berhasil. Sorgum pun
terbukti lebih tangguh menghadapi hama serta iklim yang tidak menentu.Di saat
padi dan jagung gagal panen karena kekurangan air, sorgum malah
bertumbuh subur di lahan kritis.
Menurut Direktur Yaspensel Keuskupan Larantuka,
Romo Benyamin Daud, Pr saat panen raya sorgum di
Dusun Likotuden, Desa Kawelelo, Kecamatan Demon Pagon, Flores Timur, Senin
(9/5/2016), saat curah hujan terbatas akibat perubahan iklim, sangat cocok
menanam sorgum
yang tidak butuh banyak air.
Hal senada dikatakan Direktur Program Yayasan
Kehati Teguh Triyono, saat acara panen raya sorgum di
Dusun A, Desa Waukerong, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata,
Selasa (10/5/2016).
Teguh menjelaskan, sorgum
merupakan pangan lokal bergizi tinggi dan memiliki banyak keistimewaan.
"Sederhananya begini, kalau ada yang sakit gula, lalu diteruskan makan
beras, maka akan bertambah parah sakitnya. Tapi kalau pakai sorgum, bisa
menghindari diabetes, karena kadar gulanya rendah," ujarnya.
Para petani yang selama ini didorong oleh Yayasan
Kehati dan Yaspensel Keuskupan Larantuka menanam sorgum
dibanding padi dan jagung karena jenis tanaman ini lebih tahan panas.
Menurut Teguh, kondisi alam daerah ini sangat
menjanjikan untuk budidaya sorgum. Petani cukup menanam sekali, tapi dapat memanen
berulang kali. Berbeda dengan nasib petani sorgum di luar
negeri seperti Taiwan dan Cina yang hanya sekali panen.
"Di Taiwan dan China petani hanya panen satu
kali setahun. Beda dengan kita, sekali tanam sorgum bisa
panen berulang kali. Sekali potong dan masih ada sedikit air, sorgum bisa
tumbuh dan bisa dipanen lagi. Itu adalah anugerah kita," ujar Teguh.
Dirut Yayasan KEHATI, M. Senang Sambiring,
mengungkapkan rasa terima kasih kepada para petani di NTT. Menurut dia, setiap
daerah memiliki ciri khas dan keunggulan sendiri. Hal ini perlu disuarakan
terus oleh seluruh petani. Tujuannya agar ke depan bisa diperhatikan oleh pemerintah
pusat dalam mengambil kebijakan.
Sorgum dari Pulau Flores lebih berkualitas
dibanding daerah lain. Hal ini terlihat dari hasil uji laboratorium yang
dilakukan di Laboratorium Uji Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr,
mengatakan, kehadiran Yayasan Kehati telah mendorong umat di keuskupannya untuk
mengembangkan sorgum
sebagai keunggulan yang dimiliki.
"Saya bermimpi ke depan generasi muda harus
mencintai tempatnya. Mencintai lautnya, juga harus mencintai wilayahnya. Ketika
berhenti dari sekolah karena orangtua tidak mampu melanjutkan, jangan pikiran
yang ada itu adalah Malaysia. Semua hanya Malaysia padahal di sini juga
bisa," ujar Uskup Frans.
Uskup Frans mengajak bupati dan wakil bupati,
anggota DPRD dan seluruh instansi pemerintah untuk terus mendorong pengembangan
tanaman sorgum di wilayah itu. (john taena/habis)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber Pos Kupang cetak, edisi cetak (Minggu, 16/5/2016 )